Alat dan Bahan Evapotranspirasi

udara lalu dapat dihubungkan dengan kondisi atmosfer yang selanjutnya dapat menduga fluks uap air June 2012. III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei hingga Desember 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan data iklim sekunder tahun 2009 dari Stasiun Klimatologi Klas I, Situgede, Darmaga, Bogor. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah data sekunder dari bulan Januari hingga bulan Desember 2009 yaitu: 1. Data suhu udara pada tiga ketinggian 4 meter, 7 meter, dan 10 meter dengan tiga waktu pengamatan, yaitu pukul 07.00, 14.00, dan 18.00 waktu setempat. 2. Data kecepatan angin pada tiga ketinggian 4 meter, 7 meter, dan 10 meter dengan tiga waktu pengamatan, yaitu pukul 07.00, 14.00, dan 18.00 waktu setempat. 3. Data kelembaban udara pada tiga ketinggian 4 meter, 7 meter, dan 10 meter dengan tiga waktu pengamatan, yaitu pukul 07.00, 14.00, dan 18.00 waktu setempat. 4. Data standar sangkar cuaca pada ketinggian dua meter yaitu suhu maksimum harian, suhu minimum harian, dan suhu rata-rata harian. 5. Letak lintang, bujur, dan altitude di atas permukaan laut Stasiun Klimatologi Klas I Situgede, Darmaga, Bogor. 6. Curah hujan harian dan kecepatan angin pada ketinggian dua meter. 7. Data evaporasi panci kelas A.

3.3 Metodologi Penelitian

Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan tiga metodologi, yaitu:

3.3.1 Metode Penman-Monteith

Pendugaan nilai evapotranspirasi acuan dalam metode ini menggunakan persamaan modifikasi FAO Penman Monteith, yaitu: ET = 0.408 ∆ Rn − G + γ 900 T+273 u2 es − ea ∆+ γ 1+0.34 u2 1 keterangan : ET : evapotranspirasi acuan mm hari -1 R n : radiasi netto pada permukaan tanaman MJ m -2 hari -1 G : kerapatan fluks bahang tanah MJ m -2 hari -1 T : suhu udara pada ketinggian 2 meter o C γ : konstanta psikometrik kPa o C -1 u 2 : kecepatan angin pada ketinggian 2 meter m s -1 e s : tekanan uap jenuh kPa e a : tekanan uap aktual kPa Δ : slope kurva tekanan uap kPa o C -1 Penentuan radiasi netto pada permukaan tanah Allen et al. 1998 : R n = Rn s + Rn l 2 keterangan : R n : radiasi netto MJ m -2 hari -1 Rn s : radiasi gelombang pendek MJ m -2 hari -1 Rn l : radiasi gelombang panjang MJ m -2 hari -1 Radiasi netto gelombang pendek dan gelombang panjang pada permukaan tanaman dapat menggunakan persamaan berikut: Rn s = 1 − α R s 3 Rn l = σ TmaxK 4+ TminK 4 2 0.34 – 0.14 e a × 1.35 Rs Rso − 0.35 4 keterangan : Rn s : radiasi netto gelombang pendek pada permukaan tanaman MJ m -2 hari -1 α : albedo atau koefisien pantulan radiasi tajuk yang bernilai 0.23 R s : radiasi matahari MJ m -2 hari -1 Rn l : radiasi netto gelombang panjang pada permukaan tanaman MJ m -2 hari -1 σ : konstanta Stefan Boltzman 4.903x10 9 MJ K -4 m -2 hari -1 T max : suhu absolut maksimum selama 24 jam K T min : suhu absolut minimum selama 24 jam K e a : tekanan uap jenuh kPa Rs Rso : radiasi gelombang pendek relatif ≤1.0 R s : radiasi bruto gelombang pendek matahari MJ m -2 hari -1 R so : radiasi bruto matahari saat kondisi cerah, tidak ada penutupan awan MJ m -2 hari -1 Penentuan radiasi bruto matahari dapat menggunakan rumus berikut : R s = a s + b s n N R a 5 R so = 0.75 + 2 × 10 −5 z R a 6 keterangan : R s : radiasi bruto gelombang pendek matahari MJ m -2 hari -1 a s : 0.25 b s : 0.5 n : lama penyinaran jam N : panjang hari jam R a : radiasi matahari ekstraterestrial MJ m -2 hari -1 Penentuan radiasi ekstraterestrial dapat menggunakan persamaan berikut : R a = 24 60 π G sc d r [ ω s sin φ sinδ + cosφ cosδ sin ω s ] 7 Parameter-parameter yang digunakan dalam menghitung radiasi matahari ekstraterestrial menggunakan beberapa persamaan berikut : d r = 1 + 0.033 cos 2 π 365 J 8 δ = 0.409 sin 2 π 365 J − 1.39 9 ω s = arccos −tan φ tan δ 10 φ = π 180 derajat desimal lintang 11 N = 24 π ω s 12 keterangan : G sc : konstanta matahari 0.0820 MJ m -2 hari -1 d r : jarak relatif antara bumi dan matahari J : julian date δ : sudut deklinasi matahari ω s : sudut datang matahari rad φ : letak lintang rad. Jika berada pada lintang utara bernilai positif, jika berada pada selatan maka nilainya negatif rad N : panjang hari jam Pendugaan ET dengan metode Penman-Monteith menggunakan rumput acuan yang diasumsikan mempunyai tinggi 0.12 m, resistansi permukaan r s 70 sm -1 , dan albedo 0.23. Asumsi tanaman tersebut dapat diaplikasikan di banyak rerumputan di dataran tinggi, dimana vegetasinya sama didominasi oleh rerumputan pendek Zhang et al. 2007. Berikut adalah persamaan Penman-Monteith dimana nilai r s dan r a belum dimodifikasi. λET = ∆Rn −G+ρ a cp e s −ea r a ∆+γ1+ r s r a 13 Penentuan tahanan aerodinamik, tahanan permukaan, kerapatan udara dan panas spesifik pada tekanan konstan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: r a = ln z m −d z om ln z h −d z oh k2uz 14 r s = rl LAI active 15 d = 0.7h 16 z om = 0.123h 17 z oh = 0.1 z oh 18 LAI aktif = 0.5 LAI 19 dimana nilai h yang digunakan adalah 1.5 meter, nilai LAI pada periode kering sebesar 5 dan LAI periode basah sebesar 6. c p = γελ P 20 ρ a = P Tkv R ; T kv = 1.01T + 273 cp ρa ra = γελ 1.01 T+273 R208 u 2 = 86400 γ0.622λ 1.01 T+273 0.287208 u 2 = γ 900 T+273 u 2 keterangan : ρ a : kerapatan udara kg m -3 c p : panas spesifik pada tekanan konstan MJ kg -1 K -1 r s : tahanan permukaan s m -1 r a : tahanan aerodinamik s m -1 z m : ketinggian pengukuran kecepatan angin m z h : ketinggian pengukuran kelembaban udara m z om : panjang kekasapan transfer momentum m z oh : panjang kekasapan transfer panas dan uap air m r l : tahanan stomata s m -1 z oh : panjang kekasapan transfer panas dan uap air m ε : rasio berat uap air 0.622 λ : penguapan bahang laten MJ kg -1 R : konstanta gas spesifik 0.287 MJ kg -1 K -1 P : tekanan atmosfer kPa Kerapatan fluks bahang tanah harian G dapat dihitung menggunakan persamaan berikut Stull 1999: G = 0.1 R n 21 keterangan : G : fluks panas MJ m -2 hari -1 R n : radiasi netto MJ m -2 hari -1 Besarnya tekanan uap jenuh e s dan tekanan uap aktual e a didapatkan menggunakan persamaan sebagai berikut Allen et al. 1998: e s = eo Tmax + eo Tmin 2 22 keterangan : e s : tekanan uap air jenuh rata-rata kPa e o T max : tekanan uap air jenuh pada suhu maksimum kPa e o T min : tekanan uap air jenuh pada suhu minimum kPa Tekanan uap air jenuh pada suhu maksimum dan minimum menggunakan persamaan di bawah ini : e T = 0,6108 exp 17.27 T T+237 23 keterangan : e T : tekanan uap air jenuh T kPa T : suhu udara o C suhu udara yang dipakai dalam perhitungan ini adalah suhu udara maksimum dan minimum harian e a = e T dew = 0.6108 exp 17.27 Tdew Tdew +237 24 keterangan : � � : tekanan uap air jenuh aktual kPa T dew : suhu titik embun o C Suhu titik embun T dew dicari menggunakan Tabel 2 Ahrens 2007 : Tabel 3 Hubungan antara suhu dengan tekanan uap jenuh suhu o C tekanan uap air jenuh mb 18 21 21 25 24 29,6 27 35 29 41 32 48,1 35 56,2 RH = e es × 100 25 keterangan : e : tekanan uap aktual e s : tekanan uap jenuh Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui nilai e dengan menggunakan data suhu dan RH yang tersedia. Hubungan suhu dengan tekanan uap air jenuh akan didapatkan persamaan eksponensial y =e x dimana y adalah tekanan uap air jenuh dan x adalah suhu rata-rata. Selanjutnya dari kedua hubungan tadi akan didapatkan persamaan logaritmik y=ax+b, persamaan tersebut digunakan untuk menentukan suhu titik embun dengan y dalah suhu titik embun dan x adalah tekanan uap air jenuh. Penentuan slope kurva tekanan uap dengan menggunakan persamaan berikut Allen et al. 1998 : ∆ = 4098 [0,6108 exp 17.27 T T +237 ] T+237 2 26 keterangan : Δ : slope kurva tekanan uap kPa o C -1 T : suhu udara rata-rata o C dalam menentukan konstanta psikometrik dapat menggunakan rumus berikut Allen et al. 1998 : γ = 0.665 × 10 −3 P 27 keterangan : � : konstanta psikometrik kPa o c -1 P : tekanan atmosfer kPa Tekanan atmosfer dapat dihitung menggunakan persamaan berikut : P = 101.3 293 −0.0065 z 293 5.26 28 keterangan : P : tekanan atmosfer kPa z : ketinggian stasiun pengamatan di atas permukaan laut m

3.3.2 Metode Aerodinamik Gradien

Data yang dibutuhkan pada metode ini merupakan data iklim mikro pada tiga waktu pengamatan, yaitu pukul 7.00, 14.00, dan 18.00. Data yang digunakan, yaitu suhu harian pada tiga ketinggian 4 m, 7 m, dan 10 m, kecepatan angin harian pada dua ketinggian 4 m dan 10 m, dan kelembaban udara harian pada dua ketinggian 4 m dan 7 m. Pada metode ini, dilakukan perhitungan fluks uap air Q E dengan menggunakan persamaan June 2012 : Q E = L ρ a k 2 u2−u1 q2−q1 ln z 2−d z 1−d 2 φ m φs 29 dengan nilai L dapat dihitung berdasarkan persamaan L = 2.50 × 10 −6 − 2400T 30 Laju evapotranspirasi ditentukan menggunakan : � = � keterangan : Q E : fluks uap air Joule m -2 s -1 T : suhu udara rata-rata o C L : penguapan bahang laten Joule kg -1 E : laju evapotranspirasi mm hari -1 ρ a : kerapatan udara kering kg m -3 k : konstanta Von Karman 0.4 u 2 : kecepatan angin pada ketinggian 10 meter m s -1 u 1 : kecepatan angin pada ketinggian 4 meter m s -1 2 : kelembaban spesifik pada ketinggian 10 meter kg kg -1 1 : kelembaban spesifik pada ketinggian 4meter kg kg -1 z 2 : ketinggian alat pada 10 meter m z 1 : ketinggian alat 4 meter m d : perpindahan bidang nol m : dimensionless wind shear factor : dimensionless gradient of � factor nilai d digunakan untuk menentukan analisis profil angin, dimana d sebesar 0.7 h dengan nilai h merupakan tinggi kanopi. Tinggi kanopi yang digunakan adalah 1.5 meter yang merupakan tinggi rata-rata elemen kekasapan di wilayah studi. Persamaan Q E dapat digunakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1. Penentuan kondisi stabilitas atmosfer menggunakan Richardson number R i R i = g θ2−θ1 z 2−z1 θa u 2−u 1 z 2−z1 31 keterangan : R i : richardson number g : gaya gravitasi = 9.8 ms -2 θ a : suhu potensial rata-rata pada ketinggian acuan za=z 1 .z 2 12 θ 2 : suhu potensial pada ketinggian 10 meter K θ 1 : suhu potensial pada ketinggian 4 meter K z 2 : ketinggian alat pada 10 meter m z 1 : ketinggian alat 4 meter m u 2 : kecepatan angin pada ketinggian 10 meter ms -1 u 1 : kecepatan angin pada ketinggian 4 meter ms -1 Pada penelitian ini, ketinggian suhu potensial acuan yang digunakan adalah pada ketinggian 7 meter. Suhu potensial didapat dari persamaan : θ = T −  d z 32 dengan  d adalah dry adiabatic lapse rate -0.00976 Km -1 2. Penentuan faktor koreksi φ s φ m Stabilitas atmosfer yang telah dihitung dapat dikoreksi menggunakan persamaan berikut June 2012 :  = R i pada Ri 0  = Ri 1−5Ri pada 0 ≤ Ri ≤ 0.1  = 0.2 pada Ri 0.1 φ s = φ m 2 = 1 − 15 −12 untuk  0 φ s = φ m = 1 + 5 untuk   0 keterangan :  : faktor koreksi � : richardson number φ m : dimensionless wind shear : dimensionless gradient of � 3. Kerapatan udara kering dapat dihitung menggunakan persamaan : ρ a = 1.293 273 .15 T 33 keterangan : ρ a : kerapatan udara kering kg m -3 T : suhu udara rata-rata K 4. Kelembaban spesifik dan tekanan uap air jenuh : q = 0.622 e P −0.378 e 34 e = RH es 100 35 e s = 6.1078 exp 17.27 T T+237 36 keterangan : q : kelembaban spesifik kg kg -1 RH : kelembaban relatif e s : tekanan uap air jenuh hPa e : tekanan uap air hPa P : tekanan atmosfer hPa

3.3.3 Evaporasi Panci Kelas A

Evaporasi panci kelas A berfungsi untuk mengukur evaporasipenguapan pada periode waktu tertentu. Penurunan muka air pada panci menunjukkan adanya evaporasi. Jika terjadi hujan maka pengurangan air ditambahkan dengan curah hujan. Pengamatan dilakukan tiga kali dalam 24 jam yaitu jam 7.30, 13.30, dan 17.30 waktu setempat. Besarnya perubahan volume air dapat dihitung dengan membaca skala milimeter pada batang mikrometer dengan skala seperseratus milimeter dibaca dari mur yang mengelilingi batang mikrometer. Hasil yang didapatkan dari panci kelas A merupakan nilai evaporasi, agar dapat dikonversi menjadi nilai evapotranspirasi harus dikalikan dengan nilai koefisien panci Kp dan disebut nilai evapotranspirasi observasi. Nilai tersebut merupakan nilai evapotranspirasi acuan. Nilai koefisien panci dapat dihitung berdasarkan nilai kelembaban udara dan kecepatan angin Allen et al. 1998 seperti pada Gambar 2. Nilai koefisien panci didapat berdasarkan Eijkelkamp Agrisearch 2009 rata-rata nilai Kp yang digunakan sebesar 0.7 dan menurut Linsley dan Franzini 1979 dalam nilai Kp yang baik untuk daerah tropis sebesar 0.7 sehingga nilai evapotranspirasi permukaan adalah ET = Kp × Evaporasi panci kelas A dimana, ET : evapotranspirasi mm hari -1 Kp : koefisien panci Tabel 4 Koefisien panci untuk panci kelas A berdasarkan kelembaban udara dan kecepatan angin Kecepatan Angin ms -1 Rata-rata RH Rendah 40 Sedang 40-70 Tinggi 70 Ringan 2 0.55 0.65 0.75 0.65 0.75 0.85 0.7 0.8 0.85 0.75 0.85 0.85 Sedang 2 - 5 0.5 0.6 0.65 0.6 0.7 0.75 0.65 0.75 0.8 0.7 0.8 0.8 Kuat 5 - 8 0.45 0.5 0.6 0.55 0.6 0.65 0.6 0.65 0.7 0.65 0.7 0.75 Sangat Kuat 8 0.4 0.45 0.5 0.45 0.55 0.6 0.5 0.6 0.65 0.55 0.6 0.65 3.3.4 Keeratan Hubungan Antar Model dan Observasi Keeratan hubungan antar model dan observasi dalam studi ini dianalisis menggunakan chi square. Chi square digunakan untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel dan kuatnya hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain Sugiyono 2008. Pada penelitian ini, yang akan diuji adalah hubungan antara metode panci kelas A dengan metode aerodinamik dan Penman- Monteith. Dalam chi square digunakan dua variabel, yaitu merupakan nilai observasi dan nilai dugaan. Berikut adalah persamaan chi square Origin 5.0, Microcal Software 1997 : 2 = � − � 2 � Gambar 2 Nilai koefisien panci Kp wilayah pertanian Situgede, Darmaga, Bogor Januari- Desember 2009 Keterangan : O : nilai observasi evapotranspirasi E : nilai pendugaan evapotranspirasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Iklim Wilayah Penelitian Daerah penelitian terletak di Stasiun Klimatologi Klas I BMKG Situgede, Darmaga, Bogor yang berada pada lintang 06 33’LS dan 106 45’BT. Stasiun Klimatologi Darmaga berada pada ketinggian 190 meter di atas permukaan laut. Pada sekitar stasiun klimatologi ini terdapat wilayah pertanian dengan tamanan padi. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan IPB Darmaga termasuk ke dalam kawasan beriklim tropis basah dengan curah hujan tipe A, rata-rata curah hujan ± 4046 mmtahun, atau ± 329.7 mmbulan. Bulan basah lebih dari 9 bulan berturut-turut, 20 hari hujanbulan. Kecepatan angin 2.1 kmjam, suhu rata-ratatahun 25 −33 o C, kelembaban nisbi rata-rata 80-86 dan lama penyinaran matahari sekitar 58.9 BMKG 2008.

4.1.1 Curah Hujan

Curah hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannnya sangat tinggi baik menurut waktu maupun menurut tempat. Curah hujan yang terdapat pada Stasiun Klimatologi Klas I Situgede Darmaga Bogor merupakan tipe lokal karena hanya memiliki satu puncak maksimum yang terjadi pada periode basah Gambar 3. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal satu puncak hujan tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson. Pola hujan bulanan berdasarkan Boerema 1941 menjelaskan bahwa periode musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan sama atau lebih dari 150 mm per bulan dan musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan per bulan kurang dari 150 mm. Penentuan awal musim hujan dan kemarau yang diperoleh dari de Boer 1948 dan BMKG 2012 didasarkan pada data curah hujan dasarian. Awal musim hujan ditandai dengan curah hujan per dasarian sama atau lebih dari 50 mm per dasarian dan awal musim kemarau ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 mm per dasarian. Penentuan musim hujan dan musim kemarau tidak bisa dilakukan menggunakan data curah hujan dalam setahun. Oleh karena itu, musim hujan pada studi ini dapat dikatakan sebagai periode basah sedangkan musim kemarau dapat dikatakan sebagai periode kering. Berdasarkan kriteria tersebut, maka awal periode kering berada pada bulan Juli di dasarian pertama sampai September dasarian ketiga, sedangkan awal bulan Januari sampai Juni dan awal bulan Oktober sampai Desember merupakan periode basah. Periode kering pada daerah Darmaga Bogor hanya tiga bulan yaitu bulan Juli sampai September, sedangkan periode basah berada di bulan Januari sampai Juni dan Oktober sampai Desember. Curah hujan pada daerah Situgede Darmaga Bogor merupakan curah hujan yang cukup tinggi karena dalam setahun terdapat sembilan bulan periode basah.

4.1.2 Kecepatan Angin

Profil kecepatan angin bulanan pada wilayah pertanian Situgede dari tiga ketinggian terlihat jelas perbedaannya Gambar 4. Kecepatan angin selama setahun menunjukkan pola yang cukup statis. Kecepatan angin pada ketinggian 10 meter merupakan kecepatan angin terbesar dibandingkan dengan kecepatan angin pada ketinggian 7 meter dan 4 meter. Begitu pula dengan kecepatan angin pada ketinggian 7 meter lebih besar dibandingkan kecepatan angin di ketinggian 4 meter. Gambar 3 Curah hujan wilayah pertanian Situgede Darmaga Bogor Januari-Desember 2009 Kecepatan angin tertinggi berada pada bulan Februari sedangkan kecepatan angin terendah berada pada bulan Juni. Kecepatan angin di ketinggian 10 meter pada bulan Februari dan Maret menunjukkan nilai yang tinggi dibandingkan dengan kecepatan angin di bulan lain. Kecepatan angin terendah sebesar 0.4 ms dan kecepatan angin tertinggi sebesar 1.6 ms. Semakin tinggi permukaan maka kecepatan angin semakin besar. Adanya pengaruh gaya gesek pada permukaan menyebabkan kecepatan angin berkurang. Pada permukaan yang semakin tinggi tidak adanya gaya gesek pada permukaan akan membuat kecepatan angin semakin besar nilainya.

4.1.3 Suhu

Profil suhu bulanan wilayah pertanian Situgede memiliki pola yang hampir sama di tiga ketinggian 4 meter, 7 meter dan 10 meter. Berdasarkan pola suhu udara di lapisan atmosfer bumi, pada lapisan troposfer yang berada pada ketinggian 0 – 10 km di atas permukaan laut, memiliki pola lapse rate dimana turunnya suhu udara dengan bertambahnya ketinggian dari permukaan yang dapat ditulis dTdZ 0. Profil suhu bulanan pada ketinggian 4 meter terlihat menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan suhu pada 7 meter dan 10 meter, hal ini sesuai dengan pola lapse rate di troposfer Gambar 5. Suhu tertinggi berada pada bulan Juni sebesar 25.1 C sedangkan suhu terendah berada pada bulan Januari dan Februari sebesar 24 C. Pada bulan Juni, suhu di ketinggian 4 meter lebih tinggi dibandingkan suhu pada ketinggian lain. Perbedaan suhu dari tiga ketinggian ini tidak terlalu besar karena kecepatan angin yang cukup tinggi dapat mengakibatkan turbulensi yang bisa memindahkan massa udara di dekat permukaan menuju lapisan udara di atasnya. Selain itu adanya beberapa data yang menunjukkan suhu di beberapa ketinggian bernilai sama. Hal ini dikarenakan adanya turbulensi pada permukaan yang menyebabkan pertukaran massa udara pada tiga ketinggian.

4.1.4 Kelembaban Udara

Profil kelembaban udara bulanan pada wilayah Situgede Darmaga Bogor menunjukkan pola yang sama pada tiga ketinggian. Kelembaban tertinggi pada bulan Gambar 4 Profil kecepatan angin rata-rata bulanan wilayah Situgede Darmaga Bogor Januari – Desember 2009 Gambar 5 Profil suhu rata-rata bulanan wilayah Situgede Darmaga Bogor Januari –Desember 2009 Februari dan akan semakin menurun hingga pertengahan tahun sekitar bulan Agustus dan September. Kemudian kelembaban udara akan naik kembali hingga awal tahun Gambar 6. Kelembaban udara rendah pada periode kering yaitu bulan Juli, Agustus, dan September. Rendahnya nilai kelembaban udara pada periode kering karena pada periode kering radiasi matahari yang diterima akan semakin besar. Radiasi yang besar akan menyebabkan nilai suhu menjadi lebih tinggi sehingga udara mengembang dan kapasitas uap air meningkat yang menyebabkan tekanan uap air jenuh meningkat. Hal tersebut menyebabkan kelembaban relatif menurun. Kelembaban udara terbesar berada pada bulan Februari sebesar 85 sedangkan kelembaban udara terkecil berada pada bulan September yaitu 68. Kelembaban udara pada ketinggian 4 meter lebih besar dibandingkan dengan kelembaban udara pada 7 meter dan 10 meter. Hal ini bisa disebabkan karena pengaruh turbulensi pada permukaan yang lebih rendah, sehingga menyebabkan pertukaran massa udara dan uap air di tiga ketinggian tersebut. 4.1.5 Radiasi Netto Radiasi matahari pada wilayah pertanian Situgede memiliki nilai yang cukup konstan Gambar 7. Nilai intensitas radiasi matahari ini merupakan jumlah intensitas radiasi matahari selama satu bulan. Intensitas radiasi terbesar berada pada bulan September sebesar 436 MJ m -2 dan terendah pada bulan Februari sebesar 269 MJ m -2 . Intensitas radiasi matahari memiliki nilai lebih besar pada periode kering yaitu pada bulan Juli, Agustus, dan September. Besarnya radiasi matahari dapat dipengaruhi oleh kondisi penutupan awan dan letak geografis. Pada periode kering, penutupan awan lebih sedikit yang dapat menyebabkan radiasi yang mencapai permukaan lebih besar. Selain itu kondisi geografis pada daerah Bogor memiliki altitude yang cukup tinggi yaitu 190 m di atas permukaan laut dpl dimana semakin tinggi permukaan maka intensitas radiasi matahari lebih banyak digunakan untuk tanaman. Gambar 7 Intensitas radiasi matahari wilayah Situgede, Darmaga, Bogor Januari-Desember 2009

