Pengusulan Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

AHMAD FARHAN SUBHI

NIM : 1612048000004

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

Slaipsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.tt)

Oleh:

AHMAD FARIIAN SUBHI

NIM:

1612048000004

KONSENTRASI

HT]KT]M KELEMBAGAAI\T

I\TEGARA

PROGRAM DOUBLE

DEGREE

ILMU

HTIKUM

FAKULTAS

SYARIAII

DAI\I

IIUKT]M

T]NTVERSITAS

ISLAM

I\TEGERI

SYARIF

HMAYATT]LLAH

JAKARTA

1435

Ht2At4I$[

Di Bawah Bimbingan:


(3)

diajukan dalam sidang skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Program Double Degree

Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 05

Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Stata Satu (S-1) pada Program Double Degree Ilmu Hukum.

Jakarta,05 Mei 2014. Mengesahkan

PAI{ITIA UJIAN SKRIPSI 1. Ketua

2. Sekretaris

3. Pembimbing

4. Pengujil

5. Penguji

II

Dr. DjawahirHejazziey. S.H.. M.A. NIP. 19551015197903 1002

Drs. Abu Thamrin" S.H.. M.Hum.

NIP. 19650908199503 1001 Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si.

Prof. Dr. H. Salman Manggalatune. S.H." M.H. NIP. 19540303197 6tl l00l

r. H. J.M. Muslimin" M.A. NrP. 1 9680 812199903 tot 4


(4)

salah satu syarat mencapai gelar Shata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi

ini

telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh Universitas Islam Negeri (UIII$ Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya asli atau merupakan saduran dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang telatr ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri

OnQ

Syarif

Hidayatullah Jakarta. J.


(5)

Kelembagaan Negara, Program Double Degree Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. vi + 86 halaman + 25 Lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu. Karena masyarakat masih kurang memahami tentang kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu. Terdapat pengaturan mengenai pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, yakni di dalam norma Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) yang tidak sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Penulis memilih obyek penelitian yakni norma Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Penulis ingin mengetahui pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan pengaturan waktu pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Penelitian ini menggunakan metode sinkronisasi hukum dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui draft perundang-undangan, buku atau literatur kepustakaan lainnya. Peraturan perundang-undangan dalam skripsi ini ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Partai politik peserta pemilu dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum melainkan “mantan” partai politik peserta pemilihan umum; dan 2) Waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 adalah sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD, bukan sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Maka apabila pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Peserta Pemilihan Umum ingin dilaksanakan oleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum DPR dan DPRD.

Kata kunci : Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Daftar Pustaka : Tahun 1960 – 2012.


(6)

i

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada

Allah Swt atas segala ni’mat dan karunia-Nya yang tiada tara, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh perjuangan dan semangat bergelora. Untaian shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, seorang pahlawan revolusioner dunia yang berjuang demi tegaknya agama, dan teriring pula salam kepada keluarga-Nya, para sahabat dan pengikut-Nya yang

senantiasa ta’at dan setia kepada-Nya.

Penulis menyadari bahwa berbagai macam kesulitan dan hambatan turut menyertai langkah penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun langkah tersebut berujung pada jalan kemudahan yang lahir berkat bantuan dan dukungan serta bimbingan dan arahan yang bermanfa’at dari berbagai pihak, baik pihak luar maupun pihak keluarga.

Dengan demikian, pada kesempatan yang baik ini penulis mengungkapkan rasa terima kasih disertai dengan rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

ii

dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu Hukum. 4. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Selaku pembimbing skripsi penulis, yang telah

bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, semoga beliau selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah Swt.

5. Seluruh dosen Program Double Degree Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis menekuni studi Strata Satu (S-1) yang kedua di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Kepada para Pimpinan dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan fasilitas belajar dan mengajar dengan baik. Serta Staff Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan sarana perpustakaan dengan baik sehingga memudahkan penulis dalam mencari data kepustakaan.

6. Terlebih dan teristimewa untuk Ayahanda K.H. M. Ridwan Abdullah, S.Pd.I, dan Ibunda Sri Mulyani, S.Pd.I tercinta, yang telah merawat, mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta memberikan dukungan, do’a dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang ini, rasa hormat dan terimakasih yang tiada tara untukmu ayah dan ibuku. Juga untuk kedua adinda kembarku, Ahmad Syahrul Fadhil dan Ahmad Syahroni


(8)

iii

Kong. H. Muhammad bin Manah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan

kepada penulis di setiap perkumpulannya.

7. Para guru, asatidz dan keluarga besar Pondok Pesantren al-Islamiy as-Salafiy Ar-Ridwan, khususnya kepada Abah K.H. Zainal Abidin, S.Ag, yang telah mendidik dan membekali penulis ilmu agama dan dasar kepribadian yang baik, mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan dapat penulis berikan manfaat pula untuk orang banyak.

8. Teman-teman seperguruan dan seperjuangan Program Double Degree Ilmu Hukum angkatan 2012, Helmi, Rouf, Ihsan, Andre dan Mba Nisa serta teman-teman karib penulis lainnya. Juga kakak kelas penulis yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar informasi penulis khususnya mengenai persoalan pada skripsi penulis, Mas Atho, Mas Fathuddin, Bang Rusydi, Habib Agis Assegaf dan yang lainnya. Terimakasih atas bantuan dan dukungan dari kalian semua, serta atas kebersamaan dalam sebuah persahabatan yang selama ini terjalin di antara kita, semoga persahabatan kita ini akan terus terjalin dengan baik walaupun terdapat jarak dan waktu diantara kita. Tak lupa pula teman-teman berkumpul dan berdiskusi pada forum PALAPA, PUKKANSI dan IBNU SINA 23, yang telah menjadi wadah bertukar fikiran dan diskusi rutin penulis.


(9)

iv

ungkapkan, semoga semua itu dapat diterima sebagai amal baik disisi Allah Swt, serta memperoleh balasan berupa pahala yang berlipat ganda.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini, mengingat banyak sekali kekurangan di dalamnya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 05 Mei 2014.


(10)

v

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 8

C. Tujuan dan ManfaatPenelitian ………. 9

D. Metode Penelitian ……… 10

E. Review Studi Terdahulu ……….. 15

F. Kerangka Teori ……… 18

G. Sistematika Penulisan ……….. 29

BAB II PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA A. Demokratisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ………. 31

B. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD 1945 ………..……… 39

C. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sesudah Amandemen UUD 1945 ………..……… 47


(11)

vi

B. Kedudukan Hukum Calon Presiden dan Wakil Presiden …. 58 C. Pengertian Partai Politik Peserta Pemilu ………... 60 D. Kedudukan Hukum Partai Politik Peserta Pemilu ………... 65 E. Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh

Partai Politik ……….. 67

BAB IV ANALISIS PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN

WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 42 TAHUN 2008

A. Pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden ……….. 70 B. Pengaturan Waktu Pengusulan Calon Presiden dan Wakil

Presiden ………. 71

C. Analisis Penulis ………. 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran-saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN


(12)

1

BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Gerakan reformasi yang menjanjikan pembaharuan dengan semboyan demokrasi dan kebebasan mampu menghimpun kekuatan untuk menumbangkan kekuatan orde baru yang otoriter dan tidak demokratis. Hasilnya, pada zaman reformasi ini terjadilah euforia demokrasi dan kebebasan yang merasuki semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga berdampak pula pada upaya dilakukannya perubahan atau pergantian terhadap konstitusi atau dasar penyelenggaraan Negara.1

Pada dasarnya, konstitusi adalah suatu dokumen penting yang mengandung peraturan-peraturan dasar mengenai struktur pemerintahan, hak dan kewajiban serta pembatasan dari kewenangan Negara. Karena konstitusi merupakan hukum dasar (grundnorm), maka secara lebih luas bias berwujud teks tertulis (written texts) dan tidak tertulis (unwritten texts), hal tersebut tergantung pada sistem hukum yang dianut antara Civil Law atau Common Law.2

Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama kali berlaku dan disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setalah kemerdekaan Negara

1

M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 30.

2

Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum: Esai-esai Ilmiah untuk Pembaharuan, cet. I, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h. 150.


(13)

Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarna dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.3

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya (a) Pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) Pergantian Undang-Undang Dasar, (c) Perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. 4

Negara Republik Indonesia mengalami empat kali perubahan atau pergantian konstitusi dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1959), dan empat kali perubahan (amandemen) konstitusi selama 2 tahun (1999-2002) yakni perubahan I-IV Undang-Undang Dasar 1945.5

Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.6 Demokrasi berkaitan erat dengan

prinsip penyelenggaraan negara hukum dengan alasan bahwa dalam literasi demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu dari sembilan prinsip negara hukum.7 Pemilihan umum rakyat merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip

demokrasi,8 dimana rakyat dapat memilih pemimpin Negara atau wakil-wakilnya

3

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 32.

4Ibid,

h. 41.

5

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 22.

6

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64.

7

Ali Masykur Musa, Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka Setengah Hati, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu (PIS) kerja sama Parliamentary Support and Public Participation, 2003), h. 162.

8


(14)

yang berhak membuat suatu kebijakan berdasarkan kehendak rakyat yang digariskan oleh pemimpin Negara atau wakil-wakil rakyat tersebut.

Hakikat pemilihan umum adalah sebagai sarana demokrasi yang intinya untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan negara oleh, dari, dan untuk rakyat.9

atau dengan kata lain mewujudkan kedaulatan yang berada ditangan rakyat dalam bingkai negara hukum yang bersifat demokratis.

Demokrasi menjadi sebuah acuan moralitas dalam setiap kebijakan negara yang menyangkut kepentingan rakyat. Maka lazimnya setiap orang dan kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik dan memperoleh peluang yang sama untuk memperoleh manfaat dari kebijakan publik tersebut, sehingga pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum dalam bingkai demokrasi, baik itu pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, harus sesuai dengan kehendak rakyat, menjamin hak-hak asasi manusia dan tidak diskrimanatif.10

Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan norma-norma konstitusi.11 Oleh karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai

sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Pelaksanaan demokrasi konstitusi

9

Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi-Politik dan Hilangnya Nalar, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 160.

10

A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 180.

11

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64.


(15)

terihat dalam kegiatan pemilihan umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga Negara.12

Selanjutnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis pada Negara hukum ini, dibentuklah sebuah aturan atau undang-undang yang mencakup segala hal mengenai persyaratan maupun tekhnis pelaksanaan pemilu. Dalam hal pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dibentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 yang kemudian diamandemen oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang selanjutnya disebut UU Pilpres ini, terdapat beberapa hal tekhnis yang diatur untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, salah satunya ialah mengenai tekhnis pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 8 UU Pilpres menjelaskan bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

Selanjutnya Pasal 9 UU Pilpres menjelaskan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah

12


(16)

nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Serta pada Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres dijelaskan bahwa Bakal Pasangan Calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

Apabila Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres tersebut dibaca secara bersamaan berarti pemahamannya jelas bahwa satu-satunya mekanisme atau jalur untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melalui usulan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan kata lain, hak untuk mengajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak eksklusif partai peserta pemilu dan tidak diperkenankan atau tidak ada kemungkinan sama sekali bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen di luar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik tersebut, dan yang diusulkan oleh organisasi non-partai.13

Kemudian dapat difahami pula dari Pasal 9 UU Pilpres di atas, bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ini berarti bahwa berdasarkan hukum positif

13

Hanta Yuda A. R., Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 94.


(17)

Presidential Threshold di Indonesia sebesar 25 persen suara sah nasional dari hasil pemilu legislatif atau 20 persen kursi parlemen yang terpilih.14

Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum

pelaksanaan pemilihan umum”. Maka berdasarkan ketentuan ini, semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.15 Namun tidak semua partai politik peserta pemilu

dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan hanya partai politik peserta pemilu yang memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI, sesuai dengan ketentuan Presidential Threshold.

Selanjutnya, mengenai pelaksanaan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 9 UU Pilpres apabila dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, maka menimbulkan sebuah pertanyaan, yakni apakah waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dalam Pasal 9 UU Pilpres sesuai dengan pengaturan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dimaksudkan oleh Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, yakni sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

14 Shanti Dwi Kartika, “Presidential Threshold dalam Revisi UU Pilpres”,

jurnal diakses pada tanggal 11 Desember 2013 dari http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-14-II-P3DI-Juli-2013-41.pdf.

