Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

(1)

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

IZIN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA

UTARA BERDASARKAN PERATURAN

DAERAH NOMOR 21 TAHUN 2002

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 110200161 FENNY KLIDIYAN. S

DEPARTEMEN :HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

IZIN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA

UTARA BERDASARKAN PERATURAN

DAERAH NOMOR 21 TAHUN 2002

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 110200161 FENNY KLIDIYAN. S

DEPARTEMEN :HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

IZIN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA

UTARA BERDASARKAN PERATURAN

DAERAH NOMOR 21 TAHUN 2002

SKRIPSI

Disusun Oleh :

NIM : 110200161 FENNY KLIDIYAN S

Diajukan untuk meglengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

Nip. 196002141987032002 (Suria Ningsih, SH, M.Hum)

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Suria Ningsih, SH, M.Hum)

Nip. 196002141987032002 Nip. 195601211979031005 (Hemat Tarigan, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : FENNY KLIDIYAN. S

NIM : 110200161

Jurusan : Hukum Administrasi Negara

Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Perda No. 21 Tahun 2002.

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar hasil dari tulisan saya sendiri dan bukan merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala sesuatu yang timbul dari akibat hukum tersebut akan saya pertanggungjawabkan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 22 Maret 2015 Penulis,

NIM : 110200161 FENNY KLIDIYAN. S


(5)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP IZIN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 21 TAHUN 2002

*Fenny Klidiyan. S

**Surianingsih, SH, M.Hum ***Hemat Tarigan, SH, M.Hum

Keberadaan hutan sangat penting dalam kehidupan dan pelestarian lingkungan sehingga perlu ditingkatkan pengelolaannya dalam rangka mewujudkan peran dan fungsinya secara optimal. Disisi lain penebangan hutan secara liar (illegal loging) tetap berjalan sehingga hutan sebagai paru-paru dunia akhir-akhir ini tidak dapat berfungsi seperti sediakala.

Perumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah: Bagaimanakah izin pengelolaan hutan, bagaimana pengaturan izin pengelolaan hutan berdasarkan peraturan daerah No.21 tahun 2002, bagaimana upaya penegakan Hukum Administrasi Negara terkait maraknya masalah penebangan hutan liar (illegal loging).

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

Adapun izin pengelolaan hutan terdiri dari; izin pemanfaatan kawasan hutan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu, masing-masing terhadap hutan produksi dan hutan lindung dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi, pengaturan izin pengelolaan hutan sesuai Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002 diberikan terhadap Perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik Negara ataupun Badan Usaha Milik Daerah, dikeluarkan oleh Kepala Dinas atas nama Gubernur setelah memenuhi syarat-syarat; 1) setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban membuat rencana izin yang disahkan oleh Dinas atas nama Gubernur dan menjaga, memelihara serta melestarikan tempat usahanya, 2) dalam pelaksanaan kegiatannya setiap pemegang izin usaha wajib mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan dan 3) izin akan diberikan apabila telah memenuhi aspek kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Kemudian, penegakan Hukum Administrasi Negara terhadap maraknya penebangan hutan liar (illegal loging) untuk perorangan atau badan yang tidak memiliki izin usaha pengelolaan hutan dilakukan penghentian kegiatan dilapangan dan menuntutan hukum denda administrasi atau sekaligus pidana. Sementara untuk perseorangan atau badan yang memiliki izin dapat dilakukan; penghentikan pelayanan administrasi, penghentian kegiatan dilapangan, denda administrasi, pengurangan jatah produksi, pencabutan izin maupun dapat diberikan sanksi pidana yang diterapkan secara kumulatif bersama-sama sanksi administrasi.

Kata kunci : Izin, Pengelolaan hutan, penebangan hutan liar (illegal loging)

*) Mahasiswi Fakultas Hukum USU/Penulis

**) Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing I ***) Dosen/ Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing II


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan baik.

Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002”.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis dengan hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Surianingsih, SH, M.Hum, sebagai ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai dosen pembimbing I yang telah banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini

6. Bapak Hemat Tarigan, SH, M.Hum., sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan wawasan keilmuan kepada penulis


(7)

8. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pelayanan administrasi terbaik selama proses akademik penulis 9. Teristimewa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Babe Yudi

Sudiharmoko dan Mami Rina Yanti Pulungan, Kakak Yos Yandani Sudiharmoko dan Adik Khusnul Khatimah Sudiharmoko dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan do’a dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini

10.Teristimewa Shendy Syahpoetra Sembiring dan seluruh rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum USU yang telah banyak membantu penulis selama kuliah

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin……..

Medan, Februari 2015 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IZIN PENGELOLAAN HUTAN ... 18

A. Izin Pengelolaan Hutan ... 18

B. Fungsi Pengelolaan Hutan ... 27

C. Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia ... 30

D. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Masalah Perizinan Pengelolaan Hutan ... 36

E. Kaitan Antara Izin Pengelolaan Hutan dengan Hukum Administrasi Negara ... 54

BAB III : PELAKSANAAN PENGURUSAN IZIN PENGELOLAAN HUTAN BERDASARKAN PERDA NO. 21 TAHUN 2002 ... 56

A. Latar Belakang Lahirnya Perda No.21 Tahun 2002 ... 56


(9)

C. Fungsi Pengelolaan Hutan wilayah Sumatera Utara ... 62

D. Pihak-pihak yang Berwenang Mengeluarkan Izin Pengolahan Hutan ... 66

BAB IV : UPAYA PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERKAIT MARAKNYA PENEBANGAN HUTAN LIAR ... 74

A. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara ... 74

B. Kondisi hutan di Sumatera Utara ... 81

C. Penegakan hukum administrasi negarakaitannya dengan Pengelolaan Hutan ... 89

D. Sanksi Administratif Terhadap Penyalahgunaan Izin Pengelolaan Hutan berdasarkan Perda No. 21 tahun 2002 ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan tidak saja memberikan kehidupan bagi masyarakat yang menempatinya tetapi juga masyarakat di perkotaan. Namun, demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Pengelolaan hutan lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata dan bahkan negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan.

Indonesia mempunyai hutan yang luas, akan tetapi keberadaan hutan sebagai paru-paru dunia akhir-akhir ini tidak dapat berfungsi seperti sediakala, dikarenakan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Kondisi kehidupan bangsa Indonesia saat ini tidak beranjak maju. Berbagai persoalan yang selama ini mencuat banyak yang tidak terselesaikan, bahkan beberapa diantaranya bertambah parah, salah satunya adalah kondisi lingkungan hidup yang bertambah buruk. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dilakukan tidak sesuai daya dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumber daya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Kerusakan ini merupakan indikasi betapa buruknya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia termasuk di bidang kehutanan. llegal logging di Indonesia dilakukan dalam berbagai bentuk dan taktik


(11)

sehingga sulit untuk di identifikasi atau dilacak. Perbedaan pandangan atau belum adanya kesamaan persepsi dalam pemahaman illegal loging menyebabkan beragamnya tafsiran terhadap besarnya dampak illegal logging.

Sebagai akibat dari pengelolaan hutan dengan cara tersebut hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat tajam. Luas hutan berkurang drastis, sedangkan hutan yang tersisa juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Merebaknya konflik sosial sebagai akibat ketidakpastian status kawasan hutan, meningkatnya praktek penebangan liar, penyelundupan kayu, ketidakpastian hukum dan lemahnya stabilitas keamanan telah menjadikan sektor kehutanan sebagai sebuah yang kontradiktif. Disatu sisi, sektor kehutanan secara makro masih dijadikan sebagai salah satu andalan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional melalui aktifitas ekspor, penyerapan tenaga kerja dan penyediaan peluang usaha masyarakat. Namun realitasnya iklim usaha disektor kehutanan saat ini justru tidak memungkinkan setiap pelaku bisnis mampu mewujudkan target-target sosial, ekonomi dan lingkungan berskala lokal, nasional maupun global.

Pemerintah seharusnya segera mengambil sikap tentang hal ini, seperti contohnya melakukan reboisasi (penanaman kembali) hutan-hutan yang telah gundul. Pemerintah juga harus selalu melakukan sosialisasi di daerah-daerah mengenai betapa pentingnya hutan bagi kehidupan kita. Kesadaran juga sangat diperlukan dalam hal ini, karena tanpa kesadaran dari dalam diri kita, semua itu hanya akan menjadi angin lalu. Jadi kita sebagai ciptaan Tuhan harus selalu menjaga dan melestarikan sesuatu yang telah di ciptakannya.1

1


(12)

Mekanisme perizinan pengelolaan hutan dapat mempresentasikan praktek usaha pemanfaatan hasil usaha kayu secara keseluruhan dan menyeluruh, mekanisme perizinan yang profesional, transparan, dan tanggung gugat, minimal menghasilkan pemilik izin yang tangguh propisional, tangguh, serius dan berkomitmen terhadap pengelolaan areal konsesinya, sehingga pemanfaatan hasil hutan kayu yang profesional dapat di praktekkan, namun praktek perizinan yang diskriminatif sarat dengan praktek korupsi dan kolusi birokrasi, yang menghasilkan konglomerasi dan berdampak pada minimalisasi pemanfaatan hutan dalam jangka pendek.2

2

Greenomic Indonesia (ICW), Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Kayu Pada Hutan Alam Dan Hutan Tanaman, Desember 2004, kertas kerja 06. hal 1

Perijinan pengelolaan hutan merupakan sarana yuridis administrasi untuk mencegah dan menanggulangi (pengendalian) pencemaran lingkungan. Jenis dan prosedur perizinan lingkungan masih beraneka ragam, rumit dan sukar ditelusuri, sehingga menjadi hambatan bagi kegiatan dunia industri. Izin sebagai sarana hukum merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemegang ijin dilarang melakukan tindakan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara tersebut. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan pemohon melakukan tindakan-tindakan spesifik yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain izin adalah suatu perkenaan dari suatu larangan. Melalui perizinan pengelolaan hutan, seorang warga negara diberikan suatu perkenaan untuk melakukan sesuatu aktivitas yang semestinya dilarang. Ini berarti, yang esensial dari perijinan penebangan hutan adalah larangan suatu tindakan, kecuali diperkenakan dengan izin. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan perizinan mutlak dicantumkan keluasan perkenaan yang dapat diteliti batas-batasnya bagi setiap kegiatan.


(13)

Perbaikan tata kelola hutan merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia. Sebagai negara pemilik hutan tropis yang besar, deforestasi dan degradasi hutan juga merupakan ancaman besar dalam pengelolaan hutan. Dalam kerangka pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, izin merupakan instrumen pengendali pemanfaatan sumber daya alam. Namun demikian, dalam kenyataannya, izin menjadi salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan di Indonesia.3

Perizinan pengelolaan hutan, inilah yang kerap kali menjadi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat, berkutat dengan perizinan, karena perizinan berkaitan dengan kepentingan yang di ingikan oleh masyarkat untuk melakukan aktivitas tertentu dengan mendapat persetujuan atau legalitas dari pejabat negara sebagai alat administrasi didalam pemerintahan suatu negara. Sebagai suatu bentuk kebijakan tentunya izin tidak boleh bertentangan dengan

Mekanisme perijinan pengelolaan hutan memiliki tumpuan prosedur hukum administrasi Negara dalam penerbitan izin pengelolaan hutan. Untuk izin pengelolaan hutan diberikan secara tertulis dalam bentuk penetapan organ pemerintahan. Karenanya dalam penerbitan izin pengelolaan hutan yang keliru atau tidak cermat serta tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan kepentingan lingkungan akan berakibat pada ketergantungan keseimbangan ekologis yang sulit direhabilitasi. Sumber daya hutan di kawasan hutan lindung, apabila dikonversi atau dialihfungsikan menjadi pertambangan, sangat sulit untuk dilakukan rehabilitasi. Walaupun telah dilakukan reklamasi terhadap bekas tambangan, tentu hal ini tidak akan mengembalikan fungsi hutan yang telah ada.

3

Feby Ivalerina Kartikasar, Maret Priyanta, Dewi Tresya dan Wulan Kusumawardhani,

Perizinan Terpadu untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia, Penerbit ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Jakarta, 2012, hal xi


(14)

peraturan perundang-undangan serta norma norma kehidupan yang ada dimasyarakat baik secara vertikal maupun horizontal.

Sjahran Basah dalam SF. Marbun dkk mengemukakan bahwa administrasi negara adalah alat perlengkapan negara baik di tingkat pusat dan daerah yang menjalankan seluruh kegaiatan bernegara dalam menjalankan pemerintahan. Alat tersebut dapat berupa seorang petugas/pejabat maupun badan pemerintahan. Alat perlengkapan negara ini dilengkapi dengan wewenang untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan mengambil kebijakan-kebijakan. Wewenang mengambil kebijakan tersebut bersumber dari undang-undang, peraturan pemerintah dan Peraturan daerah.4

Pengelolaan hutan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kemudian dijabarkan lebih lanjut pada Peraturan Daerah No. 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan di Propinsi Sumatera Utara. Rencana pengelolaan hutan mengacu pada potensi dimiliki menurut izin kawasan kelola hutan yang diberikan, di dalamnya telah dikaji aspek kelestarian hutan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan. Kondisi yang dilahirkan dari Peraturan Daerah tersebut adalah adanya kegiatan untuk melakukan pengelolaan hutan yang dimiliki Pemerintah Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Daerah atau Kabupaten. Menjadi pertanyaan dalam penelitian Dengan dasar tersebut maka keberadaan hutan adalah sebagai salah satu sumber ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika yang sangat penting dalam menunjang wilayah Provinsi Sumatera Utara, dengan dasar tersebut maka amatlah sangat penting untuk mengatur perihal ketertiban pelaksanaan pengelolaan hutan itu sendiri termasuk izin melakukan pengelolaan hutan.

4

SF Marbun & Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 2006, hal 81


(15)

sudah siapkah Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam hal penertiban dan pemberian izin dalam pengelolaan hutan secara bijak. Karena tanpa disadari bahwa otonomi daerah tersebut menemukan adanya kesan rnelahirkan raja-raja kecil di daerah. Dengan diserankan kepada daerah perihal pengelolaan daerah maka akan terbuka hal-hal yang menjadi sebab penyelewengan kekuasaan untuk menguntungkan orang secara pribadi maupun satu kelompok tertentu. Oleh sebab itu merasa tertarik membahas masalah kewenangan Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam hal pengelolaan lingkungan hidup khususnya lagi dalam hal pemberian izin pengelolaan hutan, khususnya dalam menjalankan fungsi pemerintahan bagi keselamatan masyarakatnya.

Praktik pengelolaan hutan khususnya di Provinsi Sumatera Utara dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, dimana pihak penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. sayangnya, kehidupan masyarakat provinsi Sumatera Utara sangat memprihatinkan. Untuk menyelamatkan dunia, tak ada pilihan lain, kecuali memulai untuk tidak merusak hutan dengan aktivitas penebangan komersial yang hanya meraup keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan keseimbangan alam.

Dan dalam hukum administrasi negara juga akan diberikan sanksi secara administratif kepada pihak-pihak yang melanggar aturan yang telah dibuat. Sedangkan administrasi negara itu sendiri sering dirumuskan sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat (trapgewijs) yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan Pemerintah dalam arti luas


(16)

(Overheid), yang tidak diserahkan kepada badan-badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman.

Dari uraian latar belakang tersebut diatas, penulis ingin lebih mengetahui dan mendalami permasalahan mengenai penebangan hutan tersebut, sehingga hal itu melatar belakangi penulisan skripsi yang diberi judul: “Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002.”

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakahizin pengelolaan hutan?

2. Bagaimanapengaturan Izin Pengelolaan Hutan Berdasarkan Peraturan daerah No. 21 Tahun 2002?

3. Bagaimana upaya penegakan hukum administrasi negara terkait maraknya masalah penebangan hutan liar?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Untuk mengetahui izin pengelolaan hutan di Propinsi Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui pengaturan Izin pengelolaan hutan berdasarkan Peraturan daerah No. 21 Tahun 2002.

c. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum administrasi negara terkait maraknya penebangan hutan liar.


