Kelimpahan Cendawan Endofit dan Keparahan Penyakit Busuk Buah
74 Suspensi cendawan yang tersisa dituang ke dalam media tumbuh bibit, 10 ml tiap
tanaman. Penanganan tanaman dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kontak antara daun atas dengan daun bawah dan antar tanaman. Kelembaban di
dalam rumah plastik dijaga tetap tinggi, sekitar 99 selama dua hari dengan meletakkan kain basah dan air di dalam wadah di dalam rumah plastik
Setelah 9 hari, daun kedua dari tiap bibit dipanen untuk analisis asam salisilat dan peroksidase. Aktivitas peroksidase diukur dengan metode yang
dikembangkan oleh Pudjihartati et al. 2006 modifikasi dari Hammerschmidt et al.
1982 dan total protein dihitung mengikuti metode Lowry Lowry et al. 1951. Konsentrasi asam salisilat dianalisis menggunakan HPLC mengikuti metode
Bevilacqua dan Califano 1989. Sampel dianalisis pada Varian 450-GC system liquid chromatography
, dengan kolom C-18 dan laju isocratic pada 1 mlmin. Inokulasi daun ketiga dengan zoospora berkecambah dari P. palmivora
dilakukan pada hari berikutnya. Inokulasi dilakukan dengan cara yang sama seperti untuk buah kakao. Inokulasi diulang tujuh hari kemudian dengan
miselium patogen pada media agar V8, ditempelkan pada permukaan bawah daun karena inokulasi pertama tidak bergejala. Daun keempat dipanen untuk analisis
peroksidase dan asam salisilat yang kedua kali, pada hari ke 26 setelah inokulasi cendawan endofit.
Pengukuran asam salisilat dan peroksidase berasal dari sampel komposit, gabungan dari ke sepuluh ulangan.
Analisis data
Laju infeksi, AUDPC dan tingkat keefektifan tiap cendawan endofit menekan penyakit dihitung dari nilai skoring gejala penyakit pada buah kakao.
Nilai AUDPC, periode laten, laju infeksi, keefektifan pengendalian pada buah kakao dikorelasikan dengan nilai zona hambatan hasil uji ganda in-vitro, produksi
asam salisilat dan aktivitas peroksidase pada daun bibit kakao untuk melihat mekanisme apa yang berkorelasi dengan masing-masing peubah hasil pengujian
pada buah.
75
Hasil dan Pembahasan
Inokulasi buah kakao dengan berbagai cendawan endofit di lapangan yang dilanjutkan dengan inokulasi P. palmivora di laboratorium menghasilkan beragam
reaksi dari buah kakao. Perlakuan dengan spesies cendawan dalam famili Xylariaceae mampu menekan perkembangan keparahan penyakit sebesar 38.8
dan berbeda nyata dengan kontrol pada taraf nyata 5 dengan uji Fisher. Penekanan ini juga tergambar dari nilai AUDPC yang lebih rendah dan periode
laten yang paling panjang dan berbeda nyata dengan kontrol Tabel 5.2. Hasil uji koloni ganda dengan patogen, Xylariaceae mampu menghambat
pertumbuhan miselium patogen in-vitro yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening sebagai hasil penghambatan pertumbuhan patogen. Xylariaceae juga
mampu menginduksi peningkatan aktivitas peroksidase dan kandungan asam salisilat, walaupun tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Demikian juga
dengan laju infeksi yang relatif sama untuk semua perlakuan termasuk kontrol Tabel 5.2.
