ASOSIASI FAKTOR LINGKUNGAN DAN PRAKTEK BUDIDAYA
31 Tabel 3.3 Nilai mass dan inersia faktor yang berasosiasi nyata dengan epidemik
penyakit busuk buah berdasarkan analisis korespondensi sederhana
Faktor Kode Mass
Inersia Frekuensi penyiangan
W1 0.061
0.058 W2
0.064 0.055
Praktek budidaya sebelumnya L1
0.064 0.124
L2 0.061
0.130 Ketinggian tempat
A1 0.029
0.212 A2
0.076 0.076
A3 0.020
0.006 Sejarah penggunaan lahan
H1 0.029
0.062 H2
0.044 0.041
H3 0.052
0.054 Total
0.1686 Keterangan: mass = frekuensi relatif kemunculan tiap kelas kategori
Inersia = total nilai χ
2
dibagi dengan total frekuensi Epidemik penyakit busuk buah berkembang lebih lambat pada kondisi
kebun dengan penyiangan yang kurang intensif tiap 6 bulan dibandingkan dengan penyiangan yang lebih intensif tiap 2 bulan. Praktek budidaya
sebelumnya secara nyata berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah di pertanaman kakao. Pada pertanaman kakao di Palolo L2, intensif kejadian
penyakit lebih tinggi daripada di Kulawi L1, non-intensif, Gambar 3.2. Kejadian penyakit busuk buah berasosiasi nyata dengan ketinggian tempat
Gambar 3.2. Nilai AUDPC yang rendah AUDPC1 berasosiasi dengan lokasi pertanaman di dataran rendah 600 m dpl, nilai AUDPC sedang AUDPC2
berasosiasi dengan ketinggian 800 m dpl, dan nilai AUDPC yang tertinggi AUDPC3 berasosiasi dengan ketinggian antara 600 dan 800 m dpl. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi yang cocok untuk perkembangan penyakit busuk buah yang optimal berada pada ketinggian 600-800 m dpl. Suhu rata-rata pada
ketinggian 600 m dpl sebesar 24
o
C maksimum 31.0
o
C, minimum 20.4°C, di pertanaman antara 600 sampai 800 m dpl di mana kejadian penyakit busuk buah
paling tinggi suhu rata-ratanya adalah 23
o
C maksimum 30
o
C, minimum 20
o
C, dan pada pertanaman 800 m dpl adalah 22
o
C maksimum 28
o
C, minimum 19
o
C.
32
0,50 0,25
0,00 -0,25
-0,50 -0,75
-1,00 0,50
0,25
0,00
-0,25
-0,50
-0,75
-1,00
Dimensi 1 Inersia 83,91 D
ime ns
i 2
In er
si a 16
,0 9
AU3
AU2 AU1
H3 H2
H1
A3 A2
A1 L2
L1 W2
W1
Gambar 3.2 Pengelompokan kelas faktor yang berasosiasi dengan kelas AUDPC berdasarkan hasil analisis korespondensi sederhana. Segiempat
hitam melambangkan kelas AUDPC dan lingkaran putih sebagai kelas faktor AU1=AUDPC1, AU2=AUDPC2, AU3=AUDPC3,
A=ketinggian tempat, H=sejarah penggunaan lahan, L=praktek budidaya sebelumnya, W=penyiangan
Epidemik penyakit busuk buah juga berasosiasi nyata dengan sejarah lahan sebelum ditanami kakao. Nilai AUDPC sedang sampai tinggi berasosiasi dengan
plot yang sebelumnya adalah hutan primer dan tanaman tahunan biasanya kopi, kemiri, jambu mete, atau pohon buah-buahan seperti duku, rambutan, durian dan
AUDPC rendah dengan plot yang sebelumnya ditanami dengan tanaman setahun terutama jagung Gambar 3.2; Gambar Lampiran 3.1.
