TINJAUAN PUSTAKA Keragaman cendawan endofit pada buah kakao dan potensinya dalam pengendalian busuk buah phytophthora

18 tomat dan maculicola dengan 4 isolat PGPR, 2 isolat PGPR tidak membutuhkan asam jasmonat atau etilen sebagai molekul signalnya Ryu et al. 2003. Penelitian Zhang et al. 2002 mendapatkan bahwa bakteri PGPR Serratia marcescens strain 90-166 yang berperan dalam menekan patogen kapang abu blue mold Peronospora tabacina pada tembakau juga mampu menghasilkan asam salisilat dalam media tryptic soy broth TSB dan di dalam pesemaian pada minggu pertama setelah inokulasi PGPR. Cendawan endofit Trichoderma viride diketahui ternyata mampu menekan perkembangan patogen Diplodia corticola, penyebab kanker, nekrosis pada pembuluh dan mati pucuk pada tanaman oak Campanile et al 2007. Mendoza dan Sikora 2009 mengkombinasikan cendawan endofit Fusarium oxysporum strain 162 dengan bakteri antagonis Bacillus firmus untuk mengendalikan patogen nematode Radopolus similis pada tanaman pisang dan berhasil menurunkan populasi patogen hingga 86.2, lebih tinggi bila dibandingkan dengan aplikasi tunggal yang hanya sebesar 63.7 bila bakteri sendiri dan 27.8 bila cendawan sendiri. Narisawa et al 2002 memanfaatkan cendawan endofit Heteroconium chaetospira, P. fortinii, dan unidentified species of Fusarium, Penicillium, Trichoderma dan Mycelium radicis atrovirens MRA yang diisolasi dari akar terong, stoberi dan kubis, ternyata mampu mengendalikan penyakit layu pada terong yang disebabkan oleh Verticillium dahliae hampir 100. Metode Cepat untuk Evaluasi Ketahanan Kakao Tanaman kakao merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 18 bulan atau bahkan empat tahun pada klon-klon lama untuk memulai berbuah. Oleh karena itu akan butuh waktu yang cukup lama bila pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit dilakukan pada tanaman di lapangan. Untuk mengatasi masalah ini beberapa peneliti telah melakukan pengujian pada daun bibit kakao. Iwaro et al. 1997 menginokulasi daun pembibitan kakao dan mendapatkan bahwa inokulasi dengan pelukaan ketahanan post penetration lebih menggambarkan ketahanan buah di lapangan dibandingkan dengan inokulasi tanpa pelukaan ketahanan prepenetration. 19 Surujdeo-Maharaj et al. 2001 kemudian membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara ketahanan post penetration dengan prepenetration dan menyatakan bahwa kedua ketahanan itu diatur oleh sistem ketahanan yang berbeda. Tahi et al. 2006a membandingkan pengujian inokulasi pada daun dengan detached leaf dengan keparahan penyakit di lapangan yang didata selama tujuh tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil pengujian ini dilaporkan bahwa pengujian bibit dapat merefleksikan keparahan penyakit di lapangan pada varietas yang sama. Tahi et al. 2006b juga menemukan bahwa penggunaan daun bibit untuk evaluasi ketahanan sangat dipengaruhi oleh klon kakao, masa inkubasi dan umur daun yang digunakan. Selain itu, uji dengan metode evaluasi ketahanan dengan daun terpetik detached leaf juga dipegaruhi oleh intensitas cahaya terhadap daun di lapangan dan waktu pengambilan daun Tahi et al. 2007. Mereka menyarankan untuk menggunakan daun berumur 50-60 hari karena menggambarkan ketahanan klon, pengamatan pada hari ke lima setelah inokulasi, mengambil daun yang terpapar cahaya sedang dan diambil pada pagi hari dan menginokulasi secepatnya di laboratorium.

BAB 3 ASOSIASI FAKTOR LINGKUNGAN DAN PRAKTEK BUDIDAYA

DENGAN EPIDEMIK PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO: STUDI KASUS DI TEPI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH ENVIRONMENTAL FACTORS AND MANAGEMENT PRACTICES RELATED TO THE EPIDEMICS OF BLACK POD DISEASE OF CACAO IN SULAWESI Abstract Some factors affecting epidemics of black pod disease BPD of cacao were investigated in 86 plots in two sub-districts adjacent to Lore Lindu National Park, Sulawesi, Indonesia. The factors investigated included environmental factors altitude, distance to pristine forest, preceding cropping practices, land use history, the diversity of endophytic fungi morphospecies, management practices weeding frequency, degree of shading, fertilizer application, canopy cover, and the age of host trees. Simple correspondence analyses were performed to examine the association between the BPD epidemics and the assessed parameters. Weeding frequency, altitude, preceding cropping practices, and land use history before establishment of the cacao plantation were significantly associated with the BPD epidemics of cacao, while application of nitrogen fertilizer, distance to pristine forests, plant age, canopy cover, diversity of endophytic fungi and degree of shading by 40 shade trees were not associated with disease development. BPD incidence was highest in plots that: were located at 600 m a.s.l. above sea level; were previously occupied by pristine forest or perennial plants; had prior intensive inputs of pesticides and fertilizers; and had a high frequency of weeding. Key words: pristine forest, Phytophthora palmivora, correspondence analysis, weeding frequency, shade trees Abstrak Kajian beberapa faktor yang mempengaruhi epidemik penyakit busuk buah kakao dilakukan pada 86 plot di dua kecamatan yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Kajian meliputi faktor lingkungan ketinggian tempat, jarak ke hutan primer, praktek budidaya sebelumnya, sejarah penggunaan lahan, keragaman morfospesies cendawan endofit, praktek budidaya frekuensi penyiangan, tingkat naungan dari pohon pelindung, pemupukan, persentase penutupan area oleh tajuk kakao, dan umur tanaman kakao. Hubungan antara faktor yang diamati dengan epidemik penyakit busuk buah dianalisa melalui analisis korespondensi sederhana Simple Correspondence Analysis, SCA. Frekuensi penyiangan, ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao, berasosiasi nyata dengan epidemi busuk buah kakao, sedangkan aplikasi pupuk nitrogen, jarak ke hutan primer, umur tanaman, persentase penutupan areal oleh tajuk kakao, keragaman cendawan endofit dan tingkat naungan oleh pohon peneduh tidak berasosiasi dengan perkembangan penyakit. Kejadian penyakit 22 tertinggi ditemukan pada plot yang terletak 600 m dpl; areal yang sebelum ditanami kakao merupakan hutan primer atau tanaman tahunan; sebelumnya mendapat input pestisida dan pupuk yang intensif, dan dengan frekuensi penyiangan yang tinggi. Kata kunci: hutan primer, Phytophthora palmivora, analisis korespondensi sederhana, frekuensi penyiangan, tanaman pelindung Pendahuluan Tanaman kakao Theobroma cacao L. diduga berasal dari hutan hujan tropis di Brasil dan Meksiko Orwa et al. 2009. Produk tanaman berupa biji yang manfaat utamanya sebagai bahan baku untuk pembuatan bubuk kakao dan coklat. Sejak tahun 1999, sekitar 70 dari pasokan kakao dunia diproduksi oleh Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia Gray 2001; www.fao.org; www.icco.orgstatis- ticsproduction.aspx. Pada negara produsen kakao dunia, sebagian