1 Perlindungan atas keamanan Saksi danatau Korban hanya dapat
dihentikan berdasarkan alasan: a.
Saksi danatau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi danatau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;
c. Saksi danatau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis
dalam perjanjian; atau d.
LPSK berpendapat bahwa Saksi danatau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan. 2
Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi danatau Korban harus dilakukan secara tertulis.
C. Ratifikasi Indonesia Terhadap Ketentuan Internasional Dalam
Penegakan Hukum Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Suku Anak Dalam Sebagai Kaum
Indigenous Di Indonesia
Istilah ratifikasi berasal dari bahasa Latin yaitu ”ratificare” yang terbentuk dari kata ratus yang berarti dimantapkan fixed dan facto yang berarti dibuat atau
dibentuk made. Jadi ratifikasi secara harfiah dapat dikatakan dibuat mantap atau disahkan melalui persetujuan make valid by appriving.
98
Sesuai dengan definisi yang dipakai dalam pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties, suatu perjanjian internasional treaty sebagai suatu
perjanjian dimana dua negara atau lebih mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu hubungan diantara mereka yang diatur oleh hukum
internasional. Istilah perjanjian internasional treaty dalam Konvensi ini dianggap
98
Priyatna Abdurrasyid, Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional dalam Majalah Hukum Nasional BPHN, Jakarta, 1991, hal. 29.
sebagai nama umum nomen generalissimum dalam hukum internasional dan dianggap mencakup perjanjian yang dibentuk antar organisasi-organisasi
internasional satu sama lain, atau antara organisasi internasional di satu pihak dan negara di pihak lain, meskipun sesungguhnya ketentuan dalam Konvensi Vienna
hanya menunjuk pada perjanjian antar negara yang dibuat dalam bentuk tertulis saja.
Perjanjian internasional merupakan instrumen utama yang dimiliki masyarakat internasional untuk memprakarsai atau mengembangkan kerjasama
internasional. Secara umum, suatu perjanjian internasional dimaksudkan untuk membebankan kewajiban-kewajiban yang mengikat terhadap negara-negara
pesertanya. Praktek pembentukan dan pemberlakuan perjanjian internasional ditempuh
dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Penunjukkan orang-orang yang akan melakukan negoisasi atas nama negara.
Sekali suatu negara memutuskan untuk memulai negoisasi dengan negara atau negara-negara lain untuk membuat perjanjian tertentu, maka langkah yang
pertama dilakukan adalah menunjuk dan mengangkat wakil-wakil untuk melakukan negoisasi. Setiap wakil itu harus diakreditasi dan harus dilengkapi
dengan kuasa yang diperlukan, bukan saja menyangkut statusnya tetapi juga kewenangannya untuk menghadiri dan ikut serta secara aktif dalam negoisasi-
negoisasi, juga untuk menutup dan menandatangani Final Act perjanjian.
2. Negoisasi dan penerimaan acceptance
Negoisasi mengenai suatu perjanjian dilakukan baik melalui pourparlerswawancara sebelum kesimpulan dari perjanjian dalam hal perjanjian
bilateral atau melalui onferensi diplomatik. Dalam kedua prosedur tersebut masing-masing delegasi tetap memelihara hubungan dengan pemerintahnya.
3. Pengesahan, penandatanganan dan pertuaran instrumen-instrumen
Apabila rancangan akhir perjanjian telah disepakati, maka instrumen tersebut siap untuk dilakukan penandatanganan. Tindakan penandatanganan
biasanya lebih merupakan formalitas saja. Berkaitan dengan perjanjian-perjanjian multilateral, penandatanganan pada umumnya dilakukan pada saat sidang
penutupan resmi seance de cloture, pada saat mana setiap delegasi membubuhkan tandatangan atas nama kepala negara atau kepala pemerintah yang
mengirimkannya. Meskipun sifatnya formalitas, penandatanganan penting sekali bagi suatu perjanjian, terutama karena tindakan ini akan mengesahkan perjanjian
dan penanggalan perjanjian. Akibat atau pengaruh penandatanganan suatu perjanjian bergantung pada
apakah perjanjian tersebut tunduk pada ratifikasi, penerimaan atau persetujuan ataukah tidak. Apabila perjanjian itu tunduk pada ratifikasi, penerimaan atau
persetujuan, maka penandatanganan tidak lebih daripada pengertian bahwa para wakil delegasi telah menyepakati naskah dan berkeinginan untuk menerimanya
serta menyerahkan naskah yang bersangkutan pada pemerintah mereka, untuk dilakukan tindakan lanjutan yaitu diterima atau ditolak. Penandatanganan juga
menunjukkan arti di pihak pemerintah untuk melakukan kajian-kajian baru terhadap persoalan-persoalan yang diatur dalam perjanjian dalam kaitannya
dengan implementasi secara domestik. Apabila perjanjian itu tidak tunduk pada ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka dapatdikatakan bahwa instrumen
yang bersangkutan mengikat sejak waktu penandatanganan.
4. Ratifikasi
Para wakil atau delegasi yang menandatangani perjanjian internasional atau konvensi selanjutnya akan menyerahkan naskah perjanjian kepada
pemerintahnya masing-masing untuk disetujui, apabila disyaratkan demikian dalam perjanjian.
Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh Kepala Negara atau Kepala Pemerintah dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada perjanjian oleh
wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat sesuai dengan ketentuan. Namun, dalam praktek modern, ratifikasi lebih penting dari sekedar formalitas
semata-mata, karena dianggap pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh perjanjian. Maka dari itu, dalam pasal 2
Konvensi Vienna ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dengan cara mana suatu negara menetapkan pada taraf internasional persetujuannya untuk
terikat oleh suatu perjanjian. Adakalanya ratifikasi dianggap sebagai hal yang sangat penting, sehingga
tanpa prosedur ini suatu perjanjian internasional dianggap tidak efektif. Hal ini dikemukakan oleh Lord Stowell :
99
a Perjanjian internasional itu secara tegas menyatakan diperlukannya
‘ratifikasi’; ”Menurut praktek yang berlaku saat ini, ratifikasi merupakan syarat
esensial; dan konfirmasi kuat tentang kebenaran kedudukan ratifikasi demikian itu adalah bahwa hampir setiap perjanjian internasional modern
memuat syarat ratifikasi yang dinyatakan secara tegas; dan kerena itu, pada saat ini dianggap bahwa wewenang wakil-wakil yang berkuasa penuh
dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut. Ratifikasi mungkin merupakan formalitas, namun formalitas yang esensial; karena instrumen
terkait, dari segi keefektifan hukum, tidak lengkap tanpa keberadaan ratifikasi.”
Pasal 14 Konvensi Vienna menentukan bahwa persetujuan suatu negara untuk terikat oleh suatu perjanjian internasional ditegaskan melalui ratifikasi,
apabila :
99
Didalam kasus The Eliza Ann 1812 1 Dods 244, 248, dikutip dari J.G. Starke, Introduction to International Law, 10th edition edisi bahasa Indonesia diterjemahkan
oleh Bambang iriana Djajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hal. 601.
b Negara-negara yang merundingkannya menyepakati bahwa ratifikasi
diperlukan; c
Perjanjian internasional itu ditandatangani dengan tunduk pada ratifikasi;
d Kehendak untuk menandatangani tunduk pada ratifikasi tercermin dari
Kuasa Penuh atau secara tegas dinyatakan selama berlangsungnya perundingan-perundingan.
Praktek ratifikasi dilandasi oleh alasan-alasan sebagai berikut : a.
Negara-negara berhak untuk memperoleh kesempatan mempelajari kembali dan meninjau kembali instrumen-instrumen yang
ditandatangani oleh para wakil mereka sebelum melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dirinci di dalamnya.
b. Karena alasan kedaulatannya, suatu negara berhak untuk menarik diri
dari keikutsertaannya dalam suatu perjanjian internasional jika negara itu menghendakinya.
c. Sering suatu perjanjian internasional harus mengalami perubahan atau
penyesuaian-penyesuaian dalam hukum nasional. Jangka waktu antara penandatanganan dan ratifikasi akan memungkinkan negara-negara
untuk mengeluarkan atau meminta persetujuan parlemen yang diperlukan untuk kemudian ratifikasi. Pertimbangan ini penting dalam
kaitan negara-negara federasi, dimana jika perundang-undangan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional berada
dalam wewenang unit-unit anggota federasi, maka ketentuan-ketentuan perjanjian internasional harus dikonsultasikan oleh pemerintah pusat
sebelum perjanjian internasional itu dapat diratifikasi. d.
Juga ada prinsip demokrasi, yaitu bahwa pemerintah harus memperoleh persetujuan rakyat, baik di parlemen atau melalui cara lain, mengenai
apakah suatu perjanjian internasional disetujui atau tidaknya. Perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, dimana berbagai organ
pemerintah selain Kepala negara diberi andil kekuasaan dalam pembuatan
perjanjian internasional telah menambah penting arti ratifikasi. Dalam pada itu, prosedur yang dipakai di setiap negara menyangkut ratifikasi juga berbeda-beda.