15

Ign Ismanto, dkk,Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik, (Yogyakarta: Galang Press Group, 2004), h. 46.


(18)

Juga terkait dengan kedudukan partai politik peserta pemilu yang dimaksudkan oleh Pasal 9 UU Pilpres, apakah sesuai dengan yang diatur oleh Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945, yakni adalah partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena hal tersebut sangat berpengaruh di dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Pengaturan Pasal 9 UU Pilpres tersebut haruslah sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia yang menjamin adanya hak-hak warga negara berupa persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik,16 sebagaimana yang telah digariskan dalam Pasal 27

ayat (1), selain itu pula konstitusi Republik Indonesia menjamin adanya hak untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)], dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3)], serta hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi [Pasal 28 I ayat (2)]. Semuanya itu merupakan bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat yang telah digariskan dalam Pasal 1 ayat (2).

Maka dengan demikian, pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu dilakukan oleh partai politik peserta pemilu yang diatur melalui UU Pilpres dan di lain sisi UUD NRI 1945 juga mengatur beberapa hal terkait pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, seperti kedudukan partai politik

16


(19)

peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan uraian diatas, penulis akan memfokuskan bahasan skripsi ini pada permasalahan tersebut dengan judul skripsi: PENGUSULAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SEBAGAI PESERTA PEMILU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008”.

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah

Untuk memudahkan penelitian ini dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Penelitian terhadap aturan yang mengatur mengenai pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu di Indonesia.

2. Perihal pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yakni adalah mengenai kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden.

3. Pembahasan terbatas pada penerapan hukum dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Selanjutnya, UUD NRI 1945 telah memberikan mandat kepada partai politik peserta pemilu sebagai subyek yang berhak mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang merupakan mandat dari UUD NRI 1945 untuk menjalankan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana terdapat dalam norma Pasal 6A ayat (5)


(20)

UUD NRI 1945. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 seharusnya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun terdapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, yakni di dalam norma Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) yang tidak sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Maka dengan demikian, rumusan masalah tersebut penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu menurut perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008? 3. Bagaimanakah kedudukan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden

menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang disusun oleh penulis ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kedudukan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu menurut perundang-undangan di Indonesia.

2. Mengetahui kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. 3. Mengetahui kedudukan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden


(21)

Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan stimulus kepada pihak yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud adalah para pihak yang berkompetensi untuk mengkaji dan melegitimasi hukum terkait pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.

2. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.

3. Pengembangan kualitas diri dan pengetahuan di bidang hukum bagi penulis terutama di bidang hukum tata negara.

4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian yang serupa di masa mendatang.

5. Menambah literatur kepustakaan.

D.Metode Penelitian.

Untuk memperoleh bahan yang diperlukan di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Penelitian dan Pendekatan

Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan tidak

hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap suatu obyek yang terlihat kasat mata.17

17

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 27-28.


(22)

Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu, menurut H.L. Manheim, bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara cermat dan teliti untuk menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu subjek ke dalam cara berfikir ilmiah.18

Jenis penelitian yang diterapkan pada penyusunan skripsi ini adalah:

1. Penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang apabila jenis data dan analisa data yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menggunakan penalaran.19

2. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.20 Jenis Penelitian hukum normatif pada skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif tertulis, yakni metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis.21 Selanjutnya, penelitian hukum normatif tertulis pada skripsi ini berupa

sinkronisasi hukum, yakni penelitian untuk meneliti bagaimana hukum positif tertulis yang ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai dan

18

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986), h. 3.

19

H. Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: t.p, 2010), h. 26.

20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Cet. VII, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13-14.

21

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38.


(23)

tidak saling bertentangan, baik secara vertical (hierarki) maupun secara horizontal.22

Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.23

2. Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya, data dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni data primer (data dasar) dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, sedangkat data sekunder ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.24

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:25

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang terdiri dari:

a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Peraturan Dasar, yaitu:

i. Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

ii. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

22Ibid

, h. 39-40.

23

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

24

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

h. 12.

25Ibid,


(24)

c. Peraturan perundang-undangan.26 Adapun peraturan perundang-undangan pada

skripsi ini antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

2) Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; e. Yurisprudensi;

f. Traktat;

g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan lain sebagainya.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

26

Yang diurut berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Pasal 7 ayat 1Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota


(25)

kalangan hukum, dan seterusnya.27

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.28

3. Proses Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi dokumentasi, yaitu dengan melihat dan mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.29

4. Analisis Data

Selanjutnya dalam analisis data pada skripsi ini penulis akan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut:

1.Mengumpulkan data, yakni data-data sekunder yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.

2.Mengolah, menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang telah dikumpulkan tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 52.

28

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 296.

29


(26)

5. Tekhnik Penulisan.

Adapun dalam tekhnik penulisan pada skripsi ini, penulis mempergunakan tekhnik yang biasa digunakan dalam karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan pertama, tahun 2012.

E.Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan review studi terdahulu untuk memastikan perbedaan serta menampakan posisi akademis dari penelitian yang dijalankan agar tidak mengulang kembali kajian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelum penelitian ini:

No Judul Skripsi Isi Pembeda

1.

“Nahdatul „Ulama dan

Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden (Pilpres)

2004”, Skripsi karangan Ubaidillah, Fak.

Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. 1. Mengungkapkan peranan Nahdatul „Ulama dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

2. Penelitian terhadap korelasi antara

Nahdatul „Ulama

1. Mengungkapkan konsep pengaturan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu. 2. Penelitian terhadap

kedudukan hukum pengusulan calon


(27)

dengan Pemilu Presiden dan Wakil. 3. Tinjauan lebih

mendalam terhadap peranan Nahdatul

„Ulama pada Pilpres

tahun 2004.

Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu. 3. Tinjauan lebih

mendalam terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

2.