besar kakao ditanam oleh petani kecil dan menjadi mata pencaharian utama mereka Gray, 2001. Demikian juga halnya di Indonesia, pada tahun 2009, 92.7 dari luas total perkebunan kakao di Indonesia dimiliki oleh petani kecil Baon Wardani, 2010. Kendala utama dalam budidaya kakao di seluruh dunia adalah penyakit busuk buah kakao, yang dapat mengurangi produksi hingga 20-30. Dalam kasus-kasus tertentu, kehilangan hasil bahkan dapat mencapai 90 Bowers et al. 2001; Guest, 2007. Penyakit busuk buah disebabkan oleh Phytophthora spp. Kelas Oomycetes; Evans 2007, dan tujuh spesies Phytophthora telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit busuk buah, kanker batang, dan hawar daun di daerah penghasil kakao Iwaro et al. 1997. Spesies ini termasuk P. megakarya hanya ditemukan di Afrika Tengah dan Barat; P. citrophthora, P. megasperma, P. nicotianae, P. arecae, dan P. capsici hanya ditemukan di Amerika Latin, dan P. palmivora ditemukan di semua daerah penanam kakao Appiah et al. 2004; Erwin dan Ribeiro 1996; Iwaro et al. 1997; Risterucci et al. 2003. Setelah mensekuens ITS rDNA 20 isolat, Umayah et al. 2007 melaporkan bahwa penyebab penyakit busuk buah di enam provinsi di Indonesia adalah P. palmivora. Motulo et al. 2007 mengidentifikasi tiga ras P. palmivora setelah mensekuens 23 ITS rDNA 22 isolat P. palmivora yang terdiri dari dua ras asal kakao dan satu asal kelapa. Epidemik penyakit busuk buah mungkin berbeda bergantung kepada spesies dan ras Phytophthora, namun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Seperti penyakit tanaman lainnya, penyakit busuk buah dipengaruhi oleh berbagai faktor abiotik dan biotik Mora-Aguilera dan Campbell 1997 termasuk kondisi lingkungan, praktek budidaya, dan status tanaman inangnya Agrios 2005; Avelino et al. 2006; Hardwick 1998. Sehubungan dengan tanaman inang, tipe kakao yang paling banyak ditanam di Asia adalah jenis Trinitario, yang merupakan hibrida antara jenis Criollo dan Forastero www.worldcacao-foundation.org; Motamayor et al. 2003. Criollo dianggap rentan terhadap P. palmivora, sedangkan Trinitario dianggap lebih tahan Motamayor et al. 2003. Mawardi 1982 melaporkan bahwa jenis Trinitario adalah kultivar yang paling banyak ditanam di Indonesia, tetapi beberapa kultivar lainnya telah diperkenalkan di daerah penanam kakao sejak tahun 1974 Butarbutar, 1977 dalam Tjasadihardja, 1987, termasuk Amelonado West African Amelonado, WAA dan kelompok Amazon Upper Amazon Hybrid, UAH Angkapradipta et al. 1988; Wardojo, 1991. Kedua kultivar kakao ini merupakan jenis Forastero Motamayor et al. 2003. Sebenarnya, kultivar kakao yang pertama diekspor dari Indonesia adalah jenis Criollo yang ditanam di Sulawesi dan mungkin diperkenalkan di kepulauan ini sekitar 1750-1778 Toxopeus dan Giesberger, 1983 atau bahkan pada tahun 1560 dibawa oleh Spanyol dari Filipina Mawardi, 1982. Pada awal 1900-an, jenis Criollo secara bertahap digantikan oleh jenis Trinitario karena Trinitario lebih tahan terhadap serangan Helopeltis dan penggerek buah kakao Toxopeus dan Giesberger, 1983. Hibrida UAH memiliki fase produktif yang dimulai lebih awal hanya 2 tahun dibandingkan dengan 4 tahun untuk Trinitario dan produktivitas lebih tinggi, menyebabkan peneliti dan petani mulai meliriknya Angkapradipta et al. 1988. Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman kakao adalah sekitar 26°C, maksimum berkisar dari 30°C sampai 32°C, dan rentang minimum dari 18° sampai 21°C Orwa et al. 2009. Patogen P. palmivora tumbuh in-vitro secara optimum pada kelembaban tinggi dengan Rh di atas 80 dan pada suhu yang 24 relatif tinggi 27.5°-30.0°C untuk pertumbuhan sporangia serta 20°C untuk pembentukan oogonium Brasier, 1969. Faktor biotik yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit busuk buah adalah keberadaan mikroorganisme lain dan vegetasi yang tumbuh di pertanaman Krauss dan Soberanis 2001. Mejia et al. 2008 melaporkan bahwa cendawan endofit mampu menekan perkembangan penyakit busuk buah. Selain itu, praktek budidaya juga mempengaruhi terjadinya epidemik berbagai penyakit tanaman. Praktek budidaya dalam hal ini mencakup aplikasi pupuk, aplikasi pestisida, sanitasi, dan pengelolaan naungan Agrios 2005; Avelino et al. 2006. Di Indonesia, pengaruh faktor lingkungan, praktek budidaya serta status tanaman inang terhadap epidemik penyakit busuk buah kakao belum diteliti secara komprehensif. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi yang bertujuan untuk menganalisis faktor lingkungan, praktek pengelolaan tanaman dan status inang yang terkait dengan epidemi penyakit busuk buah kakao. Hipotesis yang diajukan bahwa semakin kecil gangguan pada lingkungan alami pertanaman kakao maka keseimbangan ekologi relatif tetap seimbang seperti keseimbangan biologi pada ekosistem alami sehingga kejadian penyakit busuk buah pada kakao semakin rendah. Informasi ini diperlukan untuk pengembangan dan penerapan tindakan pengendalian penyakit busuk buah yang efektif sambil meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di pertanaman kakao, Lembah Kulawi 400-925 m dpl dan Lembah Palolo 525-950 m dpl, Sulawesi Tengah, Indonesia, sejak November 2007 hingga Agustus 2008. Kulawi dan Palolo merupakan dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu, 119 o 57-120 o 22E dan 1 o 03-1 o 58S Gambar 3.1. Lembah Kulawi terletak di perbatasan barat taman nasional dan memiliki curah hujan rata-rata 2092 mmtahun Schwendenmann et al. 2010, sedangkan Lembah Palolo terletak di perbatasan utara taman nasional dengan rata-rata curah hujan 855-1200 mmtahun http:lorelindu.infoindex.php?pi-lih=halid=2. 25 Gambar 3.1 Lokasi pengambilan sampel. a Pulau Sulawesi di tengah-tengah kepulauan Indo-Malay. b Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. c Lokasi 43 pertanaman titik putih di mana penelitian dilakukan, di tepi Taman Nasional Lore Lindu di Palolo dan Kulawi. Pengamatan dilakukan di 22 pertanaman di Kulawi dan 21 di Palolo. Ke 43 pertanaman ini mewakili berbagai kondisi lingkungan, sejarah pertanaman, dan praktek budidaya yang diaplikasikan petani. Setiap pertanaman kemudian dibagi menjadi dua plot. Kondisi pertanaman yang dicatat untuk masing-masing pertanaman adalah kejadian penyakit, waktu penyiangan dalam setahun, aplikasi pupuk, praktek budidaya sebelumnya di dua wilayah yang berbeda Palolo dan Kulawi, ketinggian tempat dpl, jarak pertanaman ke hutan primer, umur 26 tanaman kakao, sejarah penggunaan lahan sebelumnya, persentase penutupan oleh tajuk kakao, keragaman morfospesies cendawan endofit pada buah kakao, dan tingkat naungan dari tanaman peneduh yang tumbuh di dalam pertanaman kakao Tabel 3.1. Pengaruh Perlakuan Penyiangan. Plot disiangi setiap 6 bulan di 22 plot di Kulawi dan di 22 plot di Palolo, dan setiap 2 bulan di 22 plot di Kulawi dan di 20 plot di Palolo. Penyiangan dilakukan secara manual dimulai pada Desember 2006 sampai Desember 2008. Tidak ada herbisida yang digunakan dalam penelitian ini. Pemupukan dengan N. Kandungan nitrogen tanah di lokasi penelitian merupakan faktor pembatas dalam produksi kakao Dechert et al. 2005, oleh karena itu tiap Tabel 3.1 Pengelompokan praktek