72
3. SDI T Sekolah Dasar I slam Terpadu a. Pengertian SDI T
Menurut Rasyidi Mikarsa, 2008:17, Sekolah dasar SD, pada hakikatnya merupakan satuan atau unit lembaga sosial social institution yang diberi
amanah atau tugas khusus specific task oleh masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara sistematis.
Sekolah Dasar SD adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di I ndonesia. Sekolah jenjang ini dijalani selama minimal 6 tahun dengan
pembagian kelas mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Siswa pada jenjang ini bisanya berusian antara 7 sampai 12 tahun. Sedangkan SDI T adalah sekolah
dasar yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak normal dan penyandang cacat maupun normal secara bersama-sama dengan menggunakan kurikulum
sekolah dasar konvensional Bafadal, 2009:5. Pada umumnya SDI T ini menggunakan metode penggabungan dua
pendidikan, yakni pendidikan reguler dan pendidikan aqidah Agama I slam. Sehingga jam belajar yang di perlukan di sekolah ini akan lebih banyak
dibandingkan dengan jam belajar di sekolah reguler.
SDI T
pada hakekatnya adalah sekolah yang mengimplementasikan konsep pendidikan islam berlandaskan Al-Quran dan
Assunnah. Dalam aplikasinya, SDI T diartikan sebagai sekolah yang menerapkan pendekatan
penyelenggaraannya dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi suatu jalinan kurikulum. SDI T juga menekankan keterpaduan
dalam metode pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. SDI T juga memadukan pendidikan aqliyah, ruhiyah dan
73
jasadiyah dalam penyelenggaraannya, serta memadukan keterlibatan dan
partisipasi aktif lingkungan belajar yaitu sekolah, rumah, dan juga masyarakat. Mengacu dari pengertian dan definisi mengenai SDI T tersebut, maka
SDI T dapat dimaknai sebagai sekolah islam yang diselenggarakan dengan memadukan secara integrative nilai dan ajaran islam dalam bangunan kurikulum
dengan pendekatan pembelajaran yang efektif dan pelibatan yang optimal dan koperatif antara guru dan orang tua, serta masyarakat untuk membina karakter
dan kompetensi murid. SDI T yang muncul sebagai alternatif solusi dari keresahan sebagai
masyarakat muslim yang menginginkan adanya sebuah institusi pendidikan islam yang berkomitmen mengamalkan nilai–nilai islam dalam sistemnya, dan
bertujuan agar siswanya mempunyai kompetensi seimbang antara ilmu kauniyah dengan ilmu qauliyah, antara fikriyah, ruhiyyah dan jasadiyyah, sehingga mampu
melahirkan generasi muda muslim yang berilmu, berwawasan luas dan bermanfaat bagi ummat. Dengan tujuan menciptakan siswa yang memiliki
kecerdasan I ntelektual I ntelegen Quotient, Kecerdasan Emosional Emotional Quotient
dan Kecerdasan Spiritual Spritual Quotient yang tinggi serta kemampuan beramal kerja yang ihsan.
b. Sistem Pendidikan SDI T
SDI T menawarkan hal yang lebih baik bila dibandingkan dengan pendidikan umum. Selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan
pendidikan umum, SDI T juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan
memang mengakomodir hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini
74
sebenarnya mencoba menjawab tantangan zaman globalisasi dan perdagangan bebas. Anak-anak I ndonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan
sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing. Tentunya
membentuk karakter mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja, hal itulah yang membuat SDI T sangat diminati oleh
sekian banyak masyarakat I ndonesia saat ini Sumantri, 2011 Berbagai metode pengajaran di SDI T yang menarik siswa untuk lebih
mudah memahami dan kemudian mengikuti apa yang diajarkan ustadz ustadzah guru mereka, antara lain yaitu kelas diawali dengan membaca doa akan
belajar, syahadat, surat fatihah, muroja’ah mengulang hafalan, ikrar, tata tertib, dan absensi. Selanjutnya pembelajaran materi I slam dengan
menggunakan pendekatan belajar melalui bermain. Kelebihan yang dimikili oleh SDI T yaitu prinsip learning by doing. Siswa
terlibat langsung dalam pengalaman yang konkrit dengan suatu materi. Aktivitas di mana mereka berpartisipasi dengan sesuatu yang relevan dan penuh arti.
Kemudian juga adanya reward and punihsment yang mendidik, jika salah seorang anak didik melakukan kesalahan maka respon yang dilakukan oleh
gurunya bukanlah memarahi mereka, justru mengajak dialog hingga anak didik tahu benar dimana letak kesalahan yang dia lakukan. Oleh karenanya, dengan
cara ini diharapkan anak didik tidak mengulangi kesalahannya lagi karena mereka telah paham bahwa perbuatannya tidak benar. Pembisaan lainnya lewat
contoh pun juga berlaku sebaliknya, jika salah seorang pengajar melakukan kesalahan yang diketahui anak didiknya, misalnya ketika masuk kelas tidak
mengucapkan salam, maka pengajar lainnya akan menegur dan menanyakan
75
kepada anak didik lainnya bagaimanakah seharusnya perilaku yang benar. Mengacu cari kedua contoh tersebut dapat dilihat bahwa sang anak didik benar–
benar mendapatkan contoh nyata yang harus mereka lakukan, sehingga mereka lebih mudah menirunya.
Guru tetap memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan di SDI T, yaitu dalam penanaman nilai. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Chomaidi bahwa peranan guru bukan sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku dan sumber nilai yang menuntut tanggung jawab
dan kemampuan dalam upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia seutuhnya, baik yang bersifat lahiriyah maupun yang bersifat batiniah fisik
dan non fisik. Artinya, yang dibangun adalah karakter, watak, pribadi manusia yang memiliki kualitas iman, kualitas kerja, kualitas hidup, kualitas pikiran,
perasaan, dan kemauan Chomaidi, 2005. Guru di SDI T berperan sebagai orang tua siswa saat di sekolah, bahkan pengawasan siswa ketika di rumah pun juga
masih dipantau lewat orang tuanya, adakah perubahan positif dari anak didiknya.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitin yang dilakukan oleh Syaiful Huda yang berjudul “I mplementasi Pendidikan Karakter Bagi Peserta Didik di Sekolah Dasar I slam
Terpadu SDI T Bina Anak I slam Krapyak Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta” menunjukkan bahwa adanya beberapa kebisaan buruk sebagian
siswa di rumah yang dibawa ke sekolah sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku beberapa siswa tersebut yang kemudian berimbas kurang baik pada
siswa yang lain.