“Partai Islam dan

Pemilu Presiden 2009:

Faktor-Faktor yang

Mendasari Partai-Partai

Islam Mendukung

SBY-Boediono”,Skripsi karangan: Carman Ansari Latief, Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah

1. Mengungkapkan korelasi antara partai Islam dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

2. Penelitian terhadap faktor-faktor yang mendasari partai-partai Islam mendukung pasangan 1. Mengungkapkan konsep pengaturan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu. 2. Penelitian terhadap

kedudukan hukum pengusulan calon Presiden dan Wakil


(28)

Jakarta, 2010. SBY-Boediono. 3. Tinjauan lebih

mendalam terhadap latar belakang dan pengaruh yang mendasari partai-partai Islam mendukung pasangan SBY-Boediono. Presiden sebagai peserta pemilu. Tinjauan lebih mendalam terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

3.

“Konsep Negara

Hukum Terhadap

Mekanisme dan Praktik

Pemberhentian Presiden

di Indonesia” skripsi karangan: Achmad Farobi, Fak. Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

1. Mengungkapkan konsep negara hukum dalam kaitannya dengan

pemberhentian Presiden.

2. Penelitian terhadap mekanisme dan praktik pemberhentian Presiden. 1. Mengungkapkan konsep pengaturan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu. 2. Penelitian terhadap

kedudukan hukum pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai


(29)

3. Tinjauan lebih mendalam terhadap perspektif aturan-aturan atau kaidah negara hukum.

peserta pemilu. 3. Tinjauan lebih

mendalam terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

F. Kerangka Teori 1. Negara Hukum

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Kata-kata tersebut berasal dari kata latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Pengertian status atau statum lazim diartikan dalam bahasa inggris dengan standing atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang biasa disebut dengan istilah status civitatis


(30)

atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.30

Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.31

Menurut Hans Kelsen, istilah negara terkadang digunakan dalam pengertian yang sangat luas untuk menyebut masyarakat atau bentuk khusus dari masyarakat, juga sangat sering digunakan dalam pengertian sempit untuk menyebut suatu organ khusus masyarakat, misalnya pemerintah, atau para subyek pemerintah, bangsa, atau wilayah yang mereka diami.32

Hans Kelsen memberikan sebuah definisi mengenai negara yakni komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan hukum Internasional), dan adapun negara sebagai badan hukum adalah suatu personifikasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini. Wujud empirik dari hukum positif adalah tatanan hukum nasional yang satu sama lain dihubungkan oleh tatanan hukum internasional.33 Maka

dengan demikian, dapat diartikan pula negara sebagai tatanan perbuatan manusia atau yang disebut dengan tatanan hukum, yakni tatanan yang menjadi pedoman bagi

30

A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 24.

31Ibid. 32

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, cet. IV, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 261.

33Ibid


(31)

perbuatan-perbuatan tertentu manusia dan ide bagi para individu untuk menyesuaikan perbuatannya.34

Negara hukum adalah istilah bahasa Indonesia yang terdiri dari dua suku kata, yakni negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara Negara di satu pihak dan hukum pada pihak yang lain. 35

Adapun tujuan Negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum (rechtsorde). Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa negara hukum adalah negara yang membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.36

Pengertian negara hukum adalah merupakan lawan dari pengertian negara kekuasaan (machtsstaat), dasar pikiran yang mendukungnya ialah kebebasan rakyat (liberte du citoyen), bukannya kebesaran negara (gloire de I’etat).37

Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya adalah:

a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku;

34Ibid,

h. 271.

35

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 19-20.

36

Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), h. 20-21.

37


(32)

b. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.38

Adapun menurut Franz MagnisSuseno, dari segi moral politik terdapat empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan dijalankan tugasnya berdasarkan: (1) kepastian hukum; (2) tuntutan perlakuan yang sama; (3) legitimasi demokratis; (4) tuntutan akal budi. Berdasarkan hal demikian, selanjutnya Prof. Magnis memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri negara hukum yang secara etis relevan, antara lain: (1) kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku; (2) kegiatan negara berada dibawah control kekuasaan kehakiman yang efektif; (3) berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia; dan (4) menurut pembagian kekuasaan.39

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.40 Pasal ini mengandung makna

perwujudan Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan, karena itu selayaknya diadakan eksplorasi mengenai reformasi hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju agar dapat mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan berakhlak.41

38

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Eresco, 1971), h. 38.

39

Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 295-298.

40

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64.

41

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2009), h. 184.


(33)

Miriam Budiardjo menjelaskan mengenai sistem pemerintahan Negara Indonesia dengan mengacu kepada Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satunya yaitu Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).42

Menurut Stahl, sebagaimana yang dikutip oleh Majda El-Muhtaj, terdapat empat unsur berdirinya Rechtsstaat atau negara hukum, yaitu:

1. Hak-hak manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.43

Adapun ciri-ciri Rechtsstaat menurut Ni’matul Huda, antara lain sebagai berikut:

1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

2. Adanya pembagian kekuasaan negara.

3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.44

Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat beberapa prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga negara modern yang layak menyandang gelar sebagai negara hukum, diantaranya adalah:45

42

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 106.

43

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 23.

44Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,

cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 82.

45


(34)

1. Supremasi Hukum (supremacy of law)

2. Persamaan dalam hukum (equality before the law) 3. Asas legalitas (due process of law)

4. Pembatasan kekuasaan

5. Organ-organ ekskutif Independen

6. Peradilan bebas dan tidak memihak

7. Peradilan tata usaha Negara

8. Peradilan Tata Negara (constitutional court)

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia

10. Bersifat demokratis (democratiche rechtsstaat)

11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare state) 12.Transparansi dan kontrol sosial.

2. Demokrasi

Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos

atau “cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.46 Jadi, “demos-cratein” atau

demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.47

46

A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 131.

47

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 71. Lihat juga Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50.


(35)

Secara terminologi, demokrasi adalah suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.48

Menurut Henry B. Mayo, demokrasi didasari oleh beberapa nilai: 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga;

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur; 4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku; 6. Menjamin tegaknya keadilan.49

Negara Republik Indonesia pernah menerapkan beberapa macam bentuk demokrasi, sebagaimana Miriam Budiardjo menjelaskannya dalam sejarah demokrasi Negara Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:

2) Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa Demokrasi Konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.

48

A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 131.

49

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxford Univercity Press, 1960), h. 70.


(36)

3) Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.

4) Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. 5) Masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa reformasi yang

menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.50

Sebuah organisasi pakar hukum Internasional, International Commission of Jurists (ICJ) secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial di dalamnya.51 Komisi ini merumuskan syarat-syarat

pemerintahan demokratis di bawah rule of law52, yakni:

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan tekhnis-prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas;

4. Kebebasan menyatakan pendapat;

50

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 127-128.

51

P.S. Atiyah, Law and Modern Society, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 106.

52

Albert Venn Dicey memperkenalkan istilah rule of law yang secara sederhana diartikan dengan keteraturan hukum. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 24, dan lihat lebih lanjut A.V. Dicey, An Introduction to The Study of The Law of The Constitution, (London: Mac Millan, 1973), h. 202-203.


(37)

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan.53

Adapun unsur-unsur yang diperlukan bagi tegaknya suatu negara yang demokratis adalah:54

1. Partai Politik

Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya dengan cara konstitusional) untuk melaksanakan programnya.55

Mengenai hakikat kekuasaan partai politik, Radbruch sebagaimana dikutip oleh Harun Alrasid, menyatakan bahwa kekuasaan rakyat berarti kekuasaan partai politik dan menentang eksistensi partai politik berarti menentang demokrasi.56

Adapun fungsi partai politik adalah:57

1. Sarana komunikasi politik; 2. Sarana sosialisasi politik;

3. Sarana rekrutmen kader dan anggota politik; 4. Sarana pengatur konflik.

53

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 27.

54

A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 148-157.

55

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 403-404.

56

Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3

Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 40.

57


(38)

Partai politik memegang peranan dalam mengadakan pemilihan umum di negara demokrasi.58 Maka dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan salah satu

elemen terpenting didalam pelaksanaan pemilihan umum, khususnya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut terbukti dalam salah satu pasal di dalam ketentuan Undang-Undang59 yakni bahwasanya calon Presiden dan calon

Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Maka dapat difahami bahwa terdapat fungsi lainnya dari partai politik, yakni adalah untuk mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan politik.60

2. Pemilihan Umum (Pemilu)

Hal lain yang diperlukan bagi tegaknya sebuah Negara yang demokratis sekaligus dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam sistem yang demokratis adalah adanya mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan secara teratur serta kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik.61

Hans Kelsen menjelaskan bahwa prinsip demokrasi dari penentuan kehendak sendiri, dibatasi kepada prosedur pencalonan organ-organ khusus (perwakilan).

58

Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 40.

59

Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

60

Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),h. 243.

61


(39)

Bentuk pencalonan yang demokratis adalah pemilihan. Apabila pada kenyataannya pemilihan tersebut tidak mencerminkan kehendak dari mayoritas pemilih atau yang tanggung jawabnya kepada para pemilihnya tidak dapat ditegakkan, maka bukanlah perwakilan yang sesungguhnya.62

Berdasarkan beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, maka dapat difahami bahwa prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya mesti diletakan diatas prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai kodrat yang diberikan Tuhan. Penghargaan dan penerapan kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representatif diwujudkan dalam mekanisme partai politik sebagai salah satu wadah penyelenggara pemilu rakyat yang tentunya tidak akan lepas dari peran dan dukungan rakyat sebagai warga negara.63

Maka dengan demikian, partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi mempunyai wewenang untuk melakukan seleksi calon Presiden dan Wakil Presiden. hal demikian sebagaimana pada umumnya praktik pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Negara Demokrasi.64

Demokrasi Negara Republik Indonesia ditunjukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni kedaulatan berada di tangan

62

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, h. 409.

63

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 192.

64


(40)

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar atau konstitusi.65 Oleh

karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dengan diselenggarakannya pemilihan umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga Negara harus berdasarkan konstitusi.66

G.Sistematika Penulisan.

Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang perinciannya sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisikan tentang demokratisasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelum amandemen UUD 1945 dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sesudah amandemen UUD 1945.

Bab ketiga berisikan penjelasan mengenai pengertian calon Presiden dan Wakil Presiden, kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan menjelaskan pula mengenai pengertian partai politik peserta pemilu dan kedudukan

65

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64.

66


(41)

hukum partai politik peserta pemilu serta pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.

Bab keempat menjelaskan tentang pengaturan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, pengaturan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dan analisis penulis.

Bab kelima menjelaskan tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(42)

31

A. Demokratisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Secara etimologi, demokrasi ialah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.1

Sedangkan secara terminologi, demokrasi adalah suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.2

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya organisasi pakar hukum Internasional, International Commission of Jurists (ICJ) yang secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial di dalamnya,3 telah merumuskan beberapa syarat pemerintahan demokratis di bawah

rule of law4, yakni sebagai berikut:

1

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 71. Lihat juga Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50.

2

A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 131.

3

P.S. Atiyah, Law and Modern Society, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 106.

4

Albert Venn Dicey memperkenalkan istilah rule of law yang secara sederhana diartikan dengan keteraturan hukum. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,

cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007),, h. 24, dan lihat lebih lanjut A.V. Dicey, An Introduction to The Study of The Law of The Constitution, (London: Mac Millan, 1973), h. 202-203.


(43)

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan tekhnis-prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas;

4. Kebebasan menyatakan pendapat;

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan.5

Lalu terdapat pula unsur-unsur yang diperlukan bagi tegaknya suatu negara yang demokratis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tim Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni adalah:

1. Partai Politik;

2. Pemilihan Umum (Pemilu)6

Dengan demikian dapat difahami bahwa pemilihan umum merupakan salah satu syarat dan unsur terbentuknya pemerintahan atau negara yang demokratis. Hal tersebut tidak lepas pula dari peranan partai politik sebagai unsur lainnya yang membentuk pemerintahan atau negara demokratis.

Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwasanya hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan

5

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 27.

6


(44)

prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian negara hukum (rechtstaat) yang dikembangkan bukanlah absolute rechtstaat, melainkan democratische rechtstaat atau negara hukum yang demokratis.7

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.8 Miriam Budiardjo menjelaskan

mengenai sistem pemerintahan Negara Indonesia dengan mengacu kepada Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satunya yaitu Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).9

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, di dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia, yakni: "Constitutionally, the conduct of the government is to be based on the rule of law, since Indonesia is a rechtstaat (Negara hukum or a state based on law), not a machtstaat (a state based on power), (Secara konstitusional, pelaksanaan pemerintah harus didasarkan pada

7

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 132.

8

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64.

9

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 106.


(45)

aturan hukum, karena Indonesia adalah rechtstaat (negara hukum), bukan machtstaat (negara yang berdasarkan kekuasaan)”.10

Selanjutnya, Indonesia dapat dikatakan sebagai democratische rechtstaat atau negara hukum yang demokratis, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, apabila Indonesia mampu menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang dengan tidak menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, karena agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan.

Untuk mewujudkan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan adil tanpa adanya penyelewengan kekuasaan, maka perlu adanya suatu mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan secara teratur serta kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik yang ada di Indonesia.11

Hal tersebut ditegaskan pula oleh pendapat Samuel Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies, sebagaimana yang dikutip oleh R. Wiliam Liddle, ia mengugkapkan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan pemerintahan yang stabil sekaligus demokratis adalah melalui organisasi politik.

10

H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, “The States Legal Policy and The Develoment of Islamic Law

in Indonesian’s New Order”, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: Institute of South Asian Studies (ISEAS), 2003), h. 52.

11


(46)

Organisasi yang dimaksudkan Huntington adalah partai politik, yaitu suatu lembaga paling orisinal dalam sistem politik modern.12

Selanjutnya dapat difahami bahwa untuk dapat mewujudkan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan adil tanpa adanya penyelewengan kekuasaan, selain harus diselenggarakannya partisipasi politik melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representative sebagaimana diwujudkan dalam mekanisme partai politik sebagai salah satu wadah penyelenggara pemilu rakyat yang tentunya tidak akan lepas dari peran dan dukungan rakyat sebagai warga negara, juga harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) sebagai kodrat yang diberikan Tuhan serta penghargaan dan penerapan kebebasan dan persamaan.13

Maka dengan demikian, demokrasi di Indonesia diwujudkan dalam suatu pemilihan umum yang digariskan dan diatur dalam konstitusi Negara, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum tersebut dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,14 dan diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

12

R. William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik, Penerjemah: Tim Penerjemah Pustaka Utama Garfiti, cet. I, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) h. 13-14.

13

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 192.

14

Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,


(47)

Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.15

Sebelum Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung (oleh rakyat), umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yakni sebelum amandemen UUD 1945 (amandemen ketiga), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR.16 Adapun

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR kurang demokratis.17

Selanjutnya, dalam usaha untuk mewujudkan demokratisasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, maka hanya dapat dilakukan melalui pembaharuan UUD 1945. Pembaharuan UUD 1945 dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dalam kerangka sistem UUD 1945. Kedua, pembaharuan di luar kerangka sistem UUD 1945. Pembaharuan dalam kerangka sistem UUD 1945 dilakukan dengan pengembangan praktik ketatanegaraan baik dalam bentuk kebiasaan ketatanegaraan maupun melalui berbagai peraturan perundang-undangan biasa. Sedangkan Pembaharuan di luar kerangka sistem UUD 1945 hanya mungkin dilakukan apabila ada perubahan resmi (amandemen resmi) terhadap UUD 1945, khususnya ketentuan mengenai pemilihan Presiden. Perubahan ini seyogianya menuju pada pemilihan langsung (popular vote) Presiden dan Wakil Presiden, dan

15

Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Ibid, h. 74.

16

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 204.

17

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, Cet. II, (Jakarta: Setjen & Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 40.


(48)

sepanjang ada keterbukaan, kebebasan, tidak ada tekanan, rakyat akan memilih Presiden (dan Wakil Presiden) yang terbaik.18

Oleh karena telah disahkannya perubahan Keempat UUD 1945 dalam sidang tahunan MPR 2002 maka mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung telah ditentukan secara final ketentuan pokoknya. Dalam rumusan Pasal 6A ayat (4) yang sempat tertunda karena belum berhasil mendapatkan kesepakatan dalam

sidang tahunan MPR 2001 dinyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan Calon

Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh rakyat secara langsung, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan demikian rumusan norma Pasal 6A selengkapnya berbunyi: “(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum; (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden; (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua

18

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, h. 41-42.


(49)

pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden; (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.19 Maka dengan demikian, secara khusus pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia pada saat ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana mandat dari UUD NRI 1945.20

Hal ini menunjukan bahwa untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden telah berlaku mekanisme yang demokratis, adil dan sesuai dengan konstitusi. Adapun pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dimaksud ialah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.21 Dengan kata lain, pemilu Presiden dan

Wakil Presiden adalah pemilihan umum secara langsung untuk memilih jabatan Presiden dan Wakil Presiden.22

19

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, h. 181-182.

20

Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,

h. 74.

21

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Lihat pula Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

22

M. Bambang Pranowo, ed., Multi Dimensi Ketahanan Nasional, cet. I, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), h. 120.


(50)

B. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD 1945

Pada masa Republik pertama (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949) yang landasannya ialah UUD 1945, soal pengisian jabatan Presiden diatur dalam pasal 6

ayat (2), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”.23

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui tiga hal, yakni:24

1. Jabatan Presiden diisi dengan cara pemilihan.

2. Sistem yang dipakai ialah sistem pemilihan tidak langsung. Rakyat memilih terlebih dahulu wakil-wakilnya yang akan duduk di dalam suatu badan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian selnjutnya badan tersebut yang melakukan pemilihan Presiden. majelis tersebut bukan merupakan badan ad hoc melainkan badan tetap yang selain berwenang memilih Presiden (dan Wakil Presiden), juga mempunyai wewenang lain, yaitu menetapkan undang-undang dasar, menetapkan garis besar haluan negara dan mengubah undang-undang dasar. 3. Cara mengambil keputusan digunakan asas suara terbanyak, dengan kata lain

melalui pemungutan suara. Hal tersebut menunjukan bahwa pembuat UUD 1945 mengantisipasi lebih dari satu orang calon Presiden. selanjutnya yang terpilih ialah

23 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 45.


(51)

calon yang mendapatkan suara terbanyak, maksudnya adalah suara terbanyak mutlak.

Namun teori di atas dengan praktiknya berbeda. Pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 1945, Soekarno dipilih sebagai Presiden secara aklamasi.25 Hal tersebut dikarenakan hanya terdapat satu orang calon atau

calon tunggal untuk masing-masing jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Maka dengan kata lain, PPKI di dalam rapatnya pada saat itu tidak mengadakan pemilihan melainkan menyetujui dengan suara bulat pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia tanpa melalui pemungutan suara sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan pada setiap proses pemilihan/pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.26

Pada masa Republik kedua (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) yang berdasarkan konstitusi RIS perihal pemilihan Presiden diatur di dalam Pasal 69 ayat (2), yakni:

“Beliau (Presiden, pen.) dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai

kata sepakat.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa pada masa ini pemilihan dilaksanakan dengan sistem pemilihan yang tidak dilakukan oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.pemilihan dilakukan oleh sebuah badan yang terdiri

25 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46.

26

Muchyar Yara, Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara), cet. I, (Jakarta: Nadhilah Ceria Indonesia, 1995), h. 163.


(52)

dari orang-orang yang mendapat mandate dari pemerintah daerah-daerah bagian. Badan ini bersifat ad hoc yang berarti tugasnya ialah khusus untuk memilih Presiden. Setelah tugas itu selesai, maka badan itu pun bubar. Selanjutnya sebagai catatan bahwa pada Pemilihan Presiden yang kedua ini yakni pada tanggal 16 Desember 1949, Ir. Soekarno juga terpilih secara aklamasi, dengan kata lain, terulang kembali preseden calon tunggal untuk kedua kalinya.27

Pada masa Republik ketiga (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), yang berlandaskan UUD 1950, Ir. Soekarno tetap memangku jabatan Presiden berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 141 ayat (3) UUD 1950.28

Soal pengaturan pemilihan Presiden (baru) didelegasikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat Undang-Undang biasa, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 45 ayat (3), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”

Namun hingga berakhirnya masa republik ketiga, undang-undang yang dimaksud tersebut tidak terbentuk. Demikian pula konstituante hasil pemilihan umum 1955 tidak berhasil membentuk undang-undang dasar baru yang diharapkan dapat mengatur perihal pemilihan Presiden. badan tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno sebelum tugasnya selesai.29

27

Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46.

28Ibid

, h. 47.


(53)

Pada masa Republik keempat (5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999) menurut Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yang berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun Pasal tersebut belum bisa diterapkan, dikarenakan MPR hasil pemilu belum terbentuk. Hal tersebut merupakan berkat yang tersembunyi (blessing in disguise); jikalau pemilu dilaksanakan pada masa Orde Lama, maka kemungkinan besar MPR akan didominasi oleh PKI, karena Masyumi dan PSI telah dibubarkan dan PNI sudah retak.30

Situasi politik berubah setelah perebutan kekuasaan (kudeta) yang dilakukan oleh PKI (30 September 1963) mengalami kegagalan. Peristiwa tersebut merupakan the beginning of the end bagi Presiden Soekarno yang tidak mengambil tindakan tegas terhadap PKI.31

Untuk menyelesaikan situasi konflik antara kekuatan Orde Lama dan Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang para anggotanya telah diganti oleh unsur-unsur Orde Baru, mengadakan sidang umum ke-IV dari tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966. Sidang tersebut menghasilkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan atau penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan pejabat Presiden. Pasal 3 Ketetapan MPRS yakni: “Dalam hal terjadi yang disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil

pemilihan umum.” Maka dengan demikian ketetapan MPRS No. 111/MPRS/1963

30Ibid

, h. 48.


(54)

tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, dicabut dengan ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS/1966.32

MPRS yang pembentukannya menyalahi ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 ternyata menjadi boomerang bagi Presiden Soekarno. Dalam sidang istimewa MPRS pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, lahirlah ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Adapun Pasal 4 Ketetapan MPRS yakni:

“Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1996, dan mengangkat Jendral Soeharto, Pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya

Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.”

Maka dengan demikian, berakhir era Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.33

Dalam sidang umum MPRS yang ke-V (terakhir) yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 maret 1968. Dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, kedudukan hukum Jendral Soeharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden (Seutuhnya). Hal tersebut mengabaikan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1996 dan Pasal 4 Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 yang mengatur bahwa masa jabatan Pejabat Presiden ialah sampai terbentuknya MPR hasil Pemilihan Umum.34

32Ibid

, h. 49.

33Ibid. 34Ibid


(55)

Setelah Majelis Permusyawaratan hasil Pemilihan Umum 3 Juli terbentuk, dalam sidang umum MPR 1973 dikeluarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 yang mengatur tata cara pemilihan Presiden sebagai berikut:

1. Tiap-tiap fraksi, melalui pimpinan masing-masing, menyampaikan secara tertulis calon Presiden (yang telah disetujui oleh calon bersangkutan) kepada pimpinan MPR. Dalam waktu 24 jam sebelum Rapat Paripurna Pemilihan Presiden (Pasal 9 dan Pasal 10). Quorum rapat ialah 2/3 dari jumlah anggota MPR (Pasal 31).

2. Pimpinan MPR mengumumkan nama calon yang telah memenuhi syarat jabatan jabatan kepada rapat (Pasal 11).

3. Jika hanya ada satu orang calon, rapat langsung mengsesahkannya {Pasal 13 ayat (2)}.

4. Jika ada lebih dari satu orang calon, dilakukan voting {Pasal 13 ayat (1)}. Yang terpilih ialah calon yang mendapatkan suara minimal “setengah tambah satu” (Pasal 14).

5. Jika tidak ada calon yang mendapatkan suara terbanyak mutlak, yaitu minimal

“setengah tambah satu”, maka diadakan pemungutan suara tahap kedua yang dilakukan terhadap dua orang calon yang mendapat suara relative lebih banyak dari calon-calon lainnya (Pasal 15), maka calon ketiga dan seterusnya gugur. Selanjutnya siapa diantara kedua calon yang mendapatkan suara terbanyak maka ialah yang terpilih (Pasal 16). Jika kedua calon tersebut mendapatkan suara sama banyak, maka pada tahap ketiga dilakukan pemungutan suara ulang (Pasal 17). Namun jika hasilnya tetap sama, maka pada tahap keempat dilakukan pemungutan


(56)

suara berdasarkan kehadiran wakil-wakil fraksi yang membawa jumlah suara dari fraksi masing-masing secara tertulis (Pasal 18). Selanjutnya, jikalau masih gagal juga, artinya tiap calon tetap mendapatkan suara sama banyak, maka fraksi-fraksi mengusulkan calon lain (Pasal 19).35

Namun dalam praktiknya belum pernah ada pemungutan suara. Pemilihan Presiden yang pertama kali sejak terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum (atau yang ketiga kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia) dilangsungkan pada 23 Maret 1973. Karena terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto, maka rapat langsung mengesahkannya sebagai Presiden, sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2).36

Pada pemilihan-pemilihan Presiden berikutnya (1978, 1983, 1988, dan 1993) juga hanya terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto. Selanjutnya, karena pada pemilihan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat pada tanggal 16 Desember 1949 juga terdapat calon tunggal, yaitu Ir. Soekarno, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia telah timbul “tradisi calon tunggal” dalam hal pemilihan Presiden.37

Menurut Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, pada masa ini (masa Republik keempat) meskipun pemilihan Presiden dilaksanakan secara tidak langsung, namun pengisian jabatan Presiden masuk dalam sistem (stelsel) pemilihan (election) bukan

35Ibid

, h. 50 – 51.

36Ibid

, h. 52.


(57)

pengangkatan (appointment). Karena itu, merupakan suatu anomali38, apabila terdapat

ketetapan MPR mengenai pengangkatan Presiden (dan Wakil Presiden). MPR tidak mengangkat, melainkan memilih Presiden (dan Wakil Presiden).39

Apabila Presiden tetap dipilih MPR, tidak boleh ada ketetapan tentang pengangkatan Presiden (dan Wakil Presiden), karena bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih bukan diangkat. Untuk menetapkan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih, disusun suatu berita acara pemilihan yang berisi penyelenggaraan pemilihan dan penetapan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih.40

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan menjelaskan pula bahwa terdapat 3 hal yang menunjukkan pemilihan Presiden oleh MPR kurang demokratis, yakni:

1. MPR dikuasai oleh suatu kelompok kekuatan politik (Golkar yang selalu didukung ABRI), yang sangat dominan (sistem partai dominan). Tidak ada kekuatan politik lain yang berimbang untuk memungkinkan mekanisme demokrasi berjalan sebagaimana mestinya.

2. Praktik calon tunggal yang “dipaksakan”, sehingga secara riil tidak ada pemilihan Presiden. MPR sekedar mengukuhkan calon tunggal yang tidak mungkin ditolak.

38

Anomali adalah penyimpangan dari normal; kelainan; atau ketidaknormalan. Lihat Ivenie Dewintari S dan Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, cet. I, (Jakarta: Aprindo, 2003), h. 29.

39

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, h. 39-40.

40Ibid,


(58)

3. Mekanisme kerja MPR (diatur dalam Tata Tertib) tidak memungkinkan peranan individual anggota. Segala kegiatan dilakukan oleh atau atas nama fraksi.41

C. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Setelah Amandemen UUD 1945

Negara Republik Indonesia mengalami empat kali perubahan atau pergantian konstitusi dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1959), dan empat kali perubahan (amandemen) konstitusi selama 2 tahun (1999-2002) yakni perubahan I-IV UUD 1945.42

Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa amandemen pertama terjadi pada tahun 1999 yang dilakukan melalui Sidang Umum MPR Oktober 1999; Amandemen kedua terjadi pada tahun 2000 yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2000; Amandemen ketiga pada tahun 2001 yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Oktober 2001; Dan terakhir amandemen keempat pada tahun 2002 yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2002. UUD 1945 yang telah diamandemen inilah yang berlaku hingga sekarang.43

Meskipun amandemen telah dilakukan dua kali sejak tahun 1999 sampai tahun 2000, namun pada amandemen ketiga, yakni tahun 2001, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut berbeda dengan sebelumnya (sebelum amandemen ketiga), yakni Presiden dan Wakil

41Ibid. 42

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 22.

43


(59)

Presiden dipilih oleh MPR.44 Dengan kata lain, pemilihan umum Presiden dan Wakil

Presiden sebelum amandemen UUD 1945 (sebelum amandemen ketiga) tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan dipilih oleh MPR.

Tim Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menjelaskan dalam analisisnya, bahwa terdapat beberapa alasan yang mendasari amandemen UUD 1945, yakni sebagai berikut:45

1. Alasan utama dan terutama yang mendasari perlunya perubahan UUD 1945 adalah karena dalam ketentuan-ketentuan lama (sebelum amandemen), UUD 1945 menciptakan struktur kelembagaan (institusi-institusi) Negara yang tidak memungkinkan terjadinya checks and balances (saling mengontrol dan saling mengawasi antar institusi negara) secara wajar dan memeadai. Adapun beberapa indikasinya antara lain:

a. Pertama, MPR yang ditempatkan pada posisi sebagai lembaga tertinggi negara. Institusi ini dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan karena itu diposisikan sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. b. Kedua, Presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam wilayah

kekuasaan dan kewenangan yang seharusnya menjadi domain (wilayah) kekuasaan lembaga negara yang lain.

44

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 204.

45

T.A. Legowo, dkk., Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945(Kritik, Masalah dan Solusi), (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 40-44.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS IJIN CUTI KEPALA DAERAH PROVINSI UNTUK MENGIKUTI PEMILIHAN PRESIDEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

0 2 16

Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai peserta pemilu menurut undang-undang pilpres

1 8 14

Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Rangka Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat Di Indonesia (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden)

0 7 118

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PREDIEN

0 8 55

peran media dalam kampanye di tinjau dari undang-undang no.42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden berdasarkan hukum penyiaran di indonesia.

0 1 1

Persentase Perolehan Suara Sah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Putaran Pertama Menurut Provinsi dan Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden

0 0 1

Pengusulan Pasangan Calon Presiden Dan W

0 0 14

Konstruksi media terhadap karakteristik kepemimpinan calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu presiden 2009

0 2 249

KUALIFIKASI PELANGGARAN PIDANA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

0 0 10

ANALISIS PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ( Studi terdahap Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden) - Raden Intan Repository

0 0 90