33 Beberapa faktor tidak terkait dengan epidemi penyakit busuk buah,
ditunjukkan oleh rendahnya nilai χ
2
dan nilai P yang tinggi Tabel 3.2. Jarak pertanaman ke hutan primer 0-2400 m dan aplikasi pupuk N tidak berasosiasi
dengan kejadian penyakit busuk buah. Demikian juga umur tanaman kakao, yang berkisar 8 sampai 22 tahun, tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk
buah. Keanekaragaman morfospesies cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao sehat 4-47 morfospesies, juga tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit
busuk buah. Tingkat naungan, yang berkisar dari 0 hingga 60, dan persentase penutupan areal oleh tajuk kakao yang berkisar 23-81 juga tidak berasosiasi
dengan kejadian penyakit busuk buah. Penyebab penyakit busuk buah di Indonesia, P. palmivora, mampu bertahan
dan berkembang di dalam tanah, yang menjadi sumber inokulum terus-menerus bagi pertanaman kakao Ristaino dan Gumpertz, 2000. Biasanya, patogen
ditularkan secara pasif dari tanah ke daun, batang, buah, atau bagian tanaman lainnya di atas tanah dengan percikan air atau oleh arthropoda, seperti semut
McGregor dan Moxon 1985. Penyebaran patogen secara horizontal dari pohon sakit ke pohon sehat dapat disebabkan oleh percikan air hujan atau oleh aktivitas
manusia dan avertebrata; patogen dapat menyebar di dalam tanah, pada bagian tanaman, atau sebagai propagul patogen yang bebas Ristaino dan Gumpertz
2000. Penutupan tanah oleh gulma yang tinggi karena frekuensi penyiangan yang rendah akan mengurangi percikan air hujan ke bagian atas tanaman Yang dan
Madden 1993; Ntahimpera et al. 1998; Ntahimpera et al. 1999; Mouen Bedimo et al
. 2008; Boyer dan Belesky 2009 sehingga memperlambat penyebaran penyakit. Selain itu, tanah bervegetasi umumnya dihuni oleh populasi mikroba yang lebih
beragam daripada tanah tak bervegetasi Li et al. 2004;. Mazolla 2004; Buyer et al.
2010, dan mikroba yang beragam dapat berperan dalam penekanan patogen penyebab penyakit. Lebih dari 65 dari total plot ditutupi oleh 50 gulma bila
tidak disiangi Y. Clough, unpubl., sehingga mengelola penutup tanah misalnya dengan menanam legume cover crop menggantikan gulma akan menekan
perkembangan dan penyebaran patogen selain juga akan memberikan nilai tambah seperti perbaikan nutrisi tanah atau sebagai pakan ternak.
34 Ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah bergantung kepada
ketersediaan nutrisi yang cukup. Penghentian aplikasi N sendiri tidak mempengaruhi epidemi penyakit busuk buah seperti hasil dalam penelitian ini,
namun penghentian pemupukan P dan K dapat menurunkan resistensi Huber dan Haneklaus 2007. Hal ini diduga menyebabkan tingginya kejadian penyakit di
daerah Palolo yang petaninya sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia dibandingkan dengan petani Kulawi.
Pestisida utama yang digunakan di Palolo adalah fungisida mancozeb dan herbisida glifosat. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa aplikasi jangka
panjang dari kedua pestisida tersebut memiliki efek merugikan, baik langsung atau tidak langsung, pada populasi mikroba tanah dan tanaman di ekosistem
pertanian Bradley et al. 2002;. Morjan et al. 2002;. Fernandez et al. 2009.; Rasool dan Reshi 2010; Dick et al. 2010. Meskipun dengan data terbatas, diduga
bahwa aplikasi pestisida terus menerus di masa lalu telah mengurangi mikroorganisme tanah yang bermanfaat menghambat P. palmivora dan mungkin
telah berkontribusi pada tingginya kejadian penyakit di wilayah Palolo van Dipeningen 2006.
Epidemi penyakit busuk buah di pertanaman kakao lebih tinggi pada lahan yang sebelumnya adalah hutan primer atau yang sebelumnya ditanami tanaman
tahunan daripada di lahan yang sebelumnya ditanami dengan tanaman setahun. Berubahnya ekosistem hutan dan tanaman berkayu menjadi pertanaman kakao
diduga menjadi penyebab utama tingginya penyakit pada lahan tersebut. Patogen yang mungkin secara alami telah ada di areal tersebut pada awalnya tidak
menyebabkan sakit pada tumbuhan yang ada karena adanya mikroba lain yang mampu mengontrol aktifitas dan populasinya. Dengan dibukanya areal hutan dan
tanaman setahun maka terjadi gangguan pada komposisi maupun populasi mikroba antagonis dan dengan tersedianya inang rentan maka patogen dapat
berkembang bebas dalam menyebabkan sakit. Selain itu, P. palmivora diketahui menginfeksi lebih dari 138 spesies tanaman di Indonesia Purwantara et al. 2004.
Opoku et al. 2002 berhasil mengisolasi Phytophthora dari akar pohon peneduh di pertanaman kakao, oleh karenanya pohon peneduh berpotensi menjadi sumber
inokulum patogen. Pohon peneduh di pertanaman ini tidak hanya Glyricidia sp.
35 Leguminosae, hanya ditemukan di 16 plot dari 86; Y. Clough, unpubl sebagai
pohon peneduh yang dominan, tetapi juga Aleurites moluccana Euphorbiaceae, Erythrina
sp. Fabaceae dan Nephelium sp. Sapindaceae Stenchly, 2010 dan pohon lainnya dari famili Sterculiaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae,
Myristicaceae, Urticaceae, Magnoliaceae, Lauraceae, Sapotaceae, Sabiaceae Kessler et al. 2005. Motulo et al. 2007 dan McMahon dan Purwantara 2004
melaporkan bahwa pohon kelapa dan durian, pohon buah-buahan yang umum ditemukan di dalam plot, keduanya adalah inang P. palmivora. Selain itu,
perubahan lingkungan dari hutan primer ke lahan pertanaman akan mengubah komposisi mikroba dan jaring-jaring makanan secara umum, walaupun hal ini
masih perlu penelitian lebih lanjut. Di sisi lain, jagung, yang sebelumnya umum ditanam di lahan yang sekarang merupakan pertanaman kakao, menghasilkan
eksudat akar yang menghambat beberapa patogen atau yang merangsang perkembangan agens biokontrol bagi patogen tular tanah Bertin et al. 2003; da
Motaa et al. 2002; Zhang et al. 2000. Tidak adanya hubungan antara jarak ke hutan primer dengan nilai AUDPC
penyakit busuk buah mungkin dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semua plot yang digunakan dalam penelitian ini cukup dekat dengan hutan primer. Plot terjauh
hanya 2.400 m dari hutan, dan banyak plot di dalam atau di tepi hutan. Keragaman morfospesies cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao
juga tidak berasosiasi dengan epidemi penyakit. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua cendawan endofit berperan dalam menekan penyakit busuk buah.
Peran masing-masing cendawan endofit yang ditemukan perlu diteliti lebih lanjut, terutama cendawan yang mampu menekan penyakit busuk buah.
Frekuensi penyiangan gulma yang lebih jarang dan pertanaman yang lebih sedikit atau tidak mendapatkan input pestisida berasosiasi dengan kejadian
penyakit yang lebih rendah. Kondisi demikian terjadi diduga karena ekosistem yang ada tidakkurang terganggu sehingga mikroba yang berperan sebagai agens
biokontrol terhadap patogen busuk buah kakao dapat berkembang dan bekerja dengan baik. Mikroba tersebut dapat berupa mikroba yang ada di dalam tanah, di
rhizosfer akar, pada permukaan bagian tanaman, atau mikroba endofit yang ada di dalam tanaman. Penelitian tentang mikroba endofit, khususnya cendawan endofit
36 masih tergolong jarang dilakukan bila dibandingkan dengan mikroba lainnya.
Oleh karena itu, walaupun keragaman cendawan endofit tidak berasosiasi dengan epidemi busuk buah dalam penelitian ini, namun peran masing-masing spesies
beserta kelimpahannya di alam perlu diteliti lebih lanjut, khususnya yang berhubungan dengan penyakit busuk buah.
Tanaman kakao secara alami tumbuh di hutan hujan tropis Wood 1985 dan dianggap sebagai tanaman di bawah naungan Greenberg 1998. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa naungan tidak berasosiasi dengan peningkatan kejadian penyakit busuk buah. Secara umum diketahui bahwa naungan
menyebabkan kelembaban tinggi, dan tingginya kelembaban ini akan mendukung perkembangan penyakit. Selain karena asalnya sebagai tanaman di bawah
naungan, rendahnya penyakit pada tanaman yang ternaungi mungkin juga karena tingginya mikroba menguntungkan dalam keadaaan seperti itu. Arnold dan Herre
2003 melaporkan bahwa tanaman kakao yang berada di bawah naungan membawa lebih banyak cendawan endofit daripada yang tanpa naungan.
