BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Hidup berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah,
termasuk manusia. Allah Swt menciptakan manusia berpasang-pasangan dan menjadi berkembang biak yang berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Quran surat al-Nisa 4 ayat 1 :
⌧ ☯
⌧ ءﺎﺴﻨﻟا
٤ :
١
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertaqwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta, dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu”. Q.S. Al-Nisa4:1
1
2
Perkawinan pada manusia diatur oleh syariat agama. Perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah.
1
Di atas pundak suami terletak kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. “Yang
dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain”.
2
Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan,
bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya.
3
Kewajiban menafkahi itu tetap berlaku sekalipun si istri adalah seorang perempuan konglomerat atau
punya penghasilan sendiri. Nafkah suami terhadap istri bukan hanya dibatasi pada tiga bidang; pangan, sandang dan papan saja, tetapi juga meliputi biaya-biaya
pengobatan dan kebutuhan pokok lainnya.
4
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 80 Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Bagian Ketiga Kewajiban Suami, dijelaskan:
“4 Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a.
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
1
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,
Jakarta: Lentera, 1999, Cet. 4, h. 400.
2
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, Cet. 5, h. 383.
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996, Cet. ke-2, jilid ke- 9, h. 28.
4
Mesraini dan A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006, h. 55-56.
3
c. Biaya pendidikan bagi anak.”
5
Melalui ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keperluan rumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman
bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.
Nilai perkawinan dalam Islam merupakan ibadah dan mitsaqan ghalidz perjanjian suci. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal, maka suatu perkawinan seharusnya berlangsung abadi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa sering antara para pihak
yang terikat dalam perkawinan sudah tidak lagi ada kecocokan di antara mereka, yang memicu pertengkaran dan konflik terus-menerus hingga tidak dapat
didamaikan lagi. Dalam kondisi tersebut, perkawinan telah kehilangan maknanya. Namun,
suami-istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai, tetapi jika mereka sudah tidak dapat mempertahankan mahligai
perkawinannya lagi, maka perceraian adalah jalan keluar terakhir yang dapat ditempuh.
Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa:
5
Departemen Agama R.I., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama R.I.,
2004, h. 158.
4
perkawinan dapat putus karena: a. kematian,
b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan.
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari
hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Setelah perkawinan tersebut putus atau terjadinya perceraian, maka tidak
serta merta urusannya selesai begitu saja, akan tetapi terdapat akibat-akibat hukum yang perlu diselesaikan oleh pihak-pihak yang bercerai, diantaranya
adalah nafkah anak pasca perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV tentang pemeliharaan anak
pasal 105 poin c disebutkan bahwa: dalam hal terjadi perceraian: “a. ...,
b. ..., c. biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya”.
Serta KHI pasal 149 juga menegaskan: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. ..., b. ...,
c. ..., d. memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun”. Ditegaskan pula dalam KHI bab XVII pasal 156 poin d:
“Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurus diri sendiri 21 tahun”.
5
Selanjutnya, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan di antaranya adalah
Sub b: “bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut” .
Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan
hukum dari hakim yang memeriksa perkara.
6
Dalam bidang hukum acara di pengadilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum acara yang bersumberkan dari syariat Islam. Hal ini disamping untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum acara juga agar putusan yang
dihasilkan telah mendekati kebenaran dan keadilan yang diridhoi Allah swt, karena diproses dengan acara yang diridhoi pula.
7
Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608Pdt.G2007PA.JP., penggugat mencabut tuntutan mengenai nafkah anak
pasca perceraian dari gugatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis mengapa penggugat melakukan pencabutan tuntutan tersebut dari gugatan dan
6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan
, Jakarta: Sinar Grafika, h. 809
7
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 14.
6
apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No: 608Pdt.G2007PA.JP telah sejalan
dan tepat dengan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis sangat tertarik untuk
menelitinya dalam bentuk skripsi dengan judul: “PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI
ANAK PASCA PERCERAIAN Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608Pdt.G2007PA.JP”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah