Urgensi Tindakan Penahanan Sebagai Penanggulangan Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana

c. pemeriksaan banding diberikan oleh mahkamah agung. 67 d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh ketua mahkamah agung. Syarat terakhir dalam melakukan tindakan penahanan adalah penahanan yang dilakukan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan. Seseorang yang telah ditahan yang lamanya telah sama dengan pidana yang dijatuhkan harus segera dikeluarkan demi hukum atau tanpa persyaratan. Penahanan melebihi pidana yang dijatuhkan dipandang secara yuridis sebagai penahanan tanpa disertai surat perintah yang dapat dituntut kerugian melalui sidang praperadilan. 68

B. Urgensi Tindakan Penahanan Sebagai Penanggulangan Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Perihal penahanan merupakan bahagian dari penanggulangan kejahatan yang termasuk dalam bidang kebijakan kriminal sebagai bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu, tujuan akhir dari kebijakan kriminal 67 Tidak disebutkan pejabat yang berwenang untuk memberikan perpanjangan penahanan dilakukan oleh ketua mahkamah agung. Yang menjadi latar belakang penyusunan redaksi ini didasarkan kepada keluwesan agar pemberian perpanjangan tidak dikaitkan kepada ketua mahkamah agung melainkan dikaitkan kepada lembaga peradilannya agar pemberian perpanjangan penahanan dapat diberikan kepada setiap hakim agung yang ditunjuk oleh ketua mahkamah agung. Lihat, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 195. 68 Pasal 95 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian karena tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang dapat dilakukan dengan cara: a. penerapan hukum pidana criminal law application. b. pencegahan tanpa pidana prevention without punishment; dan c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa influencing iews of society on crime and punishment. 69 Penerapan hukum pidana criminal law application dengan menggunakan sarana penal dan pencegahan tanpa pidana sebagai upaya menggunakan sarana non penal merupakan upaya penanggulangan kejahatan dalam perspektif hukum pidana. Namun pencegahan tanpa pidana juga merupakan bahagian dari kebijakan atau peristiwa sosial termasuk pula upaya mempengaruhi masyarakat melalui media massa. Hukum pidana tidak akan dapat melakukan penanggulangan secara optimal jika tidak didukung oleh kebijakan sosial. Adanya dukungan tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan kebijakan: a. keterpaduan integritas antara politik kriminal dan politik sosial. b. keterpaduan integritas antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. 69 Istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris disebut dengan istilah policy atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah politiek. Istilah kriminal berasal dari Bahasa Inggris yaitu criminal. Gabungan kedua istilah tersebut melahirkan apa yang disebut criminal policy, criminal law policy atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah strafrechttspolitiek. Kebijakan kriminal dikenal pula dengan istilah politik hukum pidana. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 21 dan 42. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 Penanggulangan kejahatan dengan melakukan penerapan hukum pidana criminal law application merupakan cara yang paling tua, setua peradaban itu sendiri. Sampai saat ini, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu politik kriminal. 70 Upaya ini dilakukan melalui suatu proses hukum oleh lembaga yang berwenang dimulai sejak tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh lembaga kejaksaan dan diakhiri oleh lembaga pengadilan melalui hakim sebagai pengambil putusan. Dalam rangkaian proses pemeriksaan tersebut, seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dan terdapat beberapa syarat tertentu yang diatur oleh undang-undang dapat dilakukan tindakan penahanan. 71 Pengaturan tentangan penahanan sebagai upaya penanggulangan kejahatan merupakan salah satu bahagian dari kebijakan hukum pidana. Tindakan tersebut hanya dapat ditujukan kepada pelaku kejahatan. Ada 2 dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal yakni masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada si pelaku. Penganalisisan terhadap hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Ini berarti, pemecahannya harus 70 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 67 71 Meskipun melalui penanggulangan dengan menerapkan hukum pidana dapat ditemukan kebenaran materil, namun rangkaian prosesnya memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam praktek peradilan dikenal bahwa dalam berperkara maka yang kalah jadi abu dan yang menang akan jadi arang. Ini berarti, para pihak yang berperkara para prinsipnya sama-sama menderita kerugian. Lagi pula, penerapan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir setelah jalan atau cara lain menemui kebuntuan. Pencegahan tanpa pidana dirasakan lebih efektif dan bermanfaat dalam penanggulangan kejahatan yakni dengan melakukan upaya pencegahan tanpa pidana prevention without punishment yang bertujuan berusaha untuk mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal social defence planning dan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Ibid, hlm. 4 Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang diterapkan. Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yang dianut yaitu sejauhmana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Bassiouni menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, diantaranya adalah: b. keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil- hasil yang ingin dicapai. c. analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari. d. penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumer-sumber tenaga manusia. e. pengaruh-pengaruh sosial dari kriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder. 72 Sehubungan dengan hal tersebut, Ted Honderich menyatakan bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis economical deterrents apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 72 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 32. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 a. pidana itu sungguh-sungguh mencegah. b. pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan. c. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah efektif dengan kerugian yang lebih kecil. 73 Tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yakni: pemeliharaan dan perlindungan masyarakat dari kejahatan dan memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan social, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. Sebaliknya, pencegahan tanpa pidana merupakan upaya penanggulangan melalui sarana non penal dengan mencari solusi dan menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor tersebut terdapat pada kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan yang sulit diukur. Berkaitan dengan hal ini, Karl O. Christiansen menyatakan bahwa: Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat yang disebut dengan berbagai macan nama, misalnya pencegahan deterrence, pencegahan umum general prevention, memperkuat kembali nilai-nilai moral reinforcement of moral values, memperkuat kesadaran kolektif strengthening the collective solidarity, menegaskan 73 Ibid, hlm. 35. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 kembalimemperkuat rasa aman dari masyarakat reaffirmation of the public feeling of security, mengurangi atau meredakan ketakutan alleviation of fears, melepaskan ketegangan-ketegangan agresif release of aggressive tensions dan sebagainya. 74 Kongress PBB ke-7 tahun 1985 menyatakan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan yang mendasar. Lebih lanjut, Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Hanava, Cuba menyatakan: a. aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan strategi penanggulangan kejahatan dan harus diberikan prioritas paling utama; b. tujuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerja sama ekonomi internasional hendaknya ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebutahurufan, kebodohan, penyakit dan ketakutan akan perang serta memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. 75 Lebih lanjut dikemukakan bahwa pembangunan pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen khususnya apabila hasil-hasilnya didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial. Namun, pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas apabila pembangunan itu: 74 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 71. 75 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 45. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 a. tidak direncanakan secara rasional; b. perencanaannya timpang atau tidak seimbang; c. mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral; serta d. tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral. 76 Secara konkrit, Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Hanava, Cuba menentukan beberapa aspek yang diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan sebagai berikut : 1. kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan kebodohan, ketiadaan dan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latiha yangtidak cocokserasi; 2. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan karena proses integrasi sosial juga karena memburuknya ketimpang- ketimpangan sosial; 3. mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. keadaan-keadaankondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian- kerugiankelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan; 7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya di lingkungan keluargafamilinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 8. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang tersebut di atas; 9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 76 Ibid. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008 10. dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap tidak toleransi. 77 Penerapan hukum pidana dan pencegahan tanpa pidana masing-masing memiliki keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan. Khusus terhadap penerapan hukum pidana, maka dapat diidentifikasi sebab-sebab keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan, yaitu: a. sebab-sebab kejahatan berada di luar jangkauan hukum pidana. b. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks. c. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. d. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. 77 Ibid, hlm. 46 Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai , 2009 USU Repository © 2008

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP BATAS WAKTU PENAHANAN