Cendawan-cendawan tersebut merupakan hasil transfer horizontal dari pohon pelindung. Di antara cendawan-cendawan itu berpeluang ada yang berperan
sebagai agens biokontrol bagi patogen P. palmivora. Selain itu, lebih stabilnya suhu di bawah naungan kurangtidak terkena sinar matahari langsung diduga
turut mendukung perkembangan mikroba bermanfaat. Dalam studi ini, naungan tidak diukur secara langsung tetapi diperkirakan dari cakupan relatif tajuk pohon
peneduh. Pengukuran seperti ini mungkin tidak menggambarkan intensitas cahaya yang mencapai tajuk kakao. Dalam studi selanjutnya, intensitas cahaya
yang mencapai tajuk kakao sebaiknya diukur secara langsung. Simulasi model yang dikembangkan oleh Zuidema et al. 2005 meramalkan bahwa naungan berat
pada pertanaman kakao 60 akan mengurangi produksi buah lebih dari sepertiga karena berkurangnya radiasi matahari yang mencapai daun kakao.
Sebaliknya, Somarriba dan Beer 2011 melaporkan bahwa naungan tidak mengurangi produksi kakao. Sayangnya, mereka tidak mengukur berapa besar
naungan yang terjadi di dalam pertanaman kakao. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan pengaruh intensitas cahaya pada produksi buah kakao dan
pengaruhnya terhadap kejadian penyakit busuk buah.
37 Pawirosoemardjo dan Purwantara 1992 yang membandingkan laju
infeksi dan intensitas penyakit busuk buah pada 17 klon Trinitario dan 2 Forastero Amelonado dan Upper Amazone Hybrid melaporkan bahwa tidak ada perbedaan
antara kecepatan infeksi dan periode membusuk baik di laboratorium infeksi prapenetrasi buah dipetik dan di lapangan prapenetrasi buah di pohon antar
varietas yang diamati. Rubiyo et al. 2010 juga melaporkan bahwa tidak semua klon Trinitario rentan dan tidak semua Forastero tahan terhadap Phytophthora
palmivora setelah inokulasi postpenetrasi 35 klon buah kakao yang dipetik 17
klon Forastero dan 18 Trinitario. Jika permukaan kulit buah menjadi salah satu kriteria untuk identifikasi tipe klon, permukaan kasar untuk klon dari tipe
Trinitario dan permukaan halus untuk Forastero Wood dan Lass, 1985, maka tipe kakao di daerah penelitian diduga adalah campuran antara Trinitario dan
Forastero karena di dalam tiap pertanaman ditemukan kakao dengan kulit halus maupun kulit kasar dengan kakao berkulit halus lebih dominan. Sayangnya jenis
klon dari tiap-tiap tipe luput dari pendataan dalam penelitian ini. Pertanaman kakao yang berada pada ketinggian 600-800 m dpl ternyata
terserang penyakit busuk buah paling tinggi. Pada ketinggian ini suhu rata- ratanya sekitar 23°C, maksimum 30°C dan minimum 20°C, yang juga merupakan
kondisi optimum bagi perkembangan patogen. Oleh karena itu, petani yang memiliki lahan pada ketinggian tersebut perlu mengantisipasi tingginya penyakit
busuk buah, misalnya mengurangi kelembaban dengan pemangkasan, lebih intensif melakukan sanitasi kebun dari sumber patogen seperti kulit kakao dan
buah sakit, konservasi mikroba bermanfaat seperti tidak menggunakan herbisida saat menyiangi gulma, penyiangan gulma tidak terlalu sering, bila masih
memungkinkan menanam Gramieae seperti jagung di sela-sela pertanaman atau menanam tanaman penutup tanah seperti LCC, mengusahakan tanaman tetap
sehat dengan memupuk tanaman dengan pupuk organik. Temuan dari penelitian ini dapat digunakan dalam penyusunan rangkaian
metode pengendalian penyakit busuk buah di pertanaman kakao. Statistik multivariat menunjukkan bahwa epidemi penyakit busuk buah berasosiasi dengan
faktor lingkungan dan beberapa praktek budidaya. Di masa depan, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan model mekanistik
38 epidemi penyakit busuk buah, model perkiraan penyakit busuk buah, dan strategi
pengendalian penyakit busuk buah Jeger 2004. Misalnya bila ada yang akan membuat model perkiraan penyakit busuk buah, maka perlu memperhitungkan
faktor-faktor yang terbukti berasosiasi nyata dengan AUDPC dalam penelitian ini: frekuensi penyiangan, praktek budidaya sebelumnya, ketinggian tempat, dan
sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao. Pujiyanto 2004 menyarankan penanaman LCC Legume Cover Crops atau
tanaman penutup tanah lainnya di antara tanaman kakao di kebun di mana gulma menjadi masalah untuk meningkatkan kesuburan tanah dan dapat digunakan
sebagai pakan ternak. Pada saat yang sama, tanaman penutup tanah akan mengurangi penyebaran penyakit busuk buah dan inokulum patogen serta dapat
mengkonservasi mikroba bermanfaat di dalam tanah. P. palmivora adalah cendawan tanah, dapat hidup dan berkembang di dalam tanah. Adanya tanaman
penutup tanah akan mengurangi percikan air hujan yang dapat membawa propagul patogen ke tempat yang lebih tinggi. Selain itu, adanya tanaman penutup tanah
merupakan niche yang kondusif bagi mikroba bermanfaat kemungkinan karena mendapat nutrisi dari tanaman penutup tanah, tidak mudah tercuci oleh air hujan,
mendapat perlindungan dari radiasi matahari pada siang hari, kelembaban yang relatif terjaga dengan adanya vegetasi permukaan tanah.
Ketika kakao dibudidayakan di daerah-daerah yang sebelumnya adalah hutan atau ditanami tanaman berkayu, petani kakao harus menyadari bahwa
beberapa pohon dapat menjadi sumber inokulum patogen sehingga perlu waspada akan resiko tingginya penyakit busuk buah. Ketika kakao ditanam pada
ketinggian lebih dari 600 m dpl, para petani harus mengetahui peningkatan risiko kejadian penyakit busuk buah, mengantisipasinya dengan mengurangi
kelembaban di dalam pertanaman kakao. Petani juga harus menyadari bahwa keberhasilan tindakan pengendalian, apakah tradisional atau sesuatu yang baru,
mungkin tergantung pada faktor-faktor lingkungan dan praktek budidaya yang diaplikasikan Peters et al. 2003; Beckford 2009.
39
Kesimpulan
Frekuensi penyiangan, ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao, berasosiasi nyata dengan
epidemik busuk buah kakao, sedangkan aplikasi pupuk nitrogen, jarak ke hutan primer, umur tanaman, penutupan oleh tajuk kakao, keragaman morfospesies
cendawan endofit dan tingkat naungan oleh pohon peneduh tidak berasosiasi dengan perkembangan penyakit. Kejadian penyakit tertinggi ditemukan pada plot
yang terletak 600 m dpl; areal yang sebelum ditanami kakao merupakan hutan primer atau tanaman tahunan; pertanaman yang sebelumnya mendapat input
pestisida dan pupuk yang intensif, dan dengan frekuensi penyiangan yang tinggi 2 bulan sekali.
Daftar Pustaka
Agrios GN. 2005. Plant Pathology, 5
th
ed. Amsterdam, The Netherland, Elsevier Academic Press.
Angkapradipta P, Warsito T, Nurdin MS. 1988. Tanggapan tanaman kakao lindak Upper Amazon Hybrid
terhadap pemupukan N, P, dan K pada tanah latosol. Menara Perkebunan
561: 2-8 Appiah AA, Flood J, Archerand SA, Bridge PD. 2004. Molecular analysis of the
major Phytophthora species on cocoa. Plant Pathol 53: 209–219. Arnold AE, Herre EA. 2003. Canopy cover and leaf age affect colonization by
tropical fungal endophytes: Ecological pattern and process in Theobroma cacao
Malvaceae. Mycologia 95: 388-398. Arnold AE, Maynard Z dan Gilbert GS. 2001. Fungal endophytes in
dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance and diversity. Mycol Res
105: 1502-1507 Avelino J, Zelaya H, Merlo A, Pineda A, Ordonez M, Savary S. 2006. The
intensity of a coffee rust epidemic is dependent on production situations. Ecol Modell
197: 431-447. Baon JB, Wardani S. 2010. Sejarah dan perkembangan kakao. In Budidaya
Kakao ICCRI. Lukito AM, Tetty Y, Iswanto H, Riawan N eds.. Jakarta:
Agromedia Pustaka, pp1-10
Beckford CL. 2009. Sustainable agriculture and innovation adoption in a tropical small-scale food production system: the case of yam minisetts in Jamaica.