(17)

2. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah perpustakaan. 2.Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam memberikan penegakan hukum administrasi negara terhadap izin pengelolaan hutan.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat mengenai izin pengelolaan hutan pada Provinsi Sumatera Utara.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul skripsi ini adalah Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002 merupakan judul skripsi yang belum pernah ditulis sebelumnya, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Salah satu bentuk kewenangan yang menjadi perhatian adalah kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin, yang lahir berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah. Effendi mengemukakan bahwa tugas pemerintah dalam mengatur mempunyai makna pemerintah terlibat dalam penerbitan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan sistem-sistem perizinan melalui instrumen pengaturan tersebut,


(18)

pemerintah mengendalikan masyarakat dalam bentuk peraturan termasuk izin yang mengadung larangan dan kewajiban. Dengan demikian, izin sebagai salah satu instrumen pemerintahan berfungsi mengendalikan tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.5

Dalam peristilahan kehutanan sebagaimana yang dikutip oleh Salim yang di maksud dengan penebangan hutan adalah suatu aktivitas atau kegiatan penebangan kayu di dalam kawasan hutan yang di lakukan oleh seorangatau sekelompok ataupun atas nama perusahaan berdasarkan izin yang di keluarkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur tata cara penebangan yang di atur dalam peraturan perundang-undangan kehutanan. Pengertian di atas mengandung maksud bahwa logging atau penebangan dapat

dibenarkan sepanjang mempunyai izin, mengikuti prosedur penebangan yang benar berdasarkan aspek kelestarian lingkungan dan mengikuti prosedur pemanfaatan dan peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang berlaku.6

Perijinan lingkungan digunakan oleh penguasa sebagai suatu instrumen untuk mempengaruhi dalam hubungan antara warga negara dan penguasa, dengan harapan warga negara mau dan mampu mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan kongkrit yang telah ditetapkan. Sedang perizinan organ pemerintah telah menciptakan hak-hak (izin) dan kewajiban-kewajiban (melalui ketentuan-ketentuan) tertentu bagi yang berhak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat-syarat yang menjadi dasar bagi badan pemerintah untuk memberi izin. Realitasnya, dalam banyak hal izin dikaitkan dengan syarat-syarat

5

Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal 62

6


(19)

yang berhubungan erat dengan fungsi perizinan sebagai salah satu instrumen pengarah (pengendali) dari penguasa.

Penebangan tanpa izin termaksud kejahatan ekonomi dan lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan lingkungan atau ekosistem hutan dan dapat di kenakan sanksi pidana dengan ancaman kurungan paling lama sepuluh sampai lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 5-10 milyar (Undang-Undang N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78).

Ridwan menyebutkan Izin (vergunning) juga dijelaskan sebagai

perkenan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.7

Pudyatmoko mengemukakan bahwa Izin merupakan suatu keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan. Selain itu, izin (vergrunning) merupakan dispensasi pada suatu

larangan oleh undang-undang yang bersangkutan berbunyi : “Dilarang tanpa izin…(melakukan)… dan seterusnya”.8

Dengan memberi izin, pemerintah memberikan perkenan kepada orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Izin dalam arti sempit adalah izin yang pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau menghalangi keadaan-keadaan yang buruk; pembebasan/dispensasi adalah pengecualian atas larangan sebagai aturan umum, yang berhubungan erat dengan

7

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Penerbit Rajawali Pres, 2006, hal 47

8


(20)

keadaan-keadaan khusus peristiwa; konsesi adalah izin yang berkaitan dengan usaha yang diperuntukkan untuk kepentingan umum.9

Bruggink menyebutkan bahwa izin (toestemming/permisi) adalah

pembolehan khusus terhadap sesuatu yang secara umum dilarang.

10

Sedangkan Ridwan mengemukakan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa dalam izin terdapat beberapa unsur yaitu Instrumen yuridis, peraturan perundang-undangan, organ pemerintahan peristiwa konkrit, serta prosedur dan persyaratan tertentu.11

Riawan mengemukakan bahwa formