PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA DALAM

yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Dan ketentuan-ketentuan lain yang menyangkut tindakan preventif dan represif. 28 Namun pada waktu berikutnya undang-undang No 9 tahun 1976 tentang Narkotika itu dipandang tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Salah satu alasannya adalh karena UU tersebut tidak mengatur secara rinci pembagian jenisjenis pengelompokan narkoba seperti apa jenis narkotika dan jenis psikotropika. Kemudian pada tahun 1997, diberlakukan UU baru mengenai dua hal tersebut dengan harapan agar dapat menekan jumlah pengguna maupun pengedar narkoba. Dimana istilah Narkotika dan Psikotropika dalam UU No. 9 tahun 1976 merupakan satu kesatuan, dan pada UU yang baru ini dibedakan dan masing-masing terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda yaitu UU No. 5 tahun 1997 tentang Narkotika LN tahun 1997 No. 10 dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Psikotropika LN tahun 1997 No. 67. Lahirnya kedua UU tersebut didahului dengan keluarnya UU No. 8 tahun 1996 tentang pengesahan Konvensi Psikotropika dan UU No. 7 tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Berikut perjalanan Undang-Undang Narkoba di Indonesia sampai pada tahap Undang- Undang 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika: 28 Lihat Kompilasi Peraturan Perundang-undangan tentang Narkoba. Kencana, Jakarta, h, 67-69 a. UU Obat Bius b. UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang mengubahnya c. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika d. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan e. UU No. 8 Tahun 1996 tentang pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 f. UU No. 7 Tahun 1997 tentang pengesahan UN Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic g. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika h. UU. No 22 tahun 1997 tentang Narkotika B. Aturan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku tindak pidana dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuaan pidananya serta mempertanggungjawabkan perbuatannya didasari oleh perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbutan pidana, dan, perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan. 29 Dalam arti lain, pertanggungjawaban perbuatan pidana dalam hukum pidana adalah seorang pelaku tindak pidana tidak dipidana jika tidak ada kesalahan geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea . Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak 29 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika,2010, hal, 97 tertulis yang juga di Indonesia berlaku. 30 Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit feit materielle . Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H. R. 1961 Nederland, hal itu ditiadakan. Menurut Prof. Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu : 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab. 2. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. 3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan alasan pemaaf. Dalam kitab Undang-undang hukum pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab tetapi yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab. sebagaimana termaktub pada pasal 44 KUHP Indonesia, yang masih memakai rumusan pasal 37 jilid 1 W.v.S Nederland Tahun 1886 yang berbunyi terjemahannya: 31 Tidak dapat dipidana ialah barangsiapa yang mewujudkan suatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna atau gangguan sakit kemampuan akalnya. Terjemahan di atas jika disusun dalam kalimat bahasa Indonesia yang baik seperti di bawah ini: 30 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 153 31 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 260 Tidak boleh dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat tipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan oleh kekurangan sempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal. Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 ayat 1 KUHP justru merumuskan tentang mengenai keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan secara negatif dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara kapan orang bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti pidana kepada penindaknya. Akan tetapi, ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya. 32 32 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 146. Hal itu dapat mengacu kepada Pasal 44 sampai pasal 50 KUHP tentang orang yang dapat mempertanggungjawabkan dan orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan pidannya. 33 Selanjutnya Moeljatno mengatakan bahwa timbulnya kemampuan bertanggung jawab adalah disebabkan oleh : 1 Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. 2 Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Dan untuk menjelaskan hal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut : a. Dengan berdasarkan dan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 1 KUHP. Dari pasal 44 1 KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 1 menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya berwujud tindak pidana, apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dinyatakan pasal 44 1, artinya bila jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab. 33 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika,2010, hal, 98-99. b. Dengan tidak menghubungkannya dengan norma pasal 44 1, dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggung jawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 1 Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa normal sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia akan lakukan. 2 Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya. 3 Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata asusila. C. Prinsip Hukum Pidana Keberadaan hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil. Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa hukum pidana materiil berisikan tentang peraturan- peraturan. Diantaranya, pertama, perbuatan yang diancam dengan hukuman seperti dengan sengaja merampas nyawa orang , kedua, siapa-siapa yang dapat dihukum pertanggunganjawab terhadap hukum pidana, dan ketiga, hukuman apa yang dijatuhkan terhadap pelaku atas perbuatan yang melanggar undang-undang paneteintiair. 34 Mengingat hukum pidana adalah berisikan peraturan perundang-undangan yang acapkali memberikan sanksi kepada pelanggar hukum, maka perlu dirancang dan kemudian ditegakkan dalam sebuah kebijakan pemerintah, utamanya kebijakan dalam kebijakan politik hukum, khususnya politik hukum pidana. Meskipun penegakan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya cara yang menjadi tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan perkara pidana secara tuntas termasuk pembajakan software. Walaupun penegakan hukum pidana bukan menjadi tumpuan utama dan harapan, namun keberhasilannya sangat diharapkan semua kalangan, terutama bagi pihak- pihak yang sedang berperkara dan merasa dirugikan. Sementara Andi Hamzah mengatakan, bahwa politik hukum adalah dalam pengertian formal, politik hukum hanya mencakup satu tahap saja, yaitu menuangkan kebikan pemerintah dalam bentuk produk hukum atau disebut legislative drafting, sedangkan dalam pengertian materiil, politik hukum mencakup legislative drafting, legal excuting, dan legal review. 35 Secara rinci Muladi mengatakan, bahwa upaya negara membangun dan mendorong kebijakan Kesejahteraan Masyarakat Social Welfare Policy, 34 . Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, sinar Grafika, 2008, hal, 6 35 . Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1994, hal, 24. Kebijakan Sosial Social Policy, Kebijakan Perlindungan Masyarakat Social Depence Policy adalah penting dalam menunjang keberhasilan politik hukum pidana politik kriminal. Keterpaduan faktor-faktor tersebut dengan politik kriminal harus berjalan saling menggamit untuk menuju tujuan yang dicita- citakan yaitu Kesejahteraan Masyarakat. 36 Artinya, politik hukum pidana public policy adalah suatu bentuk kebijakan yang diambil oleh negara untuk melakukan kriminalisasi terhadap suatu tindakan yang dianggap merugikan, serta strategi untuk menanggulanginya. Dengan merujuk pada tiga peran utama dari kebijakan: pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan advokasi kebijakan. maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan sebagai pembuatan, pelaksanaan dan advokasi kebijakan yang diambil oleh negara dalam rangka mengatasi masalah kejahatan. Pranata utama yang menghasilkan kebijakan kriminal meliputi lembaga legislatif, sistem peradilan pidana, dan lembaga-lembaga pembuat kebijakan yaitu berbagai lembaga birokrasi yang diberi kewenangan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pengendalian kejahatan dengan berbagai bentuk. D. Pertanggungjawaban Hukum Pidana Suatu Keniscayaan Prinsip hukum pidana bahwa “tiada pidana tanpa kesalahan”. Dalam KUHPidana Pasal 37 disebutkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik 36 Muladi, Kapita Selekta Sisitem Peradilan Pidana, Semarang, Undip, 1995, hal, 7 di Indonesia. Artinya, bahwa seseorang yang berada dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia NKRI dapat dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang dibuatnya meskipun bentuk kemampuan pertanggung jawaban tidak diatur secara rinci termasuk dalam kategori ini pertanggungjawaban pecandu narkotika. 37 Bentuk kemampuan pertanggungjawaban itupun akan sulit diukur. Sebagaimana bunyi pasal 36 KUHPidana, pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. 38 Oleh karena itu dalam Kitab Undang-Undang hukum pidana di manapun pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab. 39 Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 ayat 1 KUHP justru merumuskan tentang mengenai keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan secara negatif dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara kapan orang bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, 37 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal, 1. Bentuk kesalahan profesi dokter sering dialamatkan dalam istilah malpraktek criminal malpractice. Liat Y. A. Triana Ohoiwitun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran Tinjauan dari Berbagai Peraturan Perundangan dan UU Praktik Kedokteran, Malang. Bayumedia, 227, hal, 59 38 Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 39 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 260. yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti pidana kepada penindaknya. Akan tetapi, ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya. 40 E. Lingkup Pertanggungjawaban Pidana Pecandu Narkotika Menurut UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam regulasi mengenai narkotika pemerintah menerbitkan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur mengenai pidana minimum dan maksimum. Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 membuat ketentuan pidana yang ketentuan pidananya juga langsung diikuti dengan kewajiban untuk memperhatikan ketentuan pasal mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang dimuat di dalam ketentuan ayat 2. Dalam 40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 146. Undang-Undang narkotika tadi, memberikan peluang yang lebih besar bagi pecandu narkotika untuk divonis menjalani rehabilitasi. Peluang keringanan sanksi atas pecandu narkotika berdasarkan atas dasar hak-hak korban yang juga dilindungi dan diatur oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai hak asasi manusia, salah satunya adalah hak seseorang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, karena seorang pecandu narkotika juga merupakan warga negara indonesia yang harus dilindungi hak-haknya, Undang-Undang juga telah mengatur bahwa seorang pecandu narkotika juga berhak atas pelayanan kesehatan bagi dirinya karena pecandu narkotika dapat digolongkan sebagai orang yang sedang sakit, karena pengaruh dari narkotika tersebut berdampak langsung bagi kesehatan fisik, mental dan psikis dari si pecandu, maka perlu adanya jaminan atas hak-hak dari seorang pecandu narkotika. Tindakan dan penanganan yang seharusnya diberikan kepada pecandu narkotika juga telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai narkotika kedalam panti terapi dan rehabilitasi. Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju didalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Namun, ada hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya Rehabilitasi, secara tersirat kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri. Uraian dalam pasalnya menitikberatkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika, sayangnya rumusan tersebut tidak efektif dalam kenyataannya. Peradilan terhadap pecandu narkotika sebagian besar berakhir dengan vonis sanks pinjara dan bukan vonis rehabilitasi sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang tersebut. 41 Memang, dalam bunyi Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak secara eksplisit menyebutkan tentang dekriminalisasi penyalahguna Narkotika, namun nuansa dekriminalisasi penyalahguna Narkotika sangat kental dalam konstruksi kebijakan hukum dan politik hukum negara sebagaimana termaktub dalam sejumlah pasal Undang Undang Nomor 41 http:www. ikonbali. org09032010dokumentasisema-dan-legitimasi- dekriminalisasi-pecandu. html. . 35 Tahun 2009. Misalnya pasal 4 khususnya huruf b dan d, yakni: b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Selain itu, nuansa dekriminalisasi penyalahguna narkotika juga sangat kental dan relevan dengan sejumlah pasal batang tubuh UU Narkotika yang berlaku secara positif. Misalnya, pasal 127 menyebutkan bahwa penyalahguna narkotika diancam dengan hukuman pidana 4 empat tahun. Untuk mengetahui peranan tersangka sebagai penyalahguna atau pengedar dan untuk mengetahui kadar ketergantungan narkotikanya, maka harus dilakukan asessment. Apabila peranannya sebagai pengguna narkotika dan dalam keadaan ketergantungan dalam hal ini disebut pecandu narkotika, maka tersangka dalam mempertanggung jawabkan proses pidana tidak memenuhi syarat dilakukan penahanan sebagaimana pasal 21 KUHAP. Hakim pun dalam memutuskan perkara pecandu narkotika wajib memperhatikan pasal 54, 55, dan 103 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009. Apabila tersangka terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah, hakim “harus” menjatuhkan hukuman rehabilitasi dimana masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman Pasal 103 ayat 2. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 UU 352009 bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 42 Selain 42 Anang Iskandar, 2015, Jalan Lurus Penanganan Penyalahguna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif , Karawang, Viva Tanpas, hal, 31-37 itu, dalam pasal 55 UU 352009 disebutkan bahwa orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan untuk mendapatkan rehabilitasi, sedangkan pecandu narkotika sudah cukup umur wajib melaporkan dirinya untuk mendapatkan rehabilitasi. Pecandu narkotika yang sudah mengikuti wajib lapor tidak dituntut pidana Pasal 128. Dalam diskursus hukum, pecndu narkotika merupakan pelaku kejahatan yang sekaligus menjadi korban kejahatan narkotika yang bersifat adiktif yang membutuhkan perlakuan khusus, yakni rehabilitasi. Perlakuan khusus ini untuk mengembalikan mereka agar pulih menjadi warga negara yang mampu berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstruksi hukum Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menganut double track system pemidanaan dimana penyalahguna narkotika dapat dihukum rehabilitasi sebagai alternatif hukuman penjara seperti ini, membutuhkan integritas dan profesionalitas penegak hukum khususnya penyidik narkotika sebagai penentu langkah awal jalan penanganan Penyalahguna Narkotika sebagaimana politik hukum Negara. Salah satu tujuan dan fungsi konsepsi dekriminalisasi penyalahguna narkotika yang berupaya lebih mendekatkan penyalahguna narkotika terhadap akses rehabilitasi diharapkan dapat memulihkan mereka yang telah terlanjur menjadi penyalahguna narkotika, sehingga mereka tidak akan terbebani dengan kerugian sosial maupun ekonomi serta masa depan mereka dapat terselamatkan menjadi lebih baik. Hal tersebut juga akan berdampak pada menurunnya permintaan atau kebutuhan narkotika sehingga bisnis narkotika cenderung menjadi bisnis yang tidak menarik dan tidak laku. Dampak sesungguhnya yang diinginkan dari pelaksanaan dekriminalisasi penyalahguna narkotika adalah munculnya keinginan masyarakat yang sudah terlanjur mengkonsumsi narkotika untuk menyembuhkan diri secara sukarema atau mandiri dan memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 untuk melaporkan diri secara sukarela ke Institusi Penerima Wajib Lapor IPWL supaya mendapatkan perawatan dan tidak dituntut pidana Pasal 128. Ekspektasi ini sesungguhnya sejalan dengan roh Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang hendak enyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. F. Pertanggungjawaban Pidana Pecandu Narkotika Menurut Hukum Islam Narkotika dengan segala jenis dan turunannya, sering diserupakan dengan khamar atau sesuatu yang memabukkan. Dalam padangan ajaran Islam, mengkonsumsi narkoba itu sama dengan meminum khamar memabukkan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan Adalah haram . HR. Muslim. Dalam al- Qur‟an khamar minuman atau makanan memabukkan, berjudi, berhala, dan undian diannggap perbuatan keji dan sama dengan perbuatan Syetan, seperti yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 90: ع ۡ م ٞس ۡج مٰ ۡ ۡۡٱ ص ۡۡٱ سۡي ۡٱ ۡ ۡٱ إ ْآ ماء ي ٱ يأٰٓي ح ۡفت ۡم ع ت ۡجٱف ٰطۡيش ٱ ٠٩ 90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Tujuan dirumuskannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok, yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta harta. Lima hal pokok ini wajib diwujudkan dan dipelihara jika seseorang menghendaki kehidupan yang berbahagia di dunia dan di hari kemudian. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi merupakan amalah saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam. Dalam arti lain, segala tindakan yang bisa mengancam keselamatan salah satu dari pokok tersebut dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dilarang. Siapa saja yang mengamati seluk beluk hukum Islam akan mengakui bahwa setiap rumusannya mengarah kepada perwujudan atau pemeliharaan dari lima pokok tersebut. Dari gambaran ini, tindakan kejahatan dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok, yaitu kejahatan terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa atau diri, kejahatan terhadap akal, kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan, dan kejahatan terhadap harta benda. Masing-masing kejahatan itu diuraikan secara panjang lebar dalam literatur-literatur fiqh dalam berbagai mazhab. Kejahatan-kejahatan besar terhadap lima pokok ini diatur dalam bab jinâyat. 43 Menurut pandangan hukum fiqih, 44 hukum yang terkait dengan tindakan Jinâyah atau Jarîmah yaitu tindak pidana di dalam hukum Islam berupa larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta‟zîr. Yang dimaksud hukuman had adalah hukuman yang ditetapkan melalui wahyu yang merupakan hak Allah sebagai syâri‟. Sedangkan hukuman ta‟zîr adalah hukuman yang tidak ada nasnya, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim qâdhi. Pertimbangan hukum tadi, muncul mengingat ketidakseimbangan antara manfaat yang ditimbulkan oleh narkotika pada satu sisi dan besarnya bahaya yang ditimbulkan pada sisi yang lain, maka hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika harus diberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. 43 . Satria Effendi M. Zein, Kejahatan terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Islam, h. 107. 44 . Hukum Fiqh sering juga disebut dengan Hukum Islam atau Hukum Syariah. Hukum Islam muncul untuk membedakannya dengan hukum lain. Dalam kitab usul fiqh klasik kata Hukum Islam tidak populer, hanya ditemukan sekali dalam kitab al-Nubdzat al-Kafiyah karya ibn Hazm al-Zahiri, dalam al- Furuq karya As‟ad ibn Muhammad ibn Husain disebutkan tiga kali, dan pada kitab al-Matsur fi al-Qawaid karya Muhammad ibn Mahadur al-Zarkasyi disebutkan sekali. Sedangkan istilah syariah diambil dari kata syara‟a yang maknanya mengambil air dengan mulut, tempat lalunya air, dan tempat lewat minuman yang diteguk orang. Menurut Ali al-Jurjani 740- 816 H syar‟u secara bahasa artinya bayan, audah dan izhar. Sementara al-Qurtubi mengatakan w. 671 H isyara‟a bernakna jalan besar, jalan menuju ketempat air, dan jalan keselamatan. Sebagaimana istilah syariah terdapat dalam al-Qu r‟an surah al-Maidah [5]: 48: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami beritakan aturan dan jalan yang terang” Untuk mengeluarkan suatu putusan hukum syariah hukum Islam, para ulama sepakat bahwa landasan utamanya adalah al-Quran, sekaligus sebagai sumber utama hukum Islam, sedangkan sunnah adalah penjelasan dari nabi Muhammad Saw dalam bentuk praktek dan perkataan kalangan ahli hukum memakai istilah sunnah untuk hadis-hadis dari nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hukum. Lihat Junaidi lubis, 2010, IslamDinamis Model Ijtihad al-Khulafa al- Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat. Jakarta, Dian Rakyat: 26 Secara bahasa, Narkotika dalam istilah bahasa Arab setidaknya ditemui ada tiga term yang mengertiannya hampir sama, yaitu al-Mukhaddirât, al- aqâqir , dan hasyîsy. Narkotika al-Mukhaddirât, secara etimologi berarti sesuatu yang terselubung, kegelapan atau kelemahan . Kata ini, diambil dari kata al-Khidr yang berarti tirai yang terjurai di sudut ruangan seorang gadis. Kata tersebut biasanya digunakan sebagai penirai rumah. Kata al-Mukhaddirât dapat juga terambil dari kata al-Khadar yang berarti kemalasan dan kelemahan. Al-Khadir bentuk fâ‟il atau subyek dari kata al-Khadar artinya orang yang lemah dan malas. 45 Narkotika dengan berbagai jenis, bentuk dan nama yang telah diidentifikasi pengaruhnya terhadap akal pikiran dan fisik, maka sanksi hukumannya dikategorikan ke dalam khamr, yang secara tegas dan keras dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sementara yang berkaitan dengan ringan beratnya hukuman bagi pemakai khamr tidak disebutkan dalam Alquran tetapi hanya disebutkan dalam petunjuk al-Sunnah Nabi Muhammad, yaitu: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: ع ْ إف ْج ف س ا إ ق ع ا ب ْض ف ع ْ إف عبا ا يف ق مث ْج ف ع ْ إف ْج ف . 45 Ahmad Warson al-Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Agustus, 1984, h. 351, lihat pula Muhammad al-Hawari, Narkoba Kesalahan dan Keterasingan, Riyadh: 1408 H. , h. 156. . lihat juga Acep Saifullah, Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif: Sebuah Studi Perbandingan, AL- „ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013, Universitas Ibnu Khaldun UIK, Bogor. „Apabila ada seseorang yang mabuk, maka cambuklah ia, apabila ia mengulangi, maka cambuklah ia.‟ Kemudian beliau bersabda pada kali keempat, „Apabila ia mengulanginya, maka penggallah lehernya. 46 Sedangkan menurut pandangan Tsaur ibn Zaid al-Daili berkata bahwa „Umar bin Khattab meminta pendapat tentang khamr yang dikonsumsi manusia. „Ali bin Abi Thalib berkata:“Hendaknya engkau mencambuknya sebanyak 80 kali, karena ia meminum yang memabukan. Jika ia telah mabuk, maka ia bicara tidak karuan dan sudah bicara tidak karuan maka ia berbohong”. Kemudian „Umar bin Khattab menentukan bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80 kali cambuk. Hadis dari Ibn „Umar, bahwasannya Rasulullah bersabda: Ibnu „Umar Radhiyallahu „anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: م ح ، ع تْ م عئ ب ، صتْعم ص ع ْيعب جْ أ ْشع ى ع ْ ْ ا ت ع يق س ب ش ، ث كآ ، ْي إ ْح ْ ا . Khamr dilaknat pada sepuluh hal; 1 pada zatnya, 2 pemerasnya, 3 orang yang memerasnya untuk diminum sendiri, 4 penjualnya, 5 pembelinya, 6 pembawanya, 7 orang yang meminta orang lain untuk membawanya, 8 orang yang memakan hasil penjualannya, 9 peminumnya, dan 10 orang yang menuangkannya ”. 