Sustainability 1: 81-96.
Bertin C, Yang X, Weston LA. 2003. The role of root exudates and allelochemicals in the rhizosphere. Plant Soil 256: 67–83.
40 Bowers JH, Bailey BA, Hebbar PK, Sanogo S, Lumsden RD. 2001. The impact of
plant diseases on world chocolate production. Online. Plant Health Progress doi:10.1094PHP-2001-0709-01-RV. Internet Resource: http:ddr.nal.us-
da.govbitstream10113118531IND43805966.pdf verified February 20, 2011.
Boyer DG, Belesky DP. 2009. Interactions of slope and canopy of herbage of three herbage species on transport of faecal indicator bacteria by rain splash.
Grass Forage Sci 64: 432–442.
Bradley CA, Hartman GL, Wax LM, Pedersen WL. 2002. Influence of herbicides on Rhizoctonia root and hypocotyl rot of soybean. Crop Prot 21: 679–687.
Brasier CM. 1969. The effect of light and temperature on reproduction in vitro in
two tropical species of Phytophthora. Trans Br Mycol Soc 52: 1105-113. Buyer JS, Teasdale JR, Roberts DP, Zasada IA, Maul JE. 2010. Factors affecting
soil microbial community structure in tomato cropping systems. Soil Biol Biochem
42: 831-841. da Motaa FF, Nóbrega A, Marriel IE, Paiva E, Seldin L. 2002. Genetic diversity
of Paenibacillus polymyxa populations isolated from the rhizosphere of four cultivars of maize Zea mays planted in Cerrado soil. App Soil Ecol 20:
119–132.
Dechert G, Veldkamp E, Brumme R. 2005. Are partial nutrient balances suitable to evaluate nutrient sustainability of land use systems? Results from a case
study in Central Sulawesi, Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 72: 201–212. Dick R, Lorenz N, Wojno M, Lane M. 2010. Microbial dynamics in soils under
long-term glyphosate tolerant cropping systems. 19
th
World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. 1 – 6 August 2010. Brisbane,
Australia, pp153-156. Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Disease Worldwide. St. Paul,
Minnesota, USA, APS Press. Fernandez MR, Zentner RP, Basnyat
P, Gehl D, Selles F, Huber D. 2009.
Glyphosate associations with cereal diseases caused by Fusarium spp. in the Canadian Prairies. Eur J Agron 31: 133–143.
Gray A. 2001. The world cacao market outlook. LMC International Ltd. Internet Resource: http:www.iita.orgcdocument_libraryget_file?p_l_id=98898-
folderId=-99431name=DLFE-1132.pdf verified February 10, 2011 Greenberg R. 1998. Biodiversity in the cacao agroecosystems: shade management
and landscape considerations. Proceedings of the Smithsonian Migratory Bird Center Cacao Conference, March 30
th
, 1998. Panama City, Panama. http:national-zoo.si.educonservationandsciencemigratorybirdsresearch-
cacaopapers.cfm verified January 23, 2011. Guest D. 2007. Black pod: Diverse pathogens with a global impact on cocoa
yield. Phytopathology 97: 1650-1653. Hardwick NV. 1998. Disease forecasting. In: Jones DG ed. The Epidemiology
of Plant Diseases. Boston, Kluwer Academic Publishers, pp 207-230.
41 Huber DM, Haneklaus S. 2007. Managing nutrition to control plant disease.
Landbauforschung Volkenrode 57:313-322.
Iwaro AD, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997. Phytophthora resistance in cacao Theobroma cacao: influence of pod morphological characteristics. Plant
Pathol 46: 557-565.
Jeger MJ. 2004. Analysis of disease progress as a basis for evaluating disease management practices. Annu Rev Phytopathol 42: 61–82.
Kessler M, Kessler PJA, Gradstein SR, Bach K, Schmull M, Pitopang R. 2005. Tree diversity in primary forest and different land use systems in Central
Sulawesi, Indonesia. Biodivers Conserv 14: 547• 560. Krauss U, Soberanis W. 2001. Rehabilitation of diseased cacao fields in Peru
through shade regulation and timing of biocontrol measures. Agrofores Syst 53: 179-184.
