Sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
32
Seperti Al-Qur’an, Hadits Sunnah juga berisi aqidah dan syari’ah. Ada tiga peranan Hadits Sunnah disamping Al-Qur’an sebagai sumber agama
dan ajaran Islam. Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya, mengenai shalat. Di dalam Al-Qur’an ada
ketentuan mengenai shalat, ketentuan itu ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam sunnah Rasulullah.
33
Kedua, sebagai penjelasan isi Al-Qur’an. Misalnya, di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam Al-Qur’an
tidak dijelaskan banyaknya rakaat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat. Rasulullah-lah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap
shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
34
Ketiga, menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Qur’an. Contohnya adalah larangan
Rasulullah mempermadu menikahi sekaligus atau menikahi secara bersamaan seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat
dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa’.
35
Hadits Sunnah berisi petunjuk pedoman untuk kemashlahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia
seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasulullah menjdi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama mnenggunakan rumah Al-
Arqam bin Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-
daerah yang baru masuk Islam.
36
Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam. Oleh karena itu, Hadits
32
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007, h. 60
33
Daud Ali, op. cit., h. 112
34
Ibid., h.. 113
35
Ibid., h. 113
36
Daradjat, op. cit., h. 21
Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim.
c. Ijtihad
Sebagaimana diketahui bahwa sumber nilai dan ajaran Islam adalah Al- Qur’an dan Hadits sunnah. Namun demikian untuk menetapkan hukum atau
tuntutan suatu perkara adakalanya di dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak terdapat keterangan yang nyata-nyata menjelaskan suatu perkara yang akan
ditetapkan hukumnya. Melihat fenomena demikian, ajaran Islam membenarkan suatu langkah untuk menetapkan hukum perkara dengan jalan
ijtihad, sebagai sarana ilmiah untuk menetapkan sebuah hukum. Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-musyaqat kesulitan dan kesusahan dan ath-thaqat kesanggupan dan kemampuan.
37
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh para ahli. Namun secara umum adalah berpikir
dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkanmenentukan sesuatu hukum syariat Islam dalam hal-hal
yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Hadits Sunnah.
38
Eksistensi ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah Al- Qur’an dan Hadits, merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan setiap
waktu guna mengantarkan manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin mengglobal dan mendunia.
Di dunia pendidikan, ijtihad dibutuhkan secara aktif untuk menata sistem pendidikan yang dialogis, peranan dan pengaruhnya sangat besar,
umpamanya dalam menetapkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai meskipun secara umum rumusan tersebut telah disebutkan dalam Al-
Qur’an.
39
Akan tetapi secara khusus, tujuan-tujuan tersebut memiliki dimensi
37
Syafe’i, op. cit., h. 97
38
Daradjat, op. cit., h. 21
39
Soleha dan Rada, op. cit., h. 37
yang harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan manusia pada suatu periodisasi tertentu, yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Maka
pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan maka tujuan pendidikan bertahap dan
bertingkat. Abu Ahmadi mengatakan bahwa tahap-tahap tujuan pendidikan agama Islam
meliputi: a.
Tujuan TertinggiTerakhir Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya
terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Dalam tujuan pendidikan agama Islam, tujuan tertinggiterakhir ini pada akhirnya sesuai
dengan tujuan hidup manusia, dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Yaitu:
1 Menjadi hamba Allah Swt
Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Dalam hal ini pendidikan
harus memungkinkan manusia memahami dan menghayati tentang Tuhannya sedemikian rupa, sehingga semua peribadahannya dilakukan
dengan penuh penghayatan dan kekhusu’an terhadap-Nya, melakukan seremoni ibadah dan tunduk senantiasa pada syari’ah dan petunjuk Allah
Swt.
40
2 Mengantarkan peserta didik menjadi khalifah fil Ardh, yang mampu
memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya sesuai dengan tujuan
40
Ramayulis,MetodologiPendidikan Agama Islam, Jakarta: KalamMulia, 2010, Cet. Ke-6, h. 30
penciptaannya dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidup.