47 46 Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Bayrut: Dâr al Fikr, 1415 H. 1995 M. , h. 61. 47 . Ibn Mâjah dan al-Tirmizî , Jâmi‟ al-Shahîh, III, Bayrut: Dâr al-Fikr, t. t. , h. 589. Menyikapi hadis di atas, para ulama bersepakat bahwa bagi para peminum khamr dikenakan had berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak. 48 Namun, merespon bunyi hadis tadi para ulama memeprdebatkan dan berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum tersebut. Baik kalangan mazhab Maliki maupun kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa peminum khamr dikenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara itu dari mazhab Syâfi‟iyah menyatakan bahwa peminum khamr diberikan sanksi cambuk 40 kali. Sedangkan dari mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk. 49 Sementara dalam kasus peminum khamar yang di tangani oleh Ali bin Abi Thalib yaitu dengan mencambuk Walîd bin „Uqbah dengan 40 kali cambuk, hal ini pula merupakan sanksi hukum yang diperintahkan Rasulullah yang dilaksanakan pada saat Abû Bakar al-Shiddiq menjabat khalifah. Sebagaimana dalam sebuah hadis: “Dari Ali pada kisah Walîd bin Uqhah Rasulullah Saw. mencambuk bagi peminum khamrpecandu Narkoba 40 kali, Abû Bakar mencambuk 40 kali, dan „Umar mencambuk 80 kali, kesemuannya itu sunnah dan inilah yang lebih saya senangi yaitu 80 kali”. HR. Muslim. Sementara putusan hukum yang dikemukakan Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, mengatakan bahwa hukuman bagi peminum khamr 80 kali cambuk. 48 . Ibn Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, II, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995, h. 364 49 . Ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Ttp. : Tnp. , t. t. , h. 82. Hal ini didasarkan pada tindakan Umar bin Khattab, di mana menurut mereka sudah menjadi ijma‟ pada masa khalifah Umar bin Khattab karena tidak seorangpun dari sahabat mengingkarinya. Dalam hal ini Umar berpendapat, yaitu yang menetapkan 80 kali cambuk sebagai hukuman bagi peminum khamr, Imam Syâfi‟î, menanggapai bahwa sanksi 80 kali cambuk itu merupakan had. 50 Namun, ada juga para ulama yang berpendapat bahwa peminum khamar hanya sebagai ta‟zîr. Yaitu, hukuman yang didasarkan atas pertimbangan hakim imam yang dilaksanakan karena dipandang perlu untuk memberikan pelajaran kepada palakunya demi menjaga kemaslahatan umat manusia itu sendiri karena hukuman had bagi peminum khamr sebanyak 40 kali cambuk seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah. Perbedaaan hukuman ta‟zîr dengan hukuman had, menurut Imam al- Mawârdi, yaitu memberikan sanksi ta‟zîr kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam hukuman had tidak ada perbedaan. Dalam hukuman had tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta‟zîr ada kemungkinan pemberian maaf. Hukuman had itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam hukuman ta‟zîr terhukum tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu. 51 Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan penyalahgunaan narkotika, seperti diketahui mempunyai akibat dan dampak yang lebih luas dan bahkan 50 Had merupakan hukuman yang ditetapkan oleh Syâri‟ yaitu Allah. 51 Lihat H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 220- 221 dari Al- Mawardi, Al- Ahkam Al- Sulthaniyyah, h. 237-238. lebih berbahaya dari khamr itu sendiri. Apalagi jika over dosis akan mengakibatkan kematian bagi pemakainya. Selain itu pula akan menimbulkan tindakan-tindakan pidana yang destruktif, seperti pencurian, perkosaan, pembunuhan dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan hukum di atas, baik had maupun ta‟zîr, penyalahgunaan narkoba dengan segala pertimbangan yang diakibatkannya cukup kompleks. Sehingga menurut analisis penulis melalui analisa qiyas dengan khamr, maka penyalahgunaan narkoba dapat dikenakan gabungan sanksi hukuman yaitu hukuman had dan ta‟zîr. Mengenai penggabungan antara had dan ta‟zîr ini, para ulama pada umumnya membolehkan selama memungkinkan. Seperti dalam mazhab Maliki dan Syafii. 52 52 . H. A. Djazuli, Fiqh Jinâyah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h. 162. . lihat Acep Saifullah, Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif: Sebuah Studi Perbandingan, AL- „ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013, Universitas Ibnu Khaldun UIK, Bogor.

BAB IV ANALISA TEMUAN DATA

A. Mempersoalkan Pelaksanaan Peraturan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 1. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Pecandu Narkotika Dalam sistem pemidanaan, pelaku yang melakukan tindak pelanggarn hukum, bahwa prinsip hukum pidana adalah “tiada pidana tanpa kesalahan”. Sebagaimana dalam KUHPidana Pasal 37 disebutkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia. Perkembangan tentang pelaksanaan pemidanaan penghukuman bagi pecandu narkotika menunjukkan terjadinya kecenderungan perubahan kuat dalam memandang para penyalahguna narkotika yang tidak lagi dilihat sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban victim atau pasien yang harus diberi empati. 53 Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana narkotika, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang 53 Dani Krisnawaty dan Eddy O. S. Hiariej, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 99. bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan. Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 47: 1 Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a.Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b.Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. 2 Masa menjalani pengobatan danatau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Kedudukan pecandu narkotika mendapatkan fasilitas rehabilitasi dan tidak harus menerima sanksi pinajara sesuai dengan rencana pembaruan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2008. Pada RKUHPidana itu telah mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yang diatur dalam Pasal 110 : 1 Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang: a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; danatau 2. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa. 3 Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Upaya pembaruan hukum pidana dalam undang-undang narkoba di Indonesia sejalan dengan dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas, terutama pecandu narkotika di Indonesia, yang menuntut tindakan dan kebijaksanaan antisipatif. Usaha reformasi hukum pidana tersebut, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, merupakan bentuk langkah pembaharuan hukum pidana nasional yang menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang merupakan kebijakan yang bertujuan agar pengguna narkotika tidak lagi dilakukan dengan pendekatan sanksi pinjara semata, tapi lebih terfokus kepada pemenuhan auntuk mengembalikan prodiktifitas pecandu agar kembali sehat dan prima. Dalam arti lain, bentuk pertanggungjawaban pelaku lebih bersifat tindakan treatment untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. 54 sementara pendekatan treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari 54 . C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan , Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal, 81-82. dalam sistem pemidanaan. Pendekatan ini bertujuan untuk pencegahan terhadap masyarakat sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama.

B. Inkonsistensi Pelakasanaan Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika Pelaksanaan Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengamanatkan kepada masyarakat, khususnya para penegak hukum untuk menangani penyalahgunaan narkotika agar menjamin upaya pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Amanat undang Undang tadi secara khusus diberikan kepada para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara penyalahguna narkotika tersangka penyalahguna dan dalam keadaan ketergantungan. Kepada tersangka penyalahguna narkotika yang terbukti bersalah, hakim dapat memutuskan memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi. Begitu pula kepada tersangka penyalahguna narkotika yang tidak terbukti bersalah, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi. Hukuman rehabilitasi merupakan hukuman paling tepat bagi penyalahguna narkotika yang bermasalah dengan hukum sebagai alternatif atau pengganti hukuman, dimana penyalahguna narkotika harus menjalani tindakan perawatan, pendidikan, after care, rehabilitasi dan re-integrasi sosial Pasal 36 UU 81976.

Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

0 85 174

Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika Pada Undang – Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 51 207

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

PENULISAN HUKUM PEMBUKTIAN UNSUR TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN ZAT NARKOTIKA DAN AKIBAT HUKUMNYA (Tinjauan Yuridis terhadap Penyalahgunaan Zat Narkotika Menurut Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

0 4 31

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

3 29 81

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

1 4 81

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

ASPEK HUKUM ASESMEN TERPADU BAGI PENGGUNA DAN PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA - repo unpas

0 2 29