Calocybe gambosa juga mampu menekan keparahan penyakit sebesar 33.8
dengan periode laten yang panjang dan nilai AUDPC yang berbeda nyata dengan kontrol Tabel 5.2. Namun demikian laju infeksi, zona hambatan, peroksidase
dan asam salisilat tidak berbeda dengan perlakuan lainnya Gambar 5.1 dan 5.2. Penekanan keparahan penyakit oleh perlakuan Resinicium friabile, Aschersonia
sp., dan Pestalotiopsis tidak berbeda dengan kontrol, yaitu berturut-turut sebesar 17.36, 12.74 dan 4.2. Periode laten dan nilai AUDPC dari ketiga cendawan
Tabel 5.2 Bioesei cendawan endofit pada buah kakao dilanjutkan dengan inokulasi patogen P. palmivora
Perlakuan AUDPC Keefektifan
Periode laten
Laju infeksi
Xylariaceae 90.6 a 38.8 a 5.4 a
0.35 a
Calocybe gambosa 97.2 ab 33.8 ab
4.5 ab 0.38
a Resinicium friabile
126.7 bc 17.4 abc 3.7 bc
0.45 a
Aschersonia 132.7 c 12.7 bcd
3.4 cd 0.43
a Pestalotiopsis
132.8 c 4.2 cd 3.1 cd 0.47
a Fusarium
152.2 c -5.9 d 2.8 d
0.37 a
Kontrol 143.9 c 0 cd
2.8 d 0.58
a Keterangan: huruf mutu yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5 dengan uji Fisher
76 tersebut tidak berbeda nyata. Uji in-vitro menunjukkan hal yang berbeda dengan
bioesei pada buah. Aktivitas antifungal yang ditunjukkan oleh zona hambatan paling tinggi didapatkan pada perlakuan dengan R. friabile, disusul Aschersonia.
Pada analisis kimia, Aschersonia menghasilkan asam salisilat yang paling tinggi pada pengujian kedua, Pestalotiopsis menghasilkan aktivitas peroxidase yang
konstan tetap tinggi pada kedua pengamatan. Pestalotiopsis tidak menghasilkan zona hambatan namun mampu menghambat pertumbuhan patogen in-vitro.
Di lain pihak, perlakuan dengan Fusarium tidak menunjukkan kemampuan untuk menekan perkembangan penyakit tetapi justru meningkatkan keparahan
sebesar 5.95 lebih besar daripada kontrol. Periode laten dari perlakuan ini cukup singkat, yaitu 2.82 hari dengan nilai AUDPC yang tinggi, tidak berbeda
nyata dengan kontrol Tabel 5.2. Hal ini menunjukkan Fusarium sp.
0,5 1
1,5 2
2,5
Xy Cg
Rf Pe
As Fu
C Z
ona ha
m ba
ta n
c m
Gambar 5.1 Zona hambatan sebagai hasil uji koloni ganda cendawan endofit dengan patogen P. palmivora Xy = Xylariaceae, Cg = Calocybe
gambosa, Rf = Resinicium friabile, As = Aschersonia Pt =
Pestalotiopsis , Fu = Fusarium, C= kontrol; huruf mutu yang sama di
atas bar tidak berbeda nyata pada taraf 5 dengan uji Fisher b
b c
c c
c a
77
10 20
30 40
50 60
70
Xy Cg
Re As
Pt Fu
C A
sa m
sa li
si la
t p
p m
9 h 26 h
0,001 0,002
0,003 0,004
0,005 0,006
0,007
Xy Cg
Re As
Pt Fu
C p
e ro
k si
d a
se U
A E
9 h 26 h
Gambar 5.2 A produksi asam salisilat ppm dan B aktivitas peroksidase
UAE daun bibit kakao hari ke 9 dan 26 UAE = Unit Aktivitas Enzim , Xy = Xylariaceae, Cg = Calocybe gambosa, Rf =
Resinicium friabile, As = Aschersonia Pt = Pestalotiopsis, Fu =
Fusarium, C= kontrol
B A
78 berpengaruh sinergis dengan patogen mengakibatkan keparahan penyakit yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa cendawan endofit. Cendawan ini juga tidak mampu menghambat pertumbuhan patogen secara in-vitro. Ketika
nilai AUDPC, tingkat penekanankeefektifan, periode laten dan laju infeksi dikorelasikan dengan nilai zona hambatan, aktivitas peroxidase dan kandungan