Misalnya, sering negara-negara menekankan perlunya persetujuan atau konfirmasi parlemen atas suatu perjanjian internasional, meskipun secara tegas perjanjian
berlaku sejak pembubuhan tanda tangan, sementara negara-negara lainnya dengan konsisten mengikuti ketentuan dalam perjanjian yaitu menganggap bahwa
perjanjian mengikat tanpa perlu diambil langkah lanjutan. Biasanya ratifikasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala
negara, tetapi dalam kasus perjanjian-perjanjian yang kurang begitu penting maka pemerintah sendiri atau menteri luar negeri dapat melakukan ratifikasi. Dokumen
ratifikasi pada umumnya merupakan instrumen yang sangat formal, kendati hukum internasional tidak memberikan petunjuk mengenai formalitas instrumen-
instrumen itu. Wewenang untuk menolak ratifikasi dianggap melekat pada kedaulatan
negara, oleh karena itu menurut hukum internasional tidak ada kewajiban hukum maupun kewajiban moral untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional.
Namun dalam kasus “Lawmaking Treaties” multilateral, seperti konvensi- konvensi ILO, keterlambatan negara-negara dalam melakukan ratifikasi atau
tidak meratifikasi akan menyebabkan kecaman dan persoalan-persoalan serius. Kantor ILO sejak lama telah mengembangkan teknik khusus untuk mengawasi
ratifikasi konvensi-konvensi dan pelaksanaannya dalam hukum nasional, dengan membentuk suatu komite khusus yang menangani masalah ini.
5. Aksesi dan adhesi
Dalam praktek, apabila suatu negara tidak menandatangani suatu perjanjian internasional, maka negara itu hanya dapat melakukan aksesi atau
adhesi pada perjanjian itu. Menurut praktek saat ini, suatu negara yang bukan penandatangan juga dapat mengaksesi atau mengadhesi perjanjian sebelum
perjanjian yang bersangkutan berlaku. Pembedaan antara aksesi dan adhesi
dikemukakan oleh beberapa teoritisi, dan tidak didukung oleh praktek negara- negara.
Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta dari keseluruhan perjanjian internasional dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali
jika ada reservasi yaitu pernyataan sepihak, dengan cara apapun, yang dibuat oleh suatu negara pada saat penandatanagan, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau
mengaksesi suatu perjanjian internasional, dengan mana negara itu bermaksud untuk meniadakan atau mengubah akibat hukum dari penerapan ketentuan-
ketentuan tertentu dari perjanjian internasional, sedangkan adhesi dapat berupa penerimaan hanya atas sebagian dari perjanjian internasional. Karena aksesi
meliputi penerimaan atas keseluruhan perjanjian internasional maka status keikutsertaannya sama dengan penandatanganan asli perjanjian, sementara adhesi
tidak demikian karena hanya menerima prinsip-prinsip yang ada dalam perjanjian saja.
Istilah “aksesi” juga diterapkan pada penerimaan oleh suatu negara atas suatu perjanjian internasional setelah penyimpanan sejumlah ratifikasi yang
disyaratkan untuk berlakunya perjanjian. Sebagai contoh, apabila suatu perjanjian internasional mensyaratkan sepuluh ratifikasi untuk memberlakukannya, maka
setelah sepuluh instrumen ratifikasi disimpan deposited, maka penerimaan atau ratifikasi ke-11 atau selanjutnya dapat disebut “aksesi”.
Pasal 2 konvensi Vienna mempersamakan pengertian ratifikasi dan aksesi, sementara menurut pasal 15 konvensi itu aksesi memerlukan persetujuan untuk
terikat pada kewajiban perjanjian internasional dengan cara yang sama mutatis mutandis sebagaimana prosedur ratifikasi menurut pasal 14.
Tidak ada bentuk yang baku bagi suatu instrumen aksesi yang ditetapkan oleh hukum internasional, meskipun pada umumnya instrumen itu sama
bentuknya seperti ratifikasi. Sesungguhnya, pemberitahuan dengan maksud untuk ikut serta dalam suatu perjanjian internasional saja sudah cukup memenuhi syarat.
Pada prinsipnya, negara-negara yang tidak ikut menandatangani perjanjian internasional hanya dapat melakukan aksesi apabila disetujui oleh semua negara
yang menjadi pesertanya. Rasio dari aturan ini adalah bahwa negara-negara peserta mempunyai hak untuk mengetahui dan menyetujui masuknya negara lain
sebagai peserta perjanjian, sehingga keseimbangan hak dan kewajiban yang diciptakan oleh perjanjian yang mengikat mereka tidak terganggu.
6. Pemberlakuan perjanjian internasional
Mulai berlakunya perjanjian internasional bergantung pada ketentuan dalam perjanjian itu sendiri, atau atas kesepakatan negara-negara pesertanya
Konvensi Vienna Pasal 24 ayat 1. Sebagaimana telah dikemukakan, ada perjanjian yang langsung berlaku sejak penandatanganan, tetapi apabila
diperlukan ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan, maka menurut hukum internasional perjanjian itu mulai berlaku efektif hanya setelah pertukaran atau
penyimpanan sejumlah ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh semua penandatangan, hal ini menjadi kecenderungan yang berlaku saat ini. Namun
kadang-kadang waktu tepatnya mulai berlaku perjanjian ditetapkan tanpa memperhatikan jumlah ratifikasi yang masuk.
7. Pendaftaran dan Publikasi
Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menentukan bahwa semua perjanjian internasional yang dibentuk oleh anggota PBB harus “sesegera
mungkin” didaftarkan dan dipublikasikan oleh Sekretariat PBB. Negara peserta pada perjanjian yang tidak didaftarkan tidak boleh mendalilkan perjanjian di muka
suatu organ PBB. Hal ini berarti bahwa suatu negara yang menjadi peserta perjanjian yang tidak didaftarkan tidak dapat menyandarkan argumen pada
perjanjian jikalau suatu saat berperkara di muka International Court of Justice atau dalam sidang-sidang Majelis Umum atau Dewan Keamanan. Namun
demikian, ketentuan ini tidak dapat diartikan sebagai menyatakan tidak sah suatu perjanjian yang tidak didaftarkan.
Kewajiban untuk melakukan publikasi oleh Sekretariat dilaksanakan melalui United Nations Treaties Series, lengkap dengan daftar ratifikasi,
penerimaan, reservasi dan sebagainya secara periodik. 8.
Pelaksanaan atau implementasi Tahap akhir dari proses perjanjian internasional adalah memasukkan
sevara tegas, jika diperlukan, ketentuan-ketentuan perjanjian itu dalam hukum nasional dan memberlakukannya, serta pengaturan dan pengawasan
pelaksanaannya oleh organ-organ internasional yang ditentukan.
100
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang apabila berkenaan dengan :
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia; c.
kedaulatan atau hak berdaulat negara; d.
hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e.
pembentukan kaidah hukum baru; f.
pinjaman danatau hibah luar negeri. Tentang undang-undang ratifikasinya sendiri, keberlakuannya sebagai
undang-undang di Indonesia tidak perlu menunggu adanya undang-undang implementasinya dahulu. Begitu undang-undang itu disahkan, dan diundangkan
dalam Lembaran Negara, maka undang-undang tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 45 jo pasal 46
100
Sunaryati Hartono, Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Bidang Hak Asasi Manusia Dan Urgensinya Bagi Indonesia,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Perundang-undangan, 2000, hal. 8-16.
ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
101
1. Kewajiban negara Indonesia sebagai Negara Pihak untuk memajukan,
melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi sebagaimana tersebut dalam instrumen terkait, kecuali jika dilakukan reservasi pensyaratan atau
deklarasi pernyataan khusus pada pasal-pasal tertentu. Konsekuensi dari ratifikasi bagi Indonesia adalah :
2. Dimasukkannya instrumen internasional terkait ke dalam hukum
nasional maka bisa digunakan dalam proses litigasi. 3.
Melakukan pelaporan secara berkala periodic report sebagai bagian dari State Self-Reporting Mechanism yang disyaratkan oleh instrumen-
instrumen internasional tersebut.
102
Beberapa instrumen HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Convention on the Political Rights of Woman Konvensi Hak-Hak
Politik Perempuan, ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958;
b. Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against
Woman Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984; c.
Convention on the Rights of the Child Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, ditetapkan dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1998;
d. Convention Against Apartheid in Sport Konvensi Anti-Apartheid
Dalam Olahraga, ditetapkan dalam Keppres Nomor 48 Tahun 1993;
101
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4c69b1cbd0492status-hukum-uu- ratifikasi
. Diakses 01 Mei 2015.
102
http:syaldi.web.id200810status-ratifikasi-indonesia-untuk-instrumen- internasional-ham
. Diakses 01 Mei 2015.
e. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment Konvensi Menentang Penyiksaan lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia,
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998; f.
Convention on the Elimination of all Forms of Racial Discrimination Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999. Amandemen ketiga UUD Indonesia mengakui hak-hak masyarakat adat
dalam Pasal 18b-2. Dalam undang-undang yang lebih baru, ada implisit, meskipun bersyarat, pengakuan beberapa hak-hak masyarakat disebut sebagai
masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, seperti Undang-Undang Nomor 51960 tentang Peraturan Dasar Agraria, UU No. 391999 tentang Manusia hak,
Tap MPR No X 2001 tentang Reformasi Agraria. Undang-Undang Nomor 272007 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Undang-Undang Nomor 322010
tentang Lingkungan Pesisir dan jelas menggunakan istilah Masyarakat Adat dan menggunakan definisi kerja aliansi masyarakat adat Indonesia AMAN.
Mahkamah Konstitusi Mei 2013 menegaskan Hak Konstitusional Masyarakat Adat atas tanah dan wilayah mereka termasuk hak-hak kolektif mereka atas hutan
adat. Indonesia adalah penandatangan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat United Nations Declarations on the Rights of Indigenous People, pejabat pemerintah berpendapat bahwa konsep masyarakat adat tidak
berlaku karena hampir semua orang Indonesia dengan pengecualian dari etnis Tionghoa yang asli dan dengan demikian berhak hak yang sama. Akibatnya,
pemerintah telah menolak panggilan untuk kebutuhan tertentu dengan kelompok mengidentifikasi diri mereka sebagai masyarakat adat.
103
Pemerintah Indonesia menolak rekomendasi terkait dengan Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 169 Tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat
Adat di Negara-Negara Merdeka. Disamping itu juga pemerintah menyatakan
103
www.iwgia.orgregionsasiaindonesia . Diakses 01 Mei 2015.
ketegasan mereka terhadap penolakan untuk mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat adat ke Indonesia, bahkan menolak menjamin hak-
hak masyarakat adat di Indonesia. Pemerintah menyatakan bahwa jika mereka menerima rekomendasi- rekomendasi tersebut di atas, akan ada implikasi legal
yang sangat kompleks di Indonesia dan konsep masyarakat adat di Indonesia berbeda dengan konsep masyarakat adat dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat United Nations Declarations on the Rights of Indigenous People. Kenyataannya, Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan nasional
yang mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat, diantaranya, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, TAP MPR RI Nomor 9 Tahun 2001 dan UUD 1945.
104
Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban dari negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi
masyarakat suku anak dalam yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu juga dapat meminta pertanggungjawaban dari perusahaan yang terkait
yang melakukan pelanggaran, yaitu PT Asiatic Persada untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban perusahaan terhadap hak-hak masyarakat suku anak dalam.
PT Asiatic Persada telah secara paksa melakukan penggusuran dan melanggar kesepakatan mediasi untuk melakukan pengukuran tanah dengan hak
guna usaha HGU. Akibat penggusuran tersebut, suku anak dalam Jambi kini mengungsi. Sebagian terpencar-pencar, sebagian menginap di rumah keluarga.
Sejak 10 Desember 2013, ratusan warga telah mondok di kantor Komnas HAM untuk memperoleh keadilan dan perlindungan HAM bagi mereka.
Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh PT Asiatic Persada terhadap suku anak dalam telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yaitu
prinsip kebebasan, prinsip kemerdekaan, prinsip persamaan, dan prinsip keadilan.
104
http:www.aman.or.id20120919press-release-pemerintah-indonesia- menolak-rekomendasi-dewan-ham-pbb-terkait-hak-hak-masyarakat-adat
. Diakses 01 Mei 2015.
Sesuai dengan wewenang yang diberikan kepada Komnas HAM sebagaimana yang dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, maka Komnas HAM berperan penting dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh PT Asiatic
Persada terhadap suku anak dalam di Jambi. Selain itu, hukum internasional melalui deklarasi PBB tentang hak-hak
masyarakat adat juga melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang dalam hal ini termasuk suku anak dalam di Jambi yang diakui sebagai masyarakat
adat atau kaum indigenous di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menggalakkan lahirnya
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People harusnya dapat dengan tegas menegakkan keberlakuan deklarasi tersebut untuk melindungi
masyarakat adat. Para korban dan saksi dalam kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
PT Asiatic Persada tidak perlu takut untuk menyelesaikan kasus tersebut secara hukum, sebab instrumen hukum di Indonesia melindungi para korban dan saksi
melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Korban Dan Saksi, serta mengatur secara tegas juga sanksi apa yang dapat dijatuhkan
bagi pelaku pelanggaran tersebut yang dalam hal ini adalah PT Asiatic Persada. PT Asiatic Persada dapat dikenai pasal 335 ayat 1 KUH Pidana disamping juga
dapat dikatakan melawan perintah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan