119
Bab 9 Apresiasi
Sore. Orang-orang masih berkumpul di pantai. Mereka masih berkumpul di pantai. Mereka masih
sibuk membicarakan batu yang hilang itu. Saat sang ibu berjalan menuju kerumunan seorang lelaki muda
menghampirinya. “Tidak mengajak si kecil, Bu?”
“Dia sedang tidur.” “Ibu menyayanginya?”
“Sangat menyayanginya.” “Jadi, jangan pernah ibu mengutuknya.”
Si perempuan mengerenyitkan dahi, “Anak tentu bukan orang kampung ini.”
“Saya dilahirkan di sini.” “Tetapi, saya tidak pernah melihat anak. Anak pergi
merantau?” “Ya.”
“Ke mana?” “Ke sebuah negeri yang kaya.”
“Lalu?” “Aku menjadi orang kaya raya. Hartaku sebanyak
pasir di pantai.” “Sungguh?”
“Ya, tetapi kemudian ibuku mengutukku.” “Bagaimana anak tahu?”
“Karena aku menderita.” “Doa orang tua untuk anaknya memang selalu
didengarkan Tuhan.” “Mendoakan atau mengutuk?”
“Si perempuan meringis, “Apa yang terjadi pada anak?”
“Seluruh harta yang kukumpulkan bertahun-tahun hancur berkeping-keping dihantam ombak. Betapa
teganya ibuku.” “Mungkin Anak telah membuat beliau sakit hati.”
“Tetapi, bagaimana dengan peribahasa ‘kasih ibu – bapak sepanjang jalan, kasih anak sepanjang
penggalan’?” “Tak ada yang salah dengan peribahasa itu, Nak.”
“Jika peribahasa itu benar, tentu ibuku tidak mengutukku, ‘kan?”
“Sulit menjelaskannya, Nak.” “Aku akan menuntut ibuku.”
“Kenapa?” “Karena telah membuatku menderita.”
“Apa kutukan-kutukan yang diberikan beliau untuk anak?”
“Menjadikan aku batu.” PAGI. Masyarakat Pantai Air Manis dikejutkan tentang
berita Malin Kundang yang kembali menjadi manusia. Berita pun langsung menyebar dari mulut ke mulut.
Seorang kaya di kampung itu, bahkan mengirimkan faks ke redaksi media cetak dan elektronik. Karuan
saja para wartawan dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan luar negeri, berdatangan ke pantai di selatan
kota Padang itu. Mereka berebutan mewawancarai Malin Kundang. Sebuah stasiun swasta Amerika,
malah menawarinya uang 10 juta bila ia bersedia menjadi bintang tamu acara talk show andalan mereka.
Tetapi Malin Kundang menolak, “Saya tidak percaya orang bule. Mereka selalu berbohong dan munafik.”
Dia memilih menggelar konferensi pers supaya tidak ada yang diistimewakan.
“Benar Anda lelaki yang pernah menjadi batu?” Tanya para wartawan yang mengerubungi Malin Kundang.
“Ya.” “Apa buktinya?”
“Lihatlah, batu yang selama ini diyakini sebagai tubuhku sudah tidak ada.”
“Bisa saja segerombolan orang telah mengangkatnya, ‘kan? Mungkin anak buah Anda.”
“Buktikan saja.” “Mungkin juga kaki tangan orang kaya dari kota yang
berniat menjuial batu itu kepada kolektor barang seni.”
“Buktikan kalau bisa.” “Baiklah, lalu tahun berapakah Anda menjadi
batu?” “Saat itu kami tidak mengenal tahun.”
“Bagaimana kejadiannya hingga Anda menjadi batu?”
“Seperti cerita yang dikenal di masyarakat.” “Termasuk yang ditulis di buku-buku cerita?”
“Ya.” “Bagaimana Anda tahu ada benda yang bernama
buku cerita?”
Di unduh dari : Bukupaket.com
120
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMAMA Kelas XI Program IPA-IPS
“Selama ini aku tidak mati. Aku hidup, aku bernafas, aku bisa melihat meski tubuhku menjadi batu dan tanpa
makan-minum. Itulah, kalian terlalu meremehkan benda-benda mati dan tidak menghargai .”
“Jadi, Anda juga tahu kalau kisah hidup Anda pernah difilmkan?”
“Tentu.” “Jadi benar Anda anak Durhaka?”
“Jika itu dianggap durhaka.” “Anda menolak sebutan itu?”
“Tentu saja.” “Kenapa?”
“Puluhan tahun merantau, siang-malam bekerja keras tanpa pernah melihat wajah ibuku, telah membuatku
lupa pada banyak hal. Jadi, begitu melihat perempuan itu, aku yakin bahwa dia bukan ibuku.”
“Ohhh....” “Seingatku, ibuku adalah perempuan muda yang
berbadan kuat. Bukan nenek-nenek.” “Bukankah umur manusia bertambah?”
“Ya, tentu.” “Jadi ibu Anda yang ketika Anda kecil adalah
perempuan muda, setelah Anda dewasa tidak mungkin tetap menjadi muda, ‘kan?”
“Tetapi aku lupa wajah ibuku.” “Keterlaluan sekali Anda. Padahal ibu Anda saja tidak
lupa wajah Anda.” “Maklumlah puluhan tahun aku tidak melihat
wajahnya.” “Berarti Anda memang anaknya ‘kan?” Kalau bukan
tidak mungkin itu menjadi kenyataan. Iya, ‘kan?” “Ya....”
“Dan luka di kening itu yang juga dimiliki Malin Kundang ketika kecil jatuh membentur panci kayu.”
“Bagaimana Anda tahu?” “Aku membaca buku tentang legenda Anda.”
“Ya ... ya.” “Lalu untuk apa setelah kaya raya Anda datang ke
pulau ini.” “Aku hanya ingin mengunjungi tanah kelahiranku.”
“Bukan untuk mengunjungi ibu Anda?” “Jika ia masih hidup, tentu aku akan bertemu ibuku,
‘kan?” “Tapi begitu Anda melihatnya, kenapa Anda tidak
mengakuinya?” “Sudah kukatakan, maklumlah, puluhan tahun aku
tidak melihat ibuku. Wajar saja jika tidak ingat lagi wajahnya.”
“Ya. Ya, terselahlah.” “Saat itu seharusnya dia tidak segera
mengutukku.” “Maksudnya?”
“Seharusnya dia tahu, puluhan tahun merantau, siang malam bekerja keras tanpa pernah melihat wajahnya,
wajar saja jika aku lupa.” “Nyatanya tidak ada yang tahu tentang Anda di
perantauan. Tidak ada yang mengirim kabar, dan tidak ada yang mencari kabar. Hanya ibu Anda
yang selalu mendoakan keselamatan Anda, juga selalu bertanya pada setiap nakhoda yang kapalnya
bersandar di pulau ini. Tetapi, kabar tentang Anak tidak juga ada.”
“Lalu.” “Ibu Anda hanya tahu Anda anak durhaka.”
“Tetapi, seharusnya dia tidak mengutukku.” “Ya, ya, ya, lalu apa yang akan Anda lakukan?’
“Tentu aku akan menuntut ibuku.” “Tapi dia sudah meninggal, ratusan tahun yang
lalu.” “Ya, tentu saja.”
“Ibu Anda meninggal tidak lama setelah Anda menjadi batu.”
“Lalu?” “Jadi Anda tidak perlu menuntutnya ‘kan?”
“Aku akan menuntutnya di hadapan Tuhan.” “Kapan itu?’
“Setelah aku mati, di akhirat tentu saja.” “Ibu Anda sudah ada di surga.”
“Karena mengutuk anaknya seseorang masuk surga?”
Para wartawan tidak menjawab. Mereka hanya saling pandang dan kasak-kusuk, seperti biasanya.
Ini benar-benar di luar dugaan semua orang. “Apa jadinya kalau ia menuntut ibunya?”
“Iya, ya...?” “Lalu apa kata Tuhan nantinya?”
“Lagipula siapa sih yang menghidupkan dia kembali?’
“Barangkali saja penyihir.” “Ngaco”
“Tetapi tak apalah.”
Di unduh dari : Bukupaket.com
121
Bab 9 Apresiasi