Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional

(1)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ENRIKO ABIANTO TOBING 090200134

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

i ABSTRAK

*Enriko Abianto Tobing **Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S

***Nurmalawaty, SH., M.Hum

Terorisme merupakan salah satu ancaman utama dan nyata terhadap pelaksanaan amanat konstitusi mengenai perlindungan terhadap segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah bila terorisme dianggap ancaman terhadap keamanan nasional yang akan berpengaruh terhadap penciptaan stabilitas nasional. Permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaturan hukum mengenai pemberantasan terorisme dari hukum pidana Internasional dan pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan terorisme dari hukum nasional Indonesia. Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, sehingga penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan yuridis normatif.

Pengaturan mengenai terorisme dari segi hukum pidana internasional, yaitu Pasal 38 ayat (1) Statute Pengadilan Internasional tentang sikap tindakan bagaimana yang dibenarkan bila negara menetapkan tata cara penyelesaian melalui penggunaan senjata, ketentuan tentang penggunaan kekerasan bersenjata tercantum dalam konvensi Geneva dan Den Haag, yaitu dalam suatu memusnahkan anggota dan instalasi militer lawan merupakan keharusan yang harus diambil dan dibenarkan secara hukum internasional, sedangkan menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran kekerasan bersenjata jelas-jelas dilarang. Konvensi dalam bidang terorisme, pembajakan, kejahatan penyeludupan yaitu resolusi No. 6 tahun 1984 mengenai hukum pidana internasional, isinya antara lain mendukung kelangsungan peradilan internasional dalam kaitannya dengan berbagai pelanggaran serta persoalan mengenai penanggulangan penerapan hukumnya, kewajiban negara untuk menahan dan menangkap para pembajak didasarkan pada Pasal 13 Konvensi Tokyo 1963 juncto Konvensi Denhaag 1970. Pengaturan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme dari Hukum Nasional Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, Menjadi Undang-Undang, Perppu.

Kata Kunci : Eksistensi, Konvensi Internasional, Terorisme *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Guru besar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Fakultas Hukum USU


(3)

ii

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis sampaikan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang berjudul: Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H.M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH., M.S selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.


(4)

iii

7. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Drs. Lamtorang Tobing dan Ibunda Hanna Falentina Batubara, serta kedua saudari penulis yakni Grace Emeli Tobing, SS. dan Yolanda Aprila Tobing, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun materi serta doa yang tidak putus-putusnya sehingga terselesaikanya skripsi ini.

10.Kepada seluruh keluarga serta teman- teman yang selalu memberikan semangat yang kemudian menjadi motivasi penulis menyelesaikan skripsi dan perkuliahan penulis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, November 2015 Hormat Saya Enriko Abianto Tobing


(5)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

1. Asas-asas hukum pidana internasional... 13

2. Pengertian konvensi internasional ... 18

3. Pengertian Terorisme ... 19

F. Metode Penelitian ... 23

G. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TERORISME DARI SEGI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL ... 28

A. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme ... 28

1.Sumber Hukum Internasional ... 28

2.Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme ... 30 3.Pengaturan Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme . 37


(6)

v

B. Mekanisme Perwujudan Pengaturan Hukum Internasional

menjadi Hukum Positif Indonesia ... 38

BAB III PENGATURAN MENGENAI TERORISME di INDONESIA .... 41

A. Convention Against Terrorist Bombing dan Convention on the Supression of Financing Terrorism ... 41

B. Beberapa Hukum Positif Indonesia Hasil Konversi Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Terorisme ... 49

1.Inpres ... 49

2.Perppu ... 50

3.Undang-Undang ... 51

C. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 Sebagai Instrumen Pemberantasan Terorisme di Indonesia ... 55

D. Penerapan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 60

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(7)

Oleh

ENRIKO ABIANTO TOBING 090200134

Disetujui Oleh

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. H.M. Hamdan, S.H., M.H

NIP. 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

( Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Nurmalawaty, S.H, M.Hum) NIP. 196303311987031001 NIP. 19620907198812001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(8)

i ABSTRAK

*Enriko Abianto Tobing **Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S

***Nurmalawaty, SH., M.Hum

Terorisme merupakan salah satu ancaman utama dan nyata terhadap pelaksanaan amanat konstitusi mengenai perlindungan terhadap segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah bila terorisme dianggap ancaman terhadap keamanan nasional yang akan berpengaruh terhadap penciptaan stabilitas nasional. Permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaturan hukum mengenai pemberantasan terorisme dari hukum pidana Internasional dan pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan terorisme dari hukum nasional Indonesia. Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, sehingga penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan yuridis normatif.

Pengaturan mengenai terorisme dari segi hukum pidana internasional, yaitu Pasal 38 ayat (1) Statute Pengadilan Internasional tentang sikap tindakan bagaimana yang dibenarkan bila negara menetapkan tata cara penyelesaian melalui penggunaan senjata, ketentuan tentang penggunaan kekerasan bersenjata tercantum dalam konvensi Geneva dan Den Haag, yaitu dalam suatu memusnahkan anggota dan instalasi militer lawan merupakan keharusan yang harus diambil dan dibenarkan secara hukum internasional, sedangkan menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran kekerasan bersenjata jelas-jelas dilarang. Konvensi dalam bidang terorisme, pembajakan, kejahatan penyeludupan yaitu resolusi No. 6 tahun 1984 mengenai hukum pidana internasional, isinya antara lain mendukung kelangsungan peradilan internasional dalam kaitannya dengan berbagai pelanggaran serta persoalan mengenai penanggulangan penerapan hukumnya, kewajiban negara untuk menahan dan menangkap para pembajak didasarkan pada Pasal 13 Konvensi Tokyo 1963 juncto Konvensi Denhaag 1970. Pengaturan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme dari Hukum Nasional Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, Menjadi Undang-Undang, Perppu.

Kata Kunci : Eksistensi, Konvensi Internasional, Terorisme *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Guru besar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan jenis tindak pidana di dalam era masyarakat internasional tradisional dimulai dengan peperangan antar suku (tribes), dengan menguasai tanah dan harta kekayaan serta masyarakat oleh suku yang menang perang atas suku yang kalah perang. Penyelesaian peperangan di masa itu tidak dilakukan melalui suatu perjanjian khusus melainkan melalui suatu pernyataan menang perang dari suku yang telah dapat mengalahkan suku lainnya. Kemenangan dari peperangan pada masa itu dengan sendirinya merupakan perluasan atau penambahan wilayah kekuasaan dari suku yang menang perang dan sekaligus pemasukan dan penambahan harta kekayaan dari suku tersebut.1

Pengaturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar” (just cause), diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar. Pengaturan- pengaturan tersebut berasal dari pengajuan hukum yang diberikan oleh ahli- ahli hukum seperti Cicero dan St. Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasional.2

Perkembangan tindak pidana internasional atau kejahatan internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut

1

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta, 2003, hal. 2

2


(10)

(piracy), yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu. Sehingga hal tersebut dipersoalkan terutama di kalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.3

Bajak laut dianggap sebagai kejahatan internasional karena kejahatan tersebut merusak hubungan dagang antar bangsa. Menurut Schwarzenberger , perkembangan hukum pidana internasional antara lain ditandai dengan perjanjian mengenai bajak laut antara Inggris dan Amerika yang dikenal dengan Jay Treaty

pada tanggal 19 November 1947 dan Perjanjian Nyon atau Nyon Agreement 1937.4

Kendatipun dalam perjanjian tersebut tidak terdapat ketentuan yang menegaskan pelaku bajak laut sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara internasional, perjanjian-perjanjian tersebut memperlihatkan upaya masyarakat internasional yang menyadari dan mengakui adanya tindakan perorangan atau negara yang dipandang sebagai kejahatan internasional.5

Berdasarkan eksistensi kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tergolong baru, namun dari hirarki kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia menempati hirarki yang paling

3

Ibid., hal. 3

4

Ibid.,hal. 9

5

Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, hal. 12.


(11)

utama. M. Cherif Bassioouni membagi tingkatan kejahatan internasional menjadi tiga, yaitu :6

1. Kejahatan internasional yang disebut juga sebagai ‘international crimes’

adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter ‘international crime’

berkaitan dengan perdamaian dan keamanan manusia serta nilai- nilai kemausiaan yang fundamental. Termasuk dalam ‘international crime’ antara lain adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 2. Kejahatan internasional yang disebut sebagai ‘international delicts’. Tipikal

dan karakter ‘international delicts’ berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari satu negara. Termasuk dalam

‘international delicts’ adalah pembajakan pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat- obatan terlarang secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap petugas PBB.

3. Kejahatan internasional yang disebut dengan istilah ‘international infractions’. Dalam hukum pidana internasional secara normatif,

‘international infractions’ tidak termasuk dalam kategori ‘international crime’

dan ‘international delicts’. Dan kejahatan yang tercakup dalam ‘international infraction’ antara lain adalah pemalsuan dan peredaran uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing.

Eksistensi hukum pidana internasional tidaklah mungkin dipisahkan dengan keberadaan kejahatan internasional sebagai substansi dari hukum pidana

6

Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hal 3 – 4.


(12)

internasional itu sendiri. Pada awalnya, keberadaan kejahatan internasional berasal dari kebiasaan yang terjadi dalam praktek hukum internasional. Kejahatan perang dan bajak laut adalah kejahatan internasional tertua di dunia yang lahir dari hukum kebiasaan internasional.7 Secara eksplisit, kejahatan bajak laut (piracy)

dinyatakan sebagai salah satu bentuk terorisme.8

Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganas dan monster yang menakutkan yang sewaktu- waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya dan ekonomi. 9

Teror telah terjadi dimana- mana dan kapan saja. Teror telah menjadi penyakit yang akrab dan melekat dalam bangunan kehidupan bernegara. Misalnya, penegak hukum yang merupakan representasi rakyat dalam melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia dewasa ini tekah dibuat sibuk mencermati (mengantisipasi), melacak, dan menangani berbagai kasus teror dan kekerasan kolektif yang sepertinya sangat sulit mencapai titik minimalisasi, apalagi titik akhir.10

7

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 11

8

M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Inc. Ardsley, New York, 2003, hal.149.

9

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 1.

10


(13)

Teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas Hak Asasi Manusia. Karena akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa untuk menunjukkan potret lain dari dan diantara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime).11

Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, secara akademis terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”Extra Ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau ”crime against humanity”. Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara biasa sebagaimana menangani tindak pidana pencurian, pembunuhan atau penganiayaan12

Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:13

1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi

11

Ibid. hal. 2

12

Keterangan pemerintah tentang diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, hlm. 8.

13

Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Alumni, Bandung 2004, hal. 5.


(14)

manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.

2. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung

mengorbankan orang-orang tidak bersalah.

3. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern.

4. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional.

5. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional.

6. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi yang mempunyai jaringan global dimana kelompok- kelompok teroris yang beraksi di berbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan serta mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun struktur pendukung (support infrastructure).14

Perspektif Indonesia, terorisme merupakan salah satu ancaman utama dan nyata terhadap pelaksanaan amanat konstitusi antara lain melindungi segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh

14


(15)

karena itu sudah sepantasnyalah bila terorisme dianggap ancaman terhadap kohesi nasional yang akan berpengaruh terhadap penciptaan stabilitas nasional. Sementara penciptaan stabilitas nasional merupakan salah satu kunci pemulihan ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Salah satu pendekatan adalah pendekatan hukum.15

Telah 2 tahun berlalu sejak kejadian yang menggemparkan masyarakat Indonesia dan juga para pemimpin bangsa ini, yaitu meledaknya bom di Bali yang terjadi pada 12 oktober 2002 di Sari Club dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali, yang kemudian lebih dikenal masyarakat dengan istilah Bom Bali I dan II, oleh sekelompok orang yang dicap sebagai kaum teroris, juga menghentakkan dunia mengingat Bali adalah pulau tujuan wisata dunia yang tidak asing lagi.16

Peristiwa 11 September 2001 yang berupa dihancurkannya gedung kembar

World Trade Centre dengan cara menubrukkan pesawat udara oleh kaum teroris dengan aksi bunuh dirinya yang menjadikan dunia tersentak secara mendadak, bahwa dihadapan umat manusia ini sewaktu- waktu bisa muncul teroris dengan perbuatannya yang sangat mengerikan.17

Menurut S. Endriyono, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 15 Oktober 2002 mengeluarkan Solusi Nomor 1438, yang menyatakan bahwa serangan di Bali sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, oleh karena itu semua anggota PBB harus bekerjasama untuk memerangi terorisme.18 Dan

15

Ibid.

16

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internsional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004, hal. 70

17

Ibid.

18

S. Endriyono, Terorisme Ancaman Sepanjang Masa, Media Agung Persada, Semarang, 2005 hal. 35.


(16)

bukan hanya para pemimpin bangsa yang tergabung dalam PBB, masyarakat masing- masing negara juga harus ikut ambil bagian dalam usaha pemberantasan dan pencegahan terorisme.

PBB telah menaruh perhatian cukup lama terhadap permasalahan terorisme. Perhatian ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukannya secara terpadu, baik melalui upaya hukum maupun politik. Melalui upaya hukum PBB telah menghasilkan sejumlah konvensi yang terkait dengan persoalan terorisme, diantaranya sebagai berikut :19

1. Convention on Ofences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 dan mulai belaku tanggal 4 Desember 1969.

2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. Ditandatangani di Hague tanggal 16 Desember 1970 dan mulai berlaku tanggal 14 Oktober 1971.

3. Covention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 dan mulai berlaku tanggal 26 Januari 1973.

4. Convention on the Prevention and Punisment of crimes agains internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 3166 (XXVIII) tanggal 14 Desember 1973 dan mulai berlaku tanggal 20 Februari 1977.

19

F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal. 4.


(17)

5. International Convention against the Taking of Hostages. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 34/46 tanggal 17 Desember 1979 dan mulai berlaku tanggal 3 Juni 1983.

6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material. Ditandatangani di Vienna dan New York tanggal 3 Maret 1980. Disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979 dan mulai berlaku tanggal 8 Februari 1987.

7. The Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation. Tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24 Februari 1988 dan mulai berlaku tanggal 6 Agustus 1989.

8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Maritime Navigation. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.

9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Fixed Platform Located on the Continental Shelf. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.

10.Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 Maret 1991 dan mulai berlaku tanggal 21 Juni 1998.


(18)

11.International Convention for the Supression of Terorist Bombing. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52/164 tanggal 15 Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 23 Mei 2001.

12.International Convention on the Supression of Financing of Terrorism. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 54/109 tanggal 9 Desember 1999 dan mulai berlaku tanggal 10 April 2002.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai kejahatan politik. Definisi yang diberikan Pemerintah Amerika Serikat mengenai terorisme adalah “the unlawful use or threat of violence againts person or property to further political or social objectives”.20 Sejak peristiwa 11 September 2001, Pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas tidak melakukan kompromi, dan menolak melakukan negosiasi dengan kelompok teroris karena negosiasi hanya akan memperkuat posisi kelompok teroris. Sikap Amerika Serikat ini nampak dalam ucapan Presiden George W. Bush. “If you are not with us, you are against us” dan selanjutnya negara-negara berat sekutu Amerika mengikuti langkah Amerika Serikat memerangi terorisme.

Pengaturan kejahatan- kejahatan internasional sebagai substansi hukum pidana internasional dalam hukum pidana nasional masing- masing negara bukanlah suatu kewajiban, tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan dalam tata pergaulan internasional, khususnya berkaitan dengan masalah ekstradisi. Salah satu prinsip utama dalam ekstradisi adalah double criminality yang pada intinya menyatakan bahwa ekstradisi hanya dapat dilakukan jika tindakan tersebut adalah

20

Poltak Pantegi Nainggolan, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Sekjen DPR-RI, Jakarta, 2002, hal. 159.


(19)

suatu kejahatan menurut hukum nasional negara peminta maupun menurut hukum nasional negara yang diminta.

Hubungan antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional adalah hubungan yang bersifat komplementer antara satu dengan yang lain dan memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum itu sendiri. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya asas dalam hukum pidana nasional yang diadopsi sebagai asas- asas dalam hukum pidana internasional. Dalam ketentuan KUHP di semua negara, khususnya berkaitan dengan asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, yang dicakup bukanlah sekedar teritorial negara tersebut, tetapi juga tempat- tempat tertentu yang dianggap sebagai perluasan teritorial, kendatipun berada di wilayah negara lain. Demikian pula sebaliknya, tindakan-tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional oleh hukum pidana internasional kemudian diadopsi ke dalam ketentuan- ketentuan dalam hukum pidana nasional dengan tujuan agar kejahatan tersebut tidak terjadi di negaranya.21

Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai pemberantasan terorisme dari hukum pidana Internasional?

21


(20)

2. Bagaimana pengaturan mengenai terorisme dari hukum nasional Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Suatu penulisan skripsi, perlu memiliki suatu tujuan didalam penulisan skripsi tersebut, sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan yang ada. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai pemberantasan terorisme dari hukum pidana Internasional.

2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme dari Hukum Nasional Indonesia.

Penulisan skripsi ini penulis mengharapkan agar terwujud manfaat dan kegunaan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang pengaturan tindak pidana khusus mengenai pencegahan dan pemberantasan terorisme.

b. Untuk memberikan kontribusi tentang pertimbangan hukum dibentuknya suatu peraturan perundang- undangan di Indonesia.

2. Manfaat praktis

a. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan pembaca tentang tindak pidana terorisme, agar masyarakat mengenali, mencegah, dan turut membantu memberantas tindak pidana terorisme.


(21)

b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang berbagai peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

c. Memberikan pengetahuan kepada para penegak hukum agar menindak para pelaku teror sesuai dengan hukum positif Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Bahwa penulisan skripsi dengan judul “ Eksistensi Konvensi Internasional tentang Terorisme Ditinjau dari Segi Hukum Pidana Nasional” telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang memberikan beberapa skripsi yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, antara lain skripsi dengan judul “ Aspek Hukum Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Menurut Perppu No. 1 Tahun 2002 Jo. Undang- Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” , oleh : Dwi Prasetya, NIM : 000200033

E. Tinjauan Pustaka

1. Asas- Asas Hukum Pidana Internasional

a. Asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara- negara

Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidak, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya, sesuai dengan hukum


(22)

internasional. Asas inilah yang selanjutnya menurunkan asas- asas lainnya dari hukum internasional, seperti: 22

1) Asas non intervensi

2) Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara- negara

3) Asas hidup berdampingan secara damai

4) Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia

5) Asas bahwa suatu negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan di dalam wilayah negara lainnya

b. Asas non intervensi

Menurut asas ini, suatu negara tidak boleh ikut campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujuinya secara tegas. Jika dalam suatu negara, misalnya, dengan menggunakan kekuataan bersenjata berupa berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non intervensi. Tindakan Israel mengeintervensi Lebanon pada tahun 1984, atau tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004, adalah sekedar beberapa contoh intervensi.

c. Asas hidup berdampingan secara damai

Asas ini menekankan kepada negara- negara dalam menjalankan kehidupan baik internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup

22


(23)

bersama secara damai, saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara supaya diselesaikan secara damai. Wujud dari asas hidup berdampingan secara damai ini dapat dilihat pada pengaturan masalah- masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan- kesepakatan untuk mengatur masalah tertentu dalam bentuk perjanjian- perjanjian internasional.

d. Asas penghormatan dan perlindungan terhadapa hak asasi manusia

Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atas seseorang ataupun lebih dalam status apapun juga, tindakannya itu tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh suatu negara membuat peraturan perundang – undangan nasional dalam bidang hukum pidana, seperti undang – undang terorisme, undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pemalsuan urang, dan lain-lainnya, tidak boleh ada ketentuannya yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya, ketentuan yang menyatakan, bahwa terhadap orang yang di duga terlibat didalam peristiwa tersebut, dapat dikenakan penahanan tanpa suatu batas waktu tertentu, atau ditahan untuk selamanya.

e. Asas legalitas

Asas legalitas yang dikenal juga dengan Asas nullum delictum noela poena sine poenale, sebagai salah satu asas utama didalam hukum pidana nasional


(24)

Negara-negara, pada hakikat nya menyatakan, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum di atur didalam suatu undang – undang pidana nasional. Tegasnya, untuk dapat diadili atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah, haruslah didasarkan pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.

f. Asas Non-Retroactive

Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan bagi kejahatan atau tindak pidana didalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara menerapkannya terhadap sipelaku perbuatan tersebut. Dalam arti negatif, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang lebih dikenal dengan asas non-retroactive.

g. Asas Culpabilitas

Asas ini yang juga merupakan salah satu assas utama dari hukum pidana nasional negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan dari tuntutan pidana. Jika dirumuskandengan kalimat yang lebih


(25)

singkat dan konkrit, bahwa seseorang tidak boleh dipidana tanpa ada kesalahan (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini selanjutnya menurunkan asas lainnya, seperti, asas praduga tak bersalah (presumption if innocent).

h. Asas praduga tak bersalah (Presumtion of Innocent)

Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, dengan segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Dia tidak boleh diperlakukan secara sewenang- wenang, secara kejam, secara tidak menusiawi, ataupun diperlakukan di luar batas- batas perikemanusiaan. Bahkan andaikata kesalahan yang dilakukan terhadapnya sudah terbuktipun dan sudah dijatuhi putusan oleh pengadilan dengan kekuatan mengikat yang pasti, dia juga harus tetap diperlakukan seperti manusia biasa dengan segala hak asasinya.

i. Asas Ne Bis In Idem

Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yaang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali


(26)

atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Adapun dasar pertimbangan mengapa seseorang tidak boleh diadili atau dijayuhi putusan lebih dari satu kali atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang dilakukannya, disebabkan karena dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastian hukum.

2. Pengertian Konvensi Internasional

Konvensi (convention)23, yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Persetujuan ini hams dilegalisasi oleh wakilwakil yang berkuasa penuh

(plaenipotentiones).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 24, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.

Definisi konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan

23

http://www.semipedia.com/2012/08/istilah-istilah-perjanjian-internasional.html diakses tanggal 13 Sepetember 2015.

24

http://bayudwiprasetiya.blogspot.com/2013/06/konvensi-internasional.html diakses tanggal 13 September 2015.


(27)

negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggarannya

2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan sejajar 3. Diterima oleh seluruh rakyat

4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.

3. Pengertian Terorisme

Kata terorisme atau pelaku dari terorisme atau aksi berasal dari kata “terrere” yang kurang berarti membuat gemetar atau menggetarkan, kata teror juga bisa mengerikan atau kengerian dihati atau pikiran dari korban terorisme.

Kata terorisme sudah sejak lama dikenal di dunia internasional sebagai salah satu pidana yang khusus di masyarakat dunia sebagai salah satu upaya merusak keamanan dan kestabilan suatu bangsa bahkan dalam buku Romli Atmasasmita, yang berjudul Pengantar Hukum Pidana Internasional, terorisme sudah dikenal sejak tahun 1996 dan berkembang dengan sangat pesatnya di Eropa dan di Negara-negara Timur Tengah dan Asia. Berbagai peristiwa pengeboman dan korban massal sebagai akibat kegiatan terorisme sudah terjadi terutama dibelahan utara daratan Asia dan di belahan selatan benua Afrika dan di beberapa


(28)

Negara Eropa Utara, pasca perang dingin kegiatan terorisme beralih ke benua Asia dan beberapa Negara ASEAN termasuk Indonesia.25

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terorism (ECST) di Eropa tahun 1977, dimana terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes Against Humanity. Crimes Against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana teror, yang dari segi HAM dikategorikan kedalam gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan langsung terhadap penduduk sipil, lebih- lebih diarahkan kepada jiwa- jiwa tidak bersalah (public by innocent).26

Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam kiranya perlu dikaji terlebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh lembaga maupun beberapa penulis/ pakar atau ahli, yaitu :

1. US Departements of state and defense

Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok nonkombatan.Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.27 2. Black’s Law Dictionary

25

Romli Atmasasmita, Pegantar Hukum Pidana Internasional bagian II, Hecca Mitra Utama, Jakarta, 2004, hal 73.

26

Abdul Wahid, Op. Cit, hal. 23.

27


(29)

Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk ;(i) mengintimidasi penduduk sipil ;(ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah;(iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.28

3. US Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/ atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. 29

4. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer

Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, terutama untuk tujuan politik.30

5. Dalam Pasal 1 Perpu No. 01 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek- objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia

28

Ibid.

29

Ibid.

30


(30)

negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.31

Menurut Abdul Wahid, kegiatan terorisme sendiri tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, karena ciri-ciri utamanya yaitu32 :

1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik;

2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu;

3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga;

4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.

Menurut pendapat James H. Wolfe menyebutkan beberapa karakteristik terorisme sebagai berikut:

1. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun nonpolitis;

2. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil (supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya) maupun sasaran non-sipil (fasilitas militer, kamp militer);

3. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah negara;

31

Ibid.

32


(31)

4. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional.33

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi diberbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung

(support infrastructure).34

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum yuridis normatif, dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

Sebagai mana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wijnjosoebroto yang telah dikutip Sanusy Lian Nury membagi penelitian hukum, sebagai berikut:

33

Ibid. hal. 35.

34


(32)

a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif berupa peraturan perundangan-undangan.

b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar dalam falsafah hukum positif.

c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concerto yang layak diterapakan untuk menyelesiakan suatu perkara tertentu.

2. Data dan Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, internet, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yg paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme;


(33)

4) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi Montreal 1971;

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Antara lainberupa buku-buku atau literatur yang berkaitan atau membahas tentang tindak pidana pemberantasan terorisme.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.


(34)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TERORISME DARI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Bab ini menguraikan mengenai bagaimana pengaturan hukum mengenai terorisme, mulai dari sumber hukum internasionalnya,


(35)

sampai tahapan menjadikan sumber hukum internasional tersebut dapat dijadikan sumber hukum nasional.

BAB III PENGATURAN MENGENAI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TERORISME DARI HUKUM NASIONAL INDONESIA

Bab ini memaparkan penjelasan mengenai peraturan tentang pemberantasan terorisme di Indonesia dan juga membahas penerapan atau implementasi peraturan tersebut di Indonesia.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran dari penulis dari permasalahan tersebut.


(36)

28 BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME DARI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

A. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme 1. Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum dalam konteks hukum internasional mengacu pada Pasal 38 Paragraf I Statuta Mahkamah Internasional yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang dapat diterapkan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya sumber hukum bagi hukum internasional tersebut juga berlaku bagi sumber hukum pidana internasional. Ada 4 sumber hukum internasional sebagaimana dimaksud dalam Statuta Mahkamah Internasional, yaitu :

a. “International conventions whether general or particular, estabhlishing rules expressly recognized by contesting states”;

b. “International costum point as evidence of a general practice accepted as law”;

c. “The General priniple of law recognized by civilized nations”;

d. “Subject to provisions of article 59,judicial decisions and the teaching of the most highly qualified publicist of the various nations as subsidary means for the determination of rules of law.”

Terjemahan

a. Konvensi Internasional, yaitu proses penetapan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum internasional yang berlaku umum;

b. Kebiasaan internasional, yakni bukti umum yang diterima sebagai hukum c. Prinsip- prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa- bangsa beradab d. Putusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum dari berbagai bangsa

sebagai sarana pelengkap untuk menetapkan ketentuan- ketentuan hukum. Secara garis besar, keempat sumber hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua yakni, sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Konvensi internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip- prinsip umum hukum


(37)

digolongkan kedalam sumber hukum primer. Ketiga sumber hukum yang mengikat secara umum. Di lain pihak, putusan pengadilan dan doktrin atau ajaran para ahli hukum digolongkan kedalam sumber hukum sekunder. Konsekuensinya, sumber hukum sekunder ini tidak mengikat secara umum. Putusan pengadilan hanya mengikat sebatas para pihak yang bersengketa, sedangkan doktrin hanya dapat menjadi ketentuan hukum melalui sumber hukum primer.35 Menurut Sugeng Istanto, keempat sumber hukum tersebut dibagi menjadi sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum formil hukum internasional meliputi konvensi internasional sedangkan sumber hukum materil meliputi prinsip- prinsip umum hukum dan ajaran para ahli hukum.36

2. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme

Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan atau menggali suatu hukum. Pendapat Alra, sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil, sedangkan sumber hukum formil adalah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.37

Demikian pula pendapat Sugeng Istanto yang menyatakan bahwa sumber hukum formil ialah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Tegasnya, sumber hukum formil adalah proses yang

35

Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Crimminal Law, Routledge, London dan New York, 2007, hal. 1.

36

Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya

Yogyakarta,1998, hal. 2.

37

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hal. 82- 83.


(38)

membuat suatu ketentuan hukum positif yakni proses perundang- undangan dan kebiasaan. Di lain pihak, sumber hukum materil ialah faktor yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku.38

Hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin miliki dua sumber hukum yaitu hukum yang berasal dari hukum pidana nasional dan hukum internasional. Kedua sumber tersebut telah membentuk kepribadian ganda ini tidak harus dipertantangkan, tetapi justru harus harus saling mengisi dan melengkapi didalam menghadapi masalah kejahatan Internasional termasuk didalamnya masalah terorisme.39

Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hukum nasional dan hukum internasional terdapat pada lingkup pembahasan hokum pidana internasional dengan objek studi tindak pidana yang bersifat transional internasional. Hukum pidana internasional akan memberikan landasan berpijak bagi analisis kritis di dalam membahas konsepsi dan karaktereristik dari suatu tidak pidana internasional. Lahirnya beberapa Konvensi internasional yang menetapkan tindak pidana tertentu sebagai tindak pidana internasional mengandung makna dimulainya perjuangan untuk menegakkan hak dan kewajiban negara peserta konvensi atas isi ketentuan yang dituangkan didalam konvensi internasional tersebut.

Salah satu kewajiban negara peserta (sekalipun masih diperkenankan adanya reservation) khususnya bagi Indonesia ialah memasukannya hasil konvensi dimaksud kedalam lingkungan nasional dalam arti antara lain

38

Sugeng Istanto, Op. Cit.

39

Mochtar kusumaatmajda,Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Binacipta,1989 hal.38


(39)

melaksanakan ratifikasi terlebih dahulu atas hasil konvensi, sebelum di tuangkan dalam bentuk suatu undang-undang ksususnya mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut.

Kejahatan internasional yang dimaksud diatas, salah satunya adalah terorisme. Dan sumber hukum internasional yang mengatur mengenai pemberantasan terorisme adalah konvensi Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan dalam Convention for the Prevention and Punishment of Terorism di Genewa 1937. International Convention for the Suppression of Terrorism Bombing 1998 dan International convention for the suppression of the financing of terorism, Tahun 1999 sebagai Transnational Crimes. Walaupun adanya usaha-usaha Amerika Serikat untuk memasukkan tindak pidana teroris dalam

International Crimes menjadi yurisdiksi Rome Statute of the International Criminal Court. Sama dengan Genocide, Crimes against Humanity, War Crimes

dan Agressive Crimes. Tetapi semua negara peserta tidak menyetujui. Dalam Konvensi Teroris 1937, telah mendapat kesepakatan masyarakat internsional untuk melindungi titik rawan yang mudah dijadikan sasaran keuangan, kerusakan yang menimbulkan penderitaan penduduk atau masyarakat seperti fasilitas hidroelektrik atau nuklir dan untuk pengawasan pelatihan/penggunaan senjata, amunisi dan bahan-bahan peledak yang dapat digunakan untuk aksi teror.

Konvensi 1997 dan knvensi 1998 tersebut memperkuat konvensi 1937 untuk mencegah dan meberantas tindakan peledakan bom oleh teroris. Dan konvensi 1999, secara khusus mencegah dan memberantas pendanaan atau keuangan untuk kegiatan teroris, termasuk negara- negara atau pihak- pihak yang


(40)

menerima atau menyembunyikan dana-dana dimaksud. Dalam konvensi tersebut menyebutkan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang mengakibatkan kematian atau luka parah atau cacat serius terhadap penduduk sipil atau terhadap orang lain. Tindak pidana tersenut termasuk juga untuk setiap orang yang memberikan bantuan atau mengorganisasikan tindak pidana tersebut. Dalam pembuktian unsur kesalahan dititikberatkan kepada dua unsur yaitu unsur kesengajaan (intentional) dilengkapi unsur mengetahui adanya kesengajaan dimaksud knowledge of the intent) dan kelanjutan dari suatu tindakan pelanggaran (in furtherance of the offence)40.

Dalam patriot Act, menetapkan jenis tindak pidana terorisme terdiri dari Pasal 801 serangan teroris dan tindak kekerasan/ pelanggaran hukum terhadap transportasi massa yaitu barang siapa dengan tahu dan mau:41

a. Merusak, menyebabkan keluar dari rel/ jalur membakar atau melumpuhkan kendaraan massa atau ferry

b. Menaruh atau menyebabkan ditaruhnya bahan/ unsur biologi atau racun yang dipergunakan sebagai senjata, zat/ bahan pemusnah atau alat pemusnah pada, atas atau dekat kendaraan transportasi massa atau ferry, tanpa mendapatkan izin sebelumnya dari pemilik atau pengelola transportasi massa, dan dengan maksud membahayakan keselamatan penumpang, atau pegawai pengelola transportasi massa, atau secara gegabah tidak mengindahkan keselamatan hidup manusia

40

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana jilid ke 2, CV. Utomo, 2004, hal. 97.

41


(41)

c. Membakar atau menaruh bahan/ unsur biologis atau toxin (racun) yang dipergunakan sebagai senjata, bahan pemusnah, atau alat pemusnah pada alas, dekat bengkel/ pool, terminal, bangunan sarana/ prasarana, penyediaan atau falisitas yang digunakan untuk pengoperasian, atau untuk mendukung pengoperasian kendaraan transportasi massa atau ferry, tanpa mendapatkan izin sebelumnya dari pengelola dan mengetahui atau mempunyai bukti mengenai kegiatan tersebut akan menyebabkan keluar dari jalur/ rel, melumpuhkan atau merusak kendaraan transportasi massa atau ferry, yang dipakai, dioperasikan atau digunakan oleh pengelola transportasi massa

d. Menghilangkan/ memindahkan perlengkapan dan merusak atau secara lain merusak pengoperasian sebuah sistem sinyal transportasi, sistem pengirim sinyal terpusat, atau sinyal tanda persilangan kereta api yang mana merupakan wewenang dari pengelola transportasi massa

e. Mengganggu, melumpuhkan atau menyebabkan tidak bekerjanya petugas pengiriman sinyal, pengendara, kapten atau siapa saja yang sedang bekerja dalam mengirim sinyal, mengoperasikan atau mengelola jalannya kendaraan transportasi massa atau ferry, dengan maksud untuk membahayakan keselamatan penumpang atau pegawai pengelola transportasi massa, secara gegabah tidak mengindahkan keselamatan manusia

f. Melakukan sebuah tindakan termasuk penggunaan senjata yang membahayakan dengan maksud menyebabkan kematian atau luka fisik


(42)

yang parah pada seseorang penumpang atau pegawai ketika salah satu dari orang- orang yang disebutkan terdahulu berada diatas harta tetap milik pengelola transportasi massa

g. Mengirim atau menyebabkan dikirimkannya informasi yang salah, dengan mengetahui bahwa informasi tersebut keliru, berkaitan dengan upaya, atau yang sebagai dalih yang sedang dibuat atau akan dibuat, atau melakukan tindakan yang merupakan kejahatan yang dilarang

h. Upaya ancaman atau konspirasi untuk melakukan tindakan- tindakan yang disebut terdahulu.42

Pasal 803 menyebutkan bahwa, larangan melindungi terorisme, barangsiapa yang melindungi atau menyembunyikan atau dengan bukti yang layak dipercaya, telah melakukan pelanggaran hukum berkaitan dengan pemusnahan/ perusakan pesawat terbang, dengan senjata biologis, dengan senjata kimia, dengan bahan- bahan nuklir, dengan pembakaran dan pengeboman harta tetap milik pemerintah yang beresiko atau menyebabkan luka fisik atau kematian, dengan penghancuran fasilitas sumber daya listrik, dengan pelanggaran hukum terhadap navigasi laut, dengan senjata pemusnah massal, dengan tindakan teror yang melewati batas negara, dengan data base bahan bakar atau fasilitas nuklir, dengan pembajakan/ perampokan pesawat udara, akan dikenakan denda dan atau dijatuhi hukum penjara tidak lebih dari 10 tahun atau keduanya.

Pasal 806 menyebutkan, aset organisasi teroris adalah semua aset yang berada di dalam ataupun luar negeri yang

42


(43)

a. Milik perorangan, lembaga ataupun organisasi yang terlibat dalam mencerahkan atau melakukan tindakan teror dalam negeri atau internasional terhadap Amerika Serikat, warga negara atau yang bermukin di Amerika Serikat atau harta tetap mereka dan seluruh aset baik didalam negeri ataupun diluar negeri, memungkinkan siapa saja menjadi sumber pengaruh terhadap lembaga atau organisasi tersebut

b. Diperoleh atau dikelola oleh siapa aja dengan maksud dan tujuan mendukung, merencanakan, melaksanaka, atau menyembunyikan tindakan terorisme internasional atau terorisme dalam negeri terhadap Amerika Serikat, warga negara Amerika Serikat atau orang yang bermukim di Amerika Serikat atau harta tetap mereka

c. Berasal dan terlibat dalam atau digunakan atau ditujukan untuk digunakan melakukan tindakan teror internasional atau teror dalam negeri terhadap Amerika Serikat, warga negara Amerika Serikat atau orang yang bermukim di Amerika Serikat atau terhadap harta tetap mereka.