asam salisilat, tidak didapatkan korelasi yang nyata di antara peubah yang diuji Tabel 5.2. Dengan uji yang sama didapatkan nilai korelasi yang nyata antara
AUDPC dan tingkat keefektifan dengan periode laten masing-masing sebesar -0.973 dan 0.972, namun tidak nyata ketika AUDPC atau tingkat keefektifan
dikorelasikan dengan laju infeksi Tabel 5.3. Hal tersebut menunjukkan bahwa periode laten sangat menentukan tingkat keefektifan cendawan endofit yang diuji,
berupa penghambatanpenundaan patogen untuk menginfeksi inang. Perlindungan dari cendawan endofit terhadap inang terjadi pada saat awal
terjadinya kontak antara patogen dengan inang. Inang mungkin terinduksi untuk memproduksi bahan kimia yang menghambat pembentukan tabung penetrasi atau
juga membentuk struktur tertentu yang menghambat penetrasi patogen terhadap inang. Ketika patogen sudah mampu mengatasi penghambatan tersebut dan mulai
menginfeksi inang, maka laju infeksi pada tiap perlakuan cendawan endofit tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol.
Herre et al. 2007 mengemukakan bahwa dua mekanisme cendawan endofit yang berpotensi berperan dalam melindungi inangnya yaitu dengan menginduksi
ketahanan tanaman atau dengan mekanisme pertahanan lain seperti antibiosis.
Tabel 5.3 Korelasi antara periode laten, laju infeksi, tingkat keefektifan dengan nilai AUDPC pada buah kakao dengan perlakuan cendawan endofit
dan kontrol, zona penghambatan uji koloni ganda, produksi asam salisilat dan aktivitas peroksidase pada bibit kakao
Korelasi Laju
infeksi Tingkat
keefektifan AUDPC
Zona hambatan
Peroxidase Asam salisilat
9 d 26 d
9 d 26 d
AUDPC -0.078 0.568
-0.064 0.229
-0.032 Periode laten
-0.602
0.972 -0.973
0.151 -0.638
0.172 -0.05
0.121
Laju infeksi -0.523
0.519 0.001
0.298 -0.66
-0.079 -0.334
Tingkat keefektifan
-0.984 0.205
-0.541 0.151
-0.103 0.155
79 Zona hambatan pada uji koloni ganda dapat terbentuk karena cendawan endofit
memproduksi senyawa antifungal yang menghambat pertumbuhan patogen. Senyawa antifungal akan bekerja menghambat perkembangan patogen bila ada
kontak langsung dengan patogennya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi senyawa antifungal yang diproduksi cendawan endofit dan
potensi pemanfaatannya. Berdasarkan penelitian ini, dengan hanya melihat asam salisilatnya, belum
dapat disimpulkan apakah mekanisme Systemic Acquired Resistance SAR atau Induced Systemic Resistance
ISR yang menjadi mekanisme tiap cendawan endofit yang diuji. SAR merupakan mekanisme ketahanan tanaman yang terjadi
karena adanya infeksi patogen atau karena luka atau aplikasi bahan-bahan kimia yang analog dengan asam salisilat, sedangkan ISR karena induksi dari
rhizobacteria nonpatogenik. SAR membutuhkan asam salisilat sebagai molekul signal, sedangkan ISR membutuhkan asam jasmonat dan pengaturan produksi
etilen. SAR terjadi dengan induksi gen PR Pathogenesis related genes, sedangkan ISR terjadi dengan ekspresi gen-gen yang berbeda dengan gen PR.
Namun bila merujuk pada Gao et al. 2010, maka dapat diusulkan bahwa mekanisme cendawan endofit yang diuji adalah ISR yang mengaktifkan gen PR
karena cendawan endofit uji tidak patogenik dan melibatkan asam salisilat. Mekanisme lain yang mungkin berperan tetapi tidak diukur dalam penelitian ini
misalnya lisis, kompetisi situs kolonisasi, induksi produksi asam jasmonat dan etilen.
Asam salisilat dikenal sebagai molekul sinyal pada ketahanan lokal dan sistemik SAR; Shah, 2003 sebagai respon ketahanan inang karena adanya
infeksi patogen atau karena luka. SAR berperan dalam ketahanan tanaman sebagai molekul sinyal yang memicu ekspresi gen PR Pathogenesis-Related
genes Vlot et al. 2008. Asam salisilat dilaporkan menginduksi produksi protein
PR-1 pada tanaman tembakau Malamy et al. 1990, menginduksi kitinase pada daun dan umbi bawang putih Van Damme et al. 1993, mengaktifkan reaksi
hipersensitif HR- pada kedelai Shirasu et al. 1997, menginduksi programmed cell death
PCD Brodersen et al. 2005. Peningkatan konsentrasi asam salisilat di dalam tanaman mengindikasikan terjadinya peningkatan resistensi terhadap
80 patogen, meskipun asam salisilat dalam konsentrasi rendah dapat dimanfaatkan
oleh beberapa tanaman Yu et al. 1997. Di lain pihak, asam salisilat dalam konsentrasi yang tinggi dapat menjadi fitotoksik bagi tanaman. Lee et al. 1995
menemukan bahwa asam salisilat menjadi toksik terhadap tembakau ketika konsentrasinya mencapai 0.1 mM di dalam tanaman. Konsentrasi asam salisilat di
dalam tanaman kemudian diatur oleh reaksimekanisme detoksifikasi dengan cara bereaksi membentuk asam salisilat-glukosida atau metil salisilat. Asam salisilat-
glukosida diduga merupakan bentuk asam salisilat yang dapat ditranslokasikan ke tempat lain di dalam tanaman dan sebagai sumber asam salisilat yang dilepaskan
secara perlahan-lahan sehingga asam salisilat dapat tersedia dalam periode waktu tertentu Chen et al. 1995. Metil salisilat merupakan senyawa yang volatil,
mudah menguap, sehingga diduga merupakan pembawa sinyal terbawa angin antar bagian tanaman atau dengan tanaman sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan
meningkatnya konsentrasi asam salisilat pada tanaman tembakau ketika konsentrasi metil salisilat ditingkatkan di sekitar tanaman Seskar et al. 1998,
meskipun reaksi dari tiap spesies tanaman mungkin berbeda Attaran et al. 2009. Peroksidase merupakan enzim yang berperan dalam produksi H
2
O
2
hidrogen peroksida, molekul yang secara langsung bersifat toksik terhadap sel hidup atau secara tidak langsung dengan memproduksi antimikroba seperti
reactive free radicals Peng dan Kuc 1992; Do et al. 2003. Konsentrasi H
2
O
2
yang tinggi dapat bersifat toksik terhadap patogen, namun juga dapat toksik terhadap tanaman. Askorbat dan prolin diketahui merupakan dua senyawa
antioksidan yang meregulasi konsentrasi H
2
O
2
di dalam tanaman Rotriquez dan Redman, 2005; Scott et al. 2007. Konsentrasi peroksidase di dalam tanaman
kemudian tergantung dari laju scavengenetralisasi oleh antioksidan dengan laju produksinya. Tanaman tetap membutuhkan adanya peroksidase dalam jumlah
kecil di dalam tanaman sebagai metabolisme pertahanan ketika ada gangguan dari patogen ataupun hama. Selain H
2
O
2
, peroksidase juga berperan dalam menginduksi produksi lignin, suberin, dan programmed cell death Quiroga et al.
2000; Do et al. 2003; Ghosh 2006. Aktivitas peroksidase yang tinggi pada dua kali pengamatan dengan
perlakuan Pestalotiopsis mengindikasikan bahwa cendawan ini berpotensi