Penegakan HAM Pada Orde Lama Penegakan HAM Pada Orde Baru Penegakan HAM Pada Masa Orde Reformasi

Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan ”barang’ yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding fathers di Insonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Insonesia dalam tiga orde, yakni: 31

a. Penegakan HAM Pada Orde Lama

Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti UU No. 1964 yang memungkinkan campur tangan presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No. 11PNPS1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai dengan HAM.

b. Penegakan HAM Pada Orde Baru

Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971. Akan tetapi, setelah lebih dari 1 satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. 31 Muladi, Op. cit, hal. 50. Universitas Sumatera Utara Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang dikatagorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan terhadap para aktivis pro demokarasi penghilangan orang secara paksa yang bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 Pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM. Sebagai pundaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntuan adanya reformasi di segala bidang.

c. Penegakan HAM Pada Masa Orde Reformasi

Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan praktek KKN. Pada zaman orde baru pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis. Ini dalam arti kuantitas fisik maupun non fisik. Melalui GBHN-nya pembangunan fisik lembaga penegak hukum Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian sudah sampai ke tingkat KabupatenKota bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum sangat fantastis hasilnya, hanya beberapa peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial yang belum diganti. Universitas Sumatera Utara Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi semakin banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masalah pranata, produk, substansi ataupun materi hukum dalam bentuk undang-undang, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya atau law enforcement. Jadi tanpa penegakan hukum bukan apa-apa. Yang memberi makna kepada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum Pasal 14 dan 27 UU Nomor 14 Tahun 1970. 32 Sifat baik dari aparatur tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang ke luar dari jalur-jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan, adalah bahwa penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara kepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat. 32 Suwandi, Instrumen Dan Penegakan HAM Di Indonesia, dalam Muladi, Ibid, hal. 46 Universitas Sumatera Utara tidak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated criminal justice system. Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut mencakup: 33 a Penyidik kepolisianPenyidik Pegawai Negeri Sipil ; b Kejaksaan penuntut umum ; c Penasihat hukum korbanpelaku ; d Pengadilan hakim ; e Pihak-pihak lain saksiahlipemerhati. Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang atau setidak-tidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakkan hukum. Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia HAM sudah cukup memadai apakah dalam bentuk perundang-undangan, kuantitas aparat penegak hukum, sistem manajemen atau pembangunan fisiknya. Persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan penegakan hukumnya. Karena instrumen hukumnya sudah cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah krisis moral penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum. 33 Ibid, hal. 47. Universitas Sumatera Utara Akibat dari semua itu, publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum itu sendiri. 34

B. Pelaku Tindak Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

HAM termasuk harga warga negara melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasaan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah hak dan kewajiban manusia, maka pengertiannya adalah adanya hak pada individu manusia dan adanya kewajiban pada pemerintah negara. HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada pemeirntah atau negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintah sendiri. 35 34 Ibid, hal. 48. 35 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI, 1994, hal. 47-48 Meskipun rumusan pasal-pasal KUHAP tidak secara jelas merumuskan tentang HAM untuk tersangka dan terdakwa, namun sikap batin spirit peraturan perundang-undangan ini menolak pelanggaran HAM dalam setiap tahan dari sistem peradilan pidana criminal justice system. Secara implisit, KUHAP telah mengatur Hak-hak tersangka terdakwa sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara