PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE DAN BUDAYA PERUSAHAAN TERHADAP CORPORATE RISK DISCLOSURE SERTA DAMPAKNYA PADA FIRM VALUE DAN MARKET VALUE (Studi Empiris pada Perusahaan Non-Keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2015)

(1)

iv

THE INFLUENCE OF CORPORATE GOVERNANCE MECHANISMS AND CORPORATE CULTURE TOWARDS CORPORATE RISK DISCLOSURE

AND ITS IMPACT ON FIRM VALUE AND MARKET VALUE (Empirical Study on Non-Financial Company Listed on the

Indonesia Stock Exchange year 2015)

Oleh ATIKA 20130420285

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

i

Bursa Efek Indonesia pada tahun 2015)

THE INFLUENCE OF CORPORATE GOVERNANCE MECHANISMS AND CORPORATE CULTURE TOWARDS CORPORATE RISK DISCLOSURE

AND ITS IMPACT ON FIRM VALUE AND MARKET VALUE (Empirical Study on Non-Financial Company Listed on the

Indonesia Stock Exchange year 2015) SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh ATIKA 20130420285

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(3)

iv

Nama : Atika

Nomor Mahasiswa : 20130420285

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “PENGARUH

MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE DAN BUDAYA

PERUSAHAAN TERHADAP CORPORATE RISK DISCLOSURE SERTA DAMPAKNYA PADA FIRM VALUE DAN MARKET VALUEtidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 10 Desember 2016 Penyusun,


(4)

v

menjadi mudah” (QS. Ath-Talaq : 3)

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka

merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d : 11)

“Jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar”

(QS. Al-Baqarah : 153)

Success consists of going from failure to failure without loss of enthusiasm(Winston Churchill)

“Kebahagiaan hidup yang sebenarnya adalah hidup dengan rendah hati” (W.M. Thancheray)


(5)

vi

 Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis. Sehingga, penulis dapat menyelesaikan tugas akhirnya dengan lancar.

 Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan teladan kepada seluruh umatnya.

 Kedua orang tuaku tercinta (Ayah Ahmad Sohib dan Ibu Halimah) yang tak pernah lelah dan bosan memberikan do’a, kasih sayang, motivasi, dan semangat selama hidupku.

 Kakak ku (Nur Maryam, Listyaningsih, M. Al-Rosidin), Adikku (Yusuf Suhron S.), dan keponakan kecilku (M. Awwalul Anwar) yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, dan do’a.

 Ibu Dr. Ietje Nazaruddin, M.Si., Ak., CA yang selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

 Ibu Evi Rahmawati, M.Acc., Ak., CA yang selalu sabar dan tidak pernah lelah membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

 My Dosmud (Mbak Kiki, Mbak Fitri, Mas Ilham, Mbak Evy). Terimakasih atas bantuan, ilmu, dan segalanya yang telah diberikan kepada penulis.

 Asisten Kece squad (Rikhana, S.E, Haikal, Mitha, Afiqa, Faqih, Aka, Ratna, Vina, Ageng) yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi.

 Para penghuni kos Annisa (Mifta, Elok, Hikmah, Nelfi) yang telah menemani penulis selama kuliah di Jogja. Mantan penghuni kos Annisa (Mbak Apicong,


(6)

vii

per satu. Terimakasih telah menjadi keluarga yang luar biasa bagi penulis.

 Adik-adik ku tersayang (Jati, Adhit, Ari, Ata, Arif, Galuh, Sasqie, Ambon, Bayu, Tyo, Agung, Febriza, Fadhil) dan seluruh mahasiswa Akuntansi kelas A, B, dan E Angkatan 2016. Terimakasih atas bantuan, dukungan, semangat, dan juga do’a yang telah diberikan.

 Tim KKN 25 UMY (Ridwan, Ken, Intuun, Arcy, Uli, Bowo, Ipim, Ejak, Wuri, Rahmi, Eveline, Wulan, Surya, Ikhwan) yang telah menjadi keluarga baru penulis. Terimakasih karena telah bersedia menampung keluh kesah penulis selama ini.

 Keluarga besar HIMA FEB UMY terutama periode 2014-2015 dan periode 2015-2016 yang telah memberikan banyak pengalaman dan ilmu yang sangat berharga bagi penulis.

 My Soulmate (Intan Effendi), sahabat yang selalu ada ketika penulis membutuhkan. Terimakasih untuk motivasi, waktu dan dukungan yang telah diberikan selama ini.


(7)

xii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ……… ... ii

HALAMAN PENGESAHAN … ... iii

HALAMAN PERNYATAAN . ... iv

HALAMAN MOTTO . ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN . ... vi

INTISARI . ... viii

ABSTRACT . ... ix

KATA PENGANTAR . ... x

DAFTAR ISI . ... xii

DAFTAR GAMBAR . ... xiv

DAFTAR TABEL . ... xv

BAB I PENDAHULUAN . ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah Penelitian . ... 8

C. Rumusan Masalah Penelitian . ... 8

D. Tujuan Penelitian . ... 9

E. Manfaat Penelitian . ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA . ... 12

A. Landasan Teori . ... 12

B. Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesis . ... 28

C. Model Penelitian . ... 38

BAB III METODE PENELITIAN . ... 40

A. Obyek/Subyek Penelitian . ... 40

B. Jenis Data . ... 40

C. Teknik Pengambilan Sampel . ... 40

D. Teknik Pengumpulan Data . ... 41

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian . ... 41


(8)

xiii

C. Uji Asumsi Klasik . ... 55

D. Hasil Penelitian (Uji Hipotesis) . ... 65

E. Pembahasan . ... 72

BAB V SIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN . ... 81

A. Simpulan . ... 81

B. Saran . ... 82


(9)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Penelitian 1 ………. 38 Gambar 2.2 Model Penelitian 2 ………. 38 Gambar 2.3 Model Penelitian 3 ………. 39


(10)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Proses Pengambilan Sampel ……….……. 52

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif ……….… 53

Tabel 4.3 Uji Normalitas Model Penelitian 1 ……….... 56

Tabel 4.4 Uji Autokorelasi Model Penelitian 1 ………. 57

Tabel 4.5 Uji Multikolinearitas Model Penelitian 1 ……….. 58

Tabel 4.6 Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian 1 ………... 59

Tabel 4.7 Uji Normalitas Model Penelitian 2 ……… 60

Tabel 4.8 Uji Autokorelasi Model Penelitian 2 ………. 60

Tabel 4.9 Uji Multikolinearitas Model Penelitian 2 ……….. 61

Tabel 4.10 Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian 2 ………... 61

Tabel 4.11 Uji Normalitas Model Penelitian 3 ……… 62

Tabel 4.12 Uji Autokorelasi Model Penelitian 3 ………. 63

Tabel 4.13 Uji Multikolinearitas Model Penelitian 3 ……….. 63

Tabel 4.14 Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian 3 ………... 64

Tabel 4.15 Uji Koefisien Determinasi (R2) Model Penelitian 1 ……….. 65

Tabel 4.16 Uji Koefisien Determinasi (R2) Model Penelitian 2 ……….. 65

Tabel 4.17 Uji Koefisien Determinasi (R2) Model Penelitian 3 ……….. 66

Tabel 4.18 Uji f Model Penelitian 1 ……… 66

Tabel 4.19 Uji t Model Penelitian 1 ……… 67

Tabel 4.20 Uji t Model Penelitian 2 ……… 68

Tabel 4.21 Uji t Model Penelitian 3 ……… 68


(11)

(12)

ix

Indonesia Stock Exchange year 2015. Independent variable examined in this study consisted of the proportion of independent commissioner, audit committee meetings, institutional ownership, clan culture, adhocracy culture, hierarchy culture, market culture, and corporate risk disclosure. The dependent variable examined in this study consisted of corporate risk disclosure, firm value, and market value.

The sampling technique used in this study is purposive sampling. After purposive sampling, study using 95 companies. Statistic descriptive, classical assumption, multiple linear regression, simple linear regression, coefficient of determination, f test, and t test used to analyze the data.

The result of this study showed that market culture has positive significantly influence on corporate risk disclosure with a significance level of 0,000. The hierarchy culture has positive significantly influence on corporate risk disclosure with a significance level of 0,025. The corporate risk disclosure has positive significantly impact on firm value with a significance level of 0,000. The corporate risk disclosure has positive significantly impact on firm value with a significance level of 0,000. Meanwhile the proportion of independent commissioner, audit committee meetings, institutional ownership, clan culture, adhocracy culture has no significant influence on corporate risk disclosure.

Keywords : The proportion of independent commissioner, audit committee meetings, institutional ownership, clan culture, adhocracy culture, hierarchy culture, market culture, corporate risk disclosure, firm value, and market value.


(13)

1

A. Latar Belakang

Standar pelaporan akuntansi di dunia terus mengalami perkembangan. Hal ini sejalan dengan terungkapnya kasus-kasus keuangan perusahaan besar dan kasus-kasus yang menyebabkan terjadinya krisis keuangan. Kasus keuangan perusahaan besar terjadi pada perusahaan Enron, Worldcom dan Xerox pada tahun 2002 dan kasus perusahaan Parmalat pada tahun 2003. Sedangkan, kasus yang menyebabkan krisis keuangan terjadi pada tahun 1997 di wilayah Asia Timur dan kasus subprime mortgage di Amerika pada tahun 2008. Kasus-kasus diatas muncul dikarenakan oleh tata kelola perusahaan (corporate governance) yang buruk dan rendahnya transparansi pelaporan keuangan. Atas kasus-kasus diatas, perusahaan dituntut untuk lebih transparan dalam mengungkapkan informasi yang dimilikinya, tidak hanya terbatas pada informasi keuangan, melainkan juga informasi non-keuangan, dalam hal ini contohnya adalah risiko perusahaan.

Pentingnya pengungkapan risiko perusahaan (corporate risk disclosure-CRD) membuat badan pengatur di Indonesia mengeluarkan peraturan yang mensyaratkan adanya pengungkapan informasi tentang risiko dalam laporan tahunan perusahaan. PSAK No. 60 (Revisi 2010) tentang Instrumen Keuangan: Pengungkapan, menjelaskan bahwa perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi jenis dan tingkat risiko instrumen keuangan.


(14)

Peraturan lain yaitu Keputusan Ketua Bapepam LK Nomor: Kep-431/BL/2012 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan diharuskan untuk menyajikan penjelasan mengenai risiko-risiko yang dihadapi perusahaan dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut. Selain itu, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/14/PBI/2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan mengharuskan Bank untuk menyusun laporan tahunan yang setidaknya mencakup jenis risiko dan potensi kerugian yang dihadapi Bank dan praktik manajemen risiko yang diterapkan oleh Bank.

Berdasarkan ketiga peraturan di atas, perusahaan keuangan memiliki ketentuan yang lebih ketat dibandingkan dengan perusahaan non-keuangan dalam hal praktik pengungkapan risiko. Bagi perusahaan keuangan, selain harus memenuhi ketentuan PSAK No. 60 dan Keputusan Ketua Bapepam LK Nomor: Kep-431/BL/2012, perusahaan keuangan juga harus memenuhi ketentuan minimum pengungkapan yang tertera dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/14/PBI/2012. Selain itu, perusahaan keuangan diwajibkan mengungkapkan keberadaan komite manajemen risiko, sedangkan bagi perusahaan non-keuangan, pengungkapan keberadaan komite manajemen risiko masih berupa himbauan. Kelonggaran ketentuan pengungkapan risiko pada perusahaan non keuangan menjadikan perusahaan non keuangan cenderung akan menyajikan informasi risiko secara umum dan kurang terperinci.


(15)

Praktik pengungkapan risiko sangat dianjurkan dalam islam. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surah Asy-Syu’ara’ ayat 183 yang berbunyi:

اَ لَو ا اْاو ُسَ ۡبَت ا َساَنٱ ا ا ِِاْاۡوَثۡعَتا َلَواۡمُهَءٓاَيۡشَأ ا ِضَۡ ۡۡٱ

ا ا َنيِ ِسۡفُم ٣

ا ا

Artinya: Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.

Ayat Al-Qur’an diatas menjelaskan bahwa sesama manusia tidak boleh saling mengurangi hak-hak satu sama lain dan tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan yang menyebabkan kerusakan di bumi. Apabila dikaitkan dengan CRD, risiko merupakan bahaya, prospek, ancaman atau kerugian yang telah, sedang, maupun akan dihadapi oleh perusahaan. Principal (investor) sebagai pihak yang memberikan wewenang kepada agent (manajemen) untuk mengelola perusahaan memiliki hak untuk mengetahui berbagai macam risiko yang mengancam keberhasilan perusahaan. Sehingga, agar tidak mengurangi hak-hak para principal, maka praktik pengungkapan risiko menjadi penting untuk dilakukan.

Saat ini, CRD telah menjadi bagian yang melengkapi pengungkapan bisnis, karena adanya CRD dapat memberikan transparansi yang tinggi yang dapat meningkatkan rasa percaya diri investor (Linsley dan Shrives, 2006). Adanya peningkatan transparansi merupakan salah satu prinsip dari tata kelola perusahaan (corporate governance). Corporate governance merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan kepercayaan investor (OECD, 2004). Corporate governance melibatkan


(16)

hubungan antara manajemen perusahaan, dewan, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya (OECD, 2015). Mekanisme corporate governance dipandang sebagai suatu mekanisme yang efektif untuk mengendalikan masalah keagenan dan memastikan bahwa manajer akan selalu bertindak demi kepentingan shareholders. Mekanisme corporate governance yang baik akan membuat akuntabilitas, transparansi akuntansi, dan praktik pengungkapan perusahaan semakin meningkat.

Beberapa penelitian terdahulu telah menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap CRD dengan hasil penelitian yang beragam. Hasil penelitian Probohudono et al. (2013) dan Abraham dan Cox (2007) menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen (salah satu unsur mekanisme corporate governance) memiliki hubungan yang positif terhadap CRD. Keberadaan komisaris independen mampu mendorong manajemen untuk melakukan pengungkapan informasi yang lebih luas. Proporsi komisaris independen yang tinggi dapat berpotensi meningkatkan pengungkapan informasi seputar risiko yang berhubungan dengan tanggungjawab sosial dan ekonomi perusahaan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Suhardjanto et al. (2012) dan Dominguez dan Gamez (2014) yang menyatakan bahwa proporsi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap CRD.

Selain proporsi komisaris independen, beberapa penelitian juga menguji pengaruh frekuensi rapat komite audit dan kepemilikan institusional terhadap CRD. Al-Maghzom et al. (2016) menyatakan bahwa frekuensi rapat komite audit berpengaruh positif terhadap CRD. Semakin banyak rapat yang


(17)

dilakukan oleh komite audit dapat mengarahkan perusahaan untuk lebih patuh terhadap tanggungjawab dan pemantauan atas pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Ruwita dan Harto (2013) yang menunjukkan bahwa frekuensi rapat komite audit berpengaruh negatif terhadap CRD. Di sisi lain, hasil penelitian Suhardjanto et al. (2012) menunjukkan bahwa frekuensi rapat komite audit tidak berpengaruh terhadap CRD.

Penelitian Anggani et al. (2016) menguji pengaruh kepemilikan institusional terhadap pengungkapan sukarela perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Sedangkan hasil penelitian Ntim et al. (2013) yang menguji pengaruh kepemilikan institusional terhadap CRD menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap CRD. Hasil kedua penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian Elzahar dan Hussainey (2012) yang menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap CRD.

Selain berhubungan dengan mekanisme corporate governance, CRD juga dapat dipengaruhi oleh budaya perusahaan. Budaya merupakan sekumpulan nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh individu dalam menjalankan tugas dan kewajiban di dalam perusahaan. Cameron dan Quinn (1999) telah mengembangkan kerangka pemikiran budaya organisasi (perusahaan) yang dikenal sebagai Competing Values Framework. Kerangka pemikiran tersebut mengacu pada bagian yang menjadi fokus perusahaan,


(18)

internal atau eksternal, fleksibel atau individual, stabilitas atau pengendalian. Cameron dan Quinn (1999) membagi budaya perusahaan menjadi empat kelompok yaitu budaya clan, adhocracy, market dan hierarchy.

Perusahaan dengan budaya clan memusatkan perhatiannya pada pemeliharaan lingkungan internal perusahaan dan sumber daya manusia. Sedangkan perusahaan dengan budaya adhocracy cenderung lebih memusatkan perhatiannya pada posisi perusahaan dalam lingkungan eksternal dengan tingkat fleksibilitas dan individualitas yang tinggi. Disisi lain, perusahaan dengan tipe budaya market cenderung lebih memperhatikan lingkungan eksternal perusahaan yang membutuhkan stabilitas serta pengendalian. Sedangkan perusahaan dengan tipe budaya hierarchy cenderung lebih memperhatikan lingkungan internal perusahaan yang membutuhkan stabilitas serta pengendalian.

ElKelish dan Hassan (2014) melakukan penelitian yang menghubungkan tingkat CRD dengan budaya perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Uni Emirat Arab. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa budaya hierarchy berpengaruh positif terhadap CRD sedangkan ketiga budaya lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap CRD. Salah satu alasan yang melatarbelakangi hasil penelitian tersebut adalah bahwa Uni Emirat Arab merupakan negara dengan sistem common law, yang mana budaya perusahaan tidak memiliki pengaruh besar terhadap pengungkapan perusahaan. Penelitian Jaggi dan Low (2000) telah


(19)

membuktikan bahwa nilai budaya pada negara common law memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap pengungkapan perusahaan.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian ElKelish dan Hassan (2014). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu adanya penambahan variabel mekanisme corporate governance. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya ketidakkonsistenan. Perbedaan selanjutnya yaitu terdapat pada sampel penelitian. Adanya perbedaan karakteristik negara yang mana Uni Emirat Arab merupakan negara dengan sistem common law sedangkan Indonesia merupakan negara dengan sistem civil law. Hasil penelitian Jaggi dan Low (2000) menunjukkan bahwa nilai budaya pada negara civil law berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan perusahaan. Selain itu, hal menarik dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini juga menguji dampak CRD terhadap firm value dan market value yang pada penelitian sebelumnya belum dilakukan. Berdasarkan perbedaan diatas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Budaya Perusahaan terhadap Corporate Risk Disclosure serta Dampaknya pada Firm Value dan Market Value(Studi Empiris pada Perusahaan Non-Keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2015)”.


(20)

B. Batasan Masalah Penelitian

Penelitian ini menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap CRD dimana mekanisme corporate governance hanya melihat dari faktor proporsi komisaris independen, frekuensi rapat komite audit, dan kepemilikan institusional. Selain itu, penelitian ini juga menguji pengaruh budaya perusahaan terhadap CRD dimana budaya perusahaan hanya melihat dari faktor budaya clan, budaya adhocracy, budaya market, dan budaya hierarchy.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap corporate risk disclosure?

2. Apakah frekuensi rapat komite audit berpengaruh positif terhadap corporate risk disclosure?

3. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap corporate risk disclosure?

4. Apakah budaya clan berpengaruh negatif terhadap corporate risk disclosure?

5. Apakah budaya adhocracy berpengaruh negatif terhadap corporate risk disclosure?


(21)

6. Apakah budaya market berpengaruh positif terhadap corporate risk disclosure?

7. Apakah budaya hierarchy berpengaruh positif terhadap corporate risk disclosure?

8. Apakah corporate risk disclosure memiliki dampak yang positif terhadap firm value?

9. Apakah corporate risk disclosure memiliki dampak yang positif terhadap market value?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh positif proporsi komisaris independen terhadap corporate risk disclosure.

2. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh positif frekuensi rapat komite audit terhadap corporate risk disclosure.

3. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh positif kepemilikan institusional terhadap corporate risk disclosure.

4. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh negatif budaya clan terhadap corporate risk disclosure.

5. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh negatif budaya adhocracy terhadap corporate risk disclosure.


(22)

6. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh positif budaya market terhadap corporate risk disclosure.

7. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang pengaruh positif budaya hierarchy terhadap corporate risk disclosure.

8. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang dampak positif corporate risk disclosure terhadap firm value.

9. Menguji dan memperoleh bukti empiris tentang dampak positif corporate risk disclosure terhadap market value.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman lebih tentang pentingnya corporate risk disclosure dalam laporan tahunan. b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan informasi

tentang praktik corporate risk disclosure pada perusahaan non keuangan di Indonesia.

2. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat corporate risk disclosure. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk

penelitian-penelitian selanjutnya dengan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi corporate risk disclosure dan


(23)

dampak corporate risk disclosure terhadap firm value dan market value.


(24)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Agency Theory

Agency theory menjelaskan hubungan antara principal dengan agent. Hubungan tersebut didefinisikan sebagai suatu kontrak dimana agent bertindak untuk dan atas nama principal dalam hal pengambilan keputusan (Jensen dan Meckling, 1976). Principal merupakan pihak yang memberikan wewenang kepada agent. Sedangkan agent merupakan pihak yang menerima wewenang dari principal.

Agency theory menjelaskan bahwa dalam hubungan keagenan, setiap manajer (agent) akan memiliki informasi yang lebih banyak dan akses yang tidak terbatas terhadap informasi perusahaan, berbeda dengan investor (principal) yang memiliki akses terbatas terhadap informasi perusahaan. Perbedaan kondisi tersebut sering menyebabkan adanya informasi yang hanya diketahui oleh pihak manajemen perusahaan yang tidak diungkapkan kepada investor. Sehingga atas situasi tersebut timbul asimetri informasi antara pihak manajemen dengan pihak eksternal perusahaan. Dalam rangka memperkecil tingkat asimetri informasi, pihak manajemen perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi secara lebih transparan dan terbuka.

Pengungkapan informasi mengenai risiko perusahaan (corporate risk disclosure - CRD) secara lebih transparan merupakan salah satu cara


(25)

yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat asimetri informasi. Informasi mengenai risiko perusahaan seringkali hanya diketahui oleh pihak manajemen perusahaan. Dengan adanya transparansi risiko oleh manajemen perusahaan, maka pihak eksternal perusahaan akan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang dapat mengancam kepentingannya. Sehingga para pihak eksternal akan mampu menentukan keputusan terbaik yang harus diambil agar dapat terhindar dari kerugian.

2. Stakeholders Theory

Stakeholders theory menyatakan bahwa perusahaan tidak hanya beroperasi untuk dirinya sendiri, melainkan juga harus memberikan manfaat kepada stakeholders (Purwanto, 2011). Stakeholders adalah individu, sekelompok individu, komunitas, atau bahkan masyarakat yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap perusahaan. Teori stakeholders menjelaskan bahwa setiap perusahaan yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya akan membutuhkan dukungan dari para stakeholders (Gray et al., 1995). Disisi lain bagi setiap stakeholders, stakeholders memiliki hak untuk mengetahui informasi mengenai aktivitas perusahaan. Sehingga agar dapat memberikan hak stakeholders, perusahaan diharuskan untuk meningkatkan penyediaan informasi.


(26)

Teori stakeholders menjelaskan bahwa perusahaan akan memilih secara sukarela (voluntary) untuk mengungkapkan informasi perusahaan (termasuk mengenai risiko perusahaan) melebihi yang disyaratkan oleh badan pengatur (mandatory). Pengungkapan sukarela yang dilakukan perusahaan didorong oleh keinginan untuk memberikan kepuasan kepada stakeholders.

Informasi merupakan elemen kunci dalam pengambilan keputusan (Amran et al., 2009). Setiap stakeholders akan memanfaatkan posisinya untuk mengumpulkan informasi tentang risiko sebanyak mungkin yang nantinya akan digunakan dalam pengambilan keputusan. Sehingga, adanya informasi tersebut akan mampu meminimalisir jumlah kerugian yang mungkin harus ditanggung oleh stakeholders.

3. Legitimacy Theory

Legitimacy theory menyebutkan bahwa perusahaan secara continue mencoba untuk meyakinkan bahwa kegiatan perusahaan sesuai dengan batasan dan norma yang berlaku di masyarakat. Perusahaan berusaha untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan dapat diterima oleh pihak luar perusahaan. Teori ini didasarkan pada situasi dimana terdapat kontrak sosial antara perusahaan dengan lingkungan sekitar.

Teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mampu menjelaskan alasan perusahaan melakukan pengungkapan sukarela. Salah satu alasannya adalah perusahaan ingin meyakinkan masyarakat bahwa


(27)

kegiatan perusahaan masih berada dalam batas dan norma masyarakat. Ketika terjadi perubahan persepsi sosial (masyarakat) yang merugikan perusahaan tentang bagaimana perusahaan berjalan, maka keinginan perusahaan untuk mengendalikan perubahan tersebut akan menjadi lebih besar (O’Donovan, 2002). Perusahaan yang mencoba untuk mengubah persepsi orang lain cenderung akan melakukan pengungkapan secara sukarela. Sehingga, dengan alasan tersebut perusahaan akan melaporkan secara sukarela informasi yang menjadi perhatian masyarakat, termasuk mengenai risiko perusahaan.

CRD akan memungkinkan masyarakat sekitar perusahaan mengetahui risiko yang harus mereka pikul atas kegiatan atau aktivitas perusahaan. Atas informasi tersebut, masyarakat dapat mengetahui bahwa kegiatan perusahaan masih berada dalam batas dan norma yang diberlakukan.

4. Signalling Theory

Signalling theory menjelaskan tentang pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi berbagai pihak di luar manajemen perusahaan. Informasi merupakan unsur yang penting bagi investor. Informasi mampu memberikan gambaran kepada investor mengenai kondisi masa lalu maupun masa depan. Informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu mampu membantu investor dalam mempertimbangkan keputusan yang akan diambil.


(28)

Berdasarkan teori signal, manajer melakukan pengungkapan informasi yang memadai untuk menyampaikan signal tertentu kepada para pengguna informasi (Elzahar dan Hussainey, 2012). Ketika informasi telah diungkapkan (diumumkan), informasi tersebut akan diinterpretasikan dan dianalisis oleh para pengguna informasi. Tujuan dari interpretasi tersebut adalah untuk mengetahui apakah informasi mengandung signal yang baik atau buruk bagi investor. Jika informasi mengandung signal yang baik bagi investor, maka investor akan tertarik untuk melakukan perdagangan saham.

Laporan tahunan merupakan salah satu jenis informasi yang dapat menjadi signal bagi pihak diluar perusahaan. Terdapat dua jenis informasi yang terdapat dalam laporan tahunan yaitu informasi akuntansi dan informasi non-akuntansi. Salah satu contoh informasi non-akuntansi adalah informasi mengenai risiko perusahaan. Informasi mengenai risiko perusahaan akan memberikan signal kepada pihak diluar perusahaan, khususnya investor terkait dengan risiko yang akan mengancam keberhasilan investasi investor.

5. Corporate Risk Disclosure

Kesulitan yang sering dihadapi dalam penelitian mengenai CRD adalah sulitnya mengidentifikasi CRD yang mensyaratkan peneliti untuk mendefinisikan risiko. Risiko merupakan istilah yang sangat luas. Risiko dapat didefinisikan sebagai ketidakpastian yang berhubungan dengan


(29)

keuntungan maupun kerugian (Solomon et al., 2000). Suatu pengungkapan dinilai sebagai CRD apabila pengungkapan tersebut memberikan informasi mengenai prospek, risiko, bahaya, kerugian, ancaman yang telah atau mungkin dihadapi perusahaan (Erwati et al., 2012).

Pengungkapan risiko yang dilakukan oleh perusahaan dapat membantu investor untuk mengurangi tingkat risiko atas portofolio yang diinvestasikan (Uddin dan Hassan, 2011). CRD dapat mengurangi ketidakpastian investor dan berbagai macam pendapat mengenai penilaian perusahaan. Pengungkapan risiko akan mampu meningkatkan kemampuan stakeholders dalam memahami risiko yang dihadapi oleh perusahaan (Probohudono et al., 2013). Sehingga, stakeholders akan mampu melakukan tindakan preventif dalam mengatasi risiko tersebut.

Praktik pengungkapan risiko yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia sangat bergantung pada karakteristik perusahaan masing-masing. Pengungkapan risiko pada perusahaan perbankan di Indonesia tergolong dalam kategori pengungkapan wajib (mandatory disclosure). Sedangkan pengungkapan risiko pada perusahaan non-perbankan di Indonesia masih tergolong kedalam kategori pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang bersifat wajib dan diatur oleh standar akuntansi dan peraturan badan pengawas yang berlaku. Sedangkan pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan diluar dari apa yang diwajibkan oleh standar


(30)

akuntansi dan peraturan badan pengawas yang berlaku (Erwati et al., 2012).

6. Mekanisme Corporate Governance

Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang ditetapkan untuk memastikan bahwa perusahaan menjalankan akuntabilitas kepada seluruh stakeholders dan melaksanakan tanggungjawab sosial dalam seluruh aktivitas bisnisnya. Adanya mekanisme corporate governance mampu melengkapi pelaksanaan pengungkapan guna mengurangi asimetri informasi dan meningkatkan fungsi stewardship perusahaan (Al-Maghzom et al., 2016). Lebih lanjut lagi, informasi perusahaan khususnya mengenai risiko perusahaan dapat digunakan sebagai mekanisme pengendalian eksternal, dengan mengurangi biaya agensi.

Prinsip corporate governance bertujuan untuk memberikan kemajuan terhadap kinerja perusahaan. Menurut OECD (2015), terdapat 6 prinsip yang mengatur tentang corporate governance. Secara garis besar, prinsip-prinsip tersebut menjelaskan tentang kerangka kerja corporate governance, perlindungan atas hak-hak pemegang saham, perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham, peranan para pemangku kepentingan dalam corporate governance, keterbukaan dan transparansi, serta tanggungjawab dewan komisaris. Prinsip-prinsip corporate governance menurut OECD yang dirilis pada tahun 2015 yaitu: (1) ensuring the basis


(31)

for an effective corporate governance framework, (2) the rights and equitable treatment of shareholders and key ownership functions, (3) institutional investors, stock markets, and other intermediaries, (4) the role od stakeholders in corporate governance, (5) disclosure and transparency, dan (6) the responsibilities of the board.

a. Proporsi Komisaris Independen

Komisaris independen merupakan anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dan telah memenuhi persyaratan sebagai komisaris independen. Persyaratan komisaris independen beberapa diantaranya adalah tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan, dapat bertindak secara independen dan objektif, memiliki integritas dan kompetensi yang memadai, serta bebas dari pengaruh baik yang berhubungan dengan kepentingan pribadi maupun kepentingan pihak lain.

Komisaris independen berperan sebagai pengukur kualitas corporate governance, meminimalkan permasalahan keagenan, serta menurunkan permintaan atas intervensi peraturan dalam pengungkapan perusahaan (Abraham dan Cox, 2007). Adanya komisaris independen di dalam perusahaan diharapkan mampu menciptakan lingkungan perusahaan yang lebih objektif dan independen.


(32)

b. Frekuensi Rapat Komite Audit

Komite audit merupakan sebuah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka untuk membantu melaksanakan tugas dan fungsinya, serta bertanggung jawab langsung kepada dewan komisaris. Rapat komite audit merupakan rapat atau pertemuan koordinasi antara anggota komite audit agar dapat menjalankan tugas secara efektif.

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (2015) tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit, komite audit diwajibkan untuk mengadakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. Rapat komite audit tersebut dapat diselenggarakan apabila dihadiri oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah anggota. Selain itu, keputusan yang diambil dalam rapat komite audit didasarkan pada musyawarah untuk mufakat.

Rapat rutin yang dilakukan oleh komite audit memiliki dampak yang fundamental terhadap keefektifan peran komite audit di dalam perusahaan. Rapat rutin komite audit dapat mengarahkan perusahaan pada kepatuhan terhadap tanggungjawab dan pemantauan terhadap pelaporan keuangan. Dengan demikian, rapat komite audit dapat meningkatkan level pengawasan proses dan aktivitas manajemen risiko perusahaan (Ruwita dan Harto, 2013).


(33)

c. Kepemilikan Institusional

Teori agensi menjelaskan bahwa struktur kepemilikan dapat mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela (Eng dan Mak, 2003). Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme yang mensejajarkan kepentingan pemegang saham dan manajer. Ketika terjadi pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan, maka biaya agensi akan berpotensi muncul karena adanya konflik kepentingan antara pihak manajemen dengan pemegang saham (Akhtaruddin dan Rouf, 2012). Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh investor institusi. Investor institusi dapat berupa pemerintah, bank, perusahaan investasi, ataupun perusahaan lainnya. Adanya kepemilikan saham oleh institusi akan mendorong pengawasan yang lebih efektif dan efisien terhadap kinerja perusahaan. Teori agensi menjelaskan bahwa pemegang saham institusi memiliki dorongan yang lebih untuk memantau pengungkapan perusahaan secara lebih dekat (Abraham dan Cox, 2007; Elzahar dan Hussainey, 2012). Dengan kata lain, kepemilikan saham institusional dengan jumlah yang tinggi akan menyebabkan pengawasan terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan semakin ketat. Sehingga, pihak manajemen perusahaan dituntut untuk melakukan pengungkapan yang lebih, termasuk salah satunya adalah CRD, untuk memenuhi kebutuhan informasi dari investor institusi.


(34)

7. Budaya Perusahaan

Budaya merupakan sekumpulan nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh individu dalam menjalankan tugas dan kewajiban di dalam perusahaan. Budaya perusahaan merupakan konsep dari pola pikir yang direfleksikan dan diperkuat oleh perilaku setiap anggota perusahaan. Adanya budaya perusahaan mampu membuat karyawan mengetahui apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara melakukannya sehingga karyawan lebih yakin dalam melakukan sesuatu. Budaya organisasi dalam perusahaan sangat bersifat persuasif dan mempengaruhi hampir keseluruhan aspek kegiatan perusahaan.

Budaya perusahaan dapat mempengaruhi perilaku manajemen dalam melakukan tindakan. Hal ini dikarenakan budaya perusahaan bertindak sebagai dasar hubungan antara agent dengan principal. Cameron dan Quinn (1999) membagi budaya perusahaan menjadi empat kelompok, yaitu budaya clan, budaya adhocracy, budaya market, dan budaya hierarchy.

a. Budaya Clan

Budaya clan merupakan tipe budaya organisasi yang berfokus pada internal perusahaan, terutama kepada karyawan dan selalu berusaha untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang dimilikinya (Fiordelisi dan Ricci, 2014). Budaya clan lebih mengarah pada entitas keluarga dari pada entitas ekonomi. Budaya clan dicirikan dengan kerja tim, pengembangan karyawan, dan


(35)

komitmen perusahaan terhadap karyawan (Cameron dan Quinn, 2005). Asumsi dasar budaya clan adalah bahwa lingkungan dapat dikelola dengan baik melalui kerjasama tim dan pengembangan karyawan dan tugas manajemen adalah untuk memberikan kuasa kepada karyawan dan memfasilitasi partisipasi, komitmen, dan loyalitas karyawan. Pengambilan keputusan perusahaan akan dilakukan melalui diskusi dengan melibatkan semua pihak dalam organisasi (Wijayani dan Hermawan, 2015).

Perusahaan dengan budaya clan yang tinggi akan lebih menekankan pada manfaat jangka panjang dari pengembangan sumber daya manusia. Tingkat efektivitas pada budaya clan dinilai dengan kepaduan, kepuasan dan moral karyawan yang tinggi, pengembangan sumber daya manusia, serta kerja tim. Karyawan yang puas dan memiliki komitmen tinggi akan mampu menciptakan efektivitas yang tinggi pula. Tipe budaya clan pada sektor keuangan, asuransi, dan real estate akan lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain seperti manufaktur, pertambangan, konstruksi, dan pertanian.

b. Budaya Adhocracy

Kata adhocracy berasal dari kata ad hoc yang berarti menerapkan sesuatu dengan sementara, khusus, dan dinamis (Cameron dan Quinn, 2005). Budaya adhocracy berfokus pada penciptaan kesempatan pasar di masa depan, perluasan lini produk yang inovatif,


(36)

dan pengembangan teknologi baru (Fiordelisi dan Ricci, 2014). Tujuan utama budaya adhocracy adalah untuk mengembangkan kemampuan menyesuaikan, fleksibilitas, dan kreativitas ketika ketidakpastian, ketidakjelasan, dan informasi yang berlebih terjadi pada perusahaan. Budaya adhocracy ini mendorong setiap individu didalam perusahaan untuk bersifat risk-taking dan memaksimalkan kreativitas.

Budaya adhocracy acapkali ditemukan pada industri penerbangan, pengembangan software, konsultan, dan pembuatan film. Hal ini dikarenakan tantangan terpenting dalam industri tersebut adalah bagaimana menciptakan produk dan jasa yang inovatif dan mampu beradaptasi secara cepat dengan kesempatan yang muncul. Setiap pekerjaan (project) pada budaya dicirikan sebagai suatu pekerjaan yang independen dan tidak berhubungan dengan pekerjaan lain. Sebagai contoh adalah jasa konsultan. Jasa konsultan yang diberikan oleh perusahaan kepada masing-masing pelanggan akan berbeda-beda, tergantung pada jasa apa yang mereka butuhkan.

Budaya tipe adhocracy akan mengurangi bahkan menghilangkan biaya-biaya yang tidak mendukung penciptaan produk yang inovatif. Sehingga, perusahaan dengan budaya adhocracy yang tinggi akan cenderung memiliki tingkat pengungkapan sukarela yang rendah.


(37)

c. Budaya Market

Budaya market merupakan tipe budaya organisasi yang berorientasi pada lingkungan eksternal perusahaan. Budaya ini berfokus pada transaksi dengan para pihak eksternal perusahaan, seperti pemasok, pelanggan, badan pengatur, dan lain-lain (Cameron dan Quinn, 2005). Tujuan utama budaya market adalah menciptakan keunggulan bersaing perusahaan melalui transaksi yang melibatkan pihak eksternal perusahaan. Daya saing dan produktivitas merupakan nilai utama (core value) dari perusahaan dengan budaya market. Asumsi dasar budaya market adalah bahwa lingkungan eksternal perusahaan tidaklah ramah akan tetapi bermusuhan dengan perusahaan, perusahaan dalam bisnisnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing, dan tugas utama manajemen adalah untuk membawa perusahaan kepada produktivitas yang akan menghasilkan keuntungan.