Pasal 808 definisi tindak pidana terorisme federal menambah elemen pada definisi tindak pidana terorisme domestik/dalam negeri, yaitu berkaitan :

a. Dengan pemusnahan/perusakan pesawat terbang atau fasilitas pesawat terbang.

b. Dengan pelanggaran hukum/kekerasan di bandara Internasional

c. Dengan pembakaran gedung/fasilitas dalam wilayah kewenangan/yurisdiksi maritim atau teritorial khusus.


(44)

e. Dengan penculikan dan pembunuhan anggota kongres, kabinet dan Mahkamah Agung.

f. Dengan bahan-bahan nuklir, bahan peledak/bom plastik.

g. Dengan pembakaran atau pengeboman harta tetap pemerintah yang berisiko atau mengakibatkan kehilangan nyawa seseorang.

h. Dengan pembakaran harta tetap (bangunan/fasilitas) yang digunakan dalam perdagangan antara negara bagian.

i. Dengan pembunuhan atau upaya pembunuhan selama terjadinya serangan atas fasilitas federal dengan senjata yang membahayakan

j. Dengan konspirasi untuk membunuh, menculik, menganiaya siapa saja (warga AS) diluar negeri hingga cacat.

k. Dengan pejabat negara asing, tamu resmi, atau orang yang dilindungi oleh hukum Internasional

l. Dengan sistem, stasiun transmisi, atau jalur komunikasi.

m. Dengan merusak bangunan atau harta tetap dalam wilayah kewenangan /yurisdiksi maritim atau teritorial khusus Amerika Serikat.

n. Dengan serangan teroris dan tindakan kekerasan atau pelanggaran hukum lainnya terhadap sistem transportasi massa.

o. Dengan perusakan utilitas (pusat sarana-sarana), bangunan beserta tanahnya, atau alat-alat pertanahan nasional.

p. Dengan anjungan/bangunan tetap lepas pantai, perusakan terhadap navigasi laut.


(45)

Perjanjian internasional itu ada dua macam bentuknya, ada yang berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua negara dan multirateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua negara.43 Dan konvensi merupakan salah satu sumber hukum internasional baik publik maupun privat. Adapun sumber hukum lainnya antara lain, traktat( treaty), pakta (pact), piagam (statue), charter,

deklarasi, protocol, arrangement, accord, modus Vivendi, convenant, dan sebagainya.44

Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian- perjanjian internasional multirateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Konvensi, conventie, convention, termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multirateral, baik yang diprakarsai oleh negara- negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional.45

B. Proses Perwujudan Pengaturan Hukum Internasional menjadi Hukum Positif Indonesia

Proses legislasi di setiap negara memiliki perbedaan satu sama lain, akan tetapi satu hal yang sama yaitu bahwa proses legislasi adalah suatu proses politik. Jika proses legislasi itu adalah merupakan proses politik maka tidaklah dapat dipungkiri bahwa proses legislasi tersebut tidaklah steril dari berbagai

43

Boer Manua, Hukum Internasional ; Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2008, hal. 8

44

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoe, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hal. 119

45


(46)

kepentingan politik. Hal ini dapat terjadi dalam proses legislasi yang menyangkut konflik kepentingan seperti hukum yang mengatur konglomerasi dan hukum yang mengatur dunia perbankan. Namun, terhadap hukum yang mengatur masalah kedaulatan negara dan kedaulatan hukum suatu negara sikap yang sama dari setiap aktor dalam proses legislasi di setiap negara hampir sama yaitu satu sikap politik yang tegas tegas mempertahankan kedaulatan yang dimaksud dan seoptimal mungkin mencegah adanya intevensi dari luar.

Proses legislasi di Indonesia memiliki standar tertentu dan terukut sebagai landasan berproses, yaitu :

1. Ideologi Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR, dan peraturan perundang- undangan lainnya (TAP MPR RI Nomor III/MPR/ 2000).

2. Kebijakan politik pemerintah yang sedang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan akan perkembangan dalam bidang baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang kehidupan beragama.

3. Koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi hukum

4. Uji kelayakan melalui konsultasi publik atau melalui proses sosialisasi 5. Perspektif substansi menuju kepada ius constituendum.

Diharapkan melalui kelima sub-proses legislasi tersebut dapat dipenuhi empat syarat sebagau peraturan perundang- undangan yang baik yaitu, mengandung landasan filosofis berbangsa dan bernegara RI, memiliki karakteristik dan kultur masyarakat yang merupakan landasan sosiologis bangsa Indonesia, dan memiliki landasan yuridis yang kuat, dalam arti selain memenuhi


(47)

teknik perundang-undangan yang baku juga memenuhi asas- asas hukum universal, dan landasan efisiensi dan efektivitas operasionalisasi sehingga dicegah peraturan perundang- undangan yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan cermat.46

Keterikatan pemerintah Indonesia ke dalam setiap ketentuan konvensi internasional yang bertujuan memelihara keamanan dan perdamaian dunia termasuk konvensi mengenai terorisme, merupakan refleksi dari salah satu pernyataan para pendiri RI yang tersurat di dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Namun demikian kebijakan dan rencana aksi untuk mewujudkan hal tersebut harus juga dalam kerangka kesejahteraan sosial bangsa Indonesia.

Konteks inilah maka kebijakan dan rencana aksi pemerintah untuk memerangi kegiatan terorisme harus melalui proses legislasi dengan tolok ukur seberapa jauh kebijakan dan rencana aksi tersebut memberikan kemaslahatan terbesar bagi seluruh komponen bangsa ini.

46

Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional bagian II. Hecca Press. Jakarta. 2004. hal.77


(48)

BAB III

PENGATURAN MENGENAI TERORISME di INDONESIA

A. Konvensi Anti Teroris dan Konvensi Supression Pendanaan Terorisme (Convention Against Terrorist Bombing dan Convention on the Supression of Financing Terrorism)

On 23 September 1998, at the UN General Assembly (UNGA), France proposed a convention for the suppression of terrorist financing in order to further fill in the gaps in the international law against terrorism. On 8 December 1998, the UNGA, in Resolution 53/108, empowered the Ad Hoc Committee to elaborate a draft International Convention for the Suppression of Terrorist Financing to supplement related xisting international instruments. The Convention was adopted by the UNGA in Resolution 54/109 of 9 December 1999 Obligations: The Convention prohibits any person (s) from directly or indirectly, unlawfully, and willfully providing or collecting funds with the intention that they should be used,or in the knowledge that they are to be used, to carry out an act that constitutes an offense under one of the nine treaties listed in the an-nex.47

Terjemahan

Pada tanggal 23 September 1998 di Majelis Umum PBB (UNGA), Prancis mengusulkan konvensi untuk penindasan pendanaan teroris untuk lebih mengisi kesenjangan dalam hukum internasional melawan terorisme. Pada tanggal 8 Desember 1998, UNGA , dalam Resolusi 53/108 , diberdayakan Komite Ad Hoc untuk menguraikan rancangan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Teroris dari untuk melengkapi instrumen internasional xisting terkait. Konvensi diadopsi oleh UNGA dalam Resolusi 54/109 dari 9 Desember 1999 Kewajiban : Konvensi melarang setiap orang langsung atau tidak langsung, tidak sengaja, dan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan maksud bahwa mereka harus digunakan, atau di pengetahuan bahwa mereka akan digunakan, untuk

47

https://www.unodc.org/documents/terrorism/Publications/Int_Instruments_Prevention_a nd_Suppression_Int_Terrorism/Publication_-_English_-_08-25503_text.pdf (diakses tanggal 1 November 2015)


(49)

melaksanakan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran di bawah salah satu dari sembilan perjanjian yang tercantum dalam an- nex.

It shall not be necessary that the funds were actually used to carry out an offense. It also prohibits any act intended to cause death or serious bodily in Adopted: 9 December 1999 .Opened for Signature: 10 January 2000. Entered into Force: 10 April 2002.Number of Parties: 173 Signatories that have not ratified: 4 Depositary: UN Secretary-General. Treaty TextBackground: On 23 September1998, at the UN General Assembly (UNGA), France proposed a convention for the suppression of terrorist financing in order to further fill in the gaps in the international law against terrorism. On 8 December 1998, the UNGA, in Resolution 53/108, empowered the Ad Hoc Committee to elabo-rate a draft International Convention for the Suppres-sion of Terrorist Financing to supplement related existing international instruments. The Convention was adopted by the UNGA in Resolution 54/109of 9 December 1999.

Terjemahan

Ini tidak akan perlu bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk melaksanakan suatu pelanggaran . Hal ini juga melarang setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kematian atau luka serius di Diadopsi : 9 Desember 1999 .Opened untuk Signature : 10 Januari 2000. Dimasukkan ke Angkatan : 10 April 2002.Number dari Partai : 173 Penandatangan yang belum meratifikasi : 4 Depositary : Sekjen PBB. Perjanjian pada tanggal 23 September 1998, di Majelis Umum PBB (UNGA), Perancis mengusulkan konvensi untuk penindasan pendanaan teroris untuk lebih mengisi kesenjangan dalam hukum internasional terhadap terrorism. Pada tanggal 8 Desember 1998, yang UNGA, dalam Resolusi 53/108, diberdayakan Komite Ad Hoc untuk elabo - tingkat draft konvensi Internasional untuk Suppression Pembiayaan Teroris untuk melengkapi instrumen internasional terkait yang ada. Konvensi diadopsi oleh UNGA di Resolusi 54 / 109of 9 Desember 1999 .


(50)

Obligations:The Convention prohibits any person (s) from directly or indirectly, unlawfully, and willfully providing or collecting funds with the intention that they should be used, or in the knowledge that they are to be used, to carry out an act that constitutes an offense under one of the nine treaties listed in the an-nex 1It shall not be necessary that the funds were actually used to carry out an offense.It also prohibitsany act intended to cause death or serious bodily in-1 (1) These treaties are the 1970 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft; (2) The 1971 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation; (3) The 1973 Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons; (4) The 1979 International Convention against the Taking of Hostages; (5) The 1980 Convention on the Physical Protection of Nuclear Material; (6) The 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation; (7) The 1988 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation; (8) The 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed Plat-forms located on the Continental Shelf; and (9) The 1997 International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings. jury to a civilian, or to any other person not actively involvedin a situation of armed conflict, when the purpose of such act is to intimidate a population, or to compel a government or an international organization to either do ,or to abstain from doing a specificact. Persons are prohibited from attempting, participating in, organizing, contributing to, having knowledge of, or directing others to commit such offenses.48

Terjemahan

Kewajiban: Konvensi melarang setiap orang (s) dari langsung atau tidak langsung, tidak sah, dan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan maksud bahwa mereka harus digunakan, atau dalam pengetahuan bahwa mereka akan digunakan, untuk melaksanakan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran di bawah salah satu dari sembilan perjanjian yang tercantum dalam an-nex tidak bertanggung perlu bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk melaksanakan opensit. juga tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kematian atau luka serius dalam-1 (1) perjanjian ini adalah 1.970 Konvensi untuk

48

https://www.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v2_rul_rule157, Practice Relating to Rule 157. Jurisdiction over War Crimes (diakses tanggal 1 November 2015).


(51)

Tindakan Melawan Hukum dari Pesawat; (2) Konvensi 1971 untuk Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil; (3) The 1973 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap internasional Dilindungi Orang; (4) 1979 Konvensi Internasional terhadap Penyanderaan; (5) 1980 Konvensi Perlindungan Fisik Bahan Nuklir; (6) 1988 Protokol Pemberantasan Tindakan Melanggar Hukum Kekerasan di Bandara Melayani Penerbangan Sipil Internasional; (7) The 1988 Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Maritim Navigasi; (8) 1988 Protokol Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Tetap Plat-bentuk yang terletak di Landas Kontinen; dan (9) 1997 Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Teroris. juri untuk sipil, atau untuk orang lain yang tidak aktif involvedin situasi konflik bersenjata, ketika tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk mengintimidasi penduduk, atau untuk memaksa pemerintah atau organisasi internasional baik melakukan, atau untuk menjauhkan diri dari melakukan specific act. Orang dilarang mencoba, berpartisipasi dalam, mengorganisir, memberikan kontribusi untuk, memiliki pengetahuan, atau mengarahkan orang lain untuk melakukan tindak pidana tersebut.

Under no circumstances are the above offenses justifiable by considerations of a political, philosophical, ideological, racial, ethnic, religious, or other similar nature. Compliance and Enforcement:The Convention obligates each State Party to establish the aforemen-tioned offenses as criminal offenses under itsdomes-tic law, thus making them punishable by appropriate penalties, including prosecution or extradition.Each State Party shall take necessary measures to establish its jurisdiction over the offenses if such offenses are committed in the territory of that State, on board a vessel flying the flag of that State, an aircraft regis-tered under the laws of that State or operated by the government of that State, by a national of that State, in the territory of or against a national of that State, against a government facility of that State abroad, in an attempt to compel that State to do or abstain from doing an act, by a stateless


(52)

person who has his or her habitual residence in the territory of hat state, or if an offender is within its territory and there are no other Parties whom have claimed jurisdiction The Parties commit to prohibiting illegal activities of persons and organizations that knowingly encourage, instigate, organize, or engage in the commission of such offences in their territories.

Terjemahan

Situasi ini adalah pelanggaran atas dibenarkan oleh pertimbangan yang sifatnya serupa politik, filsafat, ideologi, ras, etnis, agama, atau lainnya. Kepatuhan dan Penegakan: Konvensi mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menetapkan pelanggaran yang mana disebutkan sebagai tindak pidana menurut hukum Negara tersebut, sehingga membuat mereka dihukum dengan hukuman yang sesuai, termasuk penuntutan. Negara Pihak wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk membangun yurisdiksinya selama pelanggaran jika pelanggaran tersebut dilakukan di wilayah Negara tersebut, di atas kapal yang mengibarkan bendera Negara itu, sebuah pesawat yang terdaftar berdasarkan hukum Negara tersebut atau dioperasikan oleh pemerintah Negara tersebut, oleh nasional Negara itu, di wilayah atau terhadap nasional Negara itu, terhadap fasilitas pemerintah Negara tersebut di luar negeri, dalam upaya untuk memaksa Negara untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, oleh orang tanpa kewarganegaraan yang memiliki nya kebiasaan tinggal di wilayah negara topi, atau jika pelaku berada dalam wilayahnya dan tidak ada Pihak lain yang mengklaim yurisdiksi Para Pihak berkomitmen untuk melarang kegiatan ilegal orang dan organisasi yang secara sadar mendorong, menghasut, mengorganisir, atau terlibat dalam komisi pelanggaran tersebut di wilayah mereka.


(53)

The Parties also commit to requiring financial institutions and other professions involved in financial transactions to maintain, for at least five years, all necessary records on transactions, both domestic and international, uti-lizing the most efficient measures available for the identification and verification of customers’ legaexistence; reporting suspector unusually largetrans-actions;prohibiting the opening of accounts of which the holders or beneficiaries are unidentifiable; detect-ingand freezing, or seizingany funds used or all ocated for the purpose of committing such offenses, as well as proceeds and/or forfeitures derived from such offenses.

Terjemahan

Pihak juga berkomitmen untuk memerlukan lembaga keuangan dan profesi lainnya yang terlibat dalam transaksi keuangan untuk mempertahankan , setidaknya selama lima tahun , semua catatan yang diperlukan pada transaksi , baik domestik maupun internasional , menggunakan langkah yang paling efisien yang tersedia untuk identifikasi dan verifikasi nasabah ' tindakan hukum ; pelaporan kecurigaan transaksi besar diluar kebiasaan ; melarang pembukaan rekening yang pemegang atau penerima manfaat yang diidentifikasikan ; mendeteksi dan membekukan , atau curiga terhadap dana yang digunakan atau dialokasikan untuk tujuan melakukan pelanggaran tersebut, serta hasil dan / atau kegagalan yang berasal dari tindak pidana tersebut .

States agree to give consideration to concluding agreements on the sharing funds with other State Parties, as well as compensating the victims of offenses with funds derived from the forfeitures, and by maintaining and facilitating communication between the appropriate agencies. Parties also agree to supervise the licensing of all money-transmission agencies and monitor the physical cross-border trans-portation of cashand bearer negotiable instruments. States agree to take their measures as may be neces-sary under its domestic law to investigate the facts regarding an offense, and must ensure that the persons who committed the of fense are taken into cus-tody to be prosecuted or extradited. In either case, the State shall notify the Secretary-General of the United Nations of its intent.


(1)

79

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh bab hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan mengenai terorisme dari segi hukum pidana internasional, yaitu Pasal 38 ayat (1) statute pengadilan internasional tentang sikap tindakan bagaimana yang dibenarkan bila negara menetapkan tata cara penyelesaian melalui penggunaan senjata, ketentuan tentang penggunaan kekerasan bersenjata tercantum dalam konvensi Geneva dan Den Haag, yaitu dalam suatu memusnahkan anggota dan instalasi militer lawan merupakan keharusan yang harus diambil dan dibenarkan secara hukum internasional, sedangkan menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran kekerasan bersenjata jelas-jelas dilarang. Konvensi dalam bidang terorisme, pembajakan, kejahatan penyeludupan yaitu resolusi No. 6 tahun 1984 mengenai hukum pidana internasional, isinya antara lain mendukung kelangsungan peradilan internasional dalam kaitannya dengan berbagai pelanggaran serta persoalan mengenai penanggulangan penerapan hukumnya, kewajiban negara untuk menahan dan menangkap para pembajak didasarkan pada Pasal 13 Konvensi Tokyo 1963 juncto Konvensi Den Haag 1970.

2. Pengaturan mengenai Terorisme dari Hukum Nasional Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang


(2)

80

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, Menjadi Undang-Undang. Dan dalam pembahasan mengenai proses peradilan yang di terapkan kepada para pelaku tindak pidana bom Bali, mulai dari penyidikan sampai kepada putusan, dapat disimpulkan bahwasanya peraturan yang dikenakan kepada para pelaku, yaitu amrozi cs, sudah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap. Sekalipun peraturan tersebut lahir setelah tindak pidana yang mereka lakukan. Dalam hal ini, asas Non Retro Active telah dikesampingkan demi kemaslahatan dan jaminan hukum serta jaminan kemanan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya, dan bagi masyarakat internasional umumnya.

B. Saran

Dari kesimpulan tersebut di atas dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Kerjasama Internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, yang dilakukan pemerintah dengan negara lain baik di bidang intelijen, kerjasama teknis maupun aparat kepolisian yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, hendaknya dijelaskan dan diatur dengan terbuka sehingga masyarakat dapat mengetahui dan tidak menimbulkan rasa curiga adanya campur tangan pihak asing terhadap aparat hukum Negara Indonesia.

2. Pemerintah RI seyogyanya memang meratifikasi konvensi internasional dan mengingat kejadian terror didalam wilayah Indonesia yang tidak bisa ditutupi


(3)

81

eksistensi dari organisasi internasional. Kejadian yang paling memukul bangsa

Indonesia dan dunia internasional adalah bom bunuh diri dibali yang menewaskan warga Indonesia, Amerika Serikat dan Australia oleh anggota


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta.2003.

_________________, Pegantar Hukum Pidana Internasional bagian II, PT.Hecca Mitra Utama, Jakarta, 2004.

Bassiouni, M. Cherif, Introduction to International Criminal Law, Inc. Ardsley, New York. 2003.

Hamzah, Andi Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. 2010.

Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Alumni,

Bandung 2004.

Nainggolan, Poltak Pantegi, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Sekjen DPR-RI, Jakarta, 2002.

Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internsional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004.

O.S, Eddy, Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta. 2009.

O.S, Eddy, Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta.2010.

Wahid, Abdul, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Salam, Faisal, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2005. S., Endriyono, Terorisme Ancaman Sepanjang Masa, Media Agung Persada,

Semarang, 2005.

Faisal, Moch. Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2005.

Ilias Bantekas dan Susan Nash, 2007, International Crimminal Law, Routledge, London dan New York.

Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta.


(5)

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Mochtar kusumaatmajda,1989, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Binacipta.

Romli Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana jilid ke 2, CV. Utomo. R. Abdussalam, 2006, Hukum Pidana Internasional, Restu Agung, Jakarta. Boer Manua, Hukum Internasional ; Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2008

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoe, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003.

Wayan Partiana, Hukum Perjanjian Internasional, Djambatan, Jakarta, 2002 Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional bagian II. Hecca

Press. Jakarta. 2004.

These treaties are the 1970 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft; (2) The 1971 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation; (3) The 1973 Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons; (4) The 1979 International Convention against the Taking of Hostages; (5) The 1980

Convention on the Physical Protection of Nuclear Material; (6) The 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving

International Civil Aviation; (7) The 1988 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation; (8) The 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed Plat-forms located on the Continental Shelf; and (9) The 1997 Interna-tional Con vention for the Suppression of Terrorist Bombings

B. Peraturan Perundang-Undangan

Keterangan pemerintah tentang diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia

C. Internet


(6)

http://www.semipedia.com/2012/08/istilah-istilah-perjanjian-internasional.html diakses tanggal 13 Desember 2014.

http://bayudwiprasetiya.blogspot.com/2013/06/konvensi-internasional.html diakses tanggal 13 Desember 2014

The Convention does not apply to offenses that are committed within a single State, the alleged offender is a national of that State, when the alleged offender is present in the territory of that State and no other State has basis under certain provisions of the Convention to exercise jurisdiction

http://www.kompasiana.com/abanggeutanyo/pendanaan-terorisme-dalam-perspektif-hukum-pidana-internasional_55001562a33311d37250fb2a (diakses tanggal 1 Juni 2015)

Ditpolkom.Bappenas.go.id/basedir/politikLuar Negeri/1(Indonesia dan Isu global/3)Terorisme/isuTerorisme.pdf (diakses tanggal 1 Juni 2015) Kejahatan terorisme perspektif agama, ham dan hukum, Bandung, Refika

aditama, 2004

Bari Muchtar, “Undang-Undang AntiTerorisme Sangat Mengkhawatirkan”. http://www.rnw.nl, diakses pada tanggal 1 Juni 2015

http://www.detiknews.com, “TPM: Pengakuan Amrozi Disiksa oleh O knum Polisi”, diakses pada tanggal 1 Juni 2015.

http://www.kompas.com., “Pemerintah Sahkan PERPPU Anti Teroris”, diakses pada tanggal 11 Juni 2015

http://karodalnet.blogspot.com, ”Kronologi Amrozi Cs Menuju Tembak Mati ”, diakses pada tanggal 1 Juni 2015