ASOSIASI FAKTOR LINGKUNGAN DAN PRAKTEK BUDIDAYA

31 Tabel 3.3 Nilai mass dan inersia faktor yang berasosiasi nyata dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan analisis korespondensi sederhana Faktor Kode Mass Inersia Frekuensi penyiangan W1 0.061 0.058 W2 0.064 0.055 Praktek budidaya sebelumnya L1 0.064 0.124 L2 0.061 0.130 Ketinggian tempat A1 0.029 0.212 A2 0.076 0.076 A3 0.020 0.006 Sejarah penggunaan lahan H1 0.029 0.062 H2 0.044 0.041 H3 0.052 0.054 Total 0.1686 Keterangan: mass = frekuensi relatif kemunculan tiap kelas kategori Inersia = total nilai χ 2 dibagi dengan total frekuensi Epidemik penyakit busuk buah berkembang lebih lambat pada kondisi kebun dengan penyiangan yang kurang intensif tiap 6 bulan dibandingkan dengan penyiangan yang lebih intensif tiap 2 bulan. Praktek budidaya sebelumnya secara nyata berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah di pertanaman kakao. Pada pertanaman kakao di Palolo L2, intensif kejadian penyakit lebih tinggi daripada di Kulawi L1, non-intensif, Gambar 3.2. Kejadian penyakit busuk buah berasosiasi nyata dengan ketinggian tempat Gambar 3.2. Nilai AUDPC yang rendah AUDPC1 berasosiasi dengan lokasi pertanaman di dataran rendah 600 m dpl, nilai AUDPC sedang AUDPC2 berasosiasi dengan ketinggian 800 m dpl, dan nilai AUDPC yang tertinggi AUDPC3 berasosiasi dengan ketinggian antara 600 dan 800 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi yang cocok untuk perkembangan penyakit busuk buah yang optimal berada pada ketinggian 600-800 m dpl. Suhu rata-rata pada ketinggian 600 m dpl sebesar 24 o C maksimum 31.0 o C, minimum 20.4°C, di pertanaman antara 600 sampai 800 m dpl di mana kejadian penyakit busuk buah paling tinggi suhu rata-ratanya adalah 23 o C maksimum 30 o C, minimum 20 o C, dan pada pertanaman 800 m dpl adalah 22 o C maksimum 28 o C, minimum 19 o C. 32 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 -0,75 -1,00 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 -0,75 -1,00 Dimensi 1 Inersia 83,91 D ime ns i 2 In er si a 16 ,0 9 AU3 AU2 AU1 H3 H2 H1 A3 A2 A1 L2 L1 W2 W1 Gambar 3.2 Pengelompokan kelas faktor yang berasosiasi dengan kelas AUDPC berdasarkan hasil analisis korespondensi sederhana. Segiempat hitam melambangkan kelas AUDPC dan lingkaran putih sebagai kelas faktor AU1=AUDPC1, AU2=AUDPC2, AU3=AUDPC3, A=ketinggian tempat, H=sejarah penggunaan lahan, L=praktek budidaya sebelumnya, W=penyiangan Epidemik penyakit busuk buah juga berasosiasi nyata dengan sejarah lahan sebelum ditanami kakao. Nilai AUDPC sedang sampai tinggi berasosiasi dengan plot yang sebelumnya adalah hutan primer dan tanaman tahunan biasanya kopi, kemiri, jambu mete, atau pohon buah-buahan seperti duku, rambutan, durian dan AUDPC rendah dengan plot yang sebelumnya ditanami dengan tanaman setahun terutama jagung Gambar 3.2; Gambar Lampiran 3.1. 33 Beberapa faktor tidak terkait dengan epidemi penyakit busuk buah, ditunjukkan oleh rendahnya nilai χ 2 dan nilai P yang tinggi Tabel 3.2. Jarak pertanaman ke hutan primer 0-2400 m dan aplikasi pupuk N tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Demikian juga umur tanaman kakao, yang berkisar 8 sampai 22 tahun, tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Keanekaragaman morfospesies cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao sehat 4-47 morfospesies, juga tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Tingkat naungan, yang berkisar dari 0 hingga 60, dan persentase penutupan areal oleh tajuk kakao yang berkisar 23-81 juga tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Penyebab penyakit busuk buah di Indonesia, P. palmivora, mampu bertahan dan berkembang di dalam tanah, yang menjadi sumber inokulum terus-menerus bagi pertanaman kakao Ristaino dan Gumpertz, 2000. Biasanya, patogen ditularkan secara pasif dari tanah ke daun, batang, buah, atau bagian tanaman lainnya di atas tanah dengan percikan air atau oleh arthropoda, seperti semut McGregor dan Moxon 1985. Penyebaran patogen secara horizontal dari pohon sakit ke pohon sehat dapat disebabkan oleh percikan air hujan atau oleh aktivitas manusia dan avertebrata; patogen dapat menyebar di dalam tanah, pada bagian tanaman, atau sebagai propagul patogen yang bebas Ristaino dan Gumpertz 2000. Penutupan tanah oleh gulma yang tinggi karena frekuensi penyiangan yang rendah akan mengurangi percikan air hujan ke bagian atas tanaman Yang dan Madden 1993; Ntahimpera et al. 1998; Ntahimpera et al. 1999; Mouen Bedimo et al . 2008; Boyer dan Belesky 2009 sehingga memperlambat penyebaran penyakit. Selain itu, tanah bervegetasi umumnya dihuni oleh populasi mikroba yang lebih beragam daripada tanah tak bervegetasi Li et al. 2004;. Mazolla 2004; Buyer et al. 2010, dan mikroba yang beragam dapat berperan dalam penekanan patogen penyebab penyakit. Lebih dari 65 dari total plot ditutupi oleh 50 gulma bila tidak disiangi Y. Clough, unpubl., sehingga mengelola penutup tanah misalnya dengan menanam legume cover crop menggantikan gulma akan menekan perkembangan dan penyebaran patogen selain juga akan memberikan nilai tambah seperti perbaikan nutrisi tanah atau sebagai pakan ternak. 34 Ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah bergantung kepada ketersediaan nutrisi yang cukup. Penghentian aplikasi N sendiri tidak mempengaruhi epidemi penyakit busuk buah seperti hasil dalam penelitian ini, namun penghentian pemupukan P dan K dapat menurunkan resistensi Huber dan Haneklaus 2007. Hal ini diduga menyebabkan tingginya kejadian penyakit di daerah Palolo yang petaninya sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia dibandingkan dengan petani Kulawi. Pestisida utama yang digunakan di Palolo adalah fungisida mancozeb dan herbisida glifosat. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa aplikasi jangka panjang dari kedua pestisida tersebut memiliki efek merugikan, baik langsung atau tidak langsung, pada populasi mikroba tanah dan tanaman di ekosistem pertanian Bradley et al. 2002;. Morjan et al. 2002;. Fernandez et al. 2009.; Rasool dan Reshi 2010; Dick et al. 2010. Meskipun dengan data terbatas, diduga bahwa aplikasi pestisida terus menerus di masa lalu telah mengurangi mikroorganisme tanah yang bermanfaat menghambat P. palmivora dan mungkin telah berkontribusi pada tingginya kejadian penyakit di wilayah Palolo van Dipeningen 2006. Epidemi penyakit busuk buah di pertanaman kakao lebih tinggi pada lahan yang sebelumnya adalah hutan primer atau yang sebelumnya ditanami tanaman tahunan daripada di lahan yang sebelumnya ditanami dengan tanaman setahun. Berubahnya ekosistem hutan dan tanaman berkayu menjadi pertanaman kakao diduga menjadi penyebab utama tingginya penyakit pada lahan tersebut. Patogen yang mungkin secara alami telah ada di areal tersebut pada awalnya tidak menyebabkan sakit pada tumbuhan yang ada karena adanya mikroba lain yang mampu mengontrol aktifitas dan populasinya. Dengan dibukanya areal hutan dan tanaman setahun maka terjadi gangguan pada komposisi maupun populasi mikroba antagonis dan dengan tersedianya inang rentan maka patogen dapat berkembang bebas dalam menyebabkan sakit. Selain itu, P. palmivora diketahui menginfeksi lebih dari 138 spesies tanaman di Indonesia Purwantara et al. 2004. Opoku et al. 2002 berhasil mengisolasi Phytophthora dari akar pohon peneduh di pertanaman kakao, oleh karenanya pohon peneduh berpotensi menjadi sumber inokulum patogen. Pohon peneduh di pertanaman ini tidak hanya Glyricidia sp. 35 Leguminosae, hanya ditemukan di 16 plot dari 86; Y. Clough, unpubl sebagai pohon peneduh yang dominan, tetapi juga Aleurites moluccana Euphorbiaceae, Erythrina sp. Fabaceae dan Nephelium sp. Sapindaceae Stenchly, 2010 dan pohon lainnya dari famili Sterculiaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae, Myristicaceae, Urticaceae, Magnoliaceae, Lauraceae, Sapotaceae, Sabiaceae Kessler et al. 2005. Motulo et al. 2007 dan McMahon dan Purwantara 2004 melaporkan bahwa pohon kelapa dan durian, pohon buah-buahan yang umum ditemukan di dalam plot, keduanya adalah inang P. palmivora. Selain itu, perubahan lingkungan dari hutan primer ke lahan pertanaman akan mengubah komposisi mikroba dan jaring-jaring makanan secara umum, walaupun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Di sisi lain, jagung, yang sebelumnya umum ditanam di lahan yang sekarang merupakan pertanaman kakao, menghasilkan eksudat akar yang menghambat beberapa patogen atau yang merangsang perkembangan agens biokontrol bagi patogen tular tanah Bertin et al. 2003; da Motaa et al. 2002; Zhang et al. 2000. Tidak adanya hubungan antara jarak ke hutan primer dengan nilai AUDPC penyakit busuk buah mungkin dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semua plot yang digunakan dalam penelitian ini cukup dekat dengan hutan primer. Plot terjauh hanya 2.400 m dari hutan, dan banyak plot di dalam atau di tepi hutan. Keragaman morfospesies cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao juga tidak berasosiasi dengan epidemi penyakit. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua cendawan endofit berperan dalam menekan penyakit busuk buah. Peran masing-masing cendawan endofit yang ditemukan perlu diteliti lebih lanjut, terutama cendawan yang mampu menekan penyakit busuk buah. Frekuensi penyiangan gulma yang lebih jarang dan pertanaman yang lebih sedikit atau tidak mendapatkan input pestisida berasosiasi dengan kejadian penyakit yang lebih rendah. Kondisi demikian terjadi diduga karena ekosistem yang ada tidakkurang terganggu sehingga mikroba yang berperan sebagai agens biokontrol terhadap patogen busuk buah kakao dapat berkembang dan bekerja dengan baik. Mikroba tersebut dapat berupa mikroba yang ada di dalam tanah, di rhizosfer akar, pada permukaan bagian tanaman, atau mikroba endofit yang ada di dalam tanaman. Penelitian tentang mikroba endofit, khususnya cendawan endofit 36 masih tergolong jarang dilakukan bila dibandingkan dengan mikroba lainnya. Oleh karena itu, walaupun keragaman cendawan endofit tidak berasosiasi dengan epidemi busuk buah dalam penelitian ini, namun peran masing-masing spesies beserta kelimpahannya di alam perlu diteliti lebih lanjut, khususnya yang berhubungan dengan penyakit busuk buah. Tanaman kakao secara alami tumbuh di hutan hujan tropis Wood 1985 dan dianggap sebagai tanaman di bawah naungan Greenberg 1998. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa naungan tidak berasosiasi dengan peningkatan kejadian penyakit busuk buah. Secara umum diketahui bahwa naungan menyebabkan kelembaban tinggi, dan tingginya kelembaban ini akan mendukung perkembangan penyakit. Selain karena asalnya sebagai tanaman di bawah naungan, rendahnya penyakit pada tanaman yang ternaungi mungkin juga karena tingginya mikroba menguntungkan dalam keadaaan seperti itu. Arnold dan Herre 2003 melaporkan bahwa tanaman kakao yang berada di bawah naungan membawa lebih banyak cendawan endofit daripada yang tanpa naungan. Cendawan-cendawan tersebut merupakan hasil transfer horizontal dari pohon pelindung. Di antara cendawan-cendawan itu berpeluang ada yang berperan sebagai agens biokontrol bagi patogen P. palmivora. Selain itu, lebih stabilnya suhu di bawah naungan kurangtidak terkena sinar matahari langsung diduga turut mendukung perkembangan mikroba bermanfaat. Dalam studi ini, naungan tidak diukur secara langsung tetapi diperkirakan dari cakupan relatif tajuk pohon peneduh. Pengukuran seperti ini mungkin tidak menggambarkan intensitas cahaya yang mencapai tajuk kakao. Dalam studi selanjutnya, intensitas cahaya yang mencapai tajuk kakao sebaiknya diukur secara langsung. Simulasi model yang dikembangkan oleh Zuidema et al. 2005 meramalkan bahwa naungan berat pada pertanaman kakao 60 akan mengurangi produksi buah lebih dari sepertiga karena berkurangnya radiasi matahari yang mencapai daun kakao. Sebaliknya, Somarriba dan Beer 2011 melaporkan bahwa naungan tidak mengurangi produksi kakao. Sayangnya, mereka tidak mengukur berapa besar naungan yang terjadi di dalam pertanaman kakao. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan pengaruh intensitas cahaya pada produksi buah kakao dan pengaruhnya terhadap kejadian penyakit busuk buah. 37 Pawirosoemardjo dan Purwantara 1992 yang membandingkan laju infeksi dan intensitas penyakit busuk buah pada 17 klon Trinitario dan 2 Forastero Amelonado dan Upper Amazone Hybrid melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antara kecepatan infeksi dan periode membusuk baik di laboratorium infeksi prapenetrasi buah dipetik dan di lapangan prapenetrasi buah di pohon antar varietas yang diamati. Rubiyo et al. 2010 juga melaporkan bahwa tidak semua klon Trinitario rentan dan tidak semua Forastero tahan terhadap Phytophthora palmivora setelah inokulasi postpenetrasi 35 klon buah kakao yang dipetik 17 klon Forastero dan 18 Trinitario. Jika permukaan kulit buah menjadi salah satu kriteria untuk identifikasi tipe klon, permukaan kasar untuk klon dari tipe Trinitario dan permukaan halus untuk Forastero Wood dan Lass, 1985, maka tipe kakao di daerah penelitian diduga adalah campuran antara Trinitario dan Forastero karena di dalam tiap pertanaman ditemukan kakao dengan kulit halus maupun kulit kasar dengan kakao berkulit halus lebih dominan. Sayangnya jenis klon dari tiap-tiap tipe luput dari pendataan dalam penelitian ini. Pertanaman kakao yang berada pada ketinggian 600-800 m dpl ternyata terserang penyakit busuk buah paling tinggi. Pada ketinggian ini suhu rata- ratanya sekitar 23°C, maksimum 30°C dan minimum 20°C, yang juga merupakan kondisi optimum bagi perkembangan patogen. Oleh karena itu, petani yang memiliki lahan pada ketinggian tersebut perlu mengantisipasi tingginya penyakit busuk buah, misalnya mengurangi kelembaban dengan pemangkasan, lebih intensif melakukan sanitasi kebun dari sumber patogen seperti kulit kakao dan buah sakit, konservasi mikroba bermanfaat seperti tidak menggunakan herbisida saat menyiangi gulma, penyiangan gulma tidak terlalu sering, bila masih memungkinkan menanam Gramieae seperti jagung di sela-sela pertanaman atau menanam tanaman penutup tanah seperti LCC, mengusahakan tanaman tetap sehat dengan memupuk tanaman dengan pupuk organik. Temuan dari penelitian ini dapat digunakan dalam penyusunan rangkaian metode pengendalian penyakit busuk buah di pertanaman kakao. Statistik multivariat menunjukkan bahwa epidemi penyakit busuk buah berasosiasi dengan faktor lingkungan dan beberapa praktek budidaya. Di masa depan, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan model mekanistik 38 epidemi penyakit busuk buah, model perkiraan penyakit busuk buah, dan strategi pengendalian penyakit busuk buah Jeger 2004. Misalnya bila ada yang akan membuat model perkiraan penyakit busuk buah, maka perlu memperhitungkan faktor-faktor yang terbukti berasosiasi nyata dengan AUDPC dalam penelitian ini: frekuensi penyiangan, praktek budidaya sebelumnya, ketinggian tempat, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao. Pujiyanto 2004 menyarankan penanaman LCC Legume Cover Crops atau tanaman penutup tanah lainnya di antara tanaman kakao di kebun di mana gulma menjadi masalah untuk meningkatkan kesuburan tanah dan dapat digunakan sebagai pakan ternak. Pada saat yang sama, tanaman penutup tanah akan mengurangi penyebaran penyakit busuk buah dan inokulum patogen serta dapat mengkonservasi mikroba bermanfaat di dalam tanah. P. palmivora adalah cendawan tanah, dapat hidup dan berkembang di dalam tanah. Adanya tanaman penutup tanah akan mengurangi percikan air hujan yang dapat membawa propagul patogen ke tempat yang lebih tinggi. Selain itu, adanya tanaman penutup tanah merupakan niche yang kondusif bagi mikroba bermanfaat kemungkinan karena mendapat nutrisi dari tanaman penutup tanah, tidak mudah tercuci oleh air hujan, mendapat perlindungan dari radiasi matahari pada siang hari, kelembaban yang relatif terjaga dengan adanya vegetasi permukaan tanah. Ketika kakao dibudidayakan di daerah-daerah yang sebelumnya adalah hutan atau ditanami tanaman berkayu, petani kakao harus menyadari bahwa beberapa pohon dapat menjadi sumber inokulum patogen sehingga perlu waspada akan resiko tingginya penyakit busuk buah. Ketika kakao ditanam pada ketinggian lebih dari 600 m dpl, para petani harus mengetahui peningkatan risiko kejadian penyakit busuk buah, mengantisipasinya dengan mengurangi kelembaban di dalam pertanaman kakao. Petani juga harus menyadari bahwa keberhasilan tindakan pengendalian, apakah tradisional atau sesuatu yang baru, mungkin tergantung pada faktor-faktor lingkungan dan praktek budidaya yang diaplikasikan Peters et al. 2003; Beckford 2009. 39 Kesimpulan Frekuensi penyiangan, ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao, berasosiasi nyata dengan epidemik busuk buah kakao, sedangkan aplikasi pupuk nitrogen, jarak ke hutan primer, umur tanaman, penutupan oleh tajuk kakao, keragaman morfospesies cendawan endofit dan tingkat naungan oleh pohon peneduh tidak berasosiasi dengan perkembangan penyakit. Kejadian penyakit tertinggi ditemukan pada plot yang terletak 600 m dpl; areal yang sebelum ditanami kakao merupakan hutan primer atau tanaman tahunan; pertanaman yang sebelumnya mendapat input pestisida dan pupuk yang intensif, dan dengan frekuensi penyiangan yang tinggi 2 bulan sekali. Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology, 5 th ed. Amsterdam, The Netherland, Elsevier Academic Press. Angkapradipta P, Warsito T, Nurdin MS. 1988. Tanggapan tanaman kakao lindak Upper Amazon Hybrid terhadap pemupukan N, P, dan K pada tanah latosol. Menara Perkebunan 561: 2-8 Appiah AA, Flood J, Archerand SA, Bridge PD. 2004. Molecular analysis of the major Phytophthora species on cocoa. Plant Pathol 53: 209–219. Arnold AE, Herre EA. 2003. Canopy cover and leaf age affect colonization by tropical fungal endophytes: Ecological pattern and process in Theobroma cacao Malvaceae. Mycologia 95: 388-398. Arnold AE, Maynard Z dan Gilbert GS. 2001. Fungal endophytes in dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance and diversity. Mycol Res 105: 1502-1507 Avelino J, Zelaya H, Merlo A, Pineda A, Ordonez M, Savary S. 2006. The intensity of a coffee rust epidemic is dependent on production situations. Ecol Modell 197: 431-447. Baon JB, Wardani S. 2010. Sejarah dan perkembangan kakao. In Budidaya Kakao ICCRI. Lukito AM, Tetty Y, Iswanto H, Riawan N eds.. Jakarta: Agromedia Pustaka, pp1-10 Beckford CL. 2009. Sustainable agriculture and innovation adoption in a tropical small-scale food production system: the case of yam minisetts in Jamaica. Sustainability 1: 81-96. Bertin C, Yang X, Weston LA. 2003. The role of root exudates and allelochemicals in the rhizosphere. Plant Soil 256: 67–83. 40 Bowers JH, Bailey BA, Hebbar PK, Sanogo S, Lumsden RD. 2001. The impact of plant diseases on world chocolate production. Online. Plant Health Progress doi:10.1094PHP-2001-0709-01-RV. Internet Resource: http:ddr.nal.us- da.govbitstream10113118531IND43805966.pdf verified February 20, 2011. Boyer DG, Belesky DP. 2009. Interactions of slope and canopy of herbage of three herbage species on transport of faecal indicator bacteria by rain splash. Grass Forage Sci 64: 432–442. Bradley CA, Hartman GL, Wax LM, Pedersen WL. 2002. Influence of herbicides on Rhizoctonia root and hypocotyl rot of soybean. Crop Prot 21: 679–687. Brasier CM. 1969. The effect of light and temperature on reproduction in vitro in two tropical species of Phytophthora. Trans Br Mycol Soc 52: 1105-113. Buyer JS, Teasdale JR, Roberts DP, Zasada IA, Maul JE. 2010. Factors affecting soil microbial community structure in tomato cropping systems. Soil Biol Biochem 42: 831-841. da Motaa FF, Nóbrega A, Marriel IE, Paiva E, Seldin L. 2002. Genetic diversity of Paenibacillus polymyxa populations isolated from the rhizosphere of four cultivars of maize Zea mays planted in Cerrado soil. App Soil Ecol 20: 119–132. Dechert G, Veldkamp E, Brumme R. 2005. Are partial nutrient balances suitable to evaluate nutrient sustainability of land use systems? Results from a case study in Central Sulawesi, Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 72: 201–212. Dick R, Lorenz N, Wojno M, Lane M. 2010. Microbial dynamics in soils under long-term glyphosate tolerant cropping systems. 19 th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. 1 – 6 August 2010. Brisbane, Australia, pp153-156. Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Disease Worldwide. St. Paul, Minnesota, USA, APS Press. Fernandez MR, Zentner RP, Basnyat P, Gehl D, Selles F, Huber D. 2009. Glyphosate associations with cereal diseases caused by Fusarium spp. in the Canadian Prairies. Eur J Agron 31: 133–143. Gray A. 2001. The world cacao market outlook. LMC International Ltd. Internet Resource: http:www.iita.orgcdocument_libraryget_file?p_l_id=98898- folderId=-99431name=DLFE-1132.pdf verified February 10, 2011 Greenberg R. 1998. Biodiversity in the cacao agroecosystems: shade management and landscape considerations. Proceedings of the Smithsonian Migratory Bird Center Cacao Conference, March 30 th , 1998. Panama City, Panama. http:national-zoo.si.educonservationandsciencemigratorybirdsresearch- cacaopapers.cfm verified January 23, 2011. Guest D. 2007. Black pod: Diverse pathogens with a global impact on cocoa yield. Phytopathology 97: 1650-1653. Hardwick NV. 1998. Disease forecasting. In: Jones DG ed. The Epidemiology of Plant Diseases. Boston, Kluwer Academic Publishers, pp 207-230. 41 Huber DM, Haneklaus S. 2007. Managing nutrition to control plant disease. Landbauforschung Volkenrode 57:313-322. Iwaro AD, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997. Phytophthora resistance in cacao Theobroma cacao: influence of pod morphological characteristics. Plant Pathol 46: 557-565. Jeger MJ. 2004. Analysis of disease progress as a basis for evaluating disease management practices. Annu Rev Phytopathol 42: 61–82. Kessler M, Kessler PJA, Gradstein SR, Bach K, Schmull M, Pitopang R. 2005. Tree diversity in primary forest and different land use systems in Central Sulawesi, Indonesia. Biodivers Conserv 14: 547• 560. Krauss U, Soberanis W. 2001. Rehabilitation of diseased cacao fields in Peru through shade regulation and timing of biocontrol measures. Agrofores Syst 53: 179-184. Li Q, Allen HL, Wollum II AG. 2004. Microbial biomass and bacterial functional diversity in forest soils: effects of organic matter removal, compaction, and vegetation control. Soil Biol Biochem 36: 571–579. Madden LV, Hughes G, van der Bosch F. 2007. The Study of Plant Disease Epidemics. St. Paul, Minnesota, USA, APS Press. Mawardi S. 1982. 1912-1981: Tujuh puluh tahun pemuliaan tanaman coklat di Indonesia. Menara Perkebunan 501: 7-22. Mazzola M. 2004. Assessment and management of soil microbial community structure for disease suppression. Annu Rev Phytopathol 42: 35–59. McGregor AJ, Moxon ME. 1985. Potential for biological control of tent building species of ants associated with Phytophthora palmivora pod rot of cocoa in Papua New Guinea. Ann Appl Biol 107: 271-277. McMahon P, Purwantara A. 2004. Phytophthora on Cocoa. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Drenth A, Guest DI. Eds.. ACIAR Monograph 114. pp104-115 Mejia LC, Rojas EI, Maynard Z, van Bael S, Arnold AE, Hebbar P, Samuels GJ, Robbins N, Herre EA. 2008. Endophytic fungi as biocontrol agents of Theobroma cacao pathogens. Biol Control 46: 4-14. Mora-Aguilera G, Campbell CL. 1997. Multivariate techniques for selection of epidemiological variables. In: Francl LJ, Neher DA eds Exercises in Plant Disease Epidemiology. St. PaulMinnesota, APS Press, pp 51-58. Morjan WE, Pedigo LP, Lewis LC. 2002. Fungicidal effects of glyphosate and glyphosate formulations on four species of entomopathogenic fungi. Environ Entomol 31: 1206-1212. Motamayor JC, Risterucci AM, Heath M, Lanaud C. 2003. Cacao domestication II: progenitor germplasm of the Trinitario cacao cultivar. Heredity 91: 322- 330. 42 Motulo HFJ, Sinaga MS, Hartana A, Suastika G, Aswidinnoor. 2007. Karakter morfologi dan molekular isolat Phytophthora palmivora asal kelapa dan kakao. J Litri 13: 111-118. Mouen Bedimo JA, Njiayouom I, Bieysse D, Ndoumbè Nkeng M, Cilas C, Nottéghem JL. 2008. Effect of shade on Arabica coffee berry disease development: Toward an agroforestry system to reduce disease impact. Phytopathology 98: 1320-1325. Muller RA. 1974. Integrated control methods. In: Phytophthora Disease of Cocoa. Gregory PH ed. London, Longman, pp 259-268. Ndoumbe-Nkeng M, Cilas C, Nyemb E, Nyasse S, Bieysse D, Flori A. Sache I. 2004. Impact of removing diseased pods on cocoa black pod caused by Phytophthora megakarya and on cocoa production in Cameroon. Crop Prot 23: 415–424. Ntahimpera N, Ellis MA, Wilson LL, Madden LV. 1998. Effect of a cover crop on splash dispersal of Colletotrichum acutatum conidia. Phytopathology 88: 536-543. Ntahimpera N, Hacker JK, Wilson LL, Hall FR, Madden LV. 1999. Characterization of splash droplets from different surfaces with a phase doppler particle analyzer. Agr Forest Meteorol 97: 9-19. Opoku IY, Akrofi AY, Appiah AA. 2002. Shade trees are alternative hosts of the cocoa pathogen Phytophthora megakarya. Crop Prot 21: 629–634. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Agroforestree Database: a tree reference and selection guideversion 4.0. http:www.worldagroforestry.orgaftreedb verified February 10, 2011 Pawirosoemardjo S, Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora Butl. Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 602: 67-72 Peters M , Lascano CE, Roothaert R, de Haan NC. 2003. Linking research on forage germplasm to farmers: the pathway to increased adoption a CIAT, ILRI and IITA perspective. Field Crops Res 84: 179–188. Pujiyanto. 2004. Perbaikan tanah perkebunan kakao dengan penambahan bahan organik dan penanaman penutup tanah. [Disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Purwantara A, Manohara D, Warokka JS. 2004. Phytophthora diseases in Indonesia. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Drenth A, Guest DI eds. ACIAR Monograph No. 114, Canberra, pp 70-76. Rasool N, Reshi ZA. 2010. Effect of the fungicide Mancozeb at different application rates on enzyme activities in a silt loam soil of the Kashmir Himalaya, India. Trop Ecol 51: 199-205. 43 Ratcliff AW, Busse MD, Shestak CJ. 2006. Changes in microbial community structure following herbicide glyphosate additions to forest soils. Appl Soil Ecol 34: 114–124. Ristaino JB, Gumpertz ML. 2000. New frontiers in the study of dispersal and spatial analysis of epidemics caused by species in the genus Phytophthora. Annu Rev Phytopathol 38: 541–76. Risterucci AM, Paulin D, Ducamp M, N’Goran JAK, Lanaud C. 2003. Identification of QTLs related to cocoa resistance to three species of Phytophthora. Theor Appl Genet 108: 168-174. Rubiyo, Purwantara A, Sudarsono. 2010. Ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi Phytophthora palmivora Butl. berdasarkan uji detached pod . J Litri 164: 172-178 Savary S, Madden LV, Zadoks JC, Klein-Gebbinck HW. 1995. Use of categorical information and correspondence analysis in plant disease epidemiology. In: Advances in Botanical Research incorporating Advances in Plant Pathology Vol. 21. Academic Press Limited, pp 213-240. Soberanis W, Rios R, Arevalo E, Zuniga L, Cabezas O, Kraus U. 1999. Increased frequency of phytosanitary pod removal in cacao Theobroma cacao increases yield economically in eastern Peru. Crop Prot 18: 677-685. Somarriba E, Beer J. 2011. Productivity of Theobroma cacao agroforestry systems with timber or legume service shade trees. Agroforest Syst 81: 109– 121. Stenchly K. 2010. Spider communities in Indonesian cacao agroforestry: diversity, web density and spatio-temporal turnover. [PhD Dissertation] Göttingen: Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Georg-August University Göttingen. Schwendenmann L, Veldkamp E, Moser G, Hölscher D, Köhler M, Clough Y, Anas I, Djajakirana G, Erasmi S, Hertel D, et al. 2010. Effects of an experimental drought on the functioning of a cacao agroforestry system, Sulawesi, Indonesia. Global Change Biol 16:1515-1530. Tjasadihardja A. 1987. Hubungan antara pertumbuhan pucuk, perkembangan buah, serta tingkat kandungan asam indol asetat di dalam biji dan layu pentil kakao theobroma cacao L. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Toxopeus H, Giesberger G. 1983. History of cocoa and cocoa research in Indonesia. In: Cocoa Research in Indonesia 1900-1950. Toxopeus H, Wessel PC eds. Wageningen, Amer Cocoa Res Ins Inter Off Cocoa and Chocolate , pp 7-34. Umayah A, Sinaga MS, Sastrosumardjo S, Sumaraw SM, Purwantara A. 2007. Keragaman genetik isolat Phytophthora palmivora dari tanaman kakao di Indonesia . Pelita Perkebunan 23: 129-138. van Diepeningen AD, de Vos OJ, Korthals GW, van Bruggen AHC. 2006. Effects of organic versus conventional management on chemical and biological parameters in agricultural soils. Appl Soil Ecol 31: 120–135. 44 Wardojo S. 1991. Kebutuhan dasar peningkatan mutu kakao di Indonesia. Proceeding Konferensi Kakao Nasional III, 7-9 Maret 1991. Medan, Indonesia, pp. 75-85. Wood GAR. 1985. Establishment. In: Wood GAR, Lass RA eds Cocoa, 4 th ed., New York, Longman, pp 119-165. Wood GAR, Lass RA. 1985. Cocoa, 4 th ed. New York, Longman Group Lim. Yang X, Madden LV. 1993. Effect of ground cover, rain intensity and strawberry plants on splash of simulated raindrops. Agr Forest Meteorol 65: 1-20. Zhang J, Boone L, Kocz R, Zhang C, Binns AN, Lynn DG. 2000. At the maize Agrobacterium interface: natural factors limiting host transformation. Chem Biol 7: 611-621. Zuidema PA, Lefelaar PA, Gerritsma W, Mommer L, Anten NPR. 2005. A physiological production model for cocoa Theobroma cacao: model presentation, validation and application. Agr Syst 84: 195–225.

BAB 4 KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT BUAH KAKAO PADA TINGKAT

KEKERINGAN YANG BERBEDA SERTA KORELASINYA DENGAN EPIDEMIK PENYAKIT BUSUK BUAH DIVERSITY OF PODS’ ENDOPHYTIC FUNGI ON DIFFERENT LEVEL OF DRYNESS AND ITS CORRELATION TO BLACK POD DISEASE EPIDEMICS Abstract The objectives of this study were to explore the diversity of endophytic fungi of cacao pods, determine the effect of drought on the diversity, and its correlation to black pod disease. A total of 2843 isolates were obtained from 1440 husk segments of pods, consist of 37 species of endophytic fungi. Out of 37 species, six belong to Basidiomycetes, 30 are Ascomycetes and one is unidentified yet. The diversity of endophytic fungi, based on Shannon’s and Simpson’s index, was higher during lower rainfall January-April 2008 compared to higher rainfall condition March-April 2007. The dominance of endophytic fungi was also changed with season, Fusarium lichenicola was the most dominant during wet condition and Phomopsis columnaris during dry condition. Several species, such as Fusarium sp. T47a, Xylaria sp., Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., Calocybe gambosa, and Xylariaceae were negatively correlated to black pod rot disease. Those fungi are potential as biocontrol agents of this disease. Key words: drought, biocontrol agents, rainfall, black pod disease, ENSO Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman cendawan endofit pada buah kakao, pengaruh kekeringan terhadap keragaman cendawan endofit, dan korelasinya terhadap penyakit busuk buah. Sebanyak 2843 isolat diperoleh dari 1440 segmen kulit buah yang terdiri dari 37 spesies. Dari ke-37 spesies tersebut enam termasuk Basidiomycetes, 30 adalah Ascomycetes dan satu belum teridentifikasi. Berdasarkan indeks Shannon dan Simpson didapatkan bahwa keragaman cendawan endofit lebih tinggi saat musim lebih kering Januari-April 2008 dibandingkan dengan kondisi curah hujan yang tinggi Maret-April 2007. Dominansi cendawan endofit juga berubah, Fusarium lichenicola paling dominan selama kondisi basah dan Phomopsis columnaris selama kondisi kering. Beberapa spesies, seperti Fusarium sp. T47a, Xylaria sp, Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., Calocybe gambosa, dan Xylariaceae berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit busuk buah. Cendawan-cendawan ini berpotensi sebagai agens biokontrol penyakit busuk buah kakao. Kata kunci: kekeringan, agens hayati, curah hujan, penyakit busuk buah kakao, ENSO 46 Pendahuluan Cendawan endofit didefinisikan sebagai cendawan yang, paling tidak sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam jaringan tumbuhan inang yang sehat tanpa menimbulkan gejala penyakit Wilson 1995. Cendawan endofit dapat ditransmisikan secara vertikal melalui biji atau secara horizontal dari sekitar pertanaman inang dengan cara terbawa angin, air, serangga atau vektor lainnya. Secara umum dikatakan bahwa hubungan cendawan endofit dengan inangnya merupakan relasi mutualisme, misalnya dengan meningkatkan ketahanan inang terhadap patogen, melindungi dari serangan hama, membantu ketersediaan nutrisi bagi inang, membantu inang dalam menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrim seperti kekeringan atau suhu yang tinggi Yuan et al. 2010. Keragaman suatu organisme di alam, termasuk cendawan endofit dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik di sekitarnya. Lingkungan biotik misalnya adanya mikroorganisme lain dan jenis inangnya. Spesies cendawan endofit famili Diaporthales lebih dominan pada Angiospermae dibandingkan pada Gymnospermae yang lebih banyak membawa Helotiales Sieber 2007; Joshee 2009, inokulasi Azospirillum terhadap tanaman padi akan mempengaruhi keragaman bakteri endofit pada daun padi Pedraza et al. 2009. Faktor abiotik misalnya cara mengolah lahan dan musim pengambilan sampel Wilberforce et al. 2003, kemasaman tanah Postma et al. 2007, suhu pada ketinggian tempat yang berbeda Hashizume et al. 2008. Kekeringan di wilayah Asia Tenggara makin sering terjadi. Kekeringan dipengaruhi juga oleh fenomena El Nino Southern Oscillation ENSO, yang dilaporkan terjadi setiap tujuh atau delapan tahun sekali Nyenzy dan Lefale 2006. Frekuensi terjadinya ENSO diprediksi makin meningkat karena terjadinya pemanasan global. Semakin sering terjadi kekeringan di wilayah ini, dapat mempengaruhi kemampuan makhluk hidup untuk beradaptasi terhadap lingkungannya Lloret et al. 2009; Chavas et al. 2009. Untuk membuktikan hipotesis bahwa keragaman cendawan endofit juga dipengaruhi oleh kondisi kekeringan yang diprediksi akan makin sering terjadi, maka dilakukan kajian dengan mengkondisikan tingkat kekeringan secara artifisial pada pertanaman kakao memimik kejadian dengan fenomena ENSO di 47 pertanaman kakao di Marena, Kulawi. Korelasi antara keragaman cendawan endofit dengan epidemik penyakit busuk buah kakao juga dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman cendawan endofit buah kakao pada kondisi ekosistem yang relatif basah dan kering serta korelasinya dengan epidemik penyakit busuk buah kakao. Bahan Dan Metode 1. Lokasi Penelitian Sampel buah kakao diambil dari Marena, di tepi Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah, 1,55 LU, 1,20 BT, ketinggian 585 m dpl, rata-rata temperatur 23.4 C, rata-rata curah hujan 2844 mm Moser et al. 2010. Simulasi kekeringan ENSO dilakukan dengan cara memasang atap plastik transparan kira-kira setinggi 1.5-2 m dari permukaan tanah di antara pertanaman kakao. Plot kontrol tidak diatap. Plot kontrol dan atap masing-masing 3 ulangan, tiap plot berukuran 35x40 m Gambar Lampiran 4.1. Data cuaca dikumpulkan, kejadian penyakit busuk buah Phytophthora palmivora juga dicatat, dihitung dari 5 tanaman sampel di dalam setiap perlakuan.

2. Isolasi Cendawan Endofit

Isolasi cendawan endofit dilakukan di laboratorium kecil yang dibangun di lokasi penelitian, sesegera mungkin setelah buah dipanen. Sampel buah sehat sebagai sumber cendawan endofit diambil dari tiap ulangan plot kontrol dan plot perlakuanGambar 4.1. Sebanyak dua buah kakao diambil dari tiap pohon kakao, dan empat pohon dipilih dari tiap ulangan. Buah kakao yang dipilih sebagai sumber isolat adalah buah yang sehat dan matang siap dipanen. Gambar 4.1 Pengelompokan waktu dan tempat pengambilan sampel Tanpa Atap Dengan Atap Sampel pertama Maret-April 2007 Alami Kontrol BC Atap 52 BR Sampel kedua Januari-April 2008 Alami Kontrol AC Atap 100 AR 48 Pengambilan pertama dilakukan pada bulan Maret-April 2007, pengambilan kedua pada bulan Januari-April 2008. Buah kakao dipanen dari tanaman yang sama pada kedua waktu pengambilan sampel yang berbeda. Pemilihan buah matang merupakan hasil uji pendahuluan dengan mengisolasi dari buah kakao dengan umur yang berbeda. Dari tiga seri ulangan buah kakao dengan umur berbeda, diketahui keragamankelimpahan cendawan endofit tertinggi terjadi pada buah kakao yang sudah tuasiap dipanen. Demikian juga halnya dengan isolasi dari kulit terluar kakao, merupakan hasil uji pendahuluan dengan membelah melintang buah kakao. Buah dibagi tiga bagian, pangkal basal, tengah mid, dan ujung apical buah. Dari tiap bagian diambil 5 titik untuk diinkubasikan di dalam Malt Extract Agar MEA 10 modifikasi dari Schulz et al. 1993; Arnold et al. 2001 dan Gamboa et al. 2002 setelah serial desinfeksi dengan ethanol 70, natrium hipoklorit 2 selama 1-2 menit, etanol 95, lalu ke aquades steril dua kali. Cendawan yang mulai tumbuh segera dimurnikan ke media MEA atau PDA.

3. Identifikasi Secara Morfologi

Isolat murni dikelompokkan berdasarkan sepuluh karakter morfologi Arnold et al 2001, yaitu produksi spora, karakter spora, tinggi dan kedalaman pertumbuhan miselium, bentuk aerial miselium, warna koloni dan media, tekstur permukaan, karakter tepi koloni, dan kecepatan pertumbuhan pada media PDA. Cendawan diinduksi memproduksi struktur yang mudah diamati untuk identifikasi seperti spora dan konidia dengan cara ditumbuhkan pada berbagai jenis media seperti media beras, media agar air yang di atasnya diletakkan jaringan tanaman sehat atau kertas saring, atau diletakkan di bawah sinar NUV. Isolasi dan identifikasi secara morfologi dilakukan di Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman IPB.

4. Identifikasi Secara Molekular

Ekstraksi DNA dilakukan di Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman IPB dan metode lainnya dilaksanakan di Georg-August University, Germany. a. Ekstraksi Total DNA. Total genom DNA diekstraksi dengan buffer CTAB Wilkie 1997. 49 Ekstrak DNA disiapkan dari miselium cendawan endofit menggunakan metode seperti berikut ini. Sebanyak 0.3 g miselium digerus dalam nitrogen cair dengan mortar dan pistil sampai berbentuk bubuk. Bubuk miselium dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambah 1 ml bufer ekstrak yang mengandung 50 mgml polyvinilpyrrolidone PVP dan 60 µl 10 sodium dedocyl sulfate SDS ditambah 10 µl mercapto ethanol. Kemudian suspensi dicampur rata dengan divorteks sebelum dimasukkan ke dalam penangas air bersuhu 65°C selama 30 menit, didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, suspensi diberi 5 µl enzim RNase 1 mgml untuk menghilangkan RNA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. Selanjutnya campuran ditambah 750 µl kloroform: isoamil alkohol CI 24:1, lalu divorteks dan disentrifugasi pada 11,000 rpm selama 10 menit. Supernatan ditambah 1 ml kloroform, divorteks dan disentrifugasi lagi pada 11,000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan ditambah 1 ml isopropanol dingin, dihomogenkan dengan cara membalik-balikkan tabung beberapa kali, diinkubasi pada suhu -20°C selama 30 menit dan disentrifugasi pada 11,000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Pelet ditambah 200 µl TE 0.045 M Tris-acetate, 0.01 M EDTA, dihomogenkan dengan cara membalik- balikkan tabung beberapa kali lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. Pelet ditambah 20 µl natrium asetat 3 M, pH 5.2 dan 500 µl etanol absolute, dihomogenkan dengan cara membalikkan tabung beberapa kali, diinkubasi pada suhu -20°C selama 30 menit dan disentrifugasi pada 14,000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Cairan dibuang kemudian pelet dicuci dengan 500 µl ethanol dingin 75, dikeringkan dan diresuspensi dengan 100 µl buffer TE kemudian disimpan pada suhu -20°C sampai digunakan pada metode selanjutnya. b. Amplifikasi PCR. Primer LR0R 5’ACCCGCTGAACTTAAGC3’ dan LR6 3’CGCCAGTTCTGCTTACC5’ digunakan untuk mendapatkan sekitar 1000 bp DNA yang menyandi 28 S LSU rDNA tiap isolat Duke Univ., http:www.biolo- gy.duke.edufungimycolab-primers.htm. Kedua primer yang digunakan merupakan primer umum untuk cendawan endofit. PCR dilakukan dalam 25 μl total volume reaksi yang terdiri dari 1 μl sampel DNA, 10 μl H 2 O, 10 μl buffer Bioline 10x, 1.5 μl MgCl 2 Bioline 50 mM, 4 μl dNTP Bioline 2.5 mMe, masing- masing 1.25 μl primer LR0R dan LR6 10 μM, 1 μl Taq Bioline 5 Uμl. Siklus 50 PCR yang dilakukan adalah 5 min pada 94 o C, 30s pada 94 o C, 45s pada 50 o C, 1 min pada 72 o C, dan 7 min pada 72 o C, dilakukan dalam 35 siklus Aime dan Phillips-Mora, 2005. Hasil PCR dibersihkan dengan SureClean Bioline, Germany. Sebanyak 25 μl SureClean ditambahkan ke dalam asam nukleat hasil PCR, diinkubasikan selama 15 menit pada suhu ruang, disentrifugasi pada 14,800 rpm selama 15 min, supernatan dibuang dengan disedot dengan pipet, tambahkan 50 μl etanol 70, divortex selama 10 menit, disentrifugasi pada 14,800 rpm selama 5 min, supernatan dibuang kemudian dikeringanginkan untuk membuang sisa etanol. Pellet diresuspensi kembali dengan H 2 O 25 μl dan dicek lagi konsentrasi DNA-nya pada gel dengan blue-juice sebelum disekuen. c. Sekuen DNA. Hasil PCR disekuen oleh Macrogen dengan primer LR0R dan LR6. Hasil sekuen dibandingkan dengan data Genbank menggunakan program BLAST www.ncbi.nlm.nih.gov, didapatkan nama spesies yang mendekatimirip dengan spesies yang dimiliki berdasarkan persentase kemiripannya Arnold Lutzoni 2007, Crozier et al. 2006.

5. Analisis statistik

Maksimum frekuensi satu spesies isolat adalah 5 titik sampel x 3 bagian x 2 buah x 4 pohon x 3 ulangan x 2 diatap dan tanpa atap x 2 kali waktu pengambilan sampel = 1440. Peubah yang diamati berupa frekuensi kemunculan tiap spesies, jenis dan jumlah spesies yang ditemukan, dan kejadian penyakit busuk buah kakao. Software yang digunakan untuk menganalisis data adalah Excel, Biodiv97 Messner 1997 untuk analisis Sorensen, Statistica Statsoft 1995 untuk menganalisis korelasi dan monotonic multidimensional scaling MDS, EstimateS versi 7.5.2 untuk mendapatkan indeks keragaman dan estimasi populasi total. Hasil dan Pembahasan 1. Kekayaan Spesies Cendawan Endofit Pada buah kakao didapatkan 76 morphospesies cendawan endofit Tabel Lampiran 4.1. Setelah diidentifikasi secara molekuler, ternyata hanya 37 spesies. Hal ini antara lain karena penampakan secara morfologi saja sulit untuk 51 Tabel 4.1 Hasil identifikasi cendawan endofit secara molekuler, nomor aksesi dan persen kemiripan DNA pada Genbank No. Isolat Kode Morfospesies Berkerabat dengan No. Aksesi di Genbank kemi- ripan 1 1, 50 Fusarium lichenicola AY097325.1 98 2 2, 8a, 25 Bionectria sp. DQ327624.1 99 3 4b, 27, 33 Gibberella zeae XM_389750.1 96 4 5, 11b, 14, 24, 29, 61, 67, 70 Phomopsis columnaris AF439627.1 100 5 6a Fusarium ambrosium AY780077.1 99 6 7, 35 Glomerella cingulata DQ286204.1 99 7 10, 36 Diaporthe phaseolorum AY346279.1 99 8 11a Schizophyllum commune DQ071725.2 98 9 9, 12,42a, 45,47,53,63b,68 ,69,71 Diaporthe angelicae AY196781.1 99 10 15, 59 Fusarium sp. T47a FJ890386.1 95 11 16, Xylaria sp. DQ327623.1 99 12 17 Fungal Endophyt e isolate 9147 EF420081.1 99 13 19, 21, 60 Aphyllophorales DIS 296 a DQ327656.1 99 14 22 Colletotrichum sp. MCA 2773 DQ286218.1 97 15 24d Polyporaceae. DIS 126a DQ327640.1 100 16 26 Uncultured ascomycete clone C32_B06 EU490103.1 98 17 37b,54,72 Diaporthe eres AF362565.1 99 18 18,20,32,34b Diplodia pinea EU754157.1 98 19 39a Psathyrella leucotephra FM160683.1 95 20 39b, 40 Colletotrichum crassipes DQ286206.1 100 21 41 Laccocephalum mylittae EU716114.1 99 22 43 Fusarium solani EU719659.1 99 23 46, 58 Xylariaceae DIS 360g DQ674817.1 99 24 48 Ascosalsum viscidulum AY150223.1 98 25 49 Aschersonia sp.WYBX-3 EU817486.1 99 26 51b Giberella circinata FJ744110.1 87 27 56 Geomyces sp. AB470567.1 89 28 57a Nigrospora oryzae FJ176892.1 99 29 57b Fungal endophyte P815A EU977290.1 98 30 62 Calocybe gambosa U86442.1|CGL SURRNA2 94 31 66b Phomopsis sp. QJC-1893 EU219393.1 99 32 74 Resinicium friabile DQ863690.1 99 33 75 Pestalotiopsis Fungal endophyte isolate 6722 EF420100.1 99 52 Tabel 4.1 Hasil identifikasi cendawan endofit secara molekuler, nomor aksesi dan persen kemiripan DNA pada Genbank lanjutan No. Isolat Kode Morfospesies Berkerabat dengan No. Aksesi di Genbank kemi- ripan 34 52,76 Nectria rigidiuscula AB084302.1 87 35 3,23,27,31a,38, 63,73 Fusarium sp. QJC-1403 EU193176.1 99 36 28a Phomopsis viticola AF439635.1 100 37 44 Bionectria ochroleuca AY686634.1 98 dibedakan antar isolat. Misalnya warna koloni Fusarium yang sering berubah- ubah dari ungu menjadi pink, lalu putih. Juga pada PhomopsisDiaporthe, warna sering berubah, dari hijau-kuning-putih, bentuk koloni yang kadang-kadang menyerupai bunga mawar dengan variasi yang beragam. Tidak terbentuknya struktur khusus seperti konidia juga menyulitkan dalam identifikasi secara morfologi. Karena hal-hal itu, penulis sering memisahkan isolat yang sama ke dalam kelompok yang berbeda Tabel 4.1; Gambar Lampiran 4.2. Hasil identifikasi secara molekuler didapatkan sekuen rDNA cendawan endofit buah kakao, lalu dibandingkan dengan data di GenBank, diperoleh persentase kemiripan berkisar antara 87-100 Tabel 4.1; Lampiran 4.2. Seperti pada banyak penelitian keragaman cendawan endofit misalnya Hoffman dan Arnold 2008, Smith et al 2008, kelas Ascomycetes merupakan yang terbanyak ditemukan. Hasil identifikasi menunjukkan enam spesies I-8, I-13, I-15, I-19, I- 21, I-30 termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes, 30 Ascomycetes, dan satu spesies yang belum teridentifikasi dan masih dalam bentuk kode isolat sebagai Fungal Endophyte P815A Tabel Lampiran 4.3. Isolat Fungal Endophyte P815A diisolasi dari tumbuhan Anacardiaceae dari daerah perbatasan Peru dan Bolivia, Amerika Latin Smith et al. 2008. Dua isolat yang masih berkode Fungal Endophyte isolate 9147 dan 6722 termasuk ke dalam Ascomycetes Hoffman Arnold 2008. Berdasarkan bentuk konidianya, isolat Pestalotiopsis dalam penelitian ini mirip dengan Fungal Endophyte isolate 6722. Salah satu anggota kelas Ascomycetes yang mirip dengan I-16 terdaftar pada GenBank sebagai Uncultured Ascomycetes walaupun dalam penelitian ini 53 semuanya dikulturkan. Isolat tersebut disekuen langsung dari dalam tanah savanna di mana rumput-rumputan tumbuh tanpa mengisolasinya terlebih dahulu www.ncbi,nlm.nih.govTaxonomyBrowserwwwtax..cgi?ad=175243. Evans et al. 2003 telah mengisolasi cendawan endofit dari buah kakao liar Theobroma gilleri dan juga menemukan dua Basidiomycetes. Sayangnya belum diidentifikasi lebih lanjut sehingga belum diketahui spesiesnya. Crozier et al 2006 juga telah mensekuen LSU rDNA cendawan endofit yang diisolasi dari batang dan buah kakao. Isolasi dari buah ditemukan tiga spesies Pycnoporus sp., 2 spesies Pleosporales sp. Basidiomycetes, 2 spesies Xylariaceae, 1 spesies Phlebioid sp. Ascomycetes. Hanya Xylariaceae yang juga ditemukan dalam penelitian ini.

2. Kelimpahan Cendawan Endofit pada Bagian Buah

Isolasi cendawan endofit dilakukan dari tiga bagian buah, bagian pangkal basal, tengah mid, dan ujung apical, tip buah. Dari ketiga bagian tersebut, pangkal buah merupakan tempat cendawan endofit paling banyak diisolasi, sebanyak 1099 isolat 31 spesies dari 96 buah. Bagian ujung merupakan bagian yang paling sedikit, hanya 851 isolat 35 spesies, dan pada bagian tengah buah ada 895 isolat 31 spesies. Tingginya jumlah isolat pada pangkal buah karena lekukan pada pangkal buah yang dapat menampungmenjadi tempat jatuhnya spora dari ‘hujan spora’, spore rain tanpa langsung tercuci ke dalam tanah, juga dapat menampunglapisan air untuk perkecambahan spora. Spora yang jatuh pada bagian tengah dan ujung buah dengan mudah tercuci bila ada hujan. Selain itu, spora tidak mudah melekat terutama pada kulit buah yang licin, dengan posisi yang vertikal. Dari uji pendahuluan diketahui bahwa tidak ada cendawan ditemukan hingga pada ketebalan sekitar 10 mm dari kulit buah. Pada ketebalan sekitar 5 mm cendawan sudah mulai terisolasi. Dari kedua hasil isolasi ini dapat disimpulkan bahwa penyebaran cendawan endofit pada buah kakao terjadi terutama secara horizontal, berasal dari lingkungan sekitar, apakah terbawa angin, percikan air, serangga, atau vektor lainnya. 54

3. Keragaman Cendawan Endofit pada Kulit Buah

Keragaman cendawan endofit dalam penelitian ini dilihat dari jumlah spesies pada tiap plot dan frekuensi kemunculankeseringannya diisolasi dari tiap potongan jaringan kulit buah kakao. Potongan jaringan yang menjadi sumber cendawan endofit ada sebanyak 1440 potong sampel. Semua sampel membawa cendawan endofit, tidak ada yang tidak ditumbuhi cendawan. Total semua isolat yang diisolasi sebanyak 2843 isolat, dan didapatkan 37 spesies dari hasil identifikasi secara molekuler. Dari ke-37 spesies itu, ada tiga spesies yang merupakan singleton spesies yang hanya sekali ditemukan, dua pada BC, Phomopsis viticola dan Bionectria ochroleuca dan satu pada AC, Phomopsis sp. QJC-1893. Frekuensi tiap spesies mengikuti pola log distribusi normal Gambar 4.2. Nilai ‘goodness of fit dari data ini adalah 9.373856 dengan P0.10. Komunitas dengan pola log distribusi normal menggambarkan bahwa komunitas tersebut dalam keadaan stabil, besar, komunitas yang alami dengan jumlah spesies yang banyak dan tidak ada spesies yang terlalu dominan Magurran 1988. Komunitas seperti ini terdiri dari sedikit spesies dominan sekitar 10 dan intermediate 25 serta banyak spesies dengan kelimpahan yang jarang sekitar 65. Dari ke-37 spesies dalam penelitian ini, F. lichenicola dan P. columnaris paling tinggi frekuensinya, sedangkan paling sedikit ada tiga spesies yang merupakan singleton, hanya sekali ditemukan, yaitu P. viticola, B. Ochroleuca, dan Phomopsis sp. QJC- 1893. Bila melihat jumlah spesies yang diamati dan yang diharapkan, dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini jumlah spesies yang didapatkan pada jumlah isolat yang ada telah mendekati jumlah yang diharapkan Gambar 4.3. Namun bila melihat pola peningkatan jumlah spesies dengan peningkatan jumlah isolat, jumlah spesies yang dapat diisolasi masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah isolat. Hal ini terlihat dari pola kurva yang masuh terus meningkat dan belum mencapai titik asymptote kurva mendatar. Bila telah mencapai titik asymptote, jumlah spesies yang didapatkan tidak bertambah lagi meskipun jumlah isolat ditingkatkan Magurran 1988. 55 100 200 300 400 500 600 I-1I-4I-3 5 I-9 I-1 8 I-3I-2 I-3 4 I-5 I-1 3 I-1 I-2 I-1 6 I-1 5 I-2 1I-8 I-1 7 I-1 9 I-1 1I-7 I-1 2 I-6 I-2 6 I-1 4 I-2 3 I-2 4 I-3 3 I-2 5 I-2 8 I-2 9 I-3 2 I-2 2 I-3 I-2 7 I-3 1 I-3 6 I-3 7 S p e s i e s F re k ue ns i Gambar 4.2 Frekuensi keberadaan tiap spesies cendawan endofit yang berhasil diisolasi, mengikuti pola kurva distribusi normal 5 10 15 20 25 30 35 40 -0.3 0.4 0.65 0.93 1.22 1.51 1.81 2.12 2.41 Jumlah isolat log Ju mla h s p es ie s Diamati Harapan Gambar 4.3 Pola peningkatan jumlah spesies yang diamati dan diharapkan ketika diplotkan dengan pola peningkatan jumlah isolat