Li Q, Allen HL, Wollum II AG. 2004. Microbial biomass and bacterial functional diversity in forest soils: effects of organic matter removal, compaction, and
vegetation control. Soil Biol Biochem 36: 571–579. Madden LV, Hughes G, van der Bosch F. 2007. The Study of Plant Disease
Epidemics. St. Paul, Minnesota, USA, APS Press. Mawardi S. 1982. 1912-1981: Tujuh puluh tahun pemuliaan tanaman coklat di
Indonesia. Menara Perkebunan 501: 7-22. Mazzola M. 2004. Assessment and management of soil microbial community
structure for disease suppression. Annu Rev Phytopathol 42: 35–59. McGregor AJ, Moxon ME. 1985. Potential for biological control of tent building
species of ants associated with Phytophthora palmivora pod rot of cocoa in Papua New Guinea. Ann Appl Biol 107: 271-277.
McMahon P, Purwantara A. 2004. Phytophthora on Cocoa. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Drenth A, Guest DI.
Eds.. ACIAR Monograph 114. pp104-115 Mejia LC, Rojas EI, Maynard Z, van Bael S, Arnold AE, Hebbar P, Samuels GJ,
Robbins N, Herre EA. 2008. Endophytic fungi as biocontrol agents of Theobroma cacao
pathogens. Biol Control 46: 4-14. Mora-Aguilera G, Campbell CL. 1997. Multivariate techniques for selection of
epidemiological variables. In: Francl LJ, Neher DA eds Exercises in Plant Disease Epidemiology. St. PaulMinnesota, APS Press, pp 51-58.
Morjan WE, Pedigo LP, Lewis LC. 2002. Fungicidal effects of glyphosate and glyphosate formulations on four species of entomopathogenic fungi. Environ
Entomol 31: 1206-1212.
Motamayor JC, Risterucci AM, Heath M, Lanaud C. 2003. Cacao domestication II: progenitor germplasm of the Trinitario cacao cultivar. Heredity 91: 322-
330.
42 Motulo HFJ, Sinaga MS, Hartana A, Suastika G, Aswidinnoor. 2007. Karakter
morfologi dan molekular isolat Phytophthora palmivora asal kelapa dan kakao. J Litri 13: 111-118.
Mouen Bedimo JA, Njiayouom I, Bieysse D, Ndoumbè Nkeng M, Cilas C, Nottéghem JL. 2008. Effect of shade on Arabica coffee berry disease
development: Toward an agroforestry system to reduce disease impact. Phytopathology
98: 1320-1325. Muller RA. 1974. Integrated control methods. In: Phytophthora Disease of Cocoa.
Gregory PH ed. London, Longman, pp 259-268. Ndoumbe-Nkeng M, Cilas C, Nyemb E, Nyasse S, Bieysse D, Flori A. Sache I.
2004. Impact of removing diseased pods on cocoa black pod caused by Phytophthora megakarya
and on cocoa production in Cameroon. Crop Prot 23: 415–424.
Ntahimpera N, Ellis MA, Wilson LL, Madden LV. 1998. Effect of a cover crop on splash dispersal of Colletotrichum acutatum conidia. Phytopathology 88:
536-543. Ntahimpera N, Hacker JK, Wilson LL, Hall FR, Madden LV. 1999.
Characterization of splash droplets from different surfaces with a phase doppler particle analyzer. Agr Forest Meteorol 97: 9-19.
Opoku IY, Akrofi AY, Appiah AA. 2002. Shade trees are alternative hosts of the cocoa pathogen Phytophthora megakarya. Crop Prot 21: 629–634.
Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Agroforestree Database: a tree reference and selection guideversion 4.0.
http:www.worldagroforestry.orgaftreedb verified February 10, 2011 Pawirosoemardjo S, Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan
Phytophthora palmivora Butl. Butl. pada buah dan batang beberapa
varietas kakao. Menara Perkebunan 602: 67-72 Peters
M , Lascano CE, Roothaert R, de Haan NC. 2003. Linking research on
forage germplasm to farmers: the pathway to increased adoption a CIAT, ILRI and IITA perspective. Field Crops Res 84: 179–188.
Pujiyanto. 2004. Perbaikan tanah perkebunan kakao dengan penambahan bahan organik dan penanaman penutup tanah. [Disertasi] Bogor: Sekolah
Pascasarjana, IPB. Purwantara A, Manohara D, Warokka JS. 2004. Phytophthora diseases in
Indonesia. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Drenth A, Guest DI eds. ACIAR Monograph No. 114, Canberra, pp
70-76.
Rasool N, Reshi ZA. 2010. Effect of the fungicide Mancozeb at different application rates on enzyme activities in a silt loam soil of the Kashmir
Himalaya, India. Trop Ecol 51: 199-205.
43 Ratcliff AW, Busse MD, Shestak CJ. 2006. Changes in microbial community
structure following herbicide glyphosate additions to forest soils. Appl Soil Ecol
34: 114–124. Ristaino JB, Gumpertz ML. 2000. New frontiers in the study of dispersal and
spatial analysis of epidemics caused by species in the genus Phytophthora. Annu Rev Phytopathol
38: 541–76. Risterucci AM, Paulin D, Ducamp M, N’Goran JAK, Lanaud C. 2003.
Identification of QTLs related to cocoa resistance to three species of Phytophthora.
Theor Appl Genet 108: 168-174. Rubiyo, Purwantara A, Sudarsono. 2010. Ketahanan 35 klon kakao terhadap
infeksi Phytophthora palmivora Butl. berdasarkan uji detached pod
.
J Litri 164: 172-178
Savary S, Madden LV, Zadoks JC, Klein-Gebbinck HW. 1995. Use of categorical information and correspondence analysis in plant disease epidemiology. In:
Advances in Botanical Research incorporating Advances in Plant Pathology Vol. 21. Academic Press Limited, pp 213-240.
Soberanis W, Rios R, Arevalo E, Zuniga L, Cabezas O, Kraus U. 1999. Increased frequency of phytosanitary pod removal in cacao Theobroma cacao
increases yield economically in eastern Peru. Crop Prot 18: 677-685. Somarriba E, Beer J. 2011. Productivity of Theobroma cacao agroforestry
systems with timber or legume service shade trees. Agroforest Syst 81: 109– 121.
Stenchly K. 2010. Spider communities in Indonesian cacao agroforestry: diversity, web density and spatio-temporal turnover. [PhD Dissertation]
Göttingen: Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Georg-August University Göttingen.
Schwendenmann L, Veldkamp E, Moser G, Hölscher D, Köhler M, Clough Y, Anas I, Djajakirana G, Erasmi S, Hertel D, et al. 2010. Effects of an
experimental drought on the functioning of a cacao agroforestry system, Sulawesi, Indonesia. Global Change Biol 16:1515-1530.
Tjasadihardja A. 1987. Hubungan antara pertumbuhan pucuk, perkembangan buah, serta tingkat kandungan asam indol asetat di dalam biji dan layu pentil
kakao theobroma cacao L. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Toxopeus H, Giesberger G. 1983. History of cocoa and cocoa research in
Indonesia. In: Cocoa Research in Indonesia 1900-1950. Toxopeus H, Wessel PC eds. Wageningen, Amer Cocoa Res Ins Inter Off Cocoa and
Chocolate , pp 7-34.
Umayah A, Sinaga MS, Sastrosumardjo S, Sumaraw SM, Purwantara A. 2007. Keragaman genetik isolat Phytophthora palmivora dari tanaman kakao di
Indonesia
.
Pelita Perkebunan 23: 129-138. van Diepeningen AD, de Vos OJ, Korthals GW, van Bruggen AHC. 2006. Effects
of organic versus conventional management on chemical and biological parameters in agricultural soils. Appl Soil Ecol 31: 120–135.
44 Wardojo S. 1991. Kebutuhan dasar peningkatan mutu kakao di Indonesia.
Proceeding Konferensi Kakao Nasional III, 7-9 Maret 1991. Medan, Indonesia, pp. 75-85.
Wood GAR. 1985. Establishment. In: Wood GAR, Lass RA eds Cocoa, 4
th
ed., New York, Longman, pp 119-165.
Wood GAR, Lass RA. 1985. Cocoa, 4
th
ed. New York, Longman Group Lim. Yang X, Madden LV. 1993. Effect of ground cover, rain intensity and strawberry
plants on splash of simulated raindrops. Agr Forest Meteorol 65: 1-20. Zhang J, Boone L, Kocz R, Zhang C, Binns AN, Lynn DG. 2000. At the maize
Agrobacterium interface: natural factors limiting host transformation. Chem Biol
7: 611-621. Zuidema PA, Lefelaar PA, Gerritsma W, Mommer L, Anten NPR. 2005. A
physiological production model for cocoa Theobroma cacao: model presentation, validation and application. Agr Syst 84: 195–225.