Keunggulan bersaing dan produktivitas perusahaan dapat dicapai melalui pengendalian dan positioning perusahaan yang kuat dalam lingkungan eksternal perusahaan. Keberhasilan perusahaan dinilai dengan penetrasi pasar dan harga saham. Agar dapat mencapai keberhasilan, perusahaan diharuskan untuk selalu memberikan kepuasan kepada para pelanggan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan pengungkapan yang lebih luas. Pengungkapan yang lebih luas akan mendorong terciptanya kepuasan


(38)

pasar sehingga penetrasi pasar dan harga saham akan meningkat. Penetrasi pasar dan harga saham yang tinggi mampu menunjukkan bahwa perusahaan telah menjadi pemimpin pasar (market leader).

d. Budaya Hierarchy

Budaya hierarchy merupakan tipe budaya organisasi yang berfokus pada internal dan pengendalian perusahaan. Perusahaan dengan budaya hierarchy yang tinggi akan mengimplementasikan kebijakannya dengan aturan dan prosedur yang ketat (Wijayani dan Hermawan, 2015). Kunci sukses dalam budaya hierarchy adalah kejelasan wewenang dalam pengambilan keputusan, standarisasi prosedur dan peraturan, dan mekanisme pengendalian serta akuntabilitas (Cameron dan Quinn, 2005).

Perusahaan dengan tipe budaya hierarchy akan selalu mengedepankan efektivitas perusahaan. Kriteria efektivitas perusahaan dicirikan dengan efisiensi, ketepatwaktuan, dan lancarnya fungsi perusahaan. Elemen strategi dalam budaya hierarchy adalah pendeteksian kesalahan, peningkatan pengukuran, pengendalian proses, dan pemecahan masalah yang sistematik. Dalam membangun budaya hierarchy dibutuhkan spesialis administrasi yang berfokus pada penciptaan infrastruktur yang efisien.


(39)

8. Firm Value

Salah satu tujuan pendirian perusahaan adalah untuk memaksimalkan firm value. Firm value merupakan harga jual perusahaan di pasar modal (Aida dan Rahmawati, 2015). Firm value yang tinggi merupakan keinginan setiap pemilik perusahaan. Hal ini disebabkan karena firm value yang tinggi menunjukkan tingkat kemakmuran pemegang saham yang tinggi. Kemakmuran pemegang saham dapat meningkat apabila harga saham di pasar mengalami peningkatan. Dengan kata lain, firm value yang tinggi dapat ditunjukkan oleh harga saham perusahaan yang tinggi.

Nilai suatu perusahaan dapat mencerminkan kinerja perusahaan tersebut. Firm value yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kinerja yang baik. Sehingga, para investor cenderung lebih tertarik menanamkan modalnya pada perusahaan dengan firm value yang tinggi (Putri dan Suprasto, 2016).

9. Market Value

Market value adalah keseluruhan nilai saham perusahaan. Market value merupakan persepsi pasar yang berasal dari stakeholders atas kondisi perusahaan. Semakin baik persepsi pasar, maka semakin baik pula market value perusahaan. Market value perusahaan dapat dipengaruhi oleh nilai buku perusahaan, laba, kondisi ekonomi, serta spekulasi dan


(40)

kepercayaan diri terhadap kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai (Pramelasari, 2010).

Market value dapat digunakan sebagai proksi dalam mengukur kinerja dan prospek pertumbuhan perusahaan. Penelitian Nahar et al. (2016) menggunakan market value sebagai indikator kinerja pasar perusahaan. Perusahaan dengan market value yang tinggi menunjukkan bahwa kinerja pasar perusahaan tersebut baik. Disisi lain, market value yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik (Evana, 2009).

B. Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesis

1. Proporsi Komisaris Independen dan Corporate Risk Disclosure.

Dewan komisaris memegang peranan penting dalam pelaksanaan good corporate governance. Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin strategi perusahaan, mengawasi manajer, serta memastikan terlaksananya akuntabilitas perusahaan (Purwaningtyas, 2011). Komisaris independen merupakan anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dan telah memenuhi persyaratan sebagai komisaris independen. Probohudono et al. (2013) dan Abraham dan Cox (2007) menyatakan bahwa komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap CRD. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian Suhardjanto


(41)

et al. (2012) serta Dominguez dan Gamez (2014) yang menyatakan bahwa proporsi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap CRD.

Keefektifan pengawasan peran dewan komisaris didukung oleh keberadaan komisaris independen dalam proporsi dewan komisaris. Adanya komisaris independen dapat meningkatkan keefektifan pengendalian, sehingga dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan pengungkapan informasi perusahaan. Komisaris independen mewakili kepentingan pemegang saham minoritas untuk mendapatkan informasi tentang perusahaan secara cukup dan memadai. Sehingga, semakin tinggi proporsi komisaris independen diharapkan dapat mendorong praktik pengungkapan sukarela (pengungkapan risiko) yang lebih luas. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis: H1: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap

Corporate Risk Disclosure.

2. Frekuensi Rapat Komite Audit dan Corporate Risk Disclosure.

Tanggungjawab komite audit dalam pelaksanaan corporate governance adalah memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, menjalankan usaha dengan beretika, dan melakukan pengawasan secara efektif terhadap berbagai benturan kepentingan (FCGI, 2002). Komite audit merupakan sebuah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka untuk membantu melaksanakan tugas dan fungsinya, serta bertanggung jawab


(42)

langsung kepada dewan komisaris. Penelitian Al-Maghzom et al. (2016) menemukan bukti bahwa jumlah rapat komite audit berpengaruh positif terhadap CRD. Berbeda dengan Ruwita dan Harto (2013) yang menyatakan bahwa jumlah rapat komite audit berpengaruh negatif terhadap CRD. Hasil dua penelitian diatas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto et al. (2012) yang menemukan bukti bahwa jumlah rapat komite audit tidak berpengaruh terhadap CRD.

Rapat yang dilakukan oleh komite audit dapat mendorong terciptanya kepatuhan dalam pelaporan keuangan. Sehingga, adanya rapat komite audit dapat meningkatkan level pengawasan proses dan aktivitas manajemen risiko perusahaan (Ruwita dan Harto, 2013). Dengan kata lain, ketika rapat yang dilakukan oleh komite audit semakin banyak, maka kepatuhan perusahaan untuk melakukan pengungkapan risiko semakin meningkat. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis: H2: Frekuensi rapat komite audit berpengaruh positif terhadap

Corporate Risk Disclosure.

3. Kepemilikan Institusional dan Corporate Risk Disclosure.

Kepemilikan institusional merupakan bagian dari mekanisme corporate governance perusahaan. Teori agensi menjelaskan bahwa struktur kepemilikan dapat mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan (Eng dan Mak, 2003). Anggani et al. (2016) menguji pengaruh kepemilikan institusional terhadap


(43)

pengungkapan sukarela perusahaan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. Sedangkan hasil penelitian Ntim et al. (2013) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap CRD. Hasil kedua penelitian tersebut berbeda dengan penelitian Elzahar dan Hussainey (2012) yang menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap CRD.

Kepemilikan saham oleh institusi akan mendorong pengawasan yang lebih efektif dan efisien terhadap kinerja perusahaan. Dengan kata lain, kepemilikan saham institusional dengan jumlah yang tinggi akan menyebabkan pengawasan terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan semakin ketat. Pengawasan yang tinggi dari pihak luar terhadap manajemen akan menuntut perusahaan untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas. Hal ini dikarenakan laporan keuangan merupakan sumber informasi penting bagi investor institusi dalam membuat perencanaan dan evaluasi investasi. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis:

H3: Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap Corporate Risk Disclosure.

4. Pengaruh Budaya Clan terhadap Corporate Risk Disclosure.

Nilai budaya yang diadopsi oleh suatu perusahaan dapat mempengaruhi praktik pengungkapan perusahaan. Penelitian Jaggi dan


(44)

Low (2000) menunjukkan bahwa nilai budaya berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan. Budaya clan merupakan tipe budaya organisasi yang berfokus pada internal perusahaan, terutama kepada karyawan dan selalu berusaha untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang dimilikinya (Fiordelisi dan Ricci, 2014). ElKelish dan Hassan (2014) menyatakan bahwa budaya clan tidak berpengaruh CRD.

Budaya clan dicirikan dengan kerja tim, pengembangan karyawan, dan komitmen perusahaan terhadap karyawan (Cameron dan Quinn, 2005). Perusahaan dengan budaya clan akan lebih mengedepankan kepentingan karyawan dibandingkan dengan kepentingan pihak eksternal perusahaan.

Budaya clan hampir sama dengan tipe organisasi yang dimiliki oleh keluarga yang bercirikan kewenangan yang terpusat, tingkat formalitas yang rendah, dan memiliki tingkat toleransi yang lebih terhadap ambiguitas struktur dan prosedur. Rendahnya tingkat formalitas dan ambiguitas prosedur yang tinggi dapat menjadi kendala dalam pengungkapan informasi, termasuk informasi mengenai risiko perusahaan. Dengan kata lain, ketika budaya clan di suatu perusahaan tersebut tinggi, maka kemampuan perusahaan dalam melakukan CRD akan menjadi rendah. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis: H4: Budaya clan berpengaruh negatif terhadap Corporate Risk


(45)

5. Pengaruh Budaya Achocracy terhadap Corporate Risk Disclosure. Budaya perusahaan dapat mempengaruhi tindakan manajemen dalam melakukan pengendalian dan pengungkapan informasi. Perusahaan dengan budaya adhocracy berfokus pada penciptaan kesempatan pasar di masa depan, perluasan lini produk yang inovatif, dan pengembangan teknologi baru (Fiordelisi dan Ricci, 2014). ElKelish dan Hassan (2014) menyatakan bahwa budaya adhocracy tidak berpengaruh terhadap CRD.

Budaya adhocracy mendorong setiap individu dalam perusahaan untuk bersifat risk-taking dan memaksimalkan kreativitas (Cameron dan Quinn, 2005). Budaya adhocracy diharapkan memiliki tingkat pengungkapan risiko yang rendah. Karena budaya ini berfokus pada faktor eksternal, maka perusahaan akan memperkecil pengungkapan risikonya guna mengurangi biaya yang mungkin muncul. Sehingga perusahaan dapat tetap menjadi penyedia utama lini produk yang inovatif. Dengan demikian, ketika budaya adhocracy perusahaan tinggi, maka tingkat CRD yang dilakukan akan semakin rendah. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis:

H5: Budaya adhocracy berpengaruh negatif terhadap Corporate Risk Disclosure.

6. Pengaruh Budaya Market terhadap Corporate Risk Disclosure.

Budaya perusahaan merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi praktik pengungkapan perusahaan, tidak terkecuali dalam


(46)

hal pengungkapan risiko. Perusahaan dengan budaya market akan berorientasi pada hasil, dengan lebih menekankan pada lingkungan eksternal dan pengendalian dimana pengendalian ini berfokus pada kompetisi antar individu (Cameron dan Quinn, 2005). ElKelish dan Hassan (2014) menyatakan bahwa budaya market tidak berpengaruh terhadap CRD.

Target perusahaan dengan budaya market adalah peningkatan daya saing, pencapaian tujuan, dan menjadi pemimpin pasar (Cameron dan Quinn, 2005). Dengan budaya market ini, perusahaan diharapkan mampu mengungkapkan informasi yang lebih luas guna menjaga kepemimpinan pasar melalui tingkat kepuasan pihak eksternal yang tinggi. Dengan kata lain, agar dapat memberikan kepuasan kepada pihak eksternal perusahaan, maka perusahaan akan melakukan pengungkapan informasi yang lebih kepada para pengguna laporan tahunan. Ketika budaya market perusahaan tinggi, maka keinginan perusahaan untuk melakukan CRD akan tinggi pula. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis:

H6: Budaya market berpengaruh positif terhadap Corporate Risk Disclosure.

7. Pengaruh Budaya Hierarchy terhadap Corporate Risk Disclosure. Budaya perusahaan dapat mempengaruhi tindakan manajemen dalam melakukan pengendalian dan pengungkapan informasi. Perusahaan dengan budaya hierarchy berfokus pada internal dan pengendalian


(47)

perusahaan. Sehingga, perusahaan akan mengimplementasikan kebijakannya dengan aturan dan prosedur yang ketat (Wijayani dan Hermawan, 2015). ElKelish dan Hassan (2014) menyatakan bahwa budaya hierarchy berpengaruh positif terhadap CRD.

Perusahaan dengan tipe budaya hierarchy akan memiliki pengungkapan risiko yang lebih luas demi menjaga efisiensi dan kelancaran operasional perusahaan. Sedangkan bagi manajer, pengungkapan risiko yang lebih luas berguna untuk penekanan kejelasan peran dan peraturan. Dengan kata lain, ketika budaya hierarchy perusahaan tinggi, maka akan semakin tinggi pula tingkat CRD yang dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis:

H7: Budaya hierarchy berpengaruh positif terhadap Corporate Risk Disclosure.

8. Dampak Corporate Risk Disclosure terhadap Firm Value.

Hipotesis Pasar Efisien secara umum menyebutkan bahwa nilai perusahaan seharusnya mampu mencerminkan seluruh informasi yang tersedia untuk dilaporkan kepada publik (Ohlson, 1995). Alasan perusahaan melakukan pengungkapan informasi secara sukarela adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri stakeholders dan investor potensial pada kinerja dan prospek perusahaan (Core, 2001).


(48)

Penelitian Abdullah et al. (2015) Al-Akra dan Ali (2012), Anam et al. (2011) menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela berpengaruh positif terhadap firm value. Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian Hassan et al. (2009) yang menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela berpengaruh negatif terhadap firm value. Sedangkan hasil penelitian Bokpin (2013) dan Wang et al. (2013) menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela tidak berpengaruh secara signifikan terhadap firm value.

CRD merupakan salah satu jenis pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan. Bagi perusahaan, CRD akan memudahkan perusahaan dalam mengenali, memantau, dan melakukan tindakan preventif yang tepat dalam mengatasi risiko yang dihadapi perusahaan. Adanya proses manajemen risiko yang baik akan mampu mengurangi tingkat ketidakpastian bisnis perusahaan. Sehingga, perusahaan dapat terhindar dari potensi kerugian dan kinerja perusahaan dapat lebih maksimal. Kinerja perusahaan yang maksimal akan mampu menciptakan firm value yang tinggi. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis:

H8: Corporate Risk Disclosure berdampak positif terhadap firm value.

9. Dampak Corporate Risk Disclosure terhadap Market Value.

Market value merupakan indikator kinerja pasar perusahaan. Perusahaan dengan kinerja pasar yang tinggi dapat tercermin dari market


(49)

value yang tinggi. Salah satu hal yang mampu mempengaruhi kinerja pasar perusahaan adalah pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.

Studi empiris mengenai hubungan pengungkapan dengan market value menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian Anam et al. (2011), Nekhili et al. (2012), Garay et al. (2013) menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan berpengaruh positif terhadap market value perusahaan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan harga saham yang mengalami kenaikan. Disisi lain, penelitian Jones (2007) menemukan bukti bahwa terdapat hubungan yang negatif antara laba abnormal tahun sebelumnya dengan pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan dengan market-to-book ratio yang rendah cenderung melakukan pengungkapan informasi yang lebih luas.

CRD memberikan informasi kepada investor tentang risiko yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga tingkat asimetri informasi antara investor dengan perusahaan dapat berkurang. CRD yang dilakukan oleh perusahaan akan memberikan kesempatan kepada investor untuk melakukan tindakan preventif dalam mengamankan investasi investor. Sehingga, rasa percaya diri investor pada investasinya semakin tinggi. Pada saat itu, kepercayaan diri investor akan mempengaruhi harga saham perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diturunkan hipotesis: H9: Corporate Risk Disclosure berdampak positif terhadap market


(50)

C. Model Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Model Penelitian 1

Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Budaya Perusahaan terhadap Corporate Risk Disclosure

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Model Penelitian 2

Dampak Corporate Risk Disclosure terhadap Firm Value Proporsi Komisaris

Independen Frekuensi Rapat Komite

Audit Kepemilikan

Institusional Budaya Clan Budaya Adhocracy

Budaya Market Budaya Hierarchy

Corporate Risk Disclosure (CRD)

H1 (+)

H2 (+)

H3 (+)

H4 (-)

H5 (-)

H6 (+)

H7 (+)

Corporate Risk

Disclosure (CRD) H8 (+)


(51)

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Model Penelitian 3

Dampak Corporate Risk Disclosure terhadap Market Value Market Value

H9 (+)

Corporate Risk Disclosure (CRD)


(52)

40

A. Obyek/ Subyek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yaitu sebanyak 435 emiten. Periode penelitian adalah tahun 2015. Hal ini dimaksudkan agar periode penelitian menggunakan data yang paling update. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 perusahaan non-keuangan terbesar dilihat dari total aset perusahaan yang terdaftar di BEI.

B. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan teknik pengambilan data historis. Data sekunder yang digunakan dari penelitian ini diambil dari laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan non-keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2015. Selain itu, data pasar perusahaan diperoleh dari website www.finance.yahoo.com.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan kriteria tertentu. Adapun kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

a. Perusahaan non-keuangan yang menerbitkan laporan tahunan dan laporan keuangan tahun 2015.


(53)

b. Perusahaan yang memiliki data-data lengkap yang terkait dengan variabel penelitian.

c. 100 perusahaan non-keuangan terbesar dilihat dari total aset perusahaan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan melalui penelusuran data sekunder dengan menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data dokumenter seperti laporan tahunan dan laporan keuangan perusahaan.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel Dependen

Penelitian ini menggunakan tiga variabel dependen yaitu corporate risk disclosure (CRD), firm value, dan market value. Variabel dependen CRD digunakan pada model penelitian pertama. Variabel dependen firm value digunakan pada model penelitian kedua. Sedangkan variabel dependen market value digunakan pada model penelitian ketiga.

a. Corporate Risk Disclosure (CRD)

Corporate risk discclosure merupakan pemberian informasi kepada stakeholders melalui laporan tahunan mengenai potensi maupun hambatan yang dihadapi oleh perusahaan (Linsley dan Shrives, 2006). Dalam mengukur CRD, penelitian ini menggunakan metode indeks yang terdapat dalam penelitian Uddin dan Hassan


(54)

(2011). Dalam indeks tersebut, terdapat 45 item pengungkapan risiko yang dikategorikan menjadi 7 kelompok yakni general risk information, accounting policies, financial instruments, derivatives hedging, reserves, segment information, dan financial and other risks. Nilai 1 akan diberikan kepada setiap item yang diungkapkan dalam laporan tahunan dan nilai 0 akan diberikan jika informasi tersebut tidak diungkapkan. Untuk menghitung indeks CRD digunakan rumus:

b. Firm Value (FIVA)

Firm value merupakan harga jual perusahaan di pasar modal. Pada penelitian ini, firm value diukur dengan menggunakan nilai TOBQ (Nahar et al., 2016). Nilai firm value dihitung dengan menggunakan rumus:

c. Market Value (MAVA)

Market value merupakan persepsi pasar yang berasal dari stakeholders atas kondisi perusahaan. Kinerja pasar perusahaan dapat tercermin dalam market value perusahaan. Pada penelitian ini, market


(55)

value diukur dengan menggunakan nilai market capitalization (Law, 2010).

2. Variabel Independen

a. Corporate Risk Disclosure (CRD)

CRD selain menjadi variabel dependen dalam model penelitian pertama, juga menjadi variabel independen dalam model penelitian kedua dan ketiga. Model penelitian kedua dan ketiga menggunakan CRD sebagai variabel independen untuk mengetahui dampak CRD terhadap firm value dan market value. CRD merupakan kontribusi yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengkomunikasikan informasi mengenai risiko yang telah maupun yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan.

Penelitian ini mengukur tingkat CRD perusahaan dengan menggunakan metode indeks yang terdapat dalam penelitian Uddin dan Hassan (2011). Nilai 1 akan diberikan kepada setiap item yang diungkapkan dalam laporan tahunan dan nilai 0 akan diberikan jika informasi tersebut tidak diungkapkan. Untuk menghitung indeks CRD digunakan rumus:


(56)

b. Proporsi Komisaris Independen (INDP)

Komisaris independen merupakan anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dan telah memenuhi persyaratan sebagai komisaris independen. Komisaris independen diukur dengan persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan (Suhardjanto et al., 2012). Proporsi komisaris independen diukur menggunakan rumus:

c. Frekuensi Rapat Komite Audit (FRKA)

Frekuensi rapat komite audit mengacu pada jumlah rapat yang dilakukan oleh komite audit selama satu tahun (Suhardjanto et al., 2012; Al-Maghzom et al., 2016). Pada penelitian ini, frekuensi rapat komite audit diukur dengan jumlah rapat komite audit pada tahun 2015.

d. Kepemilikan Institusional (INST)

Kepemilikan institusional mengacu pada kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh investor institusi. Kepemilikan institusional diukur dengan persentase kepemilikan saham oleh


(57)

institusi (Elzahar dan Hussainey, 2012; Ntim et al., 2013). Kepemilikan institusional diukur dengan rumus:

e. Budaya Clan (CLAN)

Budaya clan berfokus pada internal perusahaan, terutama kepada karyawan dan selalu berusaha untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang dimilikinya (Fiordelisi dan Ricci, 2014). Budaya clan menempatkan prioritas pada manfaat jangka panjang dari pengembangan sumber daya manusia. Sehingga, total kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan sebagai persentase dari beban operasi dapat merepresentasikan proksi dari budaya clan (ElKelish dan Hassan, 2014). Budaya clan dihitung dengan rumus:

f. Budaya Adhocracy (ADHO)

Budaya adhocracy dicirikan dengan risk-taking untuk mencapai target yang telah ditentukan. Sehingga, fluktuasi pada laba operasi akan mampu merefleksikan bagaimana manajemen lebih mungkin menerima risiko dari perubahan dalam indikator keuangan (ElKelish dan Hassan, 2014). Budaya adhocracy dihitung dengan rumus:


(58)

g. Budaya Market (MRKT)

Budaya market memiliki orientasi kedepan dalam mencapai return on asset, produktivitas, dan profitabilitas. Sehingga, return on investment (ROI) dapat digunakan sebagai indikator keuangan yang dapat digunakan sebagai proksi untuk mengukur variabel budaya market (ElKelish dan Hassan, 2014).

h. Budaya Hierarchy (HIRC)

Budaya hierarchy dicirikan dengan kejelasan wewenang dalam pengambilan keputusan, standarisasi prosedur dan peraturan, dan mekanisme pengendalian serta akuntabilitas yang tinggi (Cameron dan Quinn, 2005). Perusahaan dengan biaya transaksi yang tinggi akan mencoba untuk menggunakan sumber daya mereka sesuai dengan struktur hierarki untuk mengendalikan biaya tersebut. Dengan demikian, proporsi total biaya transaksi terhadap laba bersih dapat digunakan untuk mengukur budaya hierarchy perusahaan (ElKelish dan Hassan, 2014). Sehingga, budaya hierarchy dapat diukur dengan rumus:


(59)

F. Uji Hipotesis dan Analisis Data

Metode analisis data merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Pada penelitian ini, metode pengujian yang digunakan diantaranya yaitu analisis statistik deskriptif, uji asumsi klasik, uji regresi serta uji hipotesis.

1. Analisis Statistik deskriptif

Nazaruddin dan Basuki (2016) menjelaskan bahwa analisis statistik deskriptif mampu memberikan gambaran suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), jumlah (sum), standar deviasi (std deviation), varian (variance), jarak (range), minimum (minimum), maksimum (maximum), kurtosis dan swekness (kemencengan distribusi). Analisis statistik deskriptif biasanya digunakan untuk menggambarkan gambaran mengenai data sampel sebelum melakukan pengujian hipotesis.

2. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas

Uji Normalitas digunakan untuk memastikan bahwa residual dalam model regresi memiliki distribusi normal (Darma dan Basuki, 2015). Normalitas suatu residual dapat dideteksi dengan menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogrov Smirnov dengan asumsi dasar sebagai berikut:

1) Jika Asymp Sig 2 tailed > tingkat signifikansi (α = 0,05), maka dapat dikatakan bahwa residual berdistribusi normal.


(60)

2) Jika Asymp Sig 2 tailed < tingkat signifikansi (α = 0,05), maka dapat dikatakan bahwa residual tidak berdistribusi normal.

b. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah terjadi korelasi antara residual suatu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi (Darma dan Basuki, 2015). Data penelitian yang baik adalah data yang tidak terkena autokorelasi. Metode pengujian yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi adalah dengan uji Durbin-Watson dengan ketentuan:

1) Jika dW < dL atau dW > 4-dL, maka terdapat autokorelasi.

2) Jika dW terletak diantara dU dan 4-dU, maka tidak terdapat autokorelasi.

3) Jika dW terletak diantara dL dan dU atau diantara 4-dU dan 4-dL, maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.

c. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah terjadi korelasi antar variabel independen (Nazaruddin dan Basuki, 2016). Data penelitian yang baik adalah data yang tidak terkena multikolinearitas. Metode pengujian yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya multikolinearitas adalah dengan melihat nilai Variance Inflation Factors (VIF). Jika nilai VIF < 10, maka tidak


(1)

22 perusahaan akan lebih luas dan dapat mengurangi konflik kepentingan diantara para pemangku kepentingan, baik internal perusahaan maupun eksternal perusahaan.

8. Corporate Risk Disclosure dan Firm Value

Hasil pengujian hipotesis kedelapan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa corporate risk disclosure berpengaruh positif secara signifikan terhadap firm value. Sehingga, hipotesis yang menyatakan bahwa corporate risk disclosure berdampak positif terhadap firm value diterima. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdullah et al. (2015), Al-Akra dan Ali (2012), dan Anam et al. (2011) yang menyatakan bahwa pengungkapan sukarela berpengaruh positif terhadap firm value. Selanjutnya, hasil penelitian Nahar et al. (2016) menunjukkan bahwa corporate risk disclosure berpengaruh positif terhadap kinerja akuntansi perusahaan. Corporate risk disclosure berpengaruh positif secara signifikan terhadap firm value. Salah satu alasannya yaitu corporate risk disclosure memudahkan perusahaan dalam mengenali, memantau, dan melakukan tindakan preventif yang tepat dalam mengatasi risiko perusahaan. Adanya proses manajemen risiko yang baik mampu mengurangi ketidakpastian bisnis perusahaan dimasa mendatang. Sehingga, perusahaan mampu terhindar dari potensi kerugian.

9. Corporate Risk Disclosure dan Market Value

Hasil pengujian hipotesis kesembilan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa corporate risk disclosure berpengaruh positif secara signifikan terhadap market value. Sehingga, hipotesis yang menyatakan bahwa corporate risk disclosure berdampak positif terhadap market value diterima. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Anam et al. (2011), Nekhili et al. (2012), dan Garay et al. (2013) yang menyatakan bahwa pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan berpengaruh positif terhadap market value perusahaan. Selanjutnya, hasil penelitian Nahar et al. (2016) menunjukkan bahwa corporate risk disclosure berpengaruh positif terhadap kinerja pasar perusahaan. Corporate risk disclosure berpengaruh positif secara signifikan terhadap market value. Salah satu alasannya yaitu corporate risk disclosure mampu mengurangi tingkat asimetri informasi antara perusahaan dengan investor. Corporate risk disclosure


(2)

23 akan memberikan kesempatan kepada investor untuk melakukan tindakan preventif dalam mengamankan investasi investor. Kepercayaan diri investor terhadap investasi yang dilakukan akan mempengaruhi harga saham perusahaan.

V SIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis dengan menggunakan bantuan program SPSS Statistic 15.0, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Proporsi komisaris independen tidak berpengaruh positif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

2. Frekuensi rapat komite audit tidak berpengaruh positif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

3. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh positif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

4. Budaya clan tidak berpengaruh negatif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

5. Budaya adhocracy tidak berpengaruh negatif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

6. Budaya market berpengaruh positif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

7. Budaya hierarchy berpengaruh positif secara signifikan terhadap corporate risk disclosure.

8. Corporate risk disclosure berdampak positif terhadap firm value. 9. Corporate risk disclosure berdampak positif terhadap market value.

Saran yang dapat diberikan peneliti kepada perusahaan dan peneliti selanjutnya yaitu:

1. Bagi Perusahaan

a. Meningkatkan transparansi informasi terutama mengenai risiko yang dihadapi perusahaan melalui corporate risk disclosure dalam laporan tahunan.


(3)

24 b. Meningkatkan keefektifan pengawasan yang dilakukan oleh komisaris

independen dan komite audit. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi corporate risk disclosure mengingat pada penelitian ini (model penelitian 1) nilai Adjusted R Square hanya sebesar 16,7%.

b. Memperluas objek penelitian. Objek penelitian dapat diperluas tidak hanya pada 100 perusahaan non-keuangan terbesar akan tetapi juga dapat meneliti seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

c. Menambah periode penelitian.

d. Menggunakan indeks corporate risk disclosure yang lebih sesuai dengan karakteristik perusahaan di Indonesia.

e. Menambah variabel-variabel yang memiliki pengaruh terhadap corporate risk disclosure, seperti kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, dan umur perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M., Shukor, Z. A., Mohamed, Z. M., dan Ahmad, A., 2015, “Risk Management Disclosures: A Study on the Effect of Voluntary Risk Management Disclosures toward Firm Value”, Journal of Applied Accounting Research, Vol. 16 (3), hal. 400-432.

Abraham, S., dan Cox, P., 2007, “Analysing the Determinants of Narrative Risk

Information in UK FTSE 100 Annual Reports”, The British Accounting Review,

Vol. 39, hal. 227-248.

Al-Akra, M., dan Ali, M. J., 2012, “The Value Relevance of Corporate Voluntary Disclosures in the Middle-East: The Case of Jordan”, Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 31, hal. 533-549.

Al-Maghzom, A., Hussainey, K., dan Aly, D., 2016, “Corporate Governance and Risk Disclosures: Evidence from Saudi Arabia”, Corporate Ownership and Control Journal, Vol. 13 (2), hal. 145-166.

Anam, O. A., Fatima, A. H., dan Majdi, A. R. H, 2011, “Effects of Intellectual Capital Information Disclosed in Annual Reports on Market Capitalization: Evidence from Bursa Malaysia”, Journal of Human Resource Costing and Accounting, Vol. 15 (2), hal. 85-101.


(4)

25 Anggani, P. A. R., Suartana, I. W., dan Putri, I. G. A. M. A. D., 2016, “Pengaruh Reputasi Auditor dan Jenis Kepemilikan Perusahaan pada Voluntary Disclosure Laporan Tahunan Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia”, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Vol. 5 (6), hal. 1543-1568.

Bank Indonesia, No. 14/14/PBI/2012, Transparansi dan Publikasi Laporan Bank.

Bapepam LK, No. Kep-431/BL/2012, Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.

Bokpin, G. A., 2013, “Determinants and Value Relevance of Corporate Disclosures: Evidence from the Emerging Capital Market of Ghana”, Journal of Applied Accounting Research, Vol. 14 (2), hal. 127-146.

Cameron, K. S., dan Quinn, R. E., 2005, Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on the Competing Values Framework, Edisi Revisi, Jossey-Bass a Wiley Imprint, San Francisco.

Core, J. E., 2001, “A Review of the Empirical Disclosures Literature: Discussion”, Journal of Accounting and Economics, Vol. 31.

Dominguez, L. R., dan Gamez, L. C. N., 2014, “Corporate Reporting on Risks:

Evidence from Spanish Companies”, Revista de Contabilidad-Spanish

Accounting Review.

ElKelish, W. W., dan Hassan, M. K., 2014, “Organizational Culture and Corporate Risk Disclosures”, International Journal of Commerce and Management, Vol. 24 (4), hal. 279-299.

Elzahar, H., dan Hussainey, K., 2012, “Determinants of Narrative Risk Disclosures in UK Interim Reports”, The Journal of Risk Finance, Vol. 13 (2), hal. 133-147. Eng, L. L., dan Mak, Y. T., 2003, “Corporate Governance and Voluntary Disclosures”,

Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 22 (4), hal. 325-345.

Fiordelisi, F., dan Ricci, O., 2014, “Corporate Culture and CEO Turnover”, Journal of Corporate Finance, Vol. 28, hal. 68-82.

Garay, U., Gonzalez, M., Guzman, A., dan Trujillo, M. A., 2013, “Internet-Based Corporate Disclosures and Market Value: Evidence from Latin America”, Emerging Markets Review, Vol. 17, hal. 150-168.

Gray, R., Kouhy, R., dan Lavers, S., 1995, “Corporate Social and Environmental Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosures”, Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 8 (2), hal. 47-77.


(5)

26 Hassan, N. S. M., 2014, “Investigating the Impact of Firm Characteristics on the Risk Disclosures Quality”, International Journal of Business and Social Science, Vol. 5 (9).

Ikatan Akuntan Indonesia, 2010, PSAK 60 (Revisi 2010): Instrumen Keuangan: Pengungkapan: Jakarta: IAI.

Jaggi, B., dan Low, P. Y., 2000, “Impact of Culture, Market Forces, and Legal System on Financial Disclosures”, The International Journal of Accounting, Vol. 35 (4), hal. 495-519.

Jensen, M. C., dan Meckling, W. H, 1976, “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics, Vol. 3 (4), hal. 305-360.

Jones, D. A., 2007, “Voluntary Disclosures in R&D-Intensive Industries”, Contemporary Accounting Research, Vol. 24 (2), hal. 489-522.

Law, J., 2010. A Dictionary of Accounting, Oxford University Press.

Linsley, P. M., dan Shrives, P. J., 2006, “Risk Reporting: A Study of Risk Disclosures in the Annual Reports of UK Companies”, The British Accounting Review, Vol. 38, hal. 387-404.

Nahar, S., Jubb, C., dan Azim, M. I., 2016, “Risk Governance and Performance: A Developing Country Perspective”, Managerial Auditing Journal, Vol. 31 (3), hal. 250-268.

Nekhili, M., Boubaker, S., dan Lakhal, F., 2012, “Ownership Structure, Voluntary R&D Disclosures and Market Value of Firms: The French Case”, International Journal of Business, Vol. 17 (2), hal. 126-140.

Ntim, C. G., Lindop, S., dan Thomas, D. A., 2013, “Corporate Governance and Risk Reporting in South Africa: A Study of Corporate Risk Disclosures in the Pre- and Post- 2007/2008 Global Financial Crisis Periods”, International Review of Financial Analysis.

Ohlson, J. A., 1995, “Earnings, Book Values, and Dividends in Equity Valuation”, Contemporary Accounting Research, Vol. 11 (2), hal. 661-687.

OJK, No. 55/POJK.04/2015, Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.

Probohudono, A. N., Tower, G., dan Rusmin, R., 2013, “Risk Disclosures During the Global Financial Crisis”, Social Responsibility Journal, Vol. 9 (1), hal. 124-136.


(6)

27 Purwaningtyas, F. R., 2011, Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate Governance

terhadap Nilai Perusahaan, Skripsi, Universitas Diponegoro.

Ruwita, C., dan Harto, P., 2013, “Analisis Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Governance terhadap Risk Disclosures Perusahaan”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 2 (2), hal. 1-13.

Suhardjanto, D., Dewi, A., Rahmawati, E., dan M. Firazonia., 2012, “Peran Corporate Governance dalam Praktik Risk Disclosures pada Perbankan Indonesia”, Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol. 9 (1), hal. 16-30.

Uddin, M. H., dan Hassan, M. K., 2011, “Corporate Risk Information in Annual Reports and Stock Price Behavior in the United Arab Emirates”, Academy of Accounting and Financial Studies Journal, Vol. 15 (1), hal. 59-84.

Wang, Z., Ali, M. J., dan Al-Akra, M., 2013, “Value Relevance of Voluntary Disclosures and the Global Financial Crisis: Evidence from China”, Managerial Auditing Journal, Vol. 28 (5), hal. 444-468.

Wijayani, D. I. L., dan Hermawan, A. A., 2015, “Efektivitas Pengendalian Internal, Kualitas Laba dan Budaya Perusahaan: Sebuah Studi Empiris”, Simposium Nasional Akuntansi VXIII.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Rasio Profitabilitas pada Perusahaan Go Public (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

6 99 88

Pengaruh Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

3 56 110

PENGARUH KEPEMILIKAN MANAJERIAL, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, LEVERAGE, PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN, UKURAN PERUSAHAAN dan MANAJEMEN LABA terhadap NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris pada Perusahaan Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indone

0 7 147

PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN DAN MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP INTELLECTUAL CAPITAL DISCLOSURE SERTA DAMPAKNYA PADA NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris pada Perusahaan Intellectual Capital Intensive di Indonesia dan Singapura pada tahun 2015)

3 14 174

PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP ENVIRONMENTAL DISCLOSURE DI INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Empiris pada Perusahaan Perkebunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Efek Malaysia tahun 2013-2015)

3 30 146

PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAN MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP FINANCIAL Pengaruh Kinerja Keuangan dan Mekanisme Corporate Governance terhadap Financial Distress (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Peri

0 3 15

PENGARUH MEKANISME INTERNAL CORPORATE GOVERNANCE, Pengaruh Mekanisme Internal Corporate Governance, Size, Dan Profitabilitas Terhadap Financial Risk (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia).

0 2 13

MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE PADA PERUSAHAAN YANG MENGALAMI KESULITAN KEUANGAN (Studi Empiris di Bursa Efek Indonesia).

0 1 6

Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Corporate Governance Disclosure Studi Empiris Pada Perusahaan Lq 45 Di Bursa Efek Indonesia

0 0 73

PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2015) - Unissula Repository

0 0 11