Setelah lulus kuliah Fuadi diterima sebagai wartawan Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah
bimbingan wartawan senior. Setahun kemudian, dia merantau ke Washington DC bersama istrinya yang juga wartawan tempo untuk mengikuti program S-
2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Sambil kuliah mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of
America.
92
Pada 2004 ia kembali mendapat beasiswa untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Ia juga
pernah menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.
93
B. Temuan Penelitian dan Pembahasan
Pada pembahasan kali ini, peneliti akan memaparkan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara. Paparan nilai-nilai pendidikan
Islam dalam novel Negeri 5 Menara adalah hasil analisis peneliti dengan menggunakan teori yang telah dirancang sebelumnya. Adapun nilai-nilai
pendidikan Islam tersebut bisa berupa kewajiban melakukan sesuatu, anjuran atau larangan.
Selanjutnya peneliti akan mendeskripsikan temuan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam novelNegeri 5 Menara, kemudian mengintegrasikan
temuan penelitian kedalam teori pengetahuan yang sudah ada dilakukan dengan menjelaskan temuan-temuan tersebut dalam konteks yang lebih luas.Nilai-nilai
pendidikan Islam dalam novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi banyak ditunjukkan dalam bentuk deskripsi cerita, dialog antar tokoh, maupun respon
para tokoh dalam menyikapi sesuatu. Paragraf dan kalimat dalam sebuah novel merupakan kumpulan ide yang
dituangkan oleh pengarang. Interpretasi yang berbeda-beda dapat timbul karena berbedanya kemampuan pembaca untuk melihat lebih dalam tentang isi
92
Ibid.
93
Ibid.
kandungan dalam novel. Sehingga terkadang pesan yang disampaikan oleh pengarang dipahami berbeda-beda oleh pembaca. Maka dari itu untuk melihat
pesan dibalik deskripsi cerita dalam novel Negeri 5 Menara maka dalam skripsi ini penulis memparkannya sebagai berikut:
1. Nilai Aqidah
a. Berserah diri kepada Allah dengan bertauhid
Salah satu dari prinsip aqidah Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan tempat
meminta. Lebih lanjut, tauhid adalah konsep aqidah Islam yang menyatakan ke-Esa-an Allah. Baik ke-Esa-an dalam perbuatan-perbuatan yang hanya
dapat dilakukan Allah dan meng-Esa-kan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Jadi, dari berbagai macam ibadah yang kita lakukan hanya
ditujukan untuk Allah semata. Dalam lingkup penelitian ini konsep aqidah Islam tentang ketauhidan banyak
dijumpai dalam novel Negeri 5 Menara, antara lain sebagai berikut: 1
Berdo’a Posisi paling mulia bagi kita di sisi Allah adalah ketika kita
menengadahkan tangan kepada-Nya untuk berdo’a dan memohon. Seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang artinya:
“Tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah selain do’a.” HR. At-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad.
94
Rasulullah SAW. Selalu mengajarkan kepada para sahabatnya dan terutama kepada umatnya bahwa sebelum melakukan segala aktivitas
hendaknya berdo’a terlebih dahulu. Hal ini demi menyerahkan segalanya kepada Allah serta semuanya ditulis sebagai amalan kebaikan di sisi-Nya.
Berdo’a dalam istilah agama adalah permohonan hamba kepada Tuhan agar memperoleh anugerah pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si
pemohon maupun pihak lain. Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati
94
Amru Khalid, Ibadah Sepenuh Hati, Solo: Aqwam, 2006, h. 150
yang terdalam disertai dengan ketundukan dan pengagungan hanya kepada- Nya.
95
Kutipan novel: Maka selesai shalat Ashar berjamaah, aku terpekur lebih lama dan
memanjatkan doa sebagai seorang jasus yang “teraniaya” karena belum menemukan pelanggar aturan. Aku dengan khusuk memohon Allah
memudahkan misi ini sehingga kehidupanku kembali tenang dan damai.
96
Padakutipan dalam novel tersebut A. Fuadi memaparkan sebuah nilai Pendidikan Islam tentang akidah yakni ketauhidan; berdo’a memohon segala
sesuatu hanya kepada Allah. Dalam kutipan tersebut digambarkan sang tokoh yaitu Alif dengan khusu’ memohon kepada Allah agar dimudahkan atas
segala kesusahan dan musibah yang menimpa dirinya. Dalam menjalani kehidupan ini, tentu kita sebagai manusia pasti pernah
mengalami kesulitan dan kesusahan, yang semua itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah. Sesungguhnya, ketika kesulitan itu datang, maka Allah-lah
sebaik-baik penolong dan hanya kepada-Nya lah kita memohon. Dan janganlah sampai tergoda untuk meminta pertolongan kepada selain Allah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an.
tΑsuρ ãΝà6šu‘
þ’ÎΤθãã÷Š ó=ÉftGó™r
öä3s9 4
¨βÎ š⎥⎪Ï©
tβρçÉ9õ3tGó¡o„ ô⎯tã
’ÎAyŠt6Ïã tβθè=äzô‰u‹y™
tΛ©⎝yγy_ š⎥⎪ÌÅzyŠ
∩∉⊃∪
Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku- perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku Berdoa kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina. QS. Al-Mukmin: 60
97
95
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir Do’a, Ciputat: Lentera Hati, 2006, Cet. ke-2, h. 177.
96
Fuadi, op. cit., h. 82
97
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002, h. 475
Dalam ayat tersebut telah jelas bahwa kita diperintahkan untuk berdo’a hanya kepada Allah SWT. Memohon pertolongan dan menyerahkan segala
urusan hanya kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya. Berdo’a adalah bagian dari bentuk ketaatan kepada Allah dan bentuk pemenuhan akan
perintah-Nya. Lebih luas lagi, dengan berdoa secara tidak langsung kita telah mengakui
akan adanya Allah beserta sifat-sifat-Nya. Sebab, mustahil seseorang akan berdo’a atau meminta jika yang diserunya itu tak diyakini ada. Dan juga
mengakui bahwa Allah Maha Mendengar dan Mengetahui. Sebab, mustahil pula seseorang akan berdo’a dan meminta manakala ia tak meyakini bahwa
yang diserunya itu mampu mendengar dan memahami sebagaimana tak mungkinnya seseorang mengutarakan hajat dan maksudnya kepada yang tak
mampu mendengar dan mengetahui isi pembicaraan. Maka perlu kita ketahui bahwa berdo’a merupakan cara yang paling
ampuh untuk menanamkan akidah kepada anak-anak ataupun peserta didik kita.
2 Tawakal
Setelah usaha dan do’a yang telah kita kerjakan sudah maksimal, maka selanjutnya hal yang harus dilakukan adalah tawakal, menyerahkan semua
hasil usaha kita kepada Allah. Sebagaimana yang tertuang dalam novelNegeri 5 Menara, sebagai berikut:
Ya Allah telah aku sempurnakan semua usahaku dan doaku kepada-Mu. Sekarang semuanya aku serahkan kepada-Mu. Aku tawakal dan ikhlas.
Mudahkanlah ujianku besok. Amin.
98
Kutipan tersebut menggambarkan sang tokoh menyerahkan segala hasil dari kerja kerasnya kepada Allah. Dan sebelum semuahasil dipasrahkan
kepada Allah, usaha yang telah dilakukan oleh sang tokoh dengan maksimal telah disempurnakan dengan do’a. Barulah setelah itu tawakal, dengan
harapan, Allah memberi hasil yang terbaik.
98
Fuadi, op. cit., h. 200
Secara harfiah, tawakal berarti menyerahkan diri. Menurut Harun Nasution, yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf,
menyatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan diri kepada qada’ dan keputusan.
99
Dalam Al-Qur’an, Allah telah berfirman:
….. ⎯tΒuρ
ö≅©.uθtGtƒ ’n?tã
« uθßγsù
ÿ…çμç7ó¡ym 4
¨βÎ ©
àÎ=≈t ⎯ÍνÌøΒr
4 ô‰s
Ÿ≅yèy_
ª Èe≅ä3Ï9
™ó©x« Y‘ô‰s
∩⊂∪
Artinya: Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluan-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.QS. Ath-Thalaaq: 3
100
Ayat tersebut menjelaskan bahwa barang siapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan semua urusan kepada-Nya, maka Allah akan
mencukupi segala keperluannya. Yang perlu digaris bawahi dalam penjelasan ayat tersebut adalah “percaya kepada Allah dalam menyerahkan semua
urusan”. Dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah ayat tersebut menjelaskan bahwa dengan bertawakal secara tidak langsung kita telah
menanamkan konsep akidah Islam tentang ketauhidan dalam diri kita. Karena dengan bertawakal, kita telah mengakui adanya Allah dengan segala sifat-
sifat-Nya, terutama sifat-Nya yaitu yang Maha Esa.
b. Taat dan patuh kepada Allah
Dalam prinsip akidah Islam selanjutnya yang telah dipaparkan penjelasannya oleh penulis di bab dua adalah taat dan patuh kepada Allah, artinya menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.
99
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, h. 202
100
Departeman Agama RI, op. cit., h.559
Dalam novel Negeri 5 Menara juga telah ditemukan konsep akidah Islam tentang ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, terutama ketaatan dengan menjauhi
segala larangan-Nya. 1
Menjauhi perbuatan dosa Salah satu indikasi seseorang beriman adalah senantiasa menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Karena sejatinya, seorang hamba yang beriman akan selalu takut untuk melakukan
perbuatan dosa, hatinya akan bergetar dan seketika merasa lemah ketika dihadapkan pada peluang untuk berbuat dosa, baik itu dosa kecil maupun
dosa besar. Bahkan di dalam Al-Qur’an Allah telah menjanjikan tempat yang mulia di
akhirat kelak bagi orang yang mampu menjauhi perbuatan-perbuatan dosa.
βÎ θç6Ï⊥tFøgrB
tÍ←t6Ÿ2 tΒ
tβöθpκ÷]è? çμ÷Ψtã
öÏes3çΡ öΝä3Ψtã
öΝä3Ï?t↔Íh‹y™ Νà6ù=Åzô‰çΡuρ
Wξyzô‰•Β VϑƒÌx.
∩⊂⊇∪
Artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-
kesalahanmu dosa-dosamu yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia surga.” QS. An-Nisa’: 31
101
Di dalam novel Negeri 5 Menara, pengarang juga mencoba menyampaikan pesannya kepada kita untuk senantiasa menjauhi perbuatan-
perbuatan yang menimbulkan dosa, antara lain sebagai berikut: “Melihat yang bukan muhrim bisa menghilangkan hapalan Al-Qur’anku,”
kata Baso dengan suara rendah. Mukanya ditunduk ke stang sepeda.
102
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Baso menjaga pandangan matanya dari melihat yang bukan muhrim, karena hal tersebut merupakan perbuatan
maksiat. Dia takut perbuatan maksiat tersebut dapat menghilangkan hafalan
101
Departemen Agama RI, op. cit., h. 84
102
Fuadi, op. cit., h. 128