4.2 Evapotranspirasi

Menggunakan Metode Aerodinamik, Penman- Monteith dan Panci Kelas A Hasil pendugaan evapotranspirasi dasarian pada metode aerodinamik, Penman- Monteith dan panci kelas A merupakan akumulasi evapotranspirasi dalam sepuluh hari dari evapotranspirasi harian. Nilai evapotranspirasi di wilayah Indonesia berkisar 5 mm per hari dengan jumlah 50 mm per sepuluh harian, jika kondisi tanpa hujan maka wilayah tersebut dianggap kering. Sehingga digunakan evapotranspirasi dasarian. Nilai evapotranspirasi dari ketiga metode memiliki pola dan nilai yang berbeda Gambar 8. Evapotranspirasi pada metode aerodinamik bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan dua metode lainnya. Nilai evapotranspirasi dasarian yang dihitung menggunakan metode aerodinamik menunjukkan nilai yang lebih fluktuatif. Nilai evapotranspirasi menggunakan metode Gambar 6 Profil kelembaban udara rata-rata bulanan wilayah Situgede Darmaga Bogor Januari – Desember 2009 aerodinamik dasarian terbesar adalah 52.0 mm dan nilai terendah 16.8 mm. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan metode aerodinamik cenderung dipengaruhi oleh profil vertikal suhu, kecepatan angin dan kelembaban relatif. Sama dengan penelitian Wilson et al. 2001, pendugaan evapotranspirasi menggunakan metode aerodinamik dengan eddy covariance menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil perhitungan lapang. Pada metode ini, data yang digunakan merupakan data harian yang terdiri dari 3 jam pengukuran 7.00, 14.00 dan 18.00 waktu setempat dimana tiap jam tersebut memiliki kondisi atmosfer yang berbeda. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa kondisi atmosfer tidak netral. Menurut Sumner et al. 2005 evapotranspirasi malam hari dapat diabaikan karena nilai energi rendah yang disebabkan oleh tidak adanya energi dari radiasi matahari. Berdasarkan teori tersebut, maka nilai evapotranspirasi pada metode ini merupakan nilai evapotranspirasi selama 12 jam yang diasumsikan bahwa evapotranspirasi pada malam hari tidak ada karena nilai tersebut sangat kecil. Alat yang digunakan dalam menduga evapotranspirasi menggunakan metode aerodinamik harus memiliki keakuratan dan ketelitian yang tinggi serta dapat mendeteksi perbedaan suhu, kecepatan angin, dan kelembaban udara yang kecil dengan perubahan ketinggian. Sensor pengukur suhu dan kelembaban yang kurang dapat mendeteksi gradien sifat-sifat atmosfer dengan ketinggian akan menyulitkan estimasi evapotranspirasi dengan menggunakan metode aerodinamik. Nilai evapotranspirasi menggunakan metode aerodinamik terdapat beberapa nilai negatif. Menurut Wohlfahrt et al. 2010 nilai negatif pada metode aerodinamik menunjukkan fluks panas bergerak ke arah permukaan, sedangkan nilai positif menunjukkan penguapan terjadi ke luar permukaan. Richardson number Ri digunakan dalam menentukan stabilitas atmosfer. Menurut Tjernstrom et al. 2008 nilai Ri dapat digunakan untuk mengetahui adanya aliran turbulensi yang terjadi pada suatu lapisan. Apabila Ri bernilai negatif maka turbulensi yang terjadi akan cenderung kuat, sedangkan apabila Ri bernilai positif maka turbulensi yang terjadi akan melemah. Pada penelitian ini, nilai Ri yang didapat sangat beragam. Nilai Ri yang terlalu besar dapat diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu dan kecepatan angin yang besar. Hasil evapotranspirasi menggunakan metode Penman-Monteith menghasilkan pola yang cukup statis. Nilai evapotranspirasi dasarian terbesar pada metode Penman-Monteith adalah 42.9 mm dan evapotranspirasi terkecil adalah 19.1 mm. Input data yang digunakan dalam metode ini lebih banyak dibandingkan dengan metode aerodinamik sehingga mewakili kondisi meterologis daerah kajian. Menurut Runtunuwu et al. 2008 metode Penman-Monteith merupakan metode terbaik dibandingkan dengan metode Blaney-Criddle, metode radiasi, dan metode evaporasi panci dalam menduga evapotranspirasi namun konsekuensinya adalah data harus dilengkapi lebih banyak dibandingkan metode lain. Kumar 2011 menjelaskan bahwa metode FAO Penman- Monteith sangat direkomendasikan untuk menduga evapotranspirasi acuan karena koefisien radiasi netto pada metode ini sama akuratnya dengan pengukuran radiasi netto langsung. Gambar 8 Hasil evapotranspirasi dasarian menggunakan metode aerodinamik, Penman- Monteith dan panci Kelas A wilayah Situgede Darmaga Bogor Januari-Desember 2009 Hasil pendugaan evapotranspirasi pada metode panci kelas A menunjukkan nilai yang tidak berbeda jauh dengan metode Penman-Monteith. Evapotranspirasi dasarian minimum sebesar 13.2 mm dan evapotranspirasi maksimum sebesar 37.2 mm Gambar 8. Hasil evapotranspirasi menggunakan panci kelas A bisa menjadi tidak akurat jika curah hujan tinggi karena curah hujan yang lebih besar dari 10 mm membuat perhitungan menjadi kurang teliti. Air hujan yang jatuh ke dalam panci tidak seluruhnya dapat ditampung karena keterbatasan tinggi panci. Jika di air panci sudah mencapai 20-22 cm maka sebagian air hujan akan masuk ke dalam panci dan sebagian lagi akan terpercik keluar panci sehingga nilai evaporasi yang terjadi menjadi lebih besar, padahal seharusnya nilai evaporasi kecil. Menurut Zhang et al. 2007 kecepatan angin dan defisit tekanan uap air dapat mempengaruhi evapotranspirasi panci kelas A. Pada penelitian tersebut, pendugaan evapotranspirasi menggunakan panci kelas A berkorelasi baik dengan metode Penman- Monteith. Hasil pendugaan evapotranspirasi acuan menggunakan panci kelas A dipengaruhi oleh nilai koefisien panci Kp yang digunakan. Pada penelitian ini, digunakan Kp sebesar 0.7, nilai tersebut digunakan merupakan nilai Kp yang cocok pada daerah tropis. Menurut Conceicao 2002 nilai Kp dipengaruhi oleh kecepatan angin, kelembaban relatif, dan jarak darimana angin bertiup dengan rumput. Pada penelitian tersebut Conceicao membandingkan evapotranspirasi acuan menggunakan metode Penman-Monteith dengan evaporasi panci kelas A yang menggunakan Kp dari beberapa teori berbeda seperti FAO, Snyder, dan Pereira. Hasilnya koefisien determinasi antara evapotranspirasi acuan menggunakan metode Penman-Monteith dengan panci kelas A FAO, Snyder, dan Pereira sebesar 78.8; 87.0 dan 81.2. Koefisien determinasi terbesar yaitu yang menggunakan nilai Kp berdasarkan teori Synder. Pendugaan evapotranspirasi menggunakan panci kelas A 70 merupakan pendugaan pada saat nilai Kp sebesar 0.7 dalam perhitungan. Pengurangan presentasi pendugaan dalam metode Penman-Monteith dilakukan dengan menghitung nilai r a dan r s yang memperhitungkan faktor kecepatan angin, ketinggian, dan LAI.

