BESARAN DAN KEBERLAKUAN AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD)
BESARAN DAN KEBERLAKUAN AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD)
Parliamentary threshold, electoral threshold, ataupun threshold pada dasarnya bermaknasama, yaitu ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh partai politik agar perolehan suaranya dilibatkan dalam perhitungan kursi perwakilan atau syarat minimal yang harus dipenuhi partai politik untuk bisa mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan. Syarat ini biasanya diwujudkan dalam bentuk persentase suara minimal yang harus diperoleh partai politik, meski pada beberapa situasi juga diterapkan dalam bentuk syarat jumlah minimal perolehan kursi. 9
Besaran angka ambang batas pada banyak kasus bervariasi, antara 0,67 persen di Belanda hingga paling tinggi tercatat Turki sebesar 10 persen suara. Obyek yang terikat oleh ambang batas bisa dikenakan terhadap satu
9 Margaret Healy, An Electoral Threshold for the Senate, “Politics and Public Administration Group”, Research Note 19 1998-99,http://www.aph.gov.au/library/pubs/rn/1998-99/99rn19. htm Lihat juga David M. Farrell, Comparing Electoral Systems, London: Macmillan, 1998, http:// janda.org/c24/Readings/Farrell/Farrell1.htm.
MEMBACA PROSPEK DAN PETA POLITIK PEMILU LEGISLATIF 2014 DARI SISI AMBANG BATAS PERWAKILAN, DAERAH PEMILIHAN, DAN FORMULA PERHITUNGAN
partai politik ataupun koalisi partai, seperti yang dilakukan di Polandia, yaitu 5 persen untuk satu partai dan 8 persen untuk koalisi.Penerapan ambang batas, dalam praktek diberbagai Negara bervariasi, misalnya untuk pemilihan perwakilan tingkat nasional, dan tingkat daerah pemilihan. Swedia, argentina, dan Denmark misalnya menetapkan ambang batas pada tingkat nasional. Sedangkan Yugoslavia dan Spanyol menerapkannya pada tingkat daerah pemilihan.Dari sisi tujuan penerapannya, ambang batas dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian atau menjadi halang rintang bagi partai-partai yang tidak signifikan untuk masuk ke lembaga perwakilan (DPR). Lihat Tabel 1.1 di bawah:
Tabel 1.1 Besaran Ambang Batas Pemilu Nasional
NEGARA
TAHUN PEMILU
Czech Republik 2010
South Korea 2004
PENYEDERHANAAN SISTEM KEPARTAIAN DAN PROPORSIONALITAS HASIL PEMILU”, PERLUDEM-KEMITRAAN, HLM. 18 SUMBER: TABEL DIKUTIP DARI DIDIK SUPRIYANTO DAN AUGUST MELLAZ DALAM AMBANG BATAS PERWAKILAN “PENGARUH PARLIAMENTARY THRESHOLD TERHADAP
Berapa angka ideal persentase ambang batas, pada banyak kasus bergantung konsensus para pembuat undang-undang.Namun para sarjana pemilu seperti gallagher-Mitchell mencoba untuk menggunakan formula
ambang batas optimum yang dirumuskan oleh Rein Taagepera. 10 Formula
10 Michael Gallagher and Paul Mitchell, The Politics of Electoral Systems, Oxford University Press, 2005, hlm. 608-610.
Pemilu Jurnal & Demokrasi
ini berupaya untuk menjembatani pengambilan keputusan politik yang sifatnya arbitrer, dan efek negatif yang secara langsung dihasilkan oleh
karena penerapan ambang batas, yaitu suara terbuang 11 .Beberapa masukan telah disampaikan kepada para pembuat undang-undang, baik besaran maupun alternatif penerapannya. Namun besaran angka persentase ambang batas 3,5 persen telah diputuskan oleh DPR dan sah untuk diterapkan pada pemilu legislatif 2014. 12
Catatankhusus dalam isu ambang batas ini, bukan pada angka persentasenya, namun terhadap keberlakuannya secara nasional. Sebagaimana diketahui, untuk pemilu legislatif, ada tiga lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilih diberikan tiga hak suara, tiga surat suara, dan tiga kotak suara yang berbeda. Dengan keberlakukan secara nasional, ketentuan bahwa perolehan suara partai politik dapat dilibatkan untuk menentukan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota jika memenuhi suara nasional (surat suara DPR) sebesar 3,5 persen. Dengan kata lain perolehan suara untuk DPR (tingkat nasional) menjadi penentu utama kursi DPRD (tingkat provinsi) dan DPRD (tingkat kabupaten/kota). Ketentuan ini berpotensi menyangkal hak suara dan pilihan politik pemilihdalam menentukan wakilnya. Model keberlakuan ambang batas semacam ini baru ada ditemui di Indonesia, dan tidak diketemukan preseden yang sama dalam sistem
pemilu di Negara-negara lain. 13 Lihat table 1.2 di bawah:
11 Dengan angka ambang batas 2,5 persen di pemilu 2009 lalu, jumlah suara terbuang mencapai angka 18 persen atau sekitar 19 juta suara sah. Jumlah suara terbuang ini menjadi rekor tertinggi dibandingkan jumlah suara terbuang pada dua periode pemilu sebelumnya, yaitu 1999 sebesar 3,5 persen dan pemilu 2004 sebesar 4,6 persen.
12 Pada perhitungan yang dilakukan dengan formula ambang batas optimum-Taagepera, untuk situasi di Indonesia dengan 560 kursi perwakilan, 77 daerah pemilihan, dan besaran alokasi kursi 3-10 per daerah pemilihan, diperoleh angka ambang batas optimum nasional sebesar 1,03 persen. Lebih lanjut lihat Didik Supriyanto dan August Mellaz, Ambang Batas Perwakilan “Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu”, Perludem-Kemitraan, November 2011, hlm. 62-63.
13 Mayoritas fraksi di DPR menyetujui keberlakuan ambang batas secara nasional.Hanya fraksi PDI Perjuangan yang menginginkan agar keberlakuannya diterapkan secara berjenjang, yaitu menerapkan angka ambang batas pada setiap tingkatan lembaga perwakilan. Sedangkan satu fraksi, yaitu PKS mengajukan opsi lain yang memungkinkan keberlakuan nasional dari ambang batas tetap diberlakukan, namun ada syarat-syarat lain yang dapat memungkinkan partai politik tidak memperoleh suara 3,5 persen agar suaranya tetap dapat dilibatkan dalam perhitungan suara kursi.
MEMBACA PROSPEK DAN PETA POLITIK PEMILU LEGISLATIF 2014 DARI SISI AMBANG BATAS PERWAKILAN, DAERAH PEMILIHAN, DAN FORMULA PERHITUNGAN
Tabel 1.2 Kriteria Penerapan Ambang Batas Perwakilan
NEGARA
AMBANG BATAS PERWAKILAN
TINGKAT NASIONAL TINGKAT DAERAH PEMILIHAN
Jerman 5% suara nasional, atau
3 kursi daerah pemilihan
Polandia 5% setiap partai dan 8% koalisi partai - Spanyol
3% suara daerah pemilihan atau provinsi Denmark
1 kursi dari 17 daerah pemilihan Memiliki rasio suara/rasio kursi di dua dari tiga
wilayah regional utama
2% suara nasional Swedia
4% suara nasional 12% suara daerah pemilihan Yugoslavia
5% suara daerah pemilihan Argentina
3% suara nasional 8% suara daerah pemilihan
SUMBER: TABEL DIKUTIP DARI DIDIK SUPRIYANTO DAN AUGUST MELLAZ DALAM AMBANG BATAS PERWAKILAN “PENGARUH PARLIAMENTARY THRESHOLD TERHADAP PENYEDERHANAAN SISTEM KEPARTAIAN DAN PROPORSIONALITAS HASIL PEMILU”, PERLUDEM-KEMITRAAN, HLM. 20
Oleh karena dianggap menyangkal hak suara dan pilihan politik pemilih, keberagaman pandangan serta pilihan politik warga Negara, 14 maka ketentuan ambang batas secara nasional juga berpotensi menciderai konstitusi.Untuk itulah, saat ini sedang berlangsung diskusi secara mendalam baik di kalangan partai politik, ataupun dari kalangan masyarakat untuk melakukan uji materi terhadap isu tersebut di Mahkamah Konstitusi.Tujuan uji materi tersebut tidak dimaksudkan pada besaran persentase angka persentase ambang batas, namun apakah keberlakuan secara nasional ambang batas merupakan ‘open legal policy’ yang menjadi wewenang dari pembuat undang-undang.Lihat Tabel 1.3 di bawah:
Tabel 1.3 Profil Perolehan Suara Partai Non Parlemen di DPRD Provinsi Pemilu 2009
No DPRD Provinsi
Porsi Suara 1 Sumatera Barat
Partai Politik
3,97% 2 Riau
PBB
3,65% 3 Bangka Belitung
4,43% 5 DKI Jakarta
PKPI
3,54% 6 Jawa Timur
PDS
5,36% 7 Nusa Tenggara Barat
14 Berdasarkan hasil pemilu 2009, untuk kursi DPRD Provinsi, dari 33 provinsi di Indonesia terdapat 17 provinsi yang menjadi basis secara tradisi bagi 8 partai politik yang tidak lolos PT 2,5 persen atau tidak memiliki wakil di DPR.
Pemilu Jurnal & Demokrasi
8 Nusa Tenggara Timur
3,35% 9 Kalimantan Selatan
4,11% 10 Kalimantan Timur
PBB
3,96% 11 Sulawesi Utara
Partai Patriot
6,29% 12 Sulawesi Tengah
PDS
3,70% 13 Sulawesi Selatan
PKPB
3,89% 14 Sulawesi Tenggara
3,83% 15 Maluku Utara
4,26% 17 Papua Barat
Partai Patriot
PDK
SUMBER: DIOLAH DARI AUGUST MELLAZ DALAM “BRIEF SIMULASI SISTEM KOMPETISI PARTAI DAN PENERAPAN PARLIAMENTARY THRESHOLD”, BAHAN ADVOKASI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PEMILU, KEMITRAAN, 2011