budidaya dan faktor lingkungan serta status inang ke dalam kelas kategori Faktor Kode Satuan Kelas kategori Frekuensi penyiangan W1 Bulan Tiap dua bulan W2 Tiap enam bulan Aplikasi pupuk F1 - Tanpa pupuk F2 Aplikasi pupuk N Praktek budidaya sebelumnya L1 Kec. Tidak intensif, Kulawi L2 Intensif, Palolo Ketinggian tempat A1 m dpl x ≤ 600 m dpl A2 600 x 800 m dpl A3 x ≥ 800 m dpl Jarak ke hutan primer D1 m Di dalam atau 500 m D2 500 ≤ x 1000 m D3 x ≥ 1000 m Umur tanaman kakao G1 tahun x ≤ 15 tahun G2 x 15 tahun Sejarah penggunaan lahan H1 Hutan primer H2 Tanaman tahunan H3 Tanaman setahun Persentase penutupan tajuk kakao C1 x ≤ 30 C2 30 x ≤ 60 C3 x 60 Keragaman cendawan endofit E1 Morfo- 4-14 E2 species 15-30 E3 31-47 Naungan dari pohon pelindung S1 x ≤ 20 S2 20 x ≤ 40 S3 x 40 27 pertanaman kakao dibagi menjadi dua plot, satu plot 20x40 mplot dan sekitar 60pohonplot diberi perlakuan pupuk penambahan pupuk N dan plot lainnya tanpa perlakuan pupuk. Pupuk Urea diaplikasikan ke salah satu plot pada bulan Desember 2006, Juli 2007, Desember 2007, dan Juli 2008 dengan 217 g Urea kira-kira setara dengan 100 g N 2 O 5 per pohon per aplikasi. Pupuk untuk setiap pohon dibagi menjadi 10 bagian yang dimasukkan ke dalam 10 lubang melingkar di bawah garis tajuk dari pohon. Lubang-lubang tersebut kemudian ditutup dengan tanah. Pada plot tanpa perlakuan pupuk, lubang yang sama digali dan ditutup tetapi tanpa pupuk. Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Data dikumpulkan dengan pengamatan langsung di lapangan dan dengan mewawancarai petani. Pengamatan kejadian penyakit Kejadian penyakit dihitung tiap bulan dengan pengamatan langsung pada 86 plot sejak November 2007 hingga Agustus 2008. Kejadian penyakit dihitung sebagai persentase pohon dengan buah terinfeksi P. palmivora dibagi dengan jumlah total pohon kakao yang berbuah. Jumlah buah per pohon terinfeksi tidak digunakan dalam analisis karena patogen menyebar lebih cepat secara vertikal dari buah terinfeksi ke buah yang sehat dalam satu pohon daripada secara horisontal Muller 1974. Jadi, penyebaran patogen secara horisontal dari satu pohon ke pohon lainnya menyediakan data yang lebih dapat menggambarkan epidemik penyakit busuk buah. Buah matang yang sehat maupun sakit dipanen setiap 2 minggu sekali, kemudian semua buah sakit ditimbun untuk mengurangi salah satu sumber inokulum patogen Ndoumbe-Nkeng et al. 2004; Soberanis et al. 1999. Ketinggian tempat. Jarak ke hutan primer. Jarak pertanaman dari hutan primer diperkirakan berdasarkan peta satelit QuickBird dari 2007 Gambar 3.1. Pertanaman yang terletak di dalam hutan atau di tepi hutan dikategorikan sebagai 0 m dari hutan. Naungan dari pohon peneduh. Tingkat naungan yang dihasilkan oleh pohon peneduh di pertanaman diperkirakan berdasarkan penutupan tajuk dari pohon peneduh pada tahun 2007. 28 Persentase penutupan tajuk kakao. Persentase penutupan oleh tajuk kakao terhadap areal pertanaman ditentukan dengan estimasi dari foto-foto yang diambil 5.8 m di atas permukaan tanah pada tahun 2007. Suhu udara. Suhu udara di dalam pertanaman dicatat dengan menggunakan i- button data loggers Thermochron DS1921G-F5, MaximDallas Semiconductor, Sunnyvale, CA, USA. Sebagian besar pertanaman di Palolo dan Kulawi dipantau dari November 2007 hingga April 2008, tetapi satu pertanaman di Palolo dan satu di Kulawi dipantau dari November 2007 hingga Agustus 2008. Umur dan riwayat penggunaan lahan. Data tentang umur tanaman kakao dan riwayat penggunaan lahan diperoleh dari petani pemilik pertanaman. Praktek pengelolaan sebelumnya. Dari wawancara tidak terstruktur dengan petani dan pengamatan langsung di lapangan diketahui bahwa pertanaman di Kulawi lebih sedikit bahkan tanpa pupuk atau pestisida sintetis, sedangkan pertanaman di Palolo diberi pupuk dan pestisida sintetis. Dalam penelitian ini, pengelolaan intensif yang dimaksudkan dibatasi pada penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Isolasi cendawan endofit. Cendawan endofit diisolasi dari buah kakao, dari 4 pohon tiap pertanaman, 2 buah per pohon, 3 bagian basal, pertengahan, apikal per buah, dan dari 5 titik pada kulit buah kakao per bagian. Setelah sterilisasi permukaan berseri dengan ethanol 70, natrium hipoklorit 2 selama 1-2 menit, etanol 95, lalu ke aquades steril dua kali, 5 mm 2 dari 5 titik kulit kakao diinkubasi dalam Cawan Petri diam cm 9 yang berisi MEA 10 Malt Extract Agar . Miselia yang tumbuh dari kulit kakao diisolasi, dimurnikan, dan diidentifikasi morfospesiesnya berdasarkan 10 karakteristik morfologi dari Arnold et al. 2001. Analisis data Untuk menggambarkan besarnya kejadian penyakit selama periode pengamatan, dihitung nilai AUDPC area under disease progress curve berdasarkan kejadian penyakit menurut formula Madden et al. 2007: n-1 AUDPC = ∑ y i + y i +1 t i+ 1 – t i i=1 2 di mana y i = kejadian penyakit, didapatkan pada waktu t i , 29 y i = n i x 100 N n i = pohon dengan buah yang terinfeksi patogen N = total pohon berbuah y i+1 = kejadian penyakit, didapatkan pada waktu t i+1 t = waktu, 1 hingga 10 Nilai AUDPC kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kelas: rendah x ≤ 175, sedang 175 x ≤ 350, dan tinggi x 350, nilai faktor-faktor juga dikelompokkan ke dalam kelas-kelas Tabel 3.1. Data disusun dalam matriks dengan kelas AUDPC sebagai kolom dan faktor-faktor sebagai baris. Hubungan antara AUDPC dengan masing-masing faktor diuji dengan uji chi-kuadrat χ2. Selanjutnya tabel kontingensi antara AUDPC dan faktor-faktor dengan nilai P ≤0.05 pada uji chi-kuadrat χ2 dianalisis menggunakan analisis korespondensi sederhana Simple Correspondence Analysis, SCA; Savary et al.1995. Analisis korespondensi adalah metode yang sederhana dan terpercaya untuk mensintesis informasi yang terkandung dalam satu atau beberapa tabel kontingensi, mengingat bahwa setiap korelasi antara variabel dengan faktor-faktor tidak selalu linier, tetapi dengan analisis korespondensi, diintegrasikan ke dalam satu grafik Savary et al. 1995. Analisis dengan SCA menghasilkan grafik dua dimensi sebagai hasil dari AUDPC yang dibagi dalam 3 kelas kategori. Letak dari setiap faktor pada tiap koordinat x dan y ditentukan dari penghitungan frekuensi tiap faktor dalam tabel kontingensi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan MINITAB 15 www.Minitab.com. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan analisis Chi-kuadrat, faktor yang berasosiasi nyata dengan kejadian penyakit adalah ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, frekuensi penyiangan, dan sejarah penggunaan lahan P0.05; Tabel 3.2; Tabel Lampiran 3.1. Sedangkan faktor-faktor berikut ini tidak berasosiasi dengan persen kejadian penyakit: pemupukan dengan N, jarak pertanaman ke hutan primer, umur tanaman kakao, persen penutupan area oleh tajuk kakao, keragaman 30 Tabel 3.2 Hubungan antara beberapa praktek budidaya dan faktor lingkungan dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan uji Chi-kuadrat χ 2 Faktor Uji χ 2 Nilai χ 2 P Frekuensi penyiangan 7.986 0.018 Aplikasi pupuk 2.059 0.357 Praktek budidaya sebelumnya 18.089 0.000 Ketinggian tempat 20.813 0.000 Jarak ke hutan primer 7.463 0.113 Umur tanaman kakao 2.869 0.238 Sejarah penggunaan lahan 11.104 0.025 Persentase penutupan tajuk kakao 1.356 0.852 Keragaman cendawan endofit 1.607 0.808 Naungan dari pohon pelindung 2.720 0.606 Keterangan : = berasosiasi nyata P 0.05 berdasarkan uji χ 2 = berasosiasi sangat nyata P 0.01 berdasarkan uji χ 2 tanpa asteriks = tidak berasosiasi berdasarkan uji χ 2 morfospesies cendawan endofit, dan tingkat naungan yang dihasilkan oleh pohon peneduh P0.05. Pada analisis selanjutnya, hanya variabel-variabel yang berasosiasi nyata dengan kejadian penyakit yang dianalisis. Dengan SCA, didapatkan total inersia sebesar 0.1686 Tabel 3.3. Inersia untuk dimensi 1 sebesar 0.1414 83.91 dan 0.0271 16.09 untuk dimensi 2 Gambar 3.2. Inersia Inertia adalah total nilai Chi-kuadrat χ 2 dibagi total jumlah frekuensi, menggambarkan tingkat asosiasi antara AUDPC dengan kelas kategori tiap faktor. Hal ini berarti bahwa dimensi 1 lebih dapat menggambarkan hubungan antara AUDPC dengan faktor lainnya. Pada kejadian penyakit busuk buah yang rendah AUDPC1 berasosiasi dengan W2 penyiangan setiap 6 bulan dan A1 ketinggian pertanaman ≤600 m dpl. Kejadian penyakit rendah sampai sedang antara AUDPC 1 dan 2 berasosiasi dengan L1 praktek budidaya non-intensif, di Kulawi dan H3 lahan yang sebelumnya ditanami tanaman setahun. Kejadian penyakit busuk buah sedang AUDPC2 berasosiasi dengan A3 ketinggian 800 m dpl. Sementara untuk tingkat penyakit busuk buah yang tinggi antara AUDPC 2 dan 3 berasosiasi dengan W1 penyiangan setiap 2 bulan dan H2 plot yang sebelumnya ditanami tanaman tahunan. Kejadian penyakit yang tinggi AUDPC3 berasosiasi dengan L2 praktek tanam sebelumnya yang intensif, di Palolo, A2 ketinggian antara 600 dan 800 m dpl dan H1 sebelumnya adalah hutan primer. 31 Tabel 3.3 Nilai mass dan inersia faktor yang berasosiasi nyata dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan analisis korespondensi sederhana Faktor Kode Mass Inersia Frekuensi penyiangan W1 0.061 0.058 W2 0.064 0.055 Praktek budidaya sebelumnya L1 0.064 0.124 L2 0.061 0.130 Ketinggian tempat A1 0.029 0.212 A2 0.076 0.076 A3 0.020 0.006 Sejarah penggunaan lahan H1 0.029 0.062 H2 0.044 0.041 H3 0.052 0.054 Total 0.1686 Keterangan: mass = frekuensi relatif kemunculan tiap kelas kategori Inersia = total nilai χ 2 dibagi dengan total frekuensi Epidemik penyakit busuk buah berkembang lebih lambat pada kondisi kebun dengan penyiangan yang kurang intensif tiap 6 bulan dibandingkan dengan penyiangan yang lebih intensif tiap 2 bulan. Praktek budidaya sebelumnya secara nyata berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah di pertanaman kakao. Pada pertanaman kakao di Palolo L2, intensif kejadian penyakit lebih tinggi daripada di Kulawi L1, non-intensif, Gambar 3.2. Kejadian penyakit busuk buah berasosiasi nyata dengan ketinggian tempat Gambar 3.2. Nilai AUDPC yang rendah AUDPC1 berasosiasi dengan lokasi pertanaman di dataran rendah 600 m dpl, nilai AUDPC sedang AUDPC2 berasosiasi dengan ketinggian 800 m dpl, dan nilai AUDPC yang tertinggi AUDPC3 berasosiasi dengan ketinggian antara 600 dan 800 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi yang cocok untuk perkembangan penyakit busuk buah yang optimal berada pada ketinggian 600-800 m dpl. Suhu rata-rata pada ketinggian 600 m dpl sebesar 24 o C maksimum 31.0 o C, minimum 20.4°C, di pertanaman antara 600 sampai 800 m dpl di mana kejadian penyakit busuk buah paling tinggi suhu rata-ratanya adalah 23 o C maksimum 30 o C, minimum 20 o C, dan pada pertanaman 800 m dpl adalah 22 o C maksimum 28 o C, minimum 19 o C.