hukum internasional. Teori ini disebut juga sebagai “vereinbarung theory”. Tokohnya yang terkenal yaitu Triepel.
4. Teori yang mendasarkan asas pacta sunt servanda sebagai kaidah
dasar hukum internasional. Teori ini bertolak dari ajaran Mahzab wWina yang mengembalikan segala sesuatunya kepada kaidah
dasar memang dapat menerangkan secara logis darimana kaidah hukum internasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya tetapi
ajaran ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Tokohnya itu Kelsen.
5. Teori yang berdasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
pada faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan Fakta-fakta Kemasyarakatan. Menurut teori ini dasar
kekuatan mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum ini mutlak perlu untuk dapat
terpenuhnya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat. Teori ini mendasarkan diri pada Mahzab Prancis dengan tokoh-tokohnya
yaitu, Fauchile, Scele, dan Duguit.
59
C. Kewajiban Dan Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Kerjasama Luar Negeri Oleh Daerah.
Banyak tindakan yang diambil oleh suatu negara menimbulkan luka atau penghinaan atas martabat atau kewibawaan negara lain. Kaidah kaidah hukum
internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan-keadaan,
59
T. May Rudy. Hukum Internasional 1. PT. Refika Aditama. Bandung. 2002. Hal. 42
Universitas Sumatera Utara
prinsip-prinsip negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas
dibatasi pada “pertanggung jawaban negara-negara bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah”. Ini merupakan tanggung jawab negara dalam arti
tegas, sumber tanggung jawab tersebut adalah suatu tindakan atau tindakan- tindakan yang melanggar hukum internasional. Akan tetapi dapatkah tanggung
jawab dibebankan terhadap negara berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak merupakan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum internasional,
misalnya tindakan perdata tanpa memandang apakah tindakan itu bertentangan atau tidak dengan hukum domestik.
Jelas pengenaan kewajiban yang diberikan bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah akan bergantung kepada keadaan kasusnya. Yang
paling lazim negara yang dirugikan akan berusaha untuk memperoleh pertama, pelunasan statsfication melalui perundingan diplomatik dan apa bila hanya
menyangkut kehormatan pada umumnya akan cukup dengan suatu pernyataan maaf secara resmi dari negara yang bertanggungjawab atau suatu jaminan, bahwa
persoalan yang diprotes tersebut tidak akan berubah lagi. Perlu kiranya pada waktu membahas hal-hal praktis tanggung-jawab
negara memperhatikan baik-baik batas-batas antara hukum internasional dan hukum nasional. perbedaan ini secara khusus ada kaitanya dengan dua hal yaitu:
1. Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa
kaidah tindakan oleh suatu negara yang dianggap menimbulkan tanggungjawab.
Universitas Sumatera Utara
2. Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan
kesalahan.
60
Hukum internasional mengeluarkan rancangan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pembelaan diri sebagai berikut:
1. Tindakan kesalahan yang dianggap telah dilakukan oleh suatu
negara itu dalam keadaan-keadaan dimana negara yang bersangkutan tunduk pada kekuatan pengarah atau pengendalian
negara lain sebagai akibat dari tindakan paksaan oleh negara lain. 2.
Persetujuan oleh negara yang terkena akibat tindakan kesalahan yang dituduhkan terhadap negara yang melakukan.
3. Tindakan-tindakan balasan countermeasures, misalnya dengan
cara pembalasan-pembalasan yang sah yang diperkenakan dalam hukum internasional dan ayang tidak melibatkan angkatan
bersenjata. 4.
Keadaan-keadaan memaksa force majure yang tidak dapat dihindarkandari saatu keadaan yang sangat gawat yang mendorong
dilakukannya tindakan melawan hukum itu, dimana dalam hal ini tindakan ada kesengajaan dari pihak pejabat-pejabat yang terkait.
Pada Tahun 1980 Komisi Hukum Internasional mengeluarkan dua Pasal penting mengenai dasar-dasar pembenaran, masing-masing untuk keterpaksaan
necessity dan pembelaan diri self defence yang berbunyi sebagai berikut:
60
T. May Rudy. Hukum Internasional 1. PT. Refika Aditama. Bandung. 2002. Hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
1. Suatu keadaan darurat tidak dapat digunakan oleh suatu negara
sebagai landasan untuk meniadakan kesalahan pada tindakan suatu negara yang tidak sesuai dengan kewajiban negara terkait, kecuali
apabila: a.
Tindakan itu merupakan satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan yang esensial dari negara terkait terhadap bahaya
gawat dan yang sifatnya mendesak. b.
Tindakan itu tidak secara serius membahayakan kepentingan esensial dari negara terhadap mana kewajian tersebut
ditiadakan. 2.
Dalam suatu kasus, keadaan darurat tidak dapat digunakan oleh negara sebagai landasan untuk menghalangi kesalahan:
a. Apabila kewajiban internasional yang disalahi oleh tindakan
negara tersebut timbul dari suatu norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah-ubah.
b. Apabila kewajiban internasional yang simpangi oleh tindakan
negara tersebut ditetapkan suatu traktat yang secara eksplisit atau implisit menutup kemungkinan dinyatakankeadaan darurat
berkaitan dengan kewajiban tersebut. c.
Apabila negara terkait telah turut membantu terjadinya keadaan darurat tersebut.
61
61
Ibid hal 85-86
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Perjanjian internasional menurut Undang-Undang No. 24 Tahun
2000 adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di
bidang hukum publik. Undang-undang tentang perjanjian internasional ini sebenarnya merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang
memberikan kewenangan kepada presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan
Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut karena
pada umumnya pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi perjanjian internasional di bidang teknis.
