DAMPAK BURUK KORUPSI PEMILU

E. DAMPAK BURUK KORUPSI PEMILU

Skenario pemilu yang tendensi korupsinya tinggi tidak hanya merusak sistem demokrasi yang sedang ditata, akan tetapi juga menghancurkan berbagai nilai-nilai etika politik dan meningkatkan perilaku koruptif,

PENGATURAN DANA KAMPANYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRAKTEK KORUPSI PEMILU

baik pada tingkat masyarakat maupun elit politik. Pemberian uang kepada pemilih untuk memilih calon tertentu barangkali secara ekonomis menguntungkan pemilih dalam jangka waktu sangat pendek, akan tetapi dalam jangka panjang, hasil pemilu tidak akan memberikan manfaat yang berarti bagi perbaikan kualitas hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam sebuah sistem pemilu yang diwarnai praktek manipulasi yang sangat serius, dalam jangka panjang akan terjadi krisis ketidakpercayaan publik terhadap lembaga demokrasi seperti partai politik dan DPR sehingga menyulitkan pembangunan demokrasi yang ideal. Publik semakin asing dengan proses pengambilan keputusan politik, sementara elit politik akan semakin kuat relasinya dengan para kelompok kepentingan yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan politik yang dilahirkan.

Demikian halnya, pemimpin politik yang lahir dalam sebuah proses pemilu yang penuh korupsi akan membentuk sebuah pemerintahan yang tidak kredibel. Maraknya korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah telah memberikan konfirmasi atas sebuah proses Pilkada yang kotor. Sulit untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan reformasi birokrasi, mengefektifkan aPBD untuk tujuan pembangunan dan membangun kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan publik luas dalam kondisi dimana tingkat korupsi pejabat publiknya sangat tinggi.

Masyarakat luas juga tak luput dari imbas korupsi dalam pelaksanaan atau hajat besar demokrasi bernama pemilu. Dengan politik uang, masyarakat dididik untuk menghalalkan segala cara, mencari jalan keluar yang instan dan percaya bahwa suap akan memberikan keuntungan politik yang besar. Masyarakat menjadi pesimis terhadap pemilu karena pemenangnya ditentukan oleh uang, sementara jika tidak ada pemberian uang, masyarakat juga menjadi alergi terhadap kandidat. Pada akhirnya, pemilih hanya akan mencoblos kandidat-kandidat yang memberikan uang atau logistik paling besar. Hal inilah yang telah menghancurkan esensi demokrasi karena pemilih tidak lagi menggunakan pertimbangan logis dalam menentukan calon, melainkan sudah dipengaruhi oleh kekuatan uang.

Bagi kandidat yang bertarung, korupsi dalam pemilu telah meningkatkan angka kebutuhan uang yang lebih besar daripada tahun tahun sebelumnya. Bagi kandidat yang tidak didukung banyak sumber donasi, cara berhutang

Pemilu Jurnal & Demokrasi

akhirnya menjadi pilihan. Tragisnya, jika sampai kalah dalam Pilkada, sangat besar kemungkinan kandidat yang bersangkutan akan terjerat hutang yang tidak dapat dikembalikan. Mentalitas menjadi rusak, bahkan kadang upaya bunuh diri juga diambil sebagai keputusan akhir untuk menghindari berbagai konsekuensi dari kekalahan itu.

Beberapa contoh kasus percobaan bunuh diri terkait Pencalonan

NO PEMILU/PILKADA

DAERAH/TAHUN

KETERANGAN

1 Caleg DPRD

Percobaan gantung diri karena gagal terpilih 2 Caleg DPRD

Subang (2008)

Tewas gantung diri setelah gagal terpilih 3 Suami calon wawali

Malang (2009)

Istrinya kalah dalam Pilkada 4 Calon Bupati

Semarang (2010)

Percobaan bunuh diri karena kalah/Masuk RSJ 5 Caleg DPRD

Ponorogo (2005)

Bunuh diri setelah gagal terpilih 6 Calon Bupati

Ciamis

Bunuh diri setelah kalah 7 Tim sukses

Bekasi (2010)

Bangli

Bunuh diri karena jagonya kalah

DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER.

Terakhir, penyelenggara pemilu menjadi tidak bisa menjaga independensinya dalam melaksanakan pemilu karena faktor suap (korupsi). Penyelenggara pemilu yang semestinya menjaga jarak dengan semua kandidat dapat melakukan pelanggaran dengan mendukung salah satu calon. Posisinya sebagai penyelenggara dimanfaatkan untuk memanipulasi hasil pemilihan, perhitungan suara dan menjegal calon lain dalam tahapan pendaftaran calon. Institusi KPU/D menjadi sangat tidak kredibel dan gagal dalam mengawal demokrasi ke aras yang sebenarnya.