Pengaturan Hukum Bagi Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia

77 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP SUKU ANAK DALAM SEBAGAI KAUM INDIGENOUS DI INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Bagi Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 95 Menurut “Blacks Law Dictionary Seventh Edition”, sanksi sanction adalah : ”A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order a sanction for discovery abuse” ”Sebuah hukuman atau ukuran koersif yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi hukum, peraturan, atau perintah sanksi karena melanggar penemuan.” Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu: Namun hal tersebut hanya terbatas pada pelanggaran HAM biasa atau ringan, pelanggaran HAM berat diadili oleh pengadilan HAM sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 95 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 1. sanksi hukum pidana 2. sanksi hukum perdata 3. sanksi administrasiadministratif Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah: “Suatu perasaan tidak enak sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana” Hukuman sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, yaitu: 1. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi: a hukuman mati; b hukuman penjara; c hukuman kurungan; d hukuman denda. 2. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi: a pencabutan beberapa hak yang tertentu; b perampasan barang yang tertentu; c pengumuman keputusan hakim. Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa: 1. putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi kewajibannya. Contoh: salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara; 2. putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa; 3. putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu ikatan perkawinan. Jadi, dalam hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya dapat berupa: 1. kewajiban untuk memenuhi prestasi kewajiban; 2. hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Sedangkan untuk sanksi administrasiadministratif, adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi administrasiadministratif berupa: a denda misalnya yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008; b pembekuan hingga pencabutan sertifikat danatau izin misalnya yang diatur dalam Permenhub No. KM 26 Tahun 2009; c penghentian sementara pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi misalnya yang diatur dalam Permenhut No. P.39MENHUT-II2008 Tahun 2008; d tindakan administratif misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252KPPUKEPVII2008 Tahun 2008. 96 Undang-undang hak asasi manusia sebagai peraturan pelaksana dari UUD 1945 juga dapat dilihat dalam bagian konsiderans “Mengingat” pada undang-undang hak asasi manusia : Mengingat: 1. Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat 1 dan ayat 3, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945; 96 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4be012381c490sanksi-hukum- 28pidana,-perdata,-dan-administratif29 . Diakses 30 April 2015. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIIMPRI998 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hukum pidana, dapat menggunakan Pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: 1 Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah : 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. 2 Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat biasa atau ringan dapat diadili berdasarkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan KUHP tersebut. B. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam sistem hukum di Indonesia, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, dapat dilihat bahwa perlindungan terhadap korban dan saksi dikhususkan kepada korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang bersifat berat. Untuk itu, dalam perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang bersifat ringan maka dapat digunakan ketentuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Korban Dan Saksi. Dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku anak dalam sebagai kaum indigenous di Indonesia, yang mana merupakan pelanggaran HAM yang bersifat ringan, maka dapat mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Korban Dan Saksi. Dalam Deklarasi PBB Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People dapat kita lihat beberapa ketentuan yang melindungi masyarakat adat dari tindakan pelanggaran HAM bagi mereka yang meliputi : Pasal 36 ayat 2 : Negara-negara, dalam konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat adat akan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memfasilitasi pemenuhan dan memastikan pelaksanaan hak ini. Pasal 38 : Negara-negara dalam konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat adat, akan mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk pengakuan hukum, untuk mencapai tujuan akhir dari Deklarasi ini . Pasal 39 : Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki akses terhadap bantuan keuangan dan bantuan teknis dari Negara dan melalui kerja sama internasional, untuk dapat menikmati hak-hak yang diakui dalam Deklarasi ini. Pasal 40 : Masyarakat adat memiliki hak atas akses ke, dan untuk memperoleh keputusan secara cepat melalui prosedur-prosedur yang adil dan disetujui secara bersama bagi, penyelesaian konflik dan sengketa dengan Negara dan pihak-pihak yang lain, dan juga bagi pemulihan yang efektif untuk semua pelanggaran hak-hak individual dan kolektif mereka. Keputusan seperti itu harus mempertimbangkan adat, tradisi, peraturan-peraturan dan sistem hukum dari masyarakat adat yang bersangkutan dan hak asasi manusia internasional. Pasal 41 : Organ-organ dan badan-badan khusus dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasiorganisasi antar pemerintah yang lain akan memberikan kontribusi bagi realisasi sepenuhnya ketentuan-ketentuan dalam Deklarasi ini, melalui mobilisasi, antara lain, kerja sama keuangan dan bantuan teknis. Cara dan sarana untuk menjamin partisipasi masyarakat adat dalam hal-hal yang membawa dampak bagi mereka akan ditetapkan. Pasal 42 : PBB, badan-badan PBB, termasuk Forum Permanen untuk Masalah-Masalah Masyarakat Adat dan badan-badan khusus, termasuk pada tingkat negara akan memajukan penghormatan dan pelaksanaan secara penuh ketentuan-ketentuan Deklarasi ini dan menindaklanjuti keefektifan pelaksanaan Deklarasi ini. 97 1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Selain itu perlindungan bagi masyarakat adat yang dijamin oleh negara berkaitan dengan pelanggaran HAM terhadap suku anak dalam sebagai kaum indigenous di Indonesia juga dapat dilihat dalam Konvensi International Labour Organization ILO 169 Tahun 1989 tentang Masyarakat Hukum Adat yaitu sebagai berikut : Pasal 14 ayat 2 : Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah sebagaimana yang diperlukan untuk mengidentifikasi tanah-tanah yang secara tradisi ditempati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan untuk menjamin perlindungan secara efektif terhadap hak-hak mereka atas apa yang mereka miliki dan apa yang mereka kuasai. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Korban Dan Saksi, pada pasal 1 dijelaskan bahwa : 97 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People, 2007 sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, danatau ia alami sendiri. 2. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi danatau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu. 4. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi danatau Korban merasa takut danatau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. 5. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi danatau Korban. 6. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi danatau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pada pasal 2 diatur bahwa Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Artinya adalah undang-undang dapat memberikan perlindungan kepada korban dan saksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal- pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut ketika kasus pelanggaran HAM tersebut telah dibawa ke lingkup peradilan. Adapun pemberian perlindungan kepada korban dan saksi menurut undang-undang ini sebagaimana yang terdapat dalam pasal 3 berasaskan : a penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b rasa aman; c keadilan; d tidak diskriminatif; dan e kepastian hukum. Bagi setiap korban dan saksi memiliki hak yang diatur dalam pasal 5 yaitu sebagai berikut : a memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c memberikan keterangan tanpa tekanan; d mendapat penerjemah; e bebas dari pertanyaan yang menjerat; f mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i mendapat identitas baru; j mendapatkan tempat kediaman baru; k memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l mendapat nasihat hukum; danatau m memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Adapun tata cara pemberian perlindungan yang diberikan oleh LPSK kepada korban dan saksi adalah sebagai berikut : Pasal 29 : Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut : a Saksi danatau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK; b LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 tujuh hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Pasal 30 1 Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi danatau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi danatau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. 2 Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korbansebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat: a. kesediaan Saksi danatau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. kesediaan Saksi danatau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. kesediaan Saksi danatau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; d. kewajiban Saksi danatau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Pasal 31 : LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi danatau Korban, termasukkeluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal30. Pasal 32 1 Perlindungan atas keamanan Saksi danatau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: a. Saksi danatau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi danatau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan; c. Saksi danatau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau d. LPSK berpendapat bahwa Saksi danatau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. 2 Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi danatau Korban harus dilakukan secara tertulis.

C. Ratifikasi Indonesia Terhadap Ketentuan Internasional Dalam