Kedudukan Hukum Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

4 Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 5 Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4.

C. Kedudukan Hukum Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

a. Hubungan Hukum Alam Dan Hak Asasi Manusia Persoalan antara justicegerechtadil dengan truthrechtingbenar dalam hukum law, recht dibicarakan terus sepanjang masa, karena hal ini berkaitan dengan hakikat kemanusiaan dan martabat manusia human dignity sendiri. Kalau sebagian besar manusia, terutama para pemimpinnya memiliki kepekaankesadaran tinggi makna kemanusiaan, otomatis HAM akan terangkat dan harkat kemanusiaan semakin kokoh, sehingga HAM mampu menembus dinding-dinding perbedaan dalam masyarakat internasional. Seperti diketahui, Aristoteles menganggap hukum alam merupakan produk rasio manusia semata-mata demi terciptanya keadilan abadi, sehingga keadilan menurut Aristoteles mempunyai dua makna berikut, yaitu : a. Adil dalam undang-undang, bersifat temporerberubah-ubah, sesuai dengan waktu dan tempat, sehingga sifatnya tidak tetap dan keadilannya pun tidak tetap keadilan distributif. b. Adil menurut alam berlaku umum, sah, dan abadi, sehingga terlepas dari kehendak manusia, kadang bertentangan dengan kehendak manusia itu sendiri keadilan komutatif. Kedua keadilan tersebut merupakan landasan mengembangkan keadilan hukum legal justice dan keadilan masyarakat social justice. Keadilan alam merupakan himpunan norma-norma hukum alam dan memuat prinsip-prinsip umum yang bersumber pada akal budi manusia. Hukum alam natural law, salah satu muatannya adalah adanya hak-hak pemberian dari alam natural rights karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal. Adanya penekanan hak pada hukum alam memberikan indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan, dalam bentuk hak asasi sejak kelahirannya, hak hidup merupakan HAM pertama. Bicara tentang hukum, demikian juga dalam hak asasi manusia, dalam tataran teori bicara berkisar pada masalah hak asasi, sekaligus terkait bicara soal kewajibanwajib asasi, sehingga antara keduanya tak terpisahkan. Dalam tataran praktis, dalam pergaulan kemasyarakatan aspek tanggung jawab menjadi penting, sehingga ada tanggung jawab asasi. Dengan demikian, tiga pilar tersebut tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Terkait dengan hal diatas, satu hal yang pasti dan perlu dicatat, hak dalam hak asasi mempunyai kedudukanderajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimilikidisandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya, malah dapat sebelumnya. Seketika itu pula sudah muncul kewajiban dari diri manusia lain untuk menghormatinya. Dengan demikian, pikiranpendapat yang mengedepankan kewajiban lebih dahulu, pendekatan yang dipakaidikedepankan adalah ketika manusia mulai bermasyarakat. Selama ini hak asasi manusia sering juga disebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut natural rights, human rights, dan fundamental rights. Istilah-istilah tersebut menunjukkan bahwa sebagaimana disebut di muka titik beratnya adalah pengakuan adanya hak manusia sendiri. Dalam kehidupan manusia bermasyarakat, konkretnya dalam tataran praktis sebagaimana disinggung di depan hak asasi bergandeng tangan dan tidak dapat lepas dari kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi. Dalam diri hak mengandung makna wewenangrightstuntutan claim. Dengan demikian, wewenang atau tuntutan merupakan bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya, ketika hak-hak kemanusiaan diinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dilanggar sampai dihapus atau dibuang, secara otomatis akan timbul tuntutan untuk pemulihannya. Istilah natural rights berkembang menjadi human rights pada abad XVII oleh pelopor teori hukum alam, antara lain Thomas Hobbes, John Locke, Montesqieu, J.J. Rousseau, yang mengakui adanya hak-hak yang dimiliki manusia. Walaupun di dalam dasar pemikiran dan tataran aplikasinya, antara satu pemikir dengan pemikir lainnya terdapat perbedaan yang cukup tajam. Dalam perkembangannya lebih jauh bahkan sampai saat ini, hak asasi manusia yang dikenal sebagai fundamental rights meliputi moral rights dan legal rrights. Dikatakan fundamental, bukan karena hak-hak tersebut konstitusional sifatnya. Langkah tersebut menempatkan posisi HAM menjadi semakin kuat. Dengan semakin lengkapnya instrumen HAM yang disusun PBB, disamping UU HAM tingkat nasional semakin banyak perkembangan hukum hak asasi manusia semakin lengkap. Dalam menegakkan hukum hak asasi manusia, kendala utama akan terkait dengan platformsistem yang dianut oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Sistem politik yang dianut apakah sistem demokrasi atau otoriter. Kedua, sejauh mana kemauan politik serta keberanian politik untuk melaksanakan. Faktor-faktor inilah yang erat hubungannya dengan langkah politik dan hukum dalam menegakkan hukum hak asasi manusia yang ada. 75 75 Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi HAM Dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2005, Cet. 1, hal. 8-10. Tugas negara yang sudah cukup banyak memerlukan perhatian khusus, antara lain menetapkan undang-undangperaturan dan mengatur kehidupan anggota masyarakat agar tercipta ketertiban. Dalam pengaturan tersebut, diharapkan nilaiasas hukum positif tetap bersinggungan dengan nilaiasas hukum alam yang cocok. Karenanya nilai-nilai yang masuk ke dalam wilayah hak-hak alamiah yang menjadi milik manusia “menuntutmemerintahkan” kepada pemerintah untuk menjaga dan menghormatinya. Karena itu, dalam rangka menjaminmelaksanakan hak-hak dasar yang sudah terpatri dalam hukum alam yang sebagian sudah diformalkan dalam hukum positif terbuktu dalam praktik sering menghadapi banyak tantangan, antara lain datang dari dirinya sendiri, yaitu sikap egoisme yang berlebihan atau sengaja melanggarnya, sehingga menafikan manusia lain. Untuk melawan egoisme pribadi maupun penguasa, perlu ada perlawanan. Bentuknya berupa kesepakatan bersama atau perjanjian bersamaperjanjian masyarakat. Dalam perjanjian masyarakat tersebut, sekaligus disepakatidibentuk pemerintah sebagai pelaksana, karenanya tugas negara, selain melaksanakan kaidahketentuan hukum alam, juga mengimplementasikan perjanjian dalam bentuk undang-undang yang menjamin hak asasi manusia dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, negara dibangun dengan tugas utama menjamin dan menjaga agar hak asasi manusia dihormati dan dilaksanakan, di samping kekuasaan negara tersebut dibatasi oleh hak asasi manusia itu sendiri. 76 Mengemukakanmengedepankanmemakai landasan hukum alam di dalam membahas hak asasi manusia diharapkan akan menumbuhkan kesadaran asas-asas hukum alam, diharapkan akan mampu menjembatani perbedaan paham politik, kepercayaan, keyakinan, agama, suku, ras yang kadang malah sering memicu terjadi pelanggaran. Dengan demikian, pendekatan hukum alam yang sebagian 76 Ibid, hal. 12. ide-idenya sudah masuk ke dalam sebagian hukum positif dari banyak negara, serta masuk pula di dalam instrumen hak asasi manusia diharapkan pelanggaran HAM semakin berkurangditekan. 77 b. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Positif Tepat sekali ucapan Del Vaschio, manusia adalah homo iuridicus manusia hukum. Sebab, diketahui bahwa hukum ada dimana-mana. Hukum dan manusia sepanjang hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan, kalau kita ingin hidup aman, tenteram, damai, adil, makmur. Hukum yang ada dimana-mana menerobos masuk ke dalam seluruh kehidupan manusia, baik dari hal-hal yang paling elementer, sederhana, maupun ke dalam hal-hal yang paling dalam dan fundamental. Ulah hukum tersebut merupakan cirisifatwatak hukum itu sendiri, yang pasti ada bagi ilmu yang di sebut hukum. Karenanya, kerja hukum pun beragam cara, dimulai dengan cara yang paling “lembut” sampai yang paling “keras”. Dalam Pancasila yang terdiri dari lima sila, Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, keadilan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ditambah Pembukaan UUD 1945, terutama alinea pertama yang menyatakan: “kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan”. Serta alinea kedua, “kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”, mengindikasikan Indonesia adalah negara demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum serta menghormatimenjunjung tinggi hak asasi manusia. Karena itu, isilandasandasar negara yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, keputusan dan pilihan pendiri negara wajib menjadi pegangan setiap pemerintahan di dalam mengisi kemerdekaan, khususnya yang terkait dengan Hak Asasi Manusia. 77 Ibid, hal. 16-17. Dalam UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen, hak asasi manusia menempati posisi penting, bahkan sudah tersaji dalam beberapa aturan organik yang disebut hukum positif aplikatif. Sedangkan aturan pokok, hukum positif, “hukum kekinian dan kedisinian” menjadi efektif, ketika hukum positif aplikatif segera disusun. Dengan demikian hobi menyusun hukum positif saja perlu dikurangi, demi terciptanya negara hukum dan keadilan materil. Diawali TAP MPR Nomor XVIIMPR1998 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat 44 pasal. Diawali dengan kesadaran sebagai anggota PBB mempunyai tanggung jawab “menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta menjamin dan menghormati hak asasi orang lain sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu, hak asasi dan kewajiban manusia terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa, dan warga negara, serta anggota masyarakat bangsa-bangsa.” Dalam UUD 1945, terdapat 11 pasal tentang HAM, mulai dari pasal 28, 28A sampai dengan pasal 28J. Mulai dari hak berkumpulberserikat, mempertahankan hidupkehidupan, berkeluarga dan perlindungan diri dari kekerasan, mengembangkan dirimemajukan diri, jaminan dan kepastian hukum, bebas beragama, bebas berkomunikasimemperoleh komunikasi, perlindungan dirikeluarga dan martabat serta harta bendanya, kesejahteraan lahir batin persamaan keadilanhak milik pribadi, hak hidup dan bebas dari perbudakan, serta tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surutpenghormatan identitas budaya, dalam Pasal terakhir28J, wajib menghormati hak asasi orang lain serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang. Untuk mengimplementasikan disusunlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, spirit hukum yang menjadi dasar termuat di dalam konsideran, terutama dalam menimbang. Pertimbangan utama yang dapat dicatatmerupakan landasan filosofis “manusia makhluk ciptaan tuhan”. Dalam Undang-Undnag Nomor 39 Tahun 1999, BAB I Ketentuan Umum, dalam pasal 1 menjelaskan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 78 c. Hubungan Hak Asasi Manusia Dan Ilmu Hukum Keberadaan HAM yang mendahului hukum bermakna bahwa hak asasi yang melekat pada setiap manusia, lewat seperangkat aturan hukum yang ada, memformalkan hak asasi manusia ke dalam seoerangkat aturan hukum yang ada. Dari posisi tersebut, hukum menjadi konditio sine qua non syarat mutlakdalam penegakan HAM. Lengkapnya instrumen hukum tentang HAM menjadi salah satu sumber hukum hak asasi manusia, menunggu keberanianlangkah politik pemimpin dunia dan pemimpin negara untuk menegakkannya. Memperhatikan perkembangan tersebut, berarti hukum hak asasi manusia sudah menjadi suatu disiplin yang bulat, terbuka yang perlu pengkajian terus- menerus. Sebagai suatu disiplin hukum yang modern, maka hukum hak asasi manusia akan mengikuti sistem hukum yang modern pula. Hukum rechts, bahasa Jerman Kuno, menurut Prajudi berarti “lurus” disebut juga aturan, norma, kaidah, sebagai kata benda mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, berisi ide, cita-citaetika. Harapan, ide tersebut banyak dibahas di dalam beragam filsafat hukum dan teori hukum. Kedua, hukum sebagai alat untuk mencapai cita hukum. Ketika hukum bertindak dalam bentuk alatinstrumen saja dan dalam operasionalisasinya “lepas” atau melepaskan diri dengan cita hukum, berarti teori hukum yang digunakan sebagai dasar keputusan mengedepankan kekuasaan. Watak hukumnya menjadi represif yang memihak kepada penguasastatus quo. Hukum hak asasi manusia sebagai hukum dalam arti modern bersifat dinamis. Konsep, ide, citanya yang dikembangkan para pemikir semakin berkembangmajemuk dan menjadi alat yang tepat untuk menegakkan HAM. 78 Ibid., hal, 133. Hukum modern merupakan fenomena sosio-kultural universal duniawi, dan aspek-aspeknya begitu banyak serta berkait dengan hampir semua segi kehidupan manusia dan masyarakat atau bangsa. Keberadaan hukum modern hakikatnya telah melewati proses panjang tatananhukum sebelumnya. Tatanan lama dengan segala aturan otentik yang sejak awal melekat pada masyarakat mempunyai kelebihan di samping kelemahan dalam dirinya. Kurang adanya koordinasi, mekanisme tata kerja yang jelas dan seterusnya, kelebihannya pada keluwesan, kelenturan, lebih akomodatif dan rekonsiliatif, serta jauh dari kesan “kuat dan keras” strong and violent. Sebaliknya, hukum modern identik dengan hukum negara menyiapkan tatanan baru yang jauh lebih canggih dan terukur daripada tatanan dari komunitas otentik yang digantikan. Ia membangun struktur yang jelas dan tegas batas serta fungsinya. 79 d. Peraturan-Peraturan Dasar Hak Asasi Manusia Pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Hal ini ternyata dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah melewati kurun waktu berlakunya tiga konstitusi, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950yang kesemuanya memuat ketentuan-ketentuan HAM. Meskipun UUD 1945 memuat ketentuan-ketentuan tentang HAM, namun pengaturan itu dianggap belum rinci. Oleh karena itu, kemudian timbul pertanyaan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan. 79 Ibid, hal. 32-35. Ismail Suny berbendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu. 80 Sebenarnya, sebelum Perubahan Kedua dilakukan, telah terdapat beberapa peraturan perundnag-undangan yang dapat dikatakan sebagai pembuka terjadinya Perubahan. Ketentuan itu antara lain Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998 Pertama, menjadikannya bagian yang integral dari UUD 1945, yaitu dengan cara melakukan amandemen-amandemen pada UUD 1945, sebagai yang ditempuh dengan Piagam Hak-Hak Warga Negara The Bill of Rights, yang merupakan Amandemen I-X pada Konstitusi Amerika Serikat. Cara semacam ini akan menjamin tetap terpeliharanya UUD 1945 sebagai naskah historis dimana dalam the body of the Constitution tidak diadakan perubahan-perubahan, tetapi hanya tambahan-tambahan. Prosedurnya menurut hukum konstitusi diatur dalam pasal 37. Kedua, menetapkan dalam Ketetapan MPR. Keberatannya, suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya dalam precise detail, tetapi hanya garis-garis besar haluan negara, sekedar ‘a declaration of general principles’, tanpa akibat hukum sama sekali. Ketiga, mengundangkannya dalam suatu undang-undang berikut sanksi dan hukuman terhadap pelanggarnya. Dari ketiga bentuk hukum diatas, tampaknya ketiganya dipergunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam menguraikan rincian HAM. UUD 1945 yang pada awalnya hanya memuat enam pasal yang mengatur tentang HAM, kemudian mengalami perubahan-perubahan yang sangat signifikan yang kemudian dituangkan dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pada bulan Agustus tahun 2000. 80 Ismail Suny, Aspek-Aspek Hukum Dari Piagam Hak-Hak Azasi Manusia dan Hak-Hak Serta Kewajiban Warga Negara, Jakarta: Balai Pustaka, 1968, hal. 15. tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR Nomor IVMPR1999 tentang GBHN, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Melalui Ketetapan MPR Nomor IVMPR1999 tentang GBHN, MPR telah menetapkan politik hukum yang harus dilaksanakan oleh pihak eksekutif yang mencakup substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Kesemuanya tercantum dalam visi, misi, dan arah kebijakan. Berkaitan dengan substansi hukum, Ketetapan MPR tersebut menggariskan bahwa penataan sistem hukum nasional dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui pernundang-undangan yang dinilai diskriminatif. Selain itu pemerintah didorong untuk segera melakukan ratifikasi konvensi internasional terutama di bidang HAM dalam bentuk undang-undang. Dengan kata lain, ketetapan ini telah menegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan untuk ratifikasi adalah undang-undang dan tidak boleh dalam jenis lain, misalnya Keputusan Presiden. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah berkaitan dengan bidang struktur hukum adalah penegakan hukum untuk menjamin HAM serta penyelesaian proses peradilan terhadap pelanggaran HAM yang belum ditangani secara tuntas. Sedangkan dalam kaitan dengan budaya hukum, Pemerintah wajib berperan aktif untuk meningkatkan pemahaman dan penyadaran HAM dalam seluruh aspek kehidupan. i Perubahan Kedua UUD 1945 Pada pembahasan Rancangan UUD yang dilakukan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno sebagai Ketua Panitia Perancang UUD telah menyatakan kehendak bahwa di kemudian hari akan dibuat suatu UUD baru, karena UUD yang dibuat adalah UUD sementara atau yang ia namakan sebagai UUD kilat. 81 Salah satu ketidakberhasilan UUD 1945 sebagai dasar pelaksana prinsip- prinsip demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum antara lain disebabkan adanya kekosongan materi muatan, misalnya tentang HAM. Dari hal itu, tampak kearifan dari para pembentuk UUD 1945 yang menyadari bahwa UUD tersebut tidak lengkap sehingga membuka peluang untuk diadakan perubahan atau penyempurnaan yang kemudian diatur dalam pasal 37. 82 Walaupun telah ada Undnag-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didasai oleh TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998, namun dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi diharapkan akan semakin memperkuat komitmen untuk pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia, karena akan menjadikannya sebagai hak yang dilindungi secara konstitusional. Pesan ini kemudian ditangkap oleh panitia Ad Hoc I dan direkomendasikan kepada Sidang Tahuan MPR tahun 2000 agar dimasukkan ke dalam Amandemen ke-2 UUD 1945. Pasal-Pasal tentang HAM dimasukkan ke dalam BAB XA dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Walaupun pencantuman pasal-pasal tersebut dinilai positif dari berbagai segi, namun dalam beberapa hal perlu dikritisi karena dianggap mengandung kelemahan baik dari segi perumusan, struktur dan sistematikanya. Misalnya, pengelompokan hak-hak tidak beraturan yang pada gilirannya menunjukkan bahwa perumus kurang memahami jenis dan pengelompokan HAM yang lazim dalam instrumen hukum HAM internasional. Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan ke dalam UUD berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul tumbangnya rejim otoriter. Pandangan kritis terhadap UUD 1945, yang dahulu ditabukan, sejak masa reformasi membenarkan pendapat bahwa UUD tersebut tidak secara eksplisit mengatur masalah HAM. Bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa UUD 1945 tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. 81 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI Dan PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, hal. 311-312. 82 Bagir Manan, Pembaharuan UUD 1945, Makalah, 1998, hal. 23-24. Dari segi substansinya tampak kental dengan nuansa politis sehingga dapat mengurangi makna dari HAM itu sendiri. Beberapa ahli hukum bahkan berpendapat bahwa pasal 28I Perubahan Kedua ini merupakan kendala konstitusional constitutional constraintbagi penegakan HAM di Indonesia. Hal ini ditandai dengan tidak diakuinya asas hukum berlaku surut bagi pelanggaran berat terhadap HAM yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, di pihak lain terdapat pendapat bahwa pasal 28I tersebut dapat diterobos melalui pasal 28J. Ketentuan dalam pasal 28J tidak dapat digunakan karena pada dasarnya pembentuk pasal inimenderogasi ketentuan yang dibuatnya sendiri. Untuk menghindari multi interpretasi ataupun masalah-masalah lain yang diakibatkan oleh ketidakjelasan perumusan maka perlu dilakukan peninjauan ulang dan perombakan secara komprehensif di masa yang akan datang. 83 ii Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998 Tentang Hak Asasi Manusia Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 November 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat. Untuk mengakomodasikan keinginan tersebut, bentuk hukum yang dipilih untuk mengaturnya adalah ketetapan MPR. Hal ini dilakukan karena beberapa faktor : Pertama, tampaknya nuansa keengganan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 masih cukup kuat. Pada masa awal reformasi, gagasan mengenai perlunya reformasi konstitusi sudah cukup kuat, namun gagasan itu belum cukup disambut secara antusias dalam tataran elit politik. Kedua, secara prosedural ketentuan yang harus dipenuhi untuk sahnya Ketetapan MPR dipandang lebih mudah dibandingkan dengan perubahan UUD. 83 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2001, hal 84. Sahnya putusan MPR cukup disetujui berdasarkan suara terbanyak Pasal 2 ayat [3] UUD 1945, sedangkan sahnya perubahan harus berdasakan ketentuan yang termuat dalam pasal 37 UUD 1945. Ketiga, dari segi persyaratan materil perubahan UUD tidak boleh mengganggu keselarasan dan harmoni kaidah-kaidah yang tercantum dalam Pembukaannya sebagaimana terlihat pada penjelasan umum UUD 1945 angka III yang berbunyi, ‘ Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan di dalam pasal-pasalnya’. Dengan demikian, dalam melakukan perubahan UUD diperlukan syarat-syarat yang sangat berat sedangkan penetapan ataupun perubahan Ketetapan MPR tidak memerlukan syarat seberat bagi UUD. Hal ini dikarenakan Ketetapan MPR itu tidak secara langsung merupakan penciptaan dalam pasal-pasal dari Norma Fundamental Negara atau Pancasila. 84 Apabila ditinjau dari sifat materinya Ketetapan ini apakah dapat dikategorikan sebagai ketetapan yang bersifat mengatur atau kah ketetapan yang Ketetapan ini terdiri atas tujuh pasal dimana naskah HAM yang berupa pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM serta piagam HAM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Ketetapan. Judul Ketetapan ini mengindikasikan tidak adanya perbedaan hak-hak asasi manusia dengan hak-hak warga negara. Hal ini berbeda, apabila dibandingkan dengan Rancangan Ketetapan yang telah dihasilkan oleh MPRS pada tahun 1968 yang diberi judul Piagam HAM dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negarayang secara jelas menganut perbedaan hak-hak asasi manusia dengan hak-hak serta kewajiban warga negara.. Karena pada kenyataannya terdapat hak-hak yang dapat dikategorikan sebagai hak asasi, namun hanya dapat dinikmati oleh warga negara, misalnya hak untuk turut serta dalam pemerintahan. 84 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998, hal. 43-44. isinya mengikat umum secara langsung ? 85 Tampaknya ketetapan ini dapat dikategorikan ke dalam kedua-duanya, baik yang bersifat mengatur maupun yang mengikat umum secara langsung. Ia bersifat mengatur karena menurut Dedi Soemardi dan Hamid Attamimi, Ketetapan MPR merupakan peraturan dasar dan menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan yang sebenarnya. 86 Ketetapan dikatakan bersifat mengikat umum apabila ia dalam pelaksanaannya akan mengikat umum, misalnya Ketetapan tentang Pemilihan Umum ataupun Ketetapan tentang Referendum. 87 85 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Armico, 1987, hal. 31-34. 86 Ibid., hal. 31. 87 Ibid., hal. 32. Meskipun dalam kenyataannya, Ketetapan tidak memenuhi syarat untuk mengikat umum karena tidak diundangkan dalam Lembaran Negara. Ketentuan yang terdapat dalam Ketetapan Nomor XVIIMPR1998 menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparat pemerintah untuk menghormati dan menegakkan serta menyebarluaskan pemahaman HAM kepada seluruh masyarakat. Selain itu kepada Presiden dan DPR juga ditugaskan untuk meratifikasi berbagai instrumen internasional sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ketetapan ini sekaligus menegaskan peningkatan dasar hukum Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang semula berupa Keputusan Presiden menjadi Undang-Undang dan komisi ini berfungsi untuk melakukan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian, dan mediasi tentang HAM. Berkaitan dengan pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM, keteapan ini menyatakan bahwa pasa dasarnya pandangan dan sikap tersebut bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa. Pernyataan ini sekaligus meneguhkan adanya penerimaan bahwa HAM bersifat iniversal serta partikular yang ditandai dengan perkataan ‘budaya bangsa’. Dalam bagian selanjutnya yang bertajuk Piagam HAM sistematika didahului oleh Pembukaan yang pada dasarnya memuat cita-cita politis, moral, dan religius. 88 iii Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Secara umum isi Pembukaan ini merupakan pengulangan dari bagian I yang mengungkapkan sikap dan pandangan bangsa Indonesia terhadap HAM. Bagian ini terdiri atas sepuluh BAB dengan memuat 44 pasal. Selain HAM, Ketetapan ini juga mengatur mengenai kewajiban setiap orang untuk menghormati HAM orang lain. Pelaksanaan hak dan kebebasan itu dapat dibatasi oleh undang-undang. Hal esensi lainnya adalah pengaturan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga. Perlindungan lebih terhadap HAM menurut ketetapan ini dapat dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang rentan. Selain itu, perlindungan terhadap identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat harus dilindungi. Pasal 43 mengharuskan peran yang lebih aktif dari pemerintah dalam rangka perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Atau dengan kata lain, pemerintah merupakan tulang punggung utama. Dalam pasal terakhir yakni pasal 44 dinyatakan bahwa perlunya pembentukan peraturan perundang- undangan sebagai pelaksana ketetapan ini. Berangkat dari aspek materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus dipahami bahwa peraturan pelaksanaan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang, karena bentuk undang-undang memiliki materi muatan yang mengakomodasi kehendak rakyat. Pada dasarnya hanya rakyatlah yang dapat mengatur dirinya dalam kaitan dengan HAM. Undang-undang yang diundangkan pada tanggal 23 September 1999 dipandang sebagai salah satu peraturan pelaksana dari Ketetapan MPR Nomor 88 Ismail Suny, Op., Cit, hal. 16. XVIIMPR1998. Hal ini ternyata dalam salah satu dasar hukumnya mencantumkan Ketetapan tersebut. Pada saat undang-undang ini sedang didiskusikan terdapat beberapa pendapat yang terbagi dalam dua kategori besar, yakni pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai undang- undang, dan oleh karena itu tidak perlu dibuat suatu undang-undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa pembentukan undang-undang materi khusus tentang HAM perlu dilakukan mengingat Ketetapan MPR tidak berlaku operasional dan berbagai undang-undang yang ada belum seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, undang-undang tersebut akan berfungsi sebagai undnag-undang payung umbrella act terhadap peraturan perundang- undangan di bidang HAM selama ini. 89 Kedua, penyimpangan terhadap asas bahwa hukum tidak berlaku surut seharusnya tidak diletakkan pada Bagian Penjelasan, melainkan pada Bagian Batang Tubuh undang-undang. Hal ini disebabkan Penjelaan tidak memuat norma atau kaidah. Atau dengan kata lain Penjelasan tidak berfungsi untuk menciptakan kaidah hukum. Dilihat dari sudut ilmu perundang-undangan, kritik terhadap undang- undnag ini mencakup antara lain : Pertama, terdapat ketentuan yang tidak memuat norma atau kaidah, dan al ini ditunjukkan dengan adanya BAB mengenai asas-asas dasar. Asas-asas dasar pada prinsipnya bukan merupakan kaidah atau norma hukum. Jadi, asas tidak perlu secara eksplisit dimuat dalam undang-undang melainkan akan menjiwai pasal-pasal yang ada dala undang-undang bersangkutan. 90 Sama halnya dengan Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998, undang- undang ini tidak secara tegas menyatakan alasan kategorisasi HAM. Pada bagian 89 Lihat Penjelasan UU Nomor 39 Tahun 1999. 90 Bagir Manan, Op., Cit, hal. 90. penjelasan hanya disebutkan bahwa penyusunan undang-undang ini berpedoman pada DUHAM, konvensi PBB, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya yang mengatur tentang HAM. Selain memuat ketentuan-ketentuan tentang HAM, undang-undang nomor 39 Tahun 1999 juga mengatur tentang Komnas HAM. Pada dasarnya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Secara struktural, Komnas HAM menunjukkan fungsi garis yang ditandai dengan adanya sub. Komisi dan dilengkapi oleh staf yang ditunjukkan pada jabatan-jabatan administrasi, antara lain sekretaris jendral. Pembentukan sub. komisi didasarkan pada fungsi-fungsi Komnas HAM, dan tidak didasarkan pada pengelompokan HAM. Berkaitan dengan fungsi, tampaknya Komnas HAM melaksanakan fungsi sebagai badan penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang mengatur wewenangnya. Dalam praktek, Komnas HAM harus tegas memisahkan kedua fungsi ini. Berkaitan dengan fungsi pemantauan, Komnas HAM dapat bertindak sebagai badan penyelidik dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul di masyarakat yang diduga terdapat pelanggaran HAM. Pemantauan ini juga meliputu pemantauan terhadap kewajiban pemerintah untuk melaksanakan instrumen-instrumen hukum internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi. 91 e. Hak Masyarakat Adat Eksistensi Kesatuan masyarakat adat indigenous people selaku kelompok masyarakat khusus juga diakui dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terutama dalam kaitannya dengan hak asasi kolektif 91 Ibid., hal. 91-92. mereka untuk menentukan nasib sendiri. Dilihat dari substansinya, hak ini pun sungguh bersumber dari UUD 1945 sendiri, yakni pasal 18, yang salah satu ide dasarnya adalah mengakui hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Hak-hak daerah yang bersifat istimewa ini sesungguhnya adalah hak-hak yang bersumber dari kesatuan masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal yang bersifat asli. Dalam undang-undang tersebut terdapat dua pasal yang khusus mengatur tentang hak asasi kolektif masyarakat adat. Kedua pasal itu adalah pasal 6 dan pasal 15. 92 1 Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. Pasal 6 menyatakan bahwa : 2 Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Selanjutnya pasal 15 menyatakan bahwa : Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Dalam rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, dalam pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat berhak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas Hukum Adat. 92 Ibid., hal. 150-151. Adapun mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam pasal 44 adalah sebagai berikut : 1 Penyelesaian Sengketa Masyarakat Hukum Adat dapat diselesaikan melalui lembaga adat danatau Peradilan Adat. 2 Lembaga Adat memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa Masyrakat Hukum Adat. 3 Peradilan Adat tidak berwenang mengadili tindak pidana berat dan tindak pidana khusus. 4 Peradilan Adat dapat dibentuk oleh Lembaga Adat secara berjenjang dari KabupatenKota sampai dengan tingkat Provinsi. Untuk sengketa antara masyarakat hukum adat dengan pihak lain diatur dalam pasal 47 dalam rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat sebagai berikut : 1 Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dan pihak lain yang menyangkut hak Masyarakat Hukum Adat diselesaikan melalui peradilan adat. 2 Peradilan adat mengeluarkan putusan sebagai hasil penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 3 Dalam hal terdapat keberatan terhadap putusan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, sengketa dapat diselesaikan di tingkat Mahkamah Agung. Dan dalam pasal 51 diatur bahwa Peradilan Umum tidak berwenang mengadili kasus yang berhubungan dengan sengketa Masyarakat Hukum Adat. f. Penegakan Hak Asasi Manusia Bagian Dari Cita-Cita Perjuangan Bangsa Perjuangan menegakkan hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari tuntutan sejarah dan budaya dunia, termasuk Indonesia. Karena itu antara manusia dan kemanusiaan seluruh dunia sama dan satu. Perbedaan budaya yang beragam di seluruh dunia hendaknya dipandang sebagai “keragaman bunga indah” di taman firdaus. Justru di sinilah indahnya sebuah keragaman. Kredo “Bhineka Tunggal Ika” merupakan kristalisasi dan pengakuan akan hal ini. Dengan adanya perbedaan dan budaya, maka bila ada budaya yang bertentangan dengan spirit HAM, diperlukan adanya dialog, pendekatan dan penyelesaian bertahap dan terus menerus. Lewatkemauan dan pendekatan tersebut, segera dapat ditemukan jalan keluar yang baik dan memuaskan. Karena itu, keberadaan dan perkembangan budaya Indonesia yang ”berkembang sesuai dengan watak bangsanya” juga tidak lepas dari pengaruh dan garis singgung dengan budaya asing. Budaya berupa hasil renungan akal budi yang dipertahankan dan dikembangkan terus oleh generasi-generasi berikutnya yang akan semakin kaya dan berkembang sesuai dengan irama zamannya. Wujud budaya dalam bentuk kekayaan spiritual diakui keberadaannya. Dalam berbagai peninggalan budaya tersebut, banyak ditemukan nilai-nilai dan asas yang mengandung, tidak saja penghormatan terhadap HAM, tetapi perkembangan dan tuntutan HAM, antara lain pemenuhan spiritual need. Dilihat dari aspek tersebut, serta dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan, dan pola hidup bangsa Indonesia pada umumnya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide, bahkan nilai yag berkaitan dengan hak asasi manusia. Bukti empiris lain adalah adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang. Isimateri nilai filosofi dan etika tersebut selalu mewarnai penyusunan seperangkat peraturan hukum yang diciptakan oleh pemangku adat di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, adanya asas demokrasi dan hak asasi manusia terbukti sudah dikenal dalam masyarakat adat Indonesia, malah telah masuk di dalam sistem hukum adat yang ada. Institusi hukum akan semakin kuat di dalam masyarakat kalau ideologi politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat. Di sini, untuk kesekian kalinya diingatkan bahwa peran pejabat politik dan institusi politik yang terbuka, serta partisipasi politik masyarakat yang diberi kesempatan secara jujur dan demokratis merupakan prakondisi penghormatan HAM dapat terlaksana. Begitu pentingnya budaya termasuk adat menjalin rasa kemanusiaan seluruh umat manusia, sekaligus peradaban, sudah terbukti. Pengalaman bangsa Indonesia selama penjajahan dan usaha diri lewat revolusi, baik dengan cara-cara konvensionalapa adanya maupun cara-cara yang lebih sistematismodern merupakan pengalaman yang tak dapat terlupakan sepanjang sejarah perjuangan bangsa. Mulai perlawanan daerah, Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Hassanudin, dan tokoh lainnya di berbagai daerah diteruskan tokoh-tokoh pergerakan modern. Beragam perserikatan dan organisasi kepemudaankedaerahankeagamaan melawan penjajahan. Upaya tersebut tidak saja bagian dari langkah politik, tetapi juga bagian dari perjuangan budaya. Penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Tingkah laku bermoral tidak saja berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Pembukaan UUD 1945 membuktikan kebenaran dengan terciptanya keadilan, kemakmuran, persatuan, dan juga anti penjajahan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 dan wajib diikuti oleh semua pejabataparat yang ada. 93 g. Titik Singgung HAM dan Hukum Humaniter Sebagaimana banyak dikemukakan para pakar, perang merupakan lanjutan dari suatu tindakan politik, sedang perdamaian adalah juga lanjutan dari perang. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa dua “alat” dapat dilakukanditempuh oleh setiap negara. Dengan demikian, kalau perang diputuskan untuk ditempuh, merupakan tindakan yang sudah melalui kajianyang matang dan penuh kesadaran. Kesadaran tersebut diikuti dengan langkah yurudis, 93 Ibid., hal. 128-132. antara lain dengan memberi bekal yang cukup akan makna hak asasi manusia sekaligus hukum humaniter kepada seluruh jajaran angkatan perang yang terlibat. Kesadaran inilah yang harus dipelihara terus, sehingga mengetahui batas dan wewenang yang ada. Dengan demikian pihak yang terlibat di dalam perang akan memerhatikan ketentuan perundangan yang berlaku, sehingga ketentuan Konvensi Jenewa 1988 dan ketentuan lainnya dapat efektif. Begitu kudusnya ide hukum humaniter, di mana manusia, terutama dalam keadaan emosional yang sangat tinggi menghadapi lawan, diharapkan mampu menghadapi dengan mengedepankanmenggunakan akal budi hati nurani. Dari sini, Milan Bartos mengemukakan bahwa hukum humaniter memiliki cabang lagi, yaitu hukum damai law of peace, terdiri atas beragam instrumen hukumkonvensi, kovenan, traktat, dan perjanjian internasional lainnnya pelindung manusia. 94 94 Ibid., hal. 192. 77 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP SUKU ANAK DALAM SEBAGAI KAUM INDIGENOUS DI INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Bagi Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia