BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP BATAS WAKTU PENAHANAN
YANG TELAH HABIS
A. Batas Waktu Penahanan Yang Telah Habis Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia
Berbeda dengan HIR yang tidak menentukan batas waktu dalam melakukan penahanan maka dalam KUHAP perihal penahanan lebih memberikan kepastian
hukum dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Penahanan menurut HIR tidak membatasi jangka waktu sehingga dapat berkelanjutan tanpa batas dan
tanpa berkesudahan. Pengaturan yang demikian menimbulkan dampak kepastian hukum tidak terjamin dan perampasan kemerdekaan seseorang dengan sewenang-
wenang. Untuk lebih memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perbuatan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, maka KUHAP telah
menentukan secara limitatif dan terperinci wewenang penahanan yang dapat dilakukan dengan memberikan batas waktu.
Dari pengaturan tentang penahanan mulai Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHAP, maka dapat diketahui penahanan dikatakan habis atau berakhir jika:
Pertama; tidak diperpanjang namun masih dimungkinkan dilakukan perpanjangan penahanan. Kedua; tidak dimungkinkan dilakukan perpanjangan penahanan dan Ketiga;
pidana yang dijatuhkan telah sama dengan penahanan yang dijalani. Konsekuensi dengan
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
penahanan yang telah habis ditentukan bahwa pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.
78
Undang-undang diciptakan untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan memelihara ketertiban dalam masyarakat. Namun dalam perkembangannya,
terjadi kontroversial antara materi hukum yang menunjukkan adanya peningkatan, sebaliknya di pihak lain tidak diimbangi dengan adanya kepastian hukum dalam
pelaksanaannya.
79
Undang-undang merupakan kumpulan norma-norma hukum yang dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum. Agar norma hukum itu dapat melindungi
kepentingan manusia dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat maka undang- undang itu harus dilaksanakan. Melalui pelaksanaan undang-undang itu, hukum dapat
ditegakkan walaupun dalam penegakannya mengalami hambatan. Salah satu tujuan dari penegakan hukum adalah menciptakan kepastian hukum.
Undang-undang sebagai suatu alat untuk mencapai kepastian hukum merupakan kumpulan kaidah hukum yang berusaha untuk memaksa melalui
penggunaan bahasa secara rasional. Algra berpendapat pengggunaan bahasa perundang-undangan memiliki 2 dua fungsi, yakni: Pertama, sebagai sarana
komunikasi yang mengantarkan pikiran dan kehendak dari pembuat undang-undang kepada rakyat dan Kedua, sebagai bahasa dengan ragam teknik yaitu bahasa
perundang-undangan merupakan sarana komunikasi di antara para ahli hukum.
78
Lihat Pasal 24 ayat 4, 25 ayat 4, 26 ayat 4, 27 ayat 4, 28 ayat 4 dan 29 ayat 4 KUHAP.
79
Anonim, Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, TAP MPR IVMPR1999, Sinar Jakarta, Grafika, 1999, hlm. 10
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
Penggunaan bahasa yang tidak jelas dan tidak rasional berakibat tidak efektif sebagai suatu alat komunikasi kepada rakyat yang juga berakibat tidak memberikan suatu
kepastian hukum.
80
Jika pendapat Algra di atas dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yakni pertama;
kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun
kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada diluar undang-undang tersebut. Kedua; kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-
undang tersebut. Suhariyono mengemukakan bahwa bahasa peraturan perundang-undangan
adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat maupun
pengejaannya. Namun, perlu disepakati bahwa bahasa perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya yang khas yang bercirikan kejernihan
pengertian, kelugasan, kebakuan dan keserasian.
81
Berpedoman kepada redaksi “harus sudah mengeluarkan tahanan demi hukum” dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHAP maka dalam mengeluarkan
tersangka atau terdakwa yang ditahan di rumah tahanan negara, tidak dibutuhkan
80
Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hlm. 87 - 89.
81
Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menghasilkan suatu komposisi yang benar, maka perancang perundang-undangan harus menguasai beberapa hal yang essensil yaitu: menggunakan
bahasa yang baik dan benar, memiliki kemampuan penalaran yang baik, menguasai kemampuan analisis di bidang ilmunya untuk memecahkan obyek garapannya secara ilmiah, menguasai metode-
metode dan teknik pengumpulan data dan menguasai kaidah-kaidah komposisi. Lihat Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No. 4 - Desember 2004, hlm. 63.
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
prosedur tertentu. Dengan adanya kata “harus” maka ketentuan ini bersifat imperatif. Oleh karena itu, maka tiada yang dapat diperbuat oleh pejabat yang bertanggung
jawab secara yuridis atas penahan selain dari mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan. Selanjutnya, dengan adanya kata “demi hukum” maka dalam melakukan
pengeluaran tahanan yang telah habis batas waktu penahanannya tidak diperlukan prosedur dan persyaratan dalam melaksanakannya.
M. Yahya Harahap mengemukakan perkataan demi hukum telah menganulir pengertian pembebasan demi hukum sebagai suatu bentuk yang tidak memerlukan
persyaratan dalam melaksanakannya. Jika berpegang kepada pengertian pembebasan demi hukum sebagai kaidah yang tidak memerlukan persyaratan, berarti apabila masa
tahanan telah habis maka dengan sendirinya menurut hukum telah terbit fungsi kepala rumah tahanan negara untuk melaksanakan tindakan pembebasan tahanan.
82
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Indonesia adalah negara berdasar hukum rechtstaat.
83
Pernyataan ini menunjukkan bahwa segala bentuk perilaku maupun interaksi yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat menghendaki pengaturan yang
mencerminkan hukum dan sekaligus meletakkan rambu-rambu pengendali terhadap siapa saja yang diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pemerintahan di negara
82
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 179.
83
Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen, pengaturan tersebut diatur dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa Indonesia adalah negara hukum
rechstaat dan bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka machtsaat.
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
ini
84
yang tidak terlepas dari ide dasar tentang rechstaat yang syarat-syarat utamanya terdiri dari:
a. asas legalitas, yaitu setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan.
b. pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
c. hak-hak dasar yang sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang.
d. pengawasan pengadilan bagi rakyat. Dalam hal ini tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintah.
85
Dalam Penjelasan Umum KUHAP dinyatakan konsep negara hukum dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, selalu menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam Penjelasan
KUHAP tersebut, prinsip ini dikenal dengan istilah asas legalitas yang dalam penerapannya harus bersumber pada ketentuan hukum yang berlaku dan
menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya. oleh karena itu, maka dalam penegakan hukum tidak dibenarkan bertindak di luar
ketentuan undang-undang atau berbuat secara sewenang-wenang. Secara yuridis
84
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia Penegakan Hukum, Bandung: CV. Mandar Maju, 2001, hlm. 10.
85
Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan; Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: CV. Mandar Maju, 2004, hlm. 72
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
normatif, ketentuan mengeluarkan tahanan karena batas waktu penahanan telah habis merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh
KUHAP. Tetap melanjutkan penahanan merupakan perbuatan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau tanpa alasan yang sah sebagai suatu
bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia. Secara formal, ketentuan yang menjadi payung umbrella act tentang hak
asasi manusia diberlakukan sejak tahun 1999 dengan diberlakukannya Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999. Perangkat hukum ini berfungsi sebagai landasan
operasional untuk menegakkan hukum dalam kerangka hak asasi manusia atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan hak asasi
manusia.
86
Meskipun secara formal keberadaan perangkat hukum tentang hak asasi manusia baru ada sejak tahun 1999, namun bukan berarti Indonesia sebagai negara
hukum tidak menghormati harkat dan martabat manusia. Adanya pengaturan tentang penghormatan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa selama berada dalam
tahanan dalam KUHAP telah membuktikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebelum KUHAP diberlakukan, pelarangan penahanan secara sewenang-
wenang ditentukan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan redaksi rumusan tersebut diambil oleh
Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
86
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003.
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
penggeledahan dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Aspek kemanusiaan yang sangat asasi ditentukan dengan tegas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang diawali dengan pernyataan bahwa
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan dilanjutkan dengan 2 aspek sebagai konsekuensinya, yakni: Pertama; penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan alinea ke - 1 dan kedua; keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas alinea ke - 1. Kedua aspek ini
merupakan konsekuensi logi dari pengakuan terhadap hak kemerdekaan. Penjajahan pada hakikatnya merupakan bentuk pelecehan, pelanggaran, perampasan,
pengekangan atau penguasaan paksa dan sewenang-wenang atas hak kemerdekaan orang lain.
Landasan konstitusional menentukan dalam batang tubuh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara Republik Indonesia:
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial Tujuan tersebut diakhiri dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Keseluruhan asas tersebut menunjukkan bahwa setiap manusia pada prinsipnya wajib menghormati hak asasi manusia lainnya yang meliputi persamaan
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan, kebebasan untuk memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agamanya. Ini berarti, setiap manusia pada asasnya menyandang aspek
individualitas pribadi dan aspek sosialitas masyarakat sebagaimana dijabarkan dalam TAP MPR No. IIMPR1987 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila yang menentukan bahwa dengan keyakinan akan kebenaran Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
Penjabaran keseluruhan kaidah tersebut ditentukan dalam Pasal 28 I Undang- Undang Dasar 1945 Amandemen bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Keseluruhan hak tersebut merupakan hak asasi dari setiap
orang tanpa membedakan jenis kelamin, usia, agama, strata atau kedudukan di dalam masyarakat dan lain-lainnya. Pelanggaran terhadap hak-hak tersebut merupakan
pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia. Hak-hak yang paling fundamental adalah aspek-aspek kodrat manusia atau
kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan setiap manusia merupakan ide yang luhur dari Sang Pencipta yang menginginkan setiap orang berkembang dan mencapai
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
kesempurnaanya sebagai manusia
87
sedangkan dalam arti yang murni, hak asasi adalah kemerdekaan yang berwujud:
a. kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pikiran serta menganut keyakinan sendiri;
b. kemerdekaan untuk bersatu dengan teman-teman yang sepaham serta mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Ini merupakan prinsip kemerdekaan berserikat dan
berkumpul; c. kemerdekaan untuk mengatur penghidupan sendiri tidak seperti yang
diperintahkan oleh kekuasaan yang berada di atasnya.
88
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk hidup Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia sedangkan pelarangan perampasan kemerdekaan tanpa
alasan yang sah dinyatakan dalam Pasal 34 yang menentukan bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.
Ini berarti, pengaturan tentang penahanan yang terdapat dalam KUHAP berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengedepankan prinsip hak
87
Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Bandung: PT. Grafitri Budi Utami, 2003, hlm. 1.
88
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2001, hlm. 74.
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
asasi tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang diakui secara universal sebagai hak yang melekat karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia. Universal bermakna
bahwa hak asasi manusia tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit, usia, latar belakang kultural dan agama sedangkan melekat bermakna hak ini dimiliki oleh
setiap manusia karena kodrat kelahirannya sebagai manusia sehingga tidak dapat dicabut. Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan
secara moral maupun demi hukum kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan
atau perlakuan yang tidak patut lainnya.
89
Adanya pelarangan penahanan secara sewenang-wenang menurut Pasal 34 Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa penahanan,
penghukuman, perampasanpenyitaan barang adalah merupakan upaya paksa yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia namun karena perbuatan upaya paksa itu
dijamin oleh undang-undang maka perbuatan itu adalah merupakan sesuatu yang sah menurut hukum.
90
Ini berarti, jika dilakukan penafsiran secara a contrario, maka penahanan yang dilakukan dengan alasan yang sah menurut hukum tidak dipandang sebagai
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.
89
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hubungan Negara dan Masyarakat Dalam Konteks Hak-Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historik Dari Perspektif Relativisme Budaya Politik”, Makalah
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14 - 18 Juli 2003, hlm. 2.
90
Adi Sujatno, Buku Saku Hak Asasi Manusia Bagi Petugas Pemasyarakatan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2002, hlm. 14.
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
Kemerdekaan dan kebebasan seseorang mencakup pengertian, ruang lingkup dan aspek yang sangat luas. Salah satu aspek yang sangat mendasar ialah kemerdekaan dan
kebebasan seseorang ialah kemerdekaan dan kebebasan seseorang untuk bergerak, bepergian ke mana saja atau untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan siapa saja. Oleh karena itu,
perampasan atau pembatasan kemerdekaan bergerak seseorang dilihat dari hukum pidana dapat berupa tindakan penangkapan, penahanan dan pidana perampasan kemerdekaan hanya
dapat dikenakan apabila berdasarkan peraturan yang berlaku. Jika ditinjau secara harfiah, maka adanya hak asasi akan melahirkan
kewajiban asasi karena manusia sebagai subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Kewajiban untuk menghormati setiap hak asasi orang lain dijabarkan
dalam Pasal 28 J ayat 2 yang menentukan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Makna yang sama juga dapat dilihat dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa hak dan
kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Ini berarti bahwa hak asasi
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
pelaku pelanggaran tindak pidana hak asasi manusia yang ditentukan dalam Pasal 28 I 1 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen tidak berlaku dan dapat
dihilangkan dengan beberapa persyaratan, yaitu: undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama dan keamanan dan ketertiban umum.
Tindakan penahanan yang tidak sah dapat berakibat dilakukannya upaya pra peradilan dari tersangka atau terdakwa. Pra peradilan merupakan inovasi lembaga
baru dalam KUHAP sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran hak asasi manusia yang diilhami oleh hukum hak asasi manusia internasional yang telah
menjadi international customary law. Lembaga pra peradilan merupakan terjemahan dari habeas corpus yang merupakan substansi dari hak asasi manusia.
91
Terdakwa HS yang berpendapat telah dilakukan penahanan yang tidak sah terhadap dirinya telah mengajukan permohonan pra peradilan terhadap Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai sebagaimana diuraikan dalam Putusan Nomor: 01Pid. Pra2005PN-TB tanggal 31 Oktober 2005. Dalam
permohonannya, terdakwa HS menyatakan sedang mengajukan upaya hukum kasasi namun masih berada dalam status tahanan di rumah tahanan negara Tanjung Balai
padahal pada waktu perkara banding belum selesai diputus telah berakhir masa penahanan hakim Pengadilan Tinggi Medan dan terdakwa HS tidak pernah menerima
penetapan perpanjangan penahanan. Akan tetapi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai tetap melanjutkan penahanan terdakwa HS.
91
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djambatan, 2006, hlm. 20.
Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009
USU Repository © 2008
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pra peradilan tersebut telah memberikan putusan yang amarnya menyatakan permohonan pra peradilan terdakwa
HS tidak dapat diterima untuk seluruhnya dengan memberikan pertimbangan hukum bahwa seharusnya terdakwa HS mengajukan permohonan pra peradilan bukan
ditujukan terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai namun ditujukan terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai dalam
kapasitasnya selaku Kepala Rumah Tahanan Negara. Selain itu, dalam pertimbangan hukum dinyatakan bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat dijadikan
pihak dalam permohonan pra peradilan.
B. Pemeriksaan Terdakwa Setelah Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara