B. Calon Presiden dan Wakil Presiden Independen Dalam Pemilihan
Presiden danWakil Presiden.
Serta pasal 6A ayat 2 yang menentukan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tidak bertentang dengan pasal 6A ayat 1 dan 2 tersebut. Namun jika dikaitkan dengan pasal 27 ayat 1, terlihat pertentangan
antara Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dengan pasal 27 ayat 1 dan pembukaan UUD 1945 itu. Didalam pasal 27 ayat 1 dinyatakan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena
itu pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dapat diikuti oleh partai politik atau orang-orang yang diusung oleh partai politik
atau gabungan partai politik merupakan bentuk suatu ketidakadilan. Dalam konstitusi itu telah ditetapkan bahwa di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini yang berdulat adalah rakyat. Jadi rakyatlah yang berdaulat, bukan negara, yang berdaulat itu bukan konstitusi karena konstitusi
itu dibentuk oleh rakyat yang berdaulat itu. yang berdaulat juga bukan partai, tetapi yang berdaulat adalah rakyat.
88
Dari sini, muncullah pendapat perlu dibolehkannya calon Presiden dan Wakil Presiden Independen untuk maju mencalonkan diri, karena publik
cukup merindukan tampilnya kandidat presiden yang berasal dari luar partai politik.
89
Namun harapan akan adanya calon Presiden dan Wakil Presiden Independen tidak dibolehkan oleh konstitusi. Sebagian pihak telah
mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ini untuk membolehkan calon
Presiden dan Wakil Presiden dapat memajukan diri, namun Mahkamah tetap tidak menerima dan menolak permohonan selebihnya. Salah satunya ialah
Putusan Nomor 26PUU-VII2009, dimana Mahkamah berpendapat, bahwa pembatasan dalam pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat 2 UU 422008 tidaklah
bertentangan dengan UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif.
Majelis menilai ketentuan pasal ini sudah jelas baik secara tekstual maupun dengan penafsiran melalui original intent atau kehendak awal.
Berdasarkan original intent, UUD 1945 hanya mengenal adanya pasangan
88
M, Dimyati Hartono, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, dan Konsepsi Nasional Jakarta: Gramata
Publishing, 2010, h. 73.
89
Zaenal Arifin, “Pemilihan Presiden Langsung Substansi dan Problematikanya”,
artikel diakses
pada 4
oktober 2013
dari http:www.oocities.orginfopmkripilih_presidenlangsung.html
calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, ujar Hakim Konstitusi
Arsyad Sanusi. Putusan yang dibuat oleh delapan hakim konstitusi ini tidak bulat. Tiga
Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Maruarar menilai bila Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 dianggap sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi dari hak-hak
dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Ia menjelaskan seharusnya Majelis melihat juga hak-hak konstitusional lain yang diatur
dalam UUD 1945. Di antaranya adalah hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat 2, Pasal 28D ayat 3 dan Pasal 28I ayat 3.
Tafsir Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang mengesampingkan pasal-pasal UUD yang disebut di atas, pasti menggambarkan kerancuan berpikir yang
tidak logis dalam paham konstitusionalisme dalam kehidupan bernegara, jelas Maruarar.
Sedangkan Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengkritik pendapat koleganya yang hanya menafsirkan secara tekstual Pasal 6A ayat 2. Ia
berpendapat untuk menjaga spirit dan moralitas konstitusi, seharusnya konstitusi juga harus dibaca dalam konteks kekinian.
Meski ketiga hakim konstitusi mengaku setuju dengan capres independen, namun mereka mengakui capres independen belum bisa
diterapkan pada Pemilu 2009. Barangkali pada Pemilu 2014 atau Pemilu 2019 baru dapat diwujudkan, ujar Mukthie.
Karenanya, Mukthie menilai seharusnya putusan ini berbunyi conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya, pasal-
pasal yang dimohonkan tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memberi ruang bagi calon perseorangan.
90
90
Hukum Online.com,
“Pemilihan Presiden Langsung Substansi dan Problematikanya
”, artikel
diakses pada
22 November
2013 dari
http:www.hukumonline.comberitabacahol21216mk-tolak-permohonan-capres- independen
70
BAB V PENUTUP