62
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memberikan kewenangan pada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal ini tampak dalam Pasal 5
yang menetapkan bahwa lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri. Mekanisme
konsultasi dengan menteri ini sesuai dengan tugas dan fungsi menteri luar negeri sebagai pelaksana hubungan dan politik luar negeri, dengan tujuan melindungi
kepentingan nasional dan mengarahkan agar pembuatan perjanjian internasional tidak bertentangan dengan kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia, dan
62
: http:hukum.kompasiana.com20120324perjanjian-internasional-oleh-pemda- bisakah
Universitas Sumatera Utara
prosedur pelaksanaannya sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam undang- undang tentang perjanjian internasional. Mekanisme konsultasi tersebut dapat
dilakukan melalui rapat antardepartemen atau komunikasi surat-menyurat antara lembaga-lembaga dengan Departemen Luar Negeri untuk meminta pandangan
politisyuridis rencana pembuatan perjanjian internasional
.
Kebebasan untuk melakukan hubungan dan kerjasama luar negeri, tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang lebih meningkat sejalan
dengan kehendak daerah otonom dan kabupaten dan kota untuk memperoleh nilai tambah bagi daerah otonom yang bersangkutan. Hal ini merupakan babak baru
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dan penuh dengan tantangan. Penyelenggaraaan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi
dan memperhatikan keanekaragaman daerah.
63
1. Politik luar negeri.
Undang-undang no 24 Tahun 2004 yang menganut prinsip otonomi seluaa- luasnya, maka pemberian kewenangan kepala daerah otonom diberikan dengan
keluasan penuh dimana dapat menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana ditentuakan dalam Bab III mengenai pembagian urusan pemerintahan. Pasal 10
ayat 3 menetapkan bahwa urusan pemerintah pusat adalah:
2. Pertahanan.
3. Keamanan.
4. Yustisi.
5. Moneter dan fiskal nasional.
63
Syahda Guruh LS.Menimbang Otonomi vs Federal- mengembangkan wacana federalisme dan otonomi luas menuju masyarakat madani Indonesia.Pemuda Rosdakarya.
Bandung. 2000. Hal 80.
Universitas Sumatera Utara
6. Agama.
Sedangkan bidang-bidang lain yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan skala provinsi diatur dalam Pasal 13, Pasal 14
mengatur kewenangan kabupatenkota. Bidang-bidang hubungan dan kerjasama luar negeri oleh daerah memerlukan konsultasi dan kordinasi dengan Departemen
Luar Negeri. Bila diringkas akan meliputi bidang-bidang kerjasama sebagai berikut:
1. Kerjasama ekonomi
a. Perdagangan.
b. Investasi.
c. Tenaga kerja.
d. Kelautan dan perikanan.
e. Ilmu pengetahuan dan teknologi.
f. Kehutanan.
g. Pertanian
h. Pertambangan.
i. Kependudukan.
j. Pariwisata.
k. Lingkungan hidup.
l. Perhubungan.
2. Kerjasama sosial budaya.
a. Pendidikan.
b. Kesehatan.
c. Kepemudaan.
d. Kewanitaan.
e. Olahraga.
f. Kesenian.
3. Bentuk kerjasama lain.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah daerah dalam hal ini dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak lain diluar negeri. Pemerintah pusat menetapkan pinjaman
danatau hibah dari luar negeri yang akan diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah.
64
Fungsi dan tujuan hubungan luar negeri dan pemerintah daerah adalah untuk memfasilitasi terjadinya interaksi people to peoplebusiness to business tran
saction. Globalisasi akan diwarnai dengan peningkatan hubungan ekonomi, sosial, dan budaya, dimana peran pemerintahpusat memudar dan diambilalih oleh
Undang-undang otonomi daerah termasuk undang-undang otonomi khusus hanya mengatur mekanisme daerah tentang pembuatan perjanjian
internasional. Mekanisme daerah yang diatur oleh undang-undang pemerintah daerah, undang-undang pemerintah aceh, undang-undang otonomi khusus papua
memiliki esensi yang sama yaitu memberikan ruang bagi partisipasi daerah dalam pembuatan perjanjian internasional.
Menurut Pasal 42 ayat 1 huruf F, DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah. Penjelasannya bahwa yang dimaksud perjanjian internasional dalam ketentuan ini adalah perjanjian antar
pemerintah dengan pihak luar negeri yang terkait dengan kepentingan daerah. Menurut Pasal 42 ayat 1 huruf G, DPRD mempunyai tugas dan
wewenang memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
64
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah daerah. Semangat otonomi daerah menempatkan pemerintah daerah sebagai pusat penggerak ekonomi khususnya sektor riil. Pemerintah daerah
menjadi kordinator dalam mensinergikan para pelaku ekonomi, sosial, budaya di daerahnya dan menterjemahkan potensi daerahnya ke luar negeri.
Contoh perjanjian internasional yang dibuat dan ditandatangani oleh pemerintah daerah yaitu perjanjian kerjasama teknik antara pemerintah daerah
Aceh dengan Pemerintah daerah Antwerpen Belgia 1984. Perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah
yaitu pertukaran nota 2000 dan 2001 RI-Jepang tentang SDM Perikanan di Semarang dan Rural Water Supply di Sulawesi, Perjanjian RI-Singapura tentang
Supply air dari kepulauan Riau ke Singapura, Perjanjian Ri-Singapura tentang kawasan Ekonomi Khusus Batam, Bintan, dan Karimun 2006.
65
Adapun otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah serta meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
66
Dengan demikian maka penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
65
Ibid.
66
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA PEMERINTAH