4.3 Evapotranspirasi Periode Basah dan

Dokumen yang terkait

Penentuan Komoditas Unggulan Pertanian Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) (Studi Kasus: Pertanian Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi)

18 117 72

JASA LINGKUNGAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN JAILOLO Sukarmin Idrus Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680. E-mail: sukarmin.idrusgmail.com ABSTRAK - JAS

0 0 7

Evaluasi Algoritma Wouthuyzen dan Son untuk Pendugaan Sea Surface Salinity (SSS) (Studi Kasus: Perairan Utara Pamekasan)

0 0 5

Pemodelan Persamaan Hubungan Kualitas Perairan Menggunakan Citra Landsat 8 untuk Pendugaan Habitat Padang Lamun (Studi Kasus: Pantai Sanur, Bali)

0 0 6

Perbandingan Evaluasi Biaya Pengembangan Sistem Antrian RSUD Dr Soetrasno Rembang Menggunakan Metode Use Case Point dan Function Point (Studi Kasus: CV Pabrik Teknologi)

1 2 11

Analisis Sentimen Twitter Menggunakan Ensemble Feature dan Metode Extreme Learning Machine (ELM) (Studi Kasus: Samsung Indonesia)

0 1 9

Rekonstruksi 3 Dimensi dari Video menggunakan Metode Structure-From- Motion (Studi Kasus: Wilayah Pertambangan Batubara)

0 0 7

Penyelesaian Masalah Penugasan Menggunakan Metode Hungarian dan Pinalti (Studi Kasus: CV. Surya Pelangi)

1 7 7

Analisis Biaya Pembangunan Proyek Perumahan Menggunakan Metode PERT dan EVM (Studi Kasus: Perumahan D’Lion Cluster)

0 1 6

Penentuan Komoditas Unggulan Pertanian Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) (Studi Kasus: Pertanian Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi)

0 0 7