Rahn Bentuk Investasi Syariah

Adapun ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1 Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya memasak, mencuci dan lain – lain. Pendek kata diperlukan adanya job description uraian pekerjaan. 2 Pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir pekerja sebelum berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang, mengembalikan pinjaman dan lain – lain. Hukum Islam juga mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan ujrah upah atau ongkos sewa sebagaimana berikut ini : 1 Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas. 2 Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Menyewakan rumah dengan rumah lainnya, atau mengupah suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh ijarah yang tidak memenuhi persyaratan ini. Karena itu hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan kepada praktek riba. 26

f. Rahn

Rahn adalah istilah yang sering digunakan dalam bahasa fikih yang berarti gadai. Rahn adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan atau agunan. Sesuatu yang dijadikan agunan disebut marhun , dan pihak yang menyerahkan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin. 26 A. Mas’adi Gufron, Fiqh Muamalah Konstekstual Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002 , Ed. 1., Cet. 1. h. 187. Pandangan fuqoha tentang kebolehan akad gadai didasarkan pada keterangan Al – Qur’an surat Al – Baqarah ayat 283 sebagai berikut : ٰ آ ناو ٰهﺮ ﺎ ﺎآ اوﺪ و ﺮ ﻰ ﺔ ﻮ نﺎ ا و ﺎ ا ؤا ىﺬ ا دﺆ ﺎ ﻜ ا ﷲ ر ةدﺎﻬ ااﻮ ﻜ و ﺎ ﺎﻬ ﻜ و ٰا او ﷲ ﺎ نﻮ “ jika hendak bermuamalah secara tidak tunai engkau dalam perjalanan sedangkan engkau tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang. Akan tetapi jika kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya hutangnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi membunyikan persaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al – Baqarah : 283 . Mengenai al – marhun benda yang dijadikan sebagai jaminan utang seluruh fuqaha berprinsip bahwasanya setiap harta benda al maal yang sah diperjual belikan sah pula dijadikan sebagai jaminan. Menurut fuqaha malikiyah piutang terhadap pihak ketiga dapat dijadikan sebagai jaminan utang kepada pihak kedua, dan membolehkan jaminan berupa harta berserikat, sekalipun tidak ada izin dari pihak sekutunya. Hal demikian, mereka berpendapat bahwa al – rahn jaminan utang tidak harus disertai penyerahan barang jaminan. Menurut fuqaha jumhur akad al – rahn harus disertai penyerahan barang jaminan. Menurut mereka piutang dan harta bersama tidak sah dijadikan jaminan, kecuali ada persetujuan dari sekutunya. Fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah mempertegas persyaratan al – marhun harus berupa benda, tidak sah menjaminkan manfaatnya suatu benda. Mengenai pemanfaatan barang jaminan oleh pihak murtahin orang yang menerima jaminan terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha, yaitu : 1 Menurut Fuqaha Hanabilah, apabila barang jaminan tersebut berupa binatang termasuk barang – barang lain yang memerlukan perawatan khusus, maka pemegang gadai boleh mengambil manfaat darinya sebatas biaya atau ongkos perawatan yang dikeluarkannya. Sedangkan apabila barang tersebut tidak memerlukan perawatan, menurut mereka pemegang gadai haram menganbil manfaat apapun darinya. 2 Menurut fuqaha Hanafiyah, al – rahin tidak dapat memanfaatkan barang gadai secara sewenang – wenang, kecuali atas izin dari pemegang gadai. Dan setiap resiko yang ditimbulkan dari pemanfaatan barang tersebut menjadi tanggung jawab pihak yang mengambil manfaat. 3 Menurut fuqaha Syafi’iyah, pemanfaatan barang gadai oleh pemiliknya tidak diperlukan izin dari pihak pemegang gadai. Menurut mereka pemilikan atas barang yang digadaikan tetap bersifat sempurna milk al – tam sehingga ia mempunyai kekuasaan penuh untuk bertasharruf atasnya sepanjang tidak merugikan pihak pemegang gadai. 4 Menurut fuqaha Malikiyah, pemilikan atas barang gadai tidak lagi bersifat sempurna. Karena rahin tidak berhak memanfaatkan barang gadai sekalipun ada izin daripihak murtahin. 27

g. Qardh