penyampaian berita, antara lain berita-berita yang mengandung kekerasan, penggunaan gambar, penayangan gambar korban tidak boleh disorot secara close
up, big close up, medium close up, extreme close up.
8
B. Permasalahan
Pedoman perilaku penyiaran disusun dan bersumber kepada nilai agama, moral, peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan juga norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum.
1. Bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana?
2. Bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM
terdakwa?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana
b. Untuk mengetahui pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan
HAM terdakwa 2.
Manfaat a.
Teoritis Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum
pidana, khususnya yang berkaitan dengan pemberitaan kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa
b. Praktis
8
Media Watch Customer Centre, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program P3 SPS, edisi 34, September 2004.
Universitas Sumatera Utara
Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam
melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberitaan kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa dalam perkara pidana.
D. Keaslian penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana
” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh
penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya.
E. Tinjauan kepustakaan 1. Tindak Kriminal Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van
Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum
Universitas Sumatera Utara
berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.
9
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa
memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat,
oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.
Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalamnya.
10
Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar
feit adalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah
kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan
9
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67.
10
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 181.
Universitas Sumatera Utara
sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.
Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini
adalah perbuatan yang anti sosial. Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi
pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak”
lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.
11
a. Perbuatan
Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
b. Yang dilarang oleh aturan hukum
c. Ancaman pidana bagi yang melanggar
11
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata
perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman diancam dengan pidana menggambarkan
bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut:
a. Ada norma pidana tertentu
b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang
c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi.
Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah
ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada
aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu tidak mungkin
mempunyai martabat sebagai manusia. Dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia
Universitas Sumatera Utara
itu tidak dapat dicabut inalienable dan tidak boleh dilanggar inviolable.
12
Menurut H.A.W Widjaja, hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan
pemberian penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati, yang tidak bisa dari
dan dalam kehidupan manusia.
13
Selanjutnya, salah satu instrumen yang mengatur tentang Administrasi peradilan, penahanan, dan pennganiayaan adalah Resolusi PBB Nomor 663 tahun
1957 tentang Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Ketentuan ini telah memberikan perlindungan bagi para narapidana agar mereka tidak
diperlakukan secara semena-mena dan memberikan jaminan agar hak-haknya terpenuhi.
14
12
Mardjono Reksodiputro, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997, hal 47
13
H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal.64
14
Ibid, hal. 299
Arah kebijakan di bidang hukum meliputi: Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptakanya kesaran dan kepatuhan
hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu, mengakui dan penghormati
Hukum Agama dan Hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskrimintaif, termasuk
ketidakaladilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
Universitas Sumatera Utara
Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai HAM.
Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk UU.
Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian NRI, untuk menumbuhkan kepercaraan masyarakat dengan
meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat
sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.
15
Berkaitan dengan penegakan hukum ini, B. Arief Sidharta mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada
dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga
hukum dan proses perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat.
16
Dalam penegakan hukum pidana ada 4 empat aspek dari perlindungan masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu:
17
a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek
15
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 2.
16
B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1999, hal. 180.
17
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penang- gulangan kejahatan.
b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan
memperbaiki sipelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan
menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalah-gunaan
sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus
mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.
d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai
akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yuridis normatif yakni
Universitas Sumatera Utara
merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi law in book. Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal doctrinal research atau hukum dikonsepkan
sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas
18
2. Jenis Data dan Sumber Data
.
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari : a.
Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang.
19
b. Bahan Hukum Sekunder
Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar,
jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 1.
19
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,
ensiklopedia dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:
20
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan degan objek penelitian. b.
Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan
perundang-undangan. c.
Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d.
Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
20
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisa Data
Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif
dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang
berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II: Bab ini akan membahas tentang pandangan HAM terhadap
pelaku tindak pidana, yang mengulas tentang HAM dan pengaturannya di Indonesia, dan pelaku tindak pidana dalam
perspektif Hak Asasi Manusia BAB III:
Bab ini akan dibahas tentang pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM, yang akan mengulas tentang pemberitaan tindak
kriminal dalam perspektif Undang-undang tentang Pers, Pemberitaan Kriminal dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia pelaku
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana, dan perlindungan HAM pelaku tindak pidana dalam pemberitaan tindak kriminal.
BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PANDANGAN HAM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
A. HAM dan Pengaturannya di Indonesia 1. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB tahun 1945. Istilah
HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi
manusia yang dipahami sebagai Natural Rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan kenyakinan dan praktik-praktik sosial di lingkungan kehidupan masyarakat luas.
21
Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang Praktik memanusiakan manusia itu menjadi tanggung jawab utama negara
melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Tugas negara ini sama artinya dengan mengimplementasikan perlindungan hak asasi manusia melalui
hukum, artinya di dalam hukum itu terumus ketentuan yang memerintahkan
perlindungan hak asasi manusia.
21
Slamet Warta Wardaya, Hakekat, Konsepsi Dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia HAM, dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, Dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 3
Universitas Sumatera Utara