41
3 Untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia sampai
akhirat, baik individu maupun masyarakat.
b. Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu
meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan.
42
Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap,
perilaku dan kepribadian peserta didik. Salah satu formulasi dan realisasi diri sebagai tujuan pendidikan yang
bersifat umum ialah rumusan yang disarankan oleh Konferensi Internasional Pertama tentang pendidikan Islam di Mekkah 8 April 1977 sebagi berikut:
Tujuan umum pendidikan Islam diarahkan untuk mencapai pertumbuhan keseimbangan kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa,
intelek, jiwa rasional, perasaan dan penghayatan lahir. Karena itu pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segi:
spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif yang semua itu didasari oleh motivasi mencapai
kebaikan dan perfeksi kesempurnaan.
43
c. Tujuan khusus
Tujuan khusus ialah pengkhususan atau oprasionalisasi tujuan tertinggiterakhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus
bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama masih berpijak pada
41
Ibid.
42
Daradjat, op. cit., h. 21
43
Ramayulis, op. cit., h. 30
kerangka tujuan tertinggiterakhir dan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada:
44
1 Kultur dan cita-cita suatu bangsa
Setiap bangsa pada umumnya memiliki tradisi dan budaya sendiri-sendiri. Perbedaan antar berbagai bangsa inilah yang memungkinkan sekali adanya
perbedaan cita-citanya, sehingga terjadi pula perbedaan dalam merumuskan tujuan yang dikehendakinya di bidang pendidikan.
2 Minat, bakat dan kesanggupan subyek didik
Islam sangat mengakui adanya perbedaan individu dalam hal minat, bakat dan kemampuan.
3 Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu
Apabila tujuan khusus pendidikan tidak mempertibangkan faktor situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu, maka pendidikan akan kurang
memiliki daya guna sebagaimana minat dan perhatian subyek didik. Dasar pertimbangan ini sangat penting terutama bagi perencanaan pendidikan
yang berorientasi pada masa depan.
C. Nilai-nilai Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaiaan atau
sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi pengembangan jiwa anak sehingga dapat memberikan out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan
masyarakat luas. Dengan banyaknya nilai-nilai pendidikan peneliti mencoba membatasi pembahasan dari penulisan skripsi ini dan membatasi nilai-nilai
pendidikan Islam dengan nilai Aqidah, nilai Ibadah dan nilai akhlaq.
44
Ibid., h. 33
1. Nilai-nilai Aqidah
Nilai aqidah merupakan landasan pokok bagi kehidupan manusia sesuai fitrahnya, karena manusia mempunyai sifat dan kecenderungan untuk mengalami
dan mempercayai adanya Tuhan. Pendidikan Aqidah ini dimulai semenjak bayi dilahirkan dengan mengumandangkan adzan ke telinganya agar pertama kali yang
didengar hanya kebesaran Asma Allah. Secara etimologi, aqidah adalah bentuk masdar dari kata ‘aqoda-ya’qidu-
‘aqidatan yang berarti ikatan, simpulan, perjanjian, kokoh.
45
Setelah terbentuk menjadi kata aqidah berarti perjanjian yang teguh dan kuat, terpatri dan tertanam
di dalam lubuk hati yang paling dalam.
46
Sedangkan secara terminologi, aqidah berarti credo, creed, keyakinan hidup iman dalam arti khas, yakni pengikraran yang bertolak dari hati. Menurut Jamil
Ahaliba dalam kitab Mu’jam al-Falsafi yang dikutip Muhammad Alim dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Agama Islam, mengartikan aqidah adalah
menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh.
47
Aspek pengajaran Aqidah dalam dunia pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses pemenuhan fitrah bertauhid. Fitrah bertauhid merupakan unsur
hakiki yang melekat pada diri manusia sejak penciptaannya. Ketika berada di alam arwah, manusia telah mengikrarkan ketauhidannyaitu, sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 172:
øøŒÎuρ x‹s{r
y7•u‘ .⎯ÏΒ
û©Í_t tΠyŠu™
⎯ÏΒ óΟÏδÍ‘θßγàß
öΝåκtJ−ƒÍh‘èŒ öΝèδy‰pκô−ruρ
’n?tã öΝÍκŦàΡr
àMó¡s9r öΝä3ÎntÎ
θä9s 4’n?t
¡ tΡô‰Îγx©
¡ χr
θä9θàs? tΠöθtƒ
Ïπyϑ≈uŠÉø9 ¯ΡÎ
¨Ζà2 ô⎯tã
x‹≈yδ t⎦,ÎÏ≈xî
∩⊇∠⊄∪
45
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda karya, 1993, h. 242
46
Alim, op. cit., h. 124.
47
Ibid.
Artinya: “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka seraya berfirman: Bukankah aku ini Tuhanmu? mereka menjawab: Betul Engkau Tuban kami, Kami menjadi saksi. kami lakukan
yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya Kami Bani Adam adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini keesaan Tuhan.QS. Al-A’raf: 172
48
Karakteristik aqidah Islam bersifat murni, baik dalam isi, maupun prosesnya, dimana hanyalah Allah yang wajib diyakini, diakui dan disembah.
49
Keyakinan tersebut sedikit-pun tidak boleh dialihkan kepada yang lain, karena akan berakibat
penyekutuan musyrik yang berdampak pada motivasi ibadah yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah.
Aqidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah; ucapan dalam lisan dalam bentuk dua kalimah
syahadat; dan perbuatan dengan amal saleh. Dengan demikian, aqidah Islam bukan hanya sekedar keyakinan dalam hati, melainkan pada tahap selanjutnya
harus menjadi acuan dasar dalam bertingkah laku dan berbuat yang pada akhirnya akan membuahkan amal saleh.
Lebih lanjut, Abu A’la al-Maududi yang dikutip oleh Muhammad Alim dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Agama Islam, menyebutkan pengaruh
aqidah sebagai berikut: a.
Menjauhkan manusia dari pandangan yang sempit dan picik b.
Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri c.
Membentuk manusia menjadi jujur dan adil d.
Menghilangkan sifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
e. Membentuk pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan dan optimisme
f. Menanamkan sifat kesatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi
resiko, bahkan tidak takut kepada mati. g.
Menciptakan sikap hidup damai dan ridha h.
Membentuk manusia menjadi patuh, taat dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
50
48
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002, h. 174
49
Alim, op. cit., h. 125
50
Ibid., h. 131
Dari beberapa penjelasan tentang karakteristik aqidah Islam tersebut, maka dapat disimpulkan tentang prinsip nilai aqidah Islam adalah sebagai berikut:
a. Berserah diri kepada Allah dengan bertauhid
Maksudnya adalah beribadah murni hanya kepada Allah semata, tidak pada yang lain-Nya tauhid, secara garis besar tauhid adalah meng-Esa-
kan Allah dalam ibadah. Karena sejatinya sesembahan itu beraneka ragam menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing, akan tetapi orang
yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan tempat meminta.
b. Taat dan patuh kepada Allah
Dalam aqidah Islam tidak cukup hanya menjadi seorang yang bertauhid tanpa dibarengi dengan amal perbuatan yang mencerminkan ketauhidan
tersebut. Karena orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.
c. Menjauhkan diri dari perbuatan syirik
Setelah bertauhid serta taat dan patuh hanya kepada Allah secara tidak langsung seseorang telah menjauhkan dirinya dari perbuatan syirik, dan
tidak hanya cukup disitu saja, akan tetapi harus senantiasa menjaga diri untuk selalu menjauhi perbuatan dan pelaku syirik. Allah telah berfirman.
¨βÎ ©
Ÿω ãÏøótƒ
βr x8uô³ç„
⎯ÏμÎ ãÏøótƒuρ
tΒ tβρߊ
y7Ï9≡sŒ ⎯yϑÏ9
â™t±o„ 4
⎯tΒuρ õ8Îô³ç„
«Î ωssù
“utIøù ¸ϑøOÎ
¸ϑŠÏàtã ∩⊆∇∪
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. QS. An-Nisa’: 48
51
51
Departemen Agama RI,op. cit., h. 87
2. Nilai-nilai Ibadah
Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT., karena didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Majelis Tarjih Muhammdiyah
mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan
segala yang diizinkan-Nya.
52
M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab, 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, menyimpulkan
tentang tiga definisi ibadah yang dikemukakan oleh Syaikh Ja’far Subhani, yaitu “ibadah adalah ketundukan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan praktik yang
timbul sebagai dampak keyakinan tentang ketuhanan siapa yang kepadanya seorang tunduk.”
53
Ketentuan ibadah termasuk salah satu bidang ajaran Islam dimana akal manusia tidak berhak ikut campur, melainkan hak dan otoritas milik Allah
sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini mematuhi, mentaati, melaksanakan dan menjalankannya dengan penuh ketundukan sebagai bukti
pengabdian dan rasa terima kasih kepada-Nya. Ibadah secara umum berarti mencakup seluruh aspek kehidupan sesuai
dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang merupakan tugas hidup manusia. Dalam pengertian khusus ibadah adalah perilaku manusia
yang dilakukan atas perintah Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah, atau disebut ritual.
54
Dengan ibadah manusia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, akan tetapi ibadah bukan hanya sekedar kewajiban melainkan kebutuhan
bagi seorang hamba yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan tanpa Allah yang Maha Kuat.
Adapun jenis-jenis ibadah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
52
Alim, op. cit., h. 143-144
53
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir Do’a, Ciputat: Lentera Hati, 2006, Cet. ke-2, h. 177
54
Alim, op.cit., h. 144
a. Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan
hubungan antara hamba dengan sang pencipta secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip, yaitu:
1 Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah.
2 Tata caranya harus berpola kepada Rasulullah.
3 Bersifat supra rasional diatas jangkauan akal.
4 Azaznya taat
b. Ibadah Ghairu Mahdhah, artinya ibadah yang disamping sebagai hubungan
hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini ada 4,
yaitu 1
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. 2
Tata pelaksanaannya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah. 3
Bersifat rasional. 4
Azaznya manfaat, selama itu bermanfaat maka selama itu boleh dilakukan.
55
Di dalam Islam nilai ibadah tidak hanya sebatas ritual pada hari atau tempat- tempat tertentu saja, akan tetapi lebih luas lagi. Karena pemahaman nilai Ibadah
dalam Islam adalah juga mencakup segala perkataan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang dikerjakan secara ikhlas semata hanya ingin mendapat
ridha dari Allah SWT. Menuntut ilmu, mendidik membesarkan anak, bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga, bahkan menyingkirkan duri dari jalanan-
pun bisa mempunyai nilai ibadah jika perbuatan-perbuatan tersebut didasari keikhlasan hanya untuk mencari keridhaan Allah.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya yang berjudul al-‘Ubudiyah, menjelaskan cakupan dan bentuk-bentuk ibadah, antara lain menulis; “Ibadah adalah sebutan
yang mencakup segala sesuatu yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT. dalam bentuk ucapan dan perbuatan batin dan lahir, seperti shalat, puasa, haji, kebenaran
dalam berucap, kebaktian kepada orang tua, silaturahim, dan lain-lain.”
56
3. Nilai-nilai Akhlak
55
Umay M. Dja’far Shiddieq, Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah, http:umayonline.wordpress.com
, diakses pada tanggal 12 juli 2014.
56
Shihab, op. cit., h. 177