Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai )

(1)

KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG

DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN

NEGARA (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS II B TANJUNG BALAI )

TESIS

Oleh

SURUNG PASARIBU

077005027/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG

DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN

NEGARA (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS II B TANJUNG BALAI )

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SURUNG PASARIBU

077005027/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA ( STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI ) Nama Mahasiswa : Surung Pasaribu

Nomor Pokok : 077005027 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 21 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS

2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Pengaturan tentang penahanan yang diatur oleh KUHAP lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia jika dibandingkan HIR dengan memuat ketentuan tentang batas waktu penahanan. Dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal KUHAP ditentukan bahwa terdakwa harus dikeluarkan demi hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan jika batas waktu penahanan telah habis.

Dalam pelaksanaannya, pengeluaran tahanan demi hukum mengalami hambatan sejak diterbitkannya Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang menentukan pengeluaran demi hukum terhadap tahanan tidak bersifat imperatif melainkan masih memerlukan koordinasi pada 10 (sepuluh) hari sebelum batas waktu penahanan berakhir dengan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis dan jika tidak ada tanggapan dilanjutkan dengan komunikasi langsung 3 (tiga) hari sebelum batas waktu penahanan habis.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki dengan memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah membandingkan realitas hukum dengan ideal hukum.

Kesimpulan yang dapat diberikan adalah bahwa sepanjang tahun 2008 rumah tahanan negara Klas IIB Tanjung Balai telah mengeluarkan tahanan demi hukum tanpa syarat sesuai dengan KUHAP dengan mengenyampingkan Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang membenarkan tindakan kelalaian mengeluarkan surat perintah penahanan dapat dibenarkan dengan jalan koordinasi.


(6)

ABSTRACT

Arrangement about restraint that arrange by KUHAP give more surely law and protected for status and dignity of human if it compare HIR with contain determined about restraint time of limit. In paragrapht of 24 until with KUHAP of paragraph establis that defendant have to excretion for law in every level of inspection if time of limit restraint is over.

In Implementation, excreation of restraint after law obstruction experience since Surat Edaran Bersama is published between Ketua Mahkamah Agung with Direktorat Jendral Pemasyarakatan date of 19 november 1983 No.MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 that determined excreation by law for defendant not imperative charateristic but rather need to responsibility coordination as juridical and if it not reaction continued with live comunication 3 (three) days before limit of time restraint is over.

This research is analytical descripteve characteristic with the purpose is for make sistematic descriptive, factual and accurate about facts, characteristic’s and phenomenon relation which is observant with a strategic formula of problem compare realization law with ideal law.

The result is as far as 2008 year country defendant home class II B Tanjung Balai have published defendant after law without prerequirement agree with KUHAP which is care about Surat Edaran Bersama between Ketua Mahkamah Agung with Direktorat Jendral Pemasyarakatan date of 19 november 1983 No.MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 which is indifferent action valid published document of order restraint can be valid with coordination methode.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas kesehatan dan kesempatan dan kesempatan yang deberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul ”KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA” (STUDI DILEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI ASAHAN)

Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji, Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpA(K), Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang menerima penulis untuk mengikuti studi di Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B MSc Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh wakil Direktur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan pembimbing utama penulis.


(8)

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beliau juga merupakan pembimbing utama penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku pembimbing utama penulis. 6. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku penguji dalam

penilitian tesis ini

7. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku penguji dalam penelitian tesis ini juga telah banyak memberikan motivasi, koreksi dan dukungan.

8. Bapak Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sumatera Utara beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang telah menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan mendo’akan penulis. Teriring salam bahagia penulis haturkan kepada isteri tercinta Veronika Paulana Sagala, BA dan anak-anakku tersayang : Michael Djoko Tanger Pasaribu, Jack Bastian Ferdy Pasaribu, Juan Hezron Allaro Pasaribu, Yohannes Ford Santra Pasaribu dan putriku tercantik Shinta Lonita Pasaribu atas kerelaan dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, terutama teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.


(9)

Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan-kekurangan untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya penerapan KUHAP di Indonesia, dan Tercapainya kepastian Hukum dan Hak Azasi Manusia.

Hormat penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : SURUNG PASARIBU,Bc.IP,SH,M.HUM. Lahir /Tempat : 12 Oktober 1959 di Limbong.

Agama : Kristen Protestan.

Pekerjaaan : PNS Dep.Hukum dan HAM. Alamat : Jl.Yayasan No.26 Gaperta Medan. Telapon : 061- 77809071

HP : 08126409012

Pendidikan :

SD Negeri Singkam 1965 – 1971. SMP Negeri Limbong 1972 – 1974. SMPS Negeri Medan 1975 – 1979 (pagi). SMA Negeri V Medan 1976 – 1979 (sore). Akademi Ilmu Pemasyarakatan Jakarta 1979 – 1982. Universitas Islam Sumatera Utara 1986 – 1990. Sekolah Pascasarjana Hukum USU Medan 2007 – 2009.

Pekerjaan :

- CPNS Lapas Klas I Tangerang 1983. - CPNS Kanwil DKI Jakarta 1984. - PNS Lapas Cipinang Jakarta 1984. - PNS Rutan Salemba Jakarta 1985. - Kasubsi Perawatan Lapas Binjai 1986. - Kasubsi Yantah cabang Rutan Labuhan Deli 1991. - Kasi Binadik Lapas Penyabungan 1995.


(11)

- Kacab Rutan Sipirok 1999. - Kasie Kamtib Lapas Rantau Prapat 2002.

- Kacab Rutan Pangururan 2004.

- Ka.KPLP Klas I Medan 2006.

- Kalapas Klas IIB Tanjung Balai Asahan 2007. - Kalapas Klas IIA Binjai 2008.

Isteri : PERONIKA PAULANA SAGALA.BA.

Anak :

1. MICHAEL DJOKO TANGER PASARIBU ( PNS ). 2. JACK BASTIAN FERDI PASARIBU ( PNS ).

3. JUAN HEZRON ALLARO PASARIBU ( MHS USU ). 4. YOHANNES FORD SANTRA PASARIBU ( SMA XII ). 5. SHINTA LONITA PASARIBU ( SD ).

MOTTO HIDUP

“ SLOWLY BUT SURE”

“SEJUTA KAWAN MASIH KURANG” SATU LAWAN BERLEBIHAN

“TEGAS TIDAK GANAS” “RAMAH TIDAK LEMAH”


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR SINGKATAN... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan Penelitian ……… 7

D. Manfaat Penelitian ………... 7

E. Keaslian Penelitian ………. 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………. 8

1. Kerangka Teori ……… 8

2. Konsepsional ……….... 22

G. Metode Penelitian ……….. 23

1. Spesifikasi Penelitian ... 23

2. Sumber Data Penelitian ……… 24


(13)

4. Analisis Data ………...….… 26

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ... 27

A. Tinjauan Yuridis Tentang Penahanan ……..……….. 27

B. Urgensi Tindakan Penahanan Sebagai Penanggulangan Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana ... 38

BAB III : AKIBAT HUKUM TERHADAP BATAS WAKTU PENAHANAN YANG TELAH HABIS ... 46

A. Batas Waktu Penahanan Yang Telah Habis Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia ... 46

B. Pemeriksaan Terdakwa Setelah Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara ... 58

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Batas Waktu Penahanan Habis Sebelum Pemeriksaan Selesai ……….... 67

BAB IV : PROSEDUR PENGELUARAN TAHANAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA ... 76

A. Rumah Tahanan Negara Sebagai Tempat Penahanan Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana ... 76

B. Mekanisme Yuridis Pengeluaran Demi Hukum Terhadap Terdakwa Atas Penahanan Yang Telah Habis ... 88

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ……….... 104

B. Saran ... 105


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Terdakwa Yang Keluar Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai) Dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan Negeri

Tanjung Balai Tahun 2008 …….…………... 97

2. Terdakwa Yang Keluar Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai) Dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan Tinggi


(15)

DAFTAR SINGKATAN

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

PNTB : Pengadilan Tinggi Tanjung Balai

PP : Peraturan Pemerintah

PT : Pengadilan Tinggi

RUTAN : Rumah Tahanan Negara

SE : Surat Edaran


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.1 Norma ini bermakna bahwa hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam suatu negara hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu mendapat perhatian, yakni, keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum.2 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak dapat diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.3

Sebagai instrumen pengendalian sosial, penegakan hukum diperlukan guna menjaga ketertiban yang menjadi eksepktasi dalam kehidupan masyarakat. Jika

1

A. Rahman Zainuddin, Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 3.

2

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 1.

3

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:


(17)

ditinjau dari perspektif makro, maka peran dalam penegakan hukum yang strategis akan menjadi alat pengendali dan moral guidance bagi perilaku penyelenggara negara, elit politik dan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan dalam perspektif mikro, peran penegakan hukum diaplikasikan dalam proses peradilan (law enforcement) mulai dari penyidikan, penuntutan hingga eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.4

Proses penegakan hukum, tidak saja membutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi juga membutuhkan instrumen penggeraknya yakni institusi-institusi penegak hukum yang merupakan komponen-komponen dari sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, badan peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Penegakan hukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap individu warga negara merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam suatu negara demokratis. Dengan adanya keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara hukum, maka sering dijadikan satu nafas untuk menyebutkan bentuk ideal negara hukum yang melindungi hak-hak warga negara dalam satu istilah negara hukum yang demokratis.5 Penegakan keadilan terkait dengan implementasi peraturan perundang-undangan yang diterapkan sesuai dalam konteks keadilan sebagaimana diterima

4

Paparan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Apel Kasatwil Kepolisian Republik Indonesia, “Kebijakan dan Strategis dalam Penegakan Hukum di Bidang Penuntutan”, Semarang, 16 Februari 2001, hal. 1.

5


(18)

masyarakat. Kegagalan memfasilitasi keadilan melalui proses peradilan akan berujung pada kemarahan masyarakat kepada institusi penegak hukum.6

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), tidak saja memuat tentang hak dan kewajiban yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing institusi penegak hukum tetapi juga memuat tentang tata cara proses pidana untuk menjamin hak asasi manusia khususnya mereka yang sedang berhadapan dengan permasalahan hukum. Proses penegakan hukum menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi didalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.

Sistem peradilan pidana terpadu merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem ini melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan pengadilan. Integrated criminal justice system adalah sinkronisasi dan keselarasan yang dapat dibedakan: Pertama, sinkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar

6

Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007),


(19)

lembaga penegak hukum. Kedua, sinkronisasi substansial (substansial sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif dan Ketiga, sinkronisasi kultural (cultural sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.7

Setiap sub sistem dalam sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsistem lainnya. Sistem ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peranan yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan dengan mengarahkan segenap potensi (anggota dan sumber daya) yang ada di lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).

Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu. Ironinya meskipun berbagai upaya

7

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan


(20)

telah dilakukan untuk mengeliminir permasalahan di dalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi antar para penegak hukum.

Salah satu permasalahan dalam praktek proses peradilan pidana mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan yang menjadi topik dari penelitian ini adalah mengenai kepastian hukum bagi terdakwa atas batas waktu penahanan yang telah habis.8 Selain itu muncul pemahaman yang berbeda mengenai terdakwa dikeluarkan demi hukum yang dalam prakteknya “dianggap” sama dengan bebas demi hukum. Pada prinsipnya kedua terminologi “dikeluarkan demi hukum” dan “bebas demi hukum” memiliki perbedaan yakni bahwa terdakwa dikeluarkan demi hukum tingkat pemeriksaan masih dalam tahap proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan sedangkan bebas demi hukum didasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya proses peradilan sudah selesai. Namun sifat yuridisnya sama-sama berdasar hukum atau demi hukum.

Berdasarkan data awal prapenelitian yang didapatkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Asahan sebanyak 12 (dua belas) orang terdakwa selama tahun 2008 (sampai september 2008) telah dikeluarkan demi hukum karena telah habis masa penahanannya. Para terdakwa tersebut masih menjalani

8

Lihat Pasal 19 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.


(21)

proses peradilan baik atas banding pihak kejaksaan maupun karena belum keluarnya putusan pengadilan yang lebih tinggi.

Salah satu contoh kasus dari data awal pra penelitian tesis ini adalah terdakwa an. Tahan Sinaga dkk. Yang telah dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan oleh LAPAS Kelas II B Tanjung Balai Asahan pada tanggal 29 Juli 2008. Perkara atas terdakwa tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Balai tanggal 14 April 2008 No. 174/Pid/B/2008/PN-TB dengan hukuman 6 (enam) bulan 15 (lima belas hari) penjara. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan banding, namun sampai dengan tanggal 29 Juli 2008 sebagai batas akhir penahanan, putusan pengadilan atas banding Jaksa Penuntut Umum belum diterbitkan, sehingga terdakwa harus dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti tertarik untuk membahas dan meneliti mengenai ”Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka adapun yang menjadi rumusan masalah adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang penahanan dalam sistem peradilan pidana? 2. Bagaimana akibat hukum atas batas waktu penahanan yang telah habis?


(22)

3. Bagaimana proses dikeluarkannya terdakwa demi hukum dari rumah tahanan negara karena batas waktu penahanan yang telah habis?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas, maka adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang penahanan dalam sistem peradilan pidana.

2. Untuk mengetahui akibat hukum atas batas waktu penahanan yang telah habis. 3. Untuk mengetahui proses dikeluarkannya terdakwa demi hukum dari rumah

tahanan negara karena batas waktu penahanan yang telah habis.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi penemuan konsep-konsep hukum untuk menyempurnakan ketentuan dalam KUHAP sebagai pedoman dalam proses peradilan pidana yang lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum.

2. Secara praktis, diharapkan dapat dijadikan bahan masukan baik bagi masyarakat maupun bagi para penegak hukum khususnya kepolisian, kejaksaan, hakim lembaga pemasyarakatan dan advokat.


(23)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai analisis kepastian hukum terhadap putusan hakim dikaitkan dengan dikeluarkannya terdakwa demi hukum oleh Lembaga Pemasyarakatan, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan dalam tesis ini mengacu kepada aliran analytical positivism yang dikemukakan oleh John Austin bahwa peraturan yang diadakan adalah untuk memberikan bimbingan kepada makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya. Dalam kaitan ini, hukum dipisahkan dari keadilan dan didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan yang buruk yang didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.9

9

W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 149.


(24)

Austin mengemukakan sebuah pernyataan yang sampai sekarang dianggap sebagai klaim utama para legal positivism10 yang berbunyi the existence of law is one thing, its merit or demerit is another yakni hukum harus didefenisikan tanpa mengaitkannya dengan moral sehingga hukum disebut positif karena dipositifkan atau diberikan posisi tertentu oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Semua yang tidak merupakan perintah dari pemegang kedaulatan bukanlah hukum. Pendapat ini kemudian mempengaruhi pemikiran mengenai sumber hukum. Hukum dikatakan hukum, hanya apabila berasal atau dibuat oleh negara. Ajaran ini selanjutnya berkembang menjadi legisme yang menganggap hukum hanyalah undang-undang.11

Lebih lanjut Austin mengemukakan bahwa hukum dibedakan kepada 2 (dua) hal, yakni: Pertama; hukum dalam arti yang sebenarnya (hukum positif) yang disebut law properly so called (positive law) yang memiliki command, sanction, duty, sovereignty. Ketentuan yang tidak mengandung 4 (empat) unsur tersebut tidak dapat disebut hukum positif namun hanya moralitas positif. Kedua; hukum yang tidak sebenarnya disebut law improperly so called yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum karena tidak ditetapkan atau dibuat oleh penguasa. Hukum didefenisikan sebagai a rule laid down for the quidance of intelligent being

10

Teori hukum merefleksikan perjuangan hukum di antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dan perubahan, kepastian dan keleluasaan. Sepanjang objek hukum adalah menciptakan ketertiban maka pendekatannya diletakkan pada kebutuhan akan stabilitas dan kepastian. Pada umumnya, teori-teori hukum dan para ahli hukum cenderung untuk lebih menekankan pada stabilitas dari pada perubahan. Lihat, W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan II), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 37.

11

Ricardo Simarmata, Socio-Legal Studies Dan Gerakan Pembaharuan Hukum, http://www.huma.or.id/document/, diakses tanggal 26 April 2009


(25)

by an intelligent being having power aver him. Dari pembedaan ini, maka sumber hukum satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara sedangkan sumber lainnya adalah rendah.12

Pendapat Austin yang menekankan hukum sebagai perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dari suatu negara dapat disejajarkan dengan teori kekuasaan dari Thomas Hobbes yang memandang negara sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara timbul dan dipertahankan karena oleh kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan menaati peirntah. Austin dan Hobbes sama-sama memandang bahwa tiap undang-undang positif ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi anggota dari suatu masyarakat yang berdaulat di mana pembentuk adalah yang tertinggi.13

Pokok-pokok dari ajaran analytical positivism yang dikemukakan oleh Austin adalah:

1. ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain tersebut berada di luar hukum.

2. walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.

3. pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah.

12

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 64 - 65. 13


(26)

4. hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.

5. kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan.

6. teori ini kurang memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.14 Lili Rasyidi dengan mengutip pendapat Hart menguraikan ciri-ciri positivisme sebagai berikut:

1. hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);

2. tidak ada hubungan mutlak antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku dan hukum yang sebenarnya;

3. analisis konsepsi hukum adalah: a. mempunyai arti penting.

b. harus dibedakan dari penyelidikan.

c. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum. d. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya.

e. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.

4. sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat

14

Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra Adtya Bakti, 2001), hlm. 59 - 60.


(27)

logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.

5. pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.15

Pendapat Austin diikuti oleh Jeremy Bentham yang mengemukakan bahwa hukum dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan kebahagiaan. Teori ini dikenal dengan utilitarianism yang menekankan bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan sehingga pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual, disebabkan tujuan akhir dari perundang-undangan adalah kebahagiaan yang paling besar, yakni baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan dan berkurangnya penderitaan.16

Pemikiran Bentham diikuti Roscoe Pound dalam teori engineering yang mengemukakan bahwa tugas utama dari hukum adalah social engineering untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan dengan seminimum mungkin banturan

15

Ibid, hlm. 57 16

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003), hlm. 117


(28)

dan pemborosan17 yang menekankan pada rumusan dan penggolongan tentang kepentingan kemasyarakatan dengan menitikberatkan pada mengadakan keseimbangan pada kepentingan akan menghasilkan kemajuan hukum. Dalam kaitan ini ada 3 (tiga) penggolongan utama mengenai kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum, yakni: Pertama; kepentingan umum (public interests). Kedua; kepentingan kemasyarakatan (social interest) dan Ketiga; kepentingan pribadi (private interest).18

Beberapa kepentingan yang dilindungi tersebut berorientasi kepada 3 (tiga) nilai dalam hukum, yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan. Ketiga aspek ini saling memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perspektif pidana, kepastian hukum bukan hanya ditujukan terhadap kepentingan korban namun juga untuk kepentingan terdakwa. Essensi dari perkara pidana merupakan perlindungan ketertiban umum. Oleh karena itu maka pada prinsipnya, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian hukum dan ketertiban hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran perlu ditingkatkan sehingga benar-benar mampu menjadi pengayom masyarakat, memberi rasa aman, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kegairahan, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kepastian

17

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 298. 18

Mr. Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1976), hlm. 75.


(29)

hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum yang pelaksanaannya harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat, serta kepastian hukum harus diwujudkan dalam tertib hukum.19 Manfaat hukum berkaitan dengan peruntukkan hukum. Sebagai subyek hukum, maka peruntukkan hukum adalah untuk manusia. Jangan sampai dalam penegakan hukum justru akan terjadi sebaliknya, hukum menjadi penyebab keresahan di dalam masyarakat. Keadilan merupakan tujuan dari hukum. Keadilan merupakan tujuan akhir pembangunan nasional yang membawa konsekuensi, keadilan harus meliputi segala segi.20 Secara sederhana keadilan merupakan suatu keadaan seimbang yakni suatu kondisi yang tidak berat sebelah.

Beberapa hal yang mempengaruhi kepastian hukum dalam penerapan praktek hukum dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa keadaan hukum (the existing legal system) pada saat ini adalah:

1. dilihat dari substansi hukum terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku, yakni hukum adat, hukum agama dan hukum barat. Ketiganya merupakan akibat politik hukum masa penjajahan yang bertujuan untuk menimbulkan kekacauan dalam lingkungan hukum tradisional.

2. ditinjau dari segi bentuk maka sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.

19

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984), hlm. 55

20


(30)

3. hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.

4. keadaan hukum saat ini menunjukkan banyak aturan kebijakan (beleidsregel) baik yang berasal dari administrasi negara maupun dari badan justisial yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Keadaan tersebut menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum.

5. terdapat inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan.

6. perundang-undangan yang berlaku sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman (out of date). Kekurangan ini dapat diatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah.21

Kondisi hukum saat ini sangat menyedihkan dan mengalami keterpurukkan yang luar biasa. Penciptaan berbagai peraturan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru timbul kondisi “hiperregulated” membuat masyarakat lebih apatis. Institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa memperdulikan substansial justice. Secara lengkap Achmad Ali menyatakan bahwa:

Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum, disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan dan mengetahui sendiri betapa “sandiwara hukum” dan lebih khusus lagi “sandiwara peradilan” masih terus berlangsung. Serentetan kasus-kasus hukum dan peradilan yang muncul di media massa. Seperti berita kasus suap menyuap kelas kakap masih berlangsung ditubuh Mahkamah Agung, berita perintah penundaan penuntutan tiga konglomerat dan lain-lain sebagai akibat tidak profesionalnya aparat penegak hukum teramat mengecewakan rakyat banyak. Kesemuanya makin menurunkan citra penegakan hukum. 22

21

Bagir Manan, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 23.

22

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), (Jakarta: Penerbit Ghalia, 2001), hlm. 10 - 11.


(31)

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan tersebut maka untuk menganalisis kepastian hukum terhadap putusan hakim dikaitkan dengan proses penjatuhan pidana harus diletakkan pada tujuan untuk mencapai kepastian hukum, keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya terdakwa. Oleh karena itu, hal-hal spesifik harus ditata kembali untuk menjamin efektivitas proses peradilan dalam rangka ”Integrated Criminal Justice System”. Misalnya, upaya untuk menjamin dakwaan jaksa yang didasarkan pada hasil penyidikan yang akurat sehingga tidak mudah dipatahkan dalam proses peradilan. Menjamin agar dakwaan jaksa tidak begitu mudah ditolak atau tidak dapat diterima oleh suatu Majelis Hakim. Untuk itu perlu ada sistem atau cara untuk menerobos ketentuan KUHAP yang menjadi dinding pemisah yang terlalu ketat antara hakim, jaksa dan polisi.23

Lobby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana dengan proses pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tesebut sedangkan proses peradilan pidana merupakan suatu proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya.24

23

Muladi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hlm. 29.

24

Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta: Datacom, 2002), hlm. 22.


(32)

Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan pidana.25 Pengertian yang lebih umum dari Sistem Peradilan Pidana dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan bahwa:

Sistem peradilan pidana adalah suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, jika sifatnya terlalu formal, yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.26

Pemikiran bahwa setiap subsistem harus saling berkaitan dan terpadu, melahirkan pemikiran tentang suatu sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) sebagai suatu sistem27 yang dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut:

a. titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);

b. pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

c. efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih diutamakan daripada efisiensi penyelesaian perkara;

25

Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm. 1.

26

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 1 - 2.

27


(33)

d. penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan ”the administration of justice”.28

Integrated mengandung pengertian the achievement of unification through shared norm values yang harus tampak dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana sedangkan the administration of justice merupakan administrasi peradilan yang dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yakni: Pertama, court administration meliputi pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan peradilan. Kedua, administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara (case flow management) dan prosedur serta praktik litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power).29

Kekuasaan mengadili berhubungan erat dengan proses penegakan hukum sebagai tanggung jawab yudisial yang mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni:

a. tanggung jawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial;

b. tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang digunakan;

c. tanggung jawab substatantif yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku.30

28

Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 9 - 10. 29

Ibid., hlm 36. 30


(34)

Administrasi peradilan hanya akan berperan maksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana terpadu apabila dapat mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan berhasil memproklamasikan serta melindungi hak asasi manusia dalam administrasi peradilan pidana. Ide dasar konsep kekuasaan lembaga peradilan dalam arti luas adalah merupakan kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Republik Indonesia. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman tidak hanya mencakup kekuasaan mengadili tetapi juga meliputi kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum.”31

Untuk memahami konsep sistem peradilan terpadu maka V.N. Pillai mengemukakan sebagai berikut:

It is necessary to be clear about what we mean by an “integrated” criminal justice administration. Greater integration does not envisage the entire system working as one unit or department or as different sections of one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of unity in diversity, some what like that under which the armed forces function. Each of three main armed services, the army, navy and airforce, in most states has its own distinctive roles in the defence of a country, each its own operational methods. However, in times of need all of them have a common purpose and work towards a common objective. They are able to combine their operations to achive this end without conpromissing their individual roles. Perhaps the war against crime could be considered in a somewhat similar light as a combined operation by all the branches of the criminal justice system, each component playing a specific part with its own personnel and its own resources, but concerned essentially with carrying out over-all criminal policies for a common national objective.32

31

Barda Nawawi Arief, “Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999”, hlm. 3.

32

V.N. Pillai, The Administration of Criminal Justice: Unity in Deversity; dalam Criminal Justice in Asia: The Quest for an Integrative Approach, (Tokyo: UNAFEI, 1982), hlm. 20.


(35)

Dari pendapat Pillai tersebut dapat disimpulkan bahwa makna keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerjasama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujukan sebagai kerjasama dan koordinasi antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lainnya dengan prinsip unity in diversity. Setiap sub sistem dalam sistem peradilan pidana memainkan peranan yang spesifik dalam menanggulangi kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumber daya) yang ada di lembaga-lembaga masing-masing. Namun aktivitas sub sistem harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan.

Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi upaya setiap elemen dapat meningkatkan efektivitas kerjanya dan sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan elemen lainnya harus saling berhubungan secara struktural dan mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tak terjalinnya kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, maka sistem peradilan pidana terpadu tidak akan dapat menanggulangi kejahatan.33

33

Harkristuti Harkrisnowo, Mendorong Kinerja Polri Melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, (Jakarta, Pidato pada Dies Natalis Ke - 57 PTIK dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXXVIII/Arygya Hwardaya, 2003), hlm. 4.


(36)

Berdasarkan uraian tersebut, pendekatan sistem yang digunakan untuk mengkaji peradilan pidana ini mempunyai implikasi sebagai berikut:

1. semua sub sistem akan saling tergantung (interdependent), karena produk (output) suatu sistem merupakan masukan (input) bagi sub sistem lainnya;

2. pendekatan sistem mendorong adanya konsultasi dan kerjasama antar sub sistem yang akhirnya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi sistem tersebut secara keseluruhan;

3. kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub sistem akan berpengaruh pada sub sistem lainnya.34

Berdasarkan teori dan semua pemikiran yang telah dikemukakan, hasil pembahasan dalam penelitian ini akan diarahkan pada hakikat hukum yakni menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan yang pasti dan masyarakat yang adil dengan didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut:35

1. semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil.

semua orang mempunyai kemauan mewujudkan suatu masyarakat yang adil sehingga keadilan (dan kepastian) itu menjadi focus tujuan utama pembentukan undang-undang, yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di satu pihak dan di pihak lain dengan tujuan yang sama maka didirikan pengadilan. Pengadilan itu tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dari akibat perbedaan pandangan antara warga negara, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

34 Ibid. 35


(37)

2. Pada umumnya hukum mempunyai kewibawaan .

Pada umumnya hukum mempunyai kewibawaan sehingga secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang berada dibawah hukum tersebut. Wibawa hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya. Jika demikian halnya, hukum ditakuti, bukan dihormati. Seharusnya, wibawa ada pada hukum, sebab hukum itu mengatur dan membimbing kehidupan bersama manusia atas dasar prinsip-prinsip kepastian hukum dan keadilan.

2. Konsepsional

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti. Konsep dasar yang digunakan oleh peneliti dalam tesis ini antara lain:

1. Kepastian hukum adalah kepastian terhadap penerapan norma hukum yang mengatur tentang hak terdakwa untuk dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara jika telah habis batas waktu penahanannya.

2. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.36

3. Keluar Demi Hukum adalah dikeluarkannya terdakwa karena telah habis masa penahanannya.37

36

Lihat Pasal 1 angka (15) KUHAP. 37


(38)

4. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.38

5. Rumah tahanan negara adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.39

6. Proses penjatuhan pidana adalah proses pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa yang telah dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Deskriptif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum terhadap putusan hakim setelah terdakwa dikeluarkan demi hukum. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai putusan hakim setelah terdakwa dikeluarkan demi hukum berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.”40

38

Lihat Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 39

Lihat Pasal 1 angka (2) Pelaksanaan KUHAP. 40


(39)

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang akan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan realitas hukum dengan ideal hukum. Donald Black menganjurkan untuk mengukur berlakunya hukum agar membandingkan antara ideal hukum (kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim) dengan realitas hukum.41 Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal42 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).43 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.

2. Sumber Data Penelitian

Dari rumusan masalah penelitian ini maka dapat diketahui bahwa penelitian ini didahului oleh inventarisasi data sekunder44 yang meliputi bahan hukum primer,

41

Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam masyarakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 48

42

Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 10.

43

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

44

Penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 14.


(40)

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier namun untuk melihat realita hukum maka penelitian membutuhkan wawancara. Dalam melakukan inventarisasi data, maka data sekunder meliputi sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri atas: a. Norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pancasila dan Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945.

b. Peraturan Dasar yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penahanan terdakwa meliputi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu: literatur seperti buku-buku, majalah hukum, jurnal termasuk laporan penelitian dan dokumen yang berkaitan dengan terdakwa yang keluar demi hukum karena telah habis masa penahanannya.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan ensiklopedia hukum.45

45

Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 23.


(41)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dalam mengumpulkan data peneliti ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan (library research) dan wawancara (interview). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku, jurnal dan penelitian termasuk segala laporan dan dokumen yang berkaitan dengan terdakwa yang keluar demi hukum karena telah habis masa penahanannya serta sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok permasalahan dalam tesis ini sedangkan wawancara dilakukan terhadap jaksa, hakim dan kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

4. Analisis Data

Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian tesis ini maka dimanfaatkan data yang terkumpul yang diperileh melalui studi kepustakaan (library research) serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif sembari memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh yang akan dipaparkan dalam bentuk deskripsi.


(42)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Tinjauan Yuridis Tentang Penahanan

Secara yuridis, pengertian penahanan diatur dalam Pasal 1 angka (21) KUHAP yang menentukan sebagai suatu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari ketentuan tersebut, maka dapat diidentifikasi beberapa elemen substansial sebagai berikut:

a. penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu.

b. pihak yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya.

c. penahanan dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.

Penempatan tersangka atau terdakwa dalam tempat tertentu dapat berupa penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota46 yang merupakan kewenangan dari penyidik, penuntut umum maupun hakim di sidang pengadilan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 KUHAP bahwa:

1. untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan

46


(43)

penahanan.47

2. untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.

3. untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Tidak setiap tersangka atau terdakwa dapat dikenakan tindakan penahanan melainkan jika telah terdapat beberapa syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Syarat-syarat tersebut meliputi: Pertama; adanya dugaan kuat seseorang telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Kedua; penahanan dilakukan dengan surat perintah atau penetapan. Ketiga; penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Keempat; Penahanan tidak melebihi masa tahanan yang telah ditentukan dalam undang-undang dan Kelima; penahanan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan.

J. E. Sahetapy merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang mengandung konotasi tertentu yang merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) dinilai sebagai mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial

47

Perlu hati-hati membaca ketentuan ini karena apabila dicermati terdapat 2 ( dua) elemen) yakni: Pertama; penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik dan Kedua; penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Pasal 11 menentukan penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Yang dimaksud dalam Pasal 20 tersebut sebenarnya adalah bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau peyidik pembantu apabila yang terakhir ini mendapat perintah dari penyidik, mereka itu berwenang melakukan penahanan. Lihat P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984), hlm. 122.


(44)

dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.48

Pompe merumuskan tindak pidana (straafbaar feit) sebagai suatu tindakan yang menurut sesuatu undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum49 sedangkan Vos merumuskan bahwa straafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.50

Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa straafbaar feit harus memenuhi beberapa unsur, yaitu:

1. Suatu perbuatan manusia (manselijk handelingen), dengan handeling dimaksudkan tidak saja een doen (perbuatan) akan tetapi juga een nalatten (mengakibatkan);

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman dalam undang-undang; 3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Artinya, dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan.51

Edwin H Sutherland mengemukakan 7 (tujuh) unsur kejahatan yang saling bergantung dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan apabila tidak memuat semua unsur tersebut:

48

Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 138. 49

P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1990), hlm. 174.

50

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), hlm. 16.

51

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana; Kumpulan Kuliah, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun), hlm. 65.


(45)

1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian;

2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang atau harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana;

3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau kelalaian yang menimbulkan akibat kerugian;

4. Harus ada maksud jahat;

5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan;

6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri;

7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.52

Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat yang essensil agar suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana adalah perbuatan tersebut secara tegas dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku sehingga jika suatu perbuatan belum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana.53 Hukum pidana membedakan tindak pidana kepada kejahatan dan pelanggaran.

Pelaku tindak pidana dapat dikenakan tindakan penahanan hanya jika terdapat bukti yang cukup dan jika terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.54 Ini berarti, tindakan penahanan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang melainkan secara objektif yakni jika telah terdapat bukti yang

52

Edwin H Sutherland, Asas-asas Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1969), hlm. 31 53

Para ahli menganut paham positivisme untuk menentukan suatu perbuatan agar dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Positivisme hanya mempermasalahkan hukum sebagai das sollen yang cenderung berpandangan yuridis-dogmatis. Sedangkan aliran Sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan sosial yang memandang hukum sebagai das sein. Lihat, Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka pelajar, 2007), hlm. 120 - 121.

54


(46)

menunjukkan bahwa tersangka atau terdakwa bersalah. KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian bukti yang cukup untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan perbuatan tindak pidana. Secara teknis peradilan, tiada yang berwenang untuk menyatakan seseorang bersalah kecuali hakim dalam persidangan yang memeriksa dan mengad

etunjuk dan keterangan terdakwa yang memiliki persesuaian antara satu den

idana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak p

8 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari alat bukti:

ilinya.

Melalui Pasal 183 jis Pasal 184 dan Pasal 185 KUHAP dapat disimpulkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang jika terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan mendapatkan keyakinan perbuatan pidana yang terjadi dilakukan oleh terdakwa. Alat bukti yang sah tersebut terdiri dari 5 (lima) yakni: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, p

gan yang lain.

Jika ketentuan yuridis tersebut dihubungkan dengan Pasal 186 jis Pasal 187, Pasal 188 dan Pasal 189 KUHAP maka agar suatu alat bukti dapat dinyatakan sebagai bukti yang cukup adalah jika terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang saling memiliki persesuaian antara satu dengan yang lain yang diperoleh dari alat bukti keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Dari alat bukti tersebut diperoleh alat bukti petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak p

idana dan siapa pelakunya.

Pelarangan memperoleh alat bukti petunjuk dari alat bukti keterangan ahli disimpulkan melalui penafsiran secara a contrario dalam Pasal 18


(47)

a. keterangan saksi.

c. kete

ng berbeda

cekikan yang terdapat pada leher korban sama dengan sidik jari terdakwa. Dalam kasus ini,

b. surat.

rangan terdakwa.

KUHAP tidak memberikan penjelasan alasan pelarangan memperoleh alat bukti petunjuk dari keterangan ahli. Pelarangan ini mengisyaratkan perlunya membatasi kewenangan hakim mencari alat bukti petunjuk dari sumber yang terlalu luas sebab alat bukti keterangan ahli merupakan keterangan yang bersifat subjektif yang didasarkan oleh keahliannya. Ini berarti, keterangan ahli merupakan keterangan yang dianggap kurang objektif. Hal ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang kurang setuju memperoleh suatu petujuk yang objektif dari sumber yang subjektif. Dapat dimungkinkan terjadi 2 (dua) orang ahli memeriksa pada 1 (satu) objek menghasilkan 2 (dua) pendapat yang sali

karena dipengaruhi oleh latar belakang tingkat pendidikan dan pengalamannya.55 Dalam keadaan tertentu yang bersifat kasuistis, beberapa keterangan ahli dapat dikategorikan sebagai syarat bukti yang cukup. Dalam suatu kasus pembunuhan, keterangan ahli A sebagai ahli kedokteran kehakiman menerangkan kematian korban disebabkan dicekik dengan menggunakan tangan. Keterangan ahli B sebagai ahli sidik jari menerangkan bekas

55

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 294 - 295.


(48)

masing-masing keterangan ahli berasal dari 2 (dua) keahlian yang berbeda namun memiliki persesuaian karena itu telah memenuhi batas minimal pembuktian.56

Jika terpenuhi alat bukti minimal tersebut maka secara yuridis telah ada bukti yang cukup untuk melakukan tindakan penahanan terhadap tersangka. Penahanan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang-undang-undang.57 Dalam tindakan penahanan, maka penyidik atau penuntut umum yang melakukan penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan sedangkan penahanan oleh hakim dilakukan dengan mengeluarkan surat penetapan yang tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa58 yang sekurang-kurangnya harus memuat:

a. identitas tersangka atau terdakwa. b. alasan penahanan.

c. uraian singkat tindak pidana yang dipersangkakan atau didakwakan. d. menjelaskan tempat penahanan.

Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menentukan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan

56

Ibid, hlm. 284. 57

Lihat Konsideran Umum Penjelasan KUHAP. 58


(49)

pidana penjara 5 (lima) tahun. Bagi tindak pidana yang diancam di bawah 5 (lima) tahun dapat dilakukan penahanan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tindak pidana yang diatur dalam KUH Pidana meliputi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372 Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 .59

b. tindak pidana yang diatur di luar KUH Pidana meliputi:

1. tindak pidana pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonantie terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471. Saat ini, tindak pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Bea dan Cukai. 2. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4

Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8). Saat ini, tindak pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Bea dan Cukai.

59

Dengan dimasukkannya Pasal 506 tentang orang yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul yang diatur dalam Buku III KUH Pidana tentang Pelanggaran yang ancamannya 3 (tiga) bulan maka telah jelas bahwa tindakan penahanan tidak hanya ditujukan terhadap kejahatan namun juga pelanggaran. Mencermati Pasal 21 ayat (4) KUHAP maka dapat diketahui orang yang melakukan percobaan dalam pasal-pasal tersebut dapat dikenakan tindakan penahanan namun, dapatkah orang yang melakukan percobaan terhadap Pasal 506 KUH Pidana dikenakan tindakan penahanan? Penulis berpendapat bahwa ketentuan KUHAP tersebut tidak dapat diterapkan terhadap orang yang melakukan percobaan melakukan perbuatan menarik keuntungan dari perbuatan cabul (Pasal 506 jo Pasal 53 KUH Pidana) karena dikesampingkan oleh Pasal 54 KUH Pidana yang menentukan bahwa percobaan untuk pelanggaran tidak diancam hukuman. Dengan demikian, ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan bagi perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur delik.


(50)

3. tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Saat ini, tindak pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.60

Penahanan terhadap berbagai tindak pidana tersebut memiliki batas waktu sebagai suatu pembaharuan dalam hukum pidana yang tidak ada pengaturannya dalam HIR. Pembatasan kewenangan penahanan diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 KUHAP yang secara sistematis dapat diuraikan sebagai berikut:

a. penahanan oleh penyidik hanya diperkenankan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dimintakan perpanjangan kepada penuntut umum untuk paling lama 40 (empat puluh) hari.61

b. penahanan oleh penuntut umum hanya diperkenankan untuk jangka waktu 20 hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua pengadilan negeri untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.62

60

Dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (4) KUHAP dinyatakan tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan ditempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Pemisahan tempat perawatan dan pembinaan pelaku penyalahgunaan narkotika dengan pelaku tindak pidana lainnya sedang dikembangkan di lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.

61

Lihat Pasal 24 KUHAP. 62


(51)

c. penahanan oleh hakim terdiri dari:

1. penahanan oleh hakim pengadilan negeri hanya diperkenankan untuk jangan waktu 30 (tiga puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua pengadilan negeri untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.63

2. penahanan oleh hakim pengadilan tinggi hanya diperkenankan untuk jangan waktu 30 (tiga puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua pengadilan tinggi untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.64

3. penahanan oleh hakim pada mahkamah agung hanya diperkenankan untuk jangan waktu 50 (lima puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua mahkamah agung untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.65

Batas waktu penahanan tersebut bersifat maksimal. Ini berarti, penahanan maupun perpanjangan penahanan dapat diberikan secara parsial atau sebahagian saja menurut kebutuhan pemeriksaan. Meskipun batas waktu penahanan belum berakhir namun tersangka atau terdakwa dapat dimungkinkan keluar dari tahanan jika pemeriksaan telah dinyatakan selesai.

63

Lihat Pasal 26 KUHAP. 64

Lihat Pasal 27 KUHAP. 65


(52)

Tiada hukum tanpa pengecualian merupakan asas yang berlaku secara universal dalam hukum. Demikian pula dengan batas waktu dalam melakukan penahanan terdapat pengecualian yakni dapat diperpanjang jika ada salah satu alasan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:

a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang harus dibuktikan dengan keterangan dokter; atau66

b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun atau lebih.

Perpanjangan penahanan tersebut diberikan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan apabila masih diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan masih dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan demikian, pengecualian perpanjangan penahanan dapat diberikan untuk paling lama 60 (enam puluh) hari namun harus diminta atau diajukan secara bertahap. Pemberian pengecualian perpanjangan penahanan dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan penuh tanggung jawab, dalam arti pemberian tersebut harus ditinjau dari segala segi sesuai dengan penggarisan ketentuan undang-undang. Pengecualian perpanjangan penahanan tersebut diberikan oleh:

a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri. b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi.

66

Ketentuan ini menggunakan kata penghubung “atau” yang bersifat pilihan atau alternatif. Berbeda jika penghubung menggunakan kata “dan” yang bersifat gabungan atau kumulasi. Dengan demikian, persyaratan ini tidak harus terpenuhi keduanya melainkan jika salah satu syarat telah terpenuhi maka dapat dijadikan alasan untuk meminta perpanjangan penahanan. Dalam prakteknya, penahanan seperti ini sering disebut dengan istilah perpanjangan penahanan istimewa. Lihat Pasal 29 ayat (1) KUHAP.


(53)

c. pemeriksaan banding diberikan oleh mahkamah agung.67 d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh ketua mahkamah agung.

Syarat terakhir dalam melakukan tindakan penahanan adalah penahanan yang dilakukan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan. Seseorang yang telah ditahan yang lamanya telah sama dengan pidana yang dijatuhkan harus segera dikeluarkan demi hukum atau tanpa persyaratan. Penahanan melebihi pidana yang dijatuhkan dipandang secara yuridis sebagai penahanan tanpa disertai surat perintah yang dapat dituntut kerugian melalui sidang praperadilan.68

B. Urgensi Tindakan Penahanan Sebagai Penanggulangan Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Perihal penahanan merupakan bahagian dari penanggulangan kejahatan yang termasuk dalam bidang kebijakan kriminal sebagai bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, tujuan akhir dari kebijakan kriminal

67

Tidak disebutkan pejabat yang berwenang untuk memberikan perpanjangan penahanan dilakukan oleh ketua mahkamah agung. Yang menjadi latar belakang penyusunan redaksi ini didasarkan kepada keluwesan agar pemberian perpanjangan tidak dikaitkan kepada ketua mahkamah agung melainkan dikaitkan kepada lembaga peradilannya agar pemberian perpanjangan penahanan dapat diberikan kepada setiap hakim agung yang ditunjuk oleh ketua mahkamah agung. Lihat, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 195.

68

Pasal 95 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian karena tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.


(54)

adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang dapat dilakukan dengan cara:

a. penerapan hukum pidana (criminal law application).

b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing iews of society on crime and punishment).69

Penerapan hukum pidana (criminal law application) dengan menggunakan sarana penal dan pencegahan tanpa pidana sebagai upaya menggunakan sarana non penal merupakan upaya penanggulangan kejahatan dalam perspektif hukum pidana. Namun pencegahan tanpa pidana juga merupakan bahagian dari kebijakan atau peristiwa sosial termasuk pula upaya mempengaruhi masyarakat melalui media massa. Hukum pidana tidak akan dapat melakukan penanggulangan secara optimal jika tidak didukung oleh kebijakan sosial. Adanya dukungan tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan kebijakan:

a. keterpaduan (integritas) antara politik kriminal dan politik sosial.

b. keterpaduan (integritas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

69

Istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris disebut dengan istilah policy atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah politiek. Istilah kriminal berasal dari Bahasa Inggris yaitu criminal. Gabungan kedua istilah tersebut melahirkan apa yang disebut criminal policy, criminal law policy atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah strafrechttspolitiek. Kebijakan kriminal dikenal pula dengan istilah politik hukum pidana. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 21 dan 42.


(55)

Penanggulangan kejahatan dengan melakukan penerapan hukum pidana (criminal law application) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban itu sendiri. Sampai saat ini, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu politik kriminal.70 Upaya ini dilakukan melalui suatu proses hukum oleh lembaga yang berwenang dimulai sejak tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh lembaga kejaksaan dan diakhiri oleh lembaga pengadilan melalui hakim sebagai pengambil putusan. Dalam rangkaian proses pemeriksaan tersebut, seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dan terdapat beberapa syarat tertentu yang diatur oleh undang-undang dapat dilakukan tindakan penahanan.71

Pengaturan tentangan penahanan sebagai upaya penanggulangan kejahatan merupakan salah satu bahagian dari kebijakan hukum pidana. Tindakan tersebut hanya dapat ditujukan kepada pelaku kejahatan. Ada 2 (dua) masalah sentral dalam kebijakan kriminal yakni masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada si pelaku. Penganalisisan terhadap hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Ini berarti, pemecahannya harus

70

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 67

71

Meskipun melalui penanggulangan dengan menerapkan hukum pidana dapat ditemukan kebenaran materil, namun rangkaian prosesnya memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam praktek peradilan dikenal bahwa dalam berperkara maka yang kalah jadi abu dan yang menang akan jadi arang. Ini berarti, para pihak yang berperkara para prinsipnya sama-sama menderita kerugian. Lagi pula, penerapan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir setelah jalan atau cara lain menemui kebuntuan. Pencegahan tanpa pidana dirasakan lebih efektif dan bermanfaat dalam penanggulangan kejahatan yakni dengan melakukan upaya pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) yang bertujuan berusaha untuk mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal (social defence planning) dan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Ibid, hlm. 4


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Jakarta: Penerbit Ghalia, 2001

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Anonim, Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, TAP MPR IV/MPR/1999, Jakarta: Sinar Grafika, 1999

Arief, Barda Nawawi, “Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999”

_______, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005

_______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005

_______, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan

Abilisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1986

_______, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1995

_______, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung: CV. Mandar Maju, 2001

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana; Bagian 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002

Friedman, W., Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum

(Susunan I), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993

_______, Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan


(2)

Gosita, Arief, “Reformasi Hukum Yang Berpihak Kepada Rakyat dan Keadilan (Beberapa Catatan),” Jurnal Keadilan Lembaga Kajian Hukum dan keadilan, Vol 1 No. 2 Desember 2000

Hamzah, Andi, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983

_______, Sistem Pemasyarakatan dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1985

_______, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986

Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988

Harahap, Krisna, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Bandung: PT. Grafitri Budi Utami, 2003

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali,

Jakarta: Sinar Grafika, 2002

_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan

Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002

Harkrisnowo, Harkristuti, Mendorong Kinerja Polri Melalui Pendekatan Sistem

Managemen Terpadu, Jakarta: Pidato pada Dies Natalis Ke - 57 PTIK dalam

rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXXVIII/Arygya Hwardaya, 2003

Harsono, C. I., Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada

Media, 2006

Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No. 4 - Desember 2004

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana; Kumpulan Kuliah, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun


(3)

Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1993

Lamintang, P.A.F., Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Pembahasan

Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana,

Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984

_______, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1990

Loqman, Loebby, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Jakarta: Datacom, 2002

Lubis, T. Mulya, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992

Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, Bandung: PT. Refika Aditama, 2003

Manan, Bagir, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan

Nasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1993

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung:, Citra Aditya Bakti, 1993

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999

Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2007

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995

_______, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002

_______, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002

Mulyadi, Lilik, RUU KUHAP Dari Perspektif Seorang Hakim, http://pn-kepanjen.net/artikel/, diakses tanggal 26 April 2009.


(4)

Mustafa, Muhammad, Bantuan Hukum Untuk Terpidana Penjara (warga Tersisih)

dari Buku Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum Ke arah Bantuan Hukum Struktural, Bandung: Alumni, 1981

Nasution, Adnan Buyung, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan

Supremasi Hukum, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,

Denpasar, 14 - 18 Juli 2003.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan; Kebebasan Berserikat Bagi

Pekerja, Bandung: CV. Mandar Maju, 2004

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003

Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djambatan, 2006

Paparan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Apel Kasatwil Kepolisian Republik Indonesia, “Kebijakan dan Strategis dalam Penegakan Hukum di Bidang Penuntutan”, Semarang, 16 Februari 2001

Pillai, V.N., The Administration of Criminal Justice: Unity in Deversity; dalam

Criminal Justice in Asia: The Quest for an Integrative Approach, Tokyo,

UNAFEI, 1982

Prakoso, Djoko, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Pengadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit Pustaka pelajar, 2007

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997

Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1984 _______, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Penerbit Alumni, 1986 _______, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000

Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003


(5)

Rasyidi, Lili dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Adtya Bakti, 2001

Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994

_______, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan

Kejahatan, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP

Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 1993

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007

Salim, Bakhtiar Agus, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia, Medan:, Penerbit Monora, 1986

Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1985

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003

Simarmata, Ricardo, Socio-Legal Studies Dan Gerakan Pembaharuan Hukum, http://www.huma.or.id/document/, diakses tanggal 26 April 2009

Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan di Indonesia, Yakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984

_______, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1993

_______, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998

Soekanto, Soeryono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985

Soetiksno, Mr., 1976, Filsafat Hukum Bagian 2, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta Subekti, R., Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1975

Sujatno, Adi, Buku Saku Hak Asasi Manusia Bagi Petugas Pemasyarakatan, Jakarta, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2002


(6)

Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan di Indonesia, http://library.usu.ac.id/, diakses tanggal 26 April 2009.

Sunarso, Siswanto, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2001

Susila, Muhammad Endriyo, Reaktualisasi Supremasi Hukum Pasca Reformasi

(Dalam Perspektif Hukum Pidana, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta, 2002

Sutherland, Edwin H, Asas-asas Kriminologi, Bandung: Alumni, 1969

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004

Taneko, Soleman B., Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam masyarakat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993

Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001

Turner, Karen G., et.al.(eds), The Limits of the Rule Of Law in China, Washington, University of Washington Press, 2000

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hubungan Negara dan Masyarakat Dalam Konteks

Hak-Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historik Dari Perspektif Relativisme Budaya Politik”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VIII, Denpasar 14 - 18 Juli 2003

Zainuddin, A. Rahman, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994