Masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan agama dan adat istiadatnya sebagai batasan bersikap, akan merasa asing dengan perilaku
seperti homoseksual, lesbian, pelacuran maupun pecandu narkotika. Penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang itu dapat dirasakan
oleh kelompok masyarakat yang melakoni perbuatannya dengan wujud tidak diakuinya komunitas itu oleh kelompok mayoritas yang berbeda. Bahkan
acapkali sebagian masyarakat memandang mereka dianggap aib atau cela. Mustofa mengatakan bahwa tingkah laku menyimpang atau pola tingkah
laku yang tidak mengikuti atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma- norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma tersebut tidak hanya
yang dirumuskan secara formal dalam hukum atau undang-undang tetapi juga yang hidup dalam masyarakat walaupun tidak dicantumkan dalam hukum atau
undang-undang suatu negara.
18
Berkenaan dengan penyalahgunaan narkotika Clinard dan Meier 1989 mengatakan bahwa penggunaan obat-obatan tertentu itu menyimpang atau
tidak tergantung pada norma yang juga diciptakan secara sosial. Norma dapat berubah sesuai berlangsungnya waktu sehingga penggunaan obat-obatan di
suatu waktu dapat dianggap menyimpang namun di lain waktu dianggap tidak menyimpang.
18
Mustofa, Muhammad, Metodologi Penelitian Kriminologi, Fisip UI Press, Depok, 2005, h, 6
C. Sebab dan Akibat Memakai Narkotika
Mengkonsumsi narkotika akan berdampak negatif ke dalam berbagai hal, termasuk bagi kesehatan individu si pemakai baik kesehatan secara pisik
maupun psikis. Akibat pemakaian narkotika akan menimbulkan dampak yang bermacam-macam.
Di antara efek narkoba adalah mendorong rangsangan terhadap tubuh, atau sering juga disebut
Stimulan atau ”upper”. Yaitu, merangsang dan memacu kerja otak dan meningkatkan aktivitas tubuh. Penggunanya akan merasakan
suatu kegembiraan yang amat sangat, dan aktivitas meningkat. Narkoba yang menimbulkan perasaan seperti tadi adalah Kokain, ATS Amfetamin,
Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi Dadang Hawari mengatakan, bahwa pelaku mengkonsumsi narkotika akan
mengalami gangguan mental dan perilaku, sebagai akibat terganggunya sistem neorotransmitter pada sel-sel susunan saraf otak. Gangguan trans-mitter tadi
mengakibatkan terganggunya fungsi koknitif alam pikiran, efektif alam perasaan atau mood, atau emosi dan psikomotor perilaku.
19
Menurut Hawari, setidaknya ada tiga pendekatan untuk menjelaskan mekanisme
terjadinya penyalahgunaan narkoba Orgaobiologik, Psikodinamik, dan Psikososial.
Pertama, pendekatan Organobiologik. Dari perspektif Organobiologik susunan saraf pusat atau otak bahwa mekanisme terjadinya ketagihan hingga
dependensi ketergantungan narkoba, ditandai dengan munculnya gangguan
19
Dadang Hawari, Penyalahgunaan Ketergantungan NAZA. Jakarta, FKUI, 2002, h, 37
Mental Organik atau Sindrom Otak. Yaitu kegelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif alam pikiran, afektif emosi, dan psikomotor perilaku yang
disebabkan narkoba. Menurut A. Wikler, seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap
narkoba apabila dia terus-menerus mengkonsumsi narkoba. Tubuh akan dapat beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf akan bekerja
keras. Jika narkoba dihentikan seketika, sel yang bekerja keras tadi akan mengalami keausan, atau juga sering disebut putus zat atau putus narkoba.
Sehingga memaksa seseorang untuk mengulangi memakai narkoba. Jika narkoba dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup,
dihidu, dan melalui suntikan, maka narkoba melalui peredaran darah akan sampai pada susunan saraf pusat otak yang mengganggu sistem neoro-
transmitter sel-sel saraf otak. Dan akibat gangguan neoro-transmitter tadi akan
mengganggu mental dan perilaku si pemakai. Kedua, Psikodinamik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa seseorang akan
terlibat penyalahgunaan narkoba dan sampai kepada ketergantungan narkoba, apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi yaitu faktor yang
membuat seseorang cenderung menyalahgunakan narkoba. Selain faktor predisposisi, ada juga faktor kontribusi dan faktor pencetus.
Faktor predisposisi adalah gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian antisosial, rasa kecemasan atau depresi yang dialami seseorang. Sedangkan
faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis termasuk di dalamnya keluarga yang broken home atau keluarga tidak utuh, kesibukan
orang tua, dan hubungan interpersonal antar keluarga. Dan faktor pencetus adalah pengaruh teman kelompok sebaya peer group, dan juga mudahnya
narkoba diperoleh. Dengan bertemunya tiga hal tadi yaitu predisposisi, kontribusi, dan faktor
pencetus akan mengakibatkan seseorang mempunyai resiko jauh lebih besar terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika.
Ketiga, diakui bahwa penyalahgunaan narkotika adalah bentuk perilaku yang menyimpang. Menurut perspektif psikososial bahwa seseorang menjadi
berperilaku menyimpang akibat dari pengaruh tiga kutub sosial yang tidak kondusif. Yaitu kutub keluarga, sekolah atau kampus dan kutub masyarakat.
Seorang anak atau remaja tidak dapat lepas dari tiga kutub itu, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakatnya lingkungannya. Bila kutub keluarga
atau sekolah dan masyarakat tidak kondusif, dimana ketiga kutub itu saling mempengaruhi kehidupan mereka, maka sebagai hasil interaksi ketiga kutub
tersebut resiko perilaku menyimpang akan jauh lebih besar yang pada gilirannya akan berakibat menyalahgunakan narkoba.
D. Pecandu Narkotika Sebagai ”Korban”
Anggapan bahwa pecandu narkotika adalah sebagai kategori korban atau pelaku pelanggar hukum masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuan sosial dan
pihak pembuat hukum. Indikasi perdebatan itu terlihat dari bentuk isi undang- undang tentang narkotika yang diterbitkan pemerintah, khususnya undang-
undang nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Satu sisi, undang-undang
tadi pecandu narkotika adalah pelanggar hukum yang mendapatkan sanksi, khususnya sanksi pinjara, namun pada sisi lain, pecandu narkotika
diperbolehkan mendapat rehabilitasi medis dan sosial. Penentuan bentuk sanksi rehabilitasi tadi berdasarkan atas kondisi pelaku yang dianggap sebagai
pelaku sekaligus menjadi korban self victimizing victims. karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan
narkotika yang dilakukannya sendiri. Pecandu narkotika digolongkan sebagai korban karena akibat dari perbuatannya yang mengkonsumsi narkotika
tersebut langsung berdampak terhadap dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain yang tidak menggunakan narkotka tersebut.
Dalam studi-studi viktimologi, pelaku pecandu narkotika dapat dikategorikan dalam kategori berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi
menurut keadaan dan status korban, yaitu: a. Unrelated victims , yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan pelaku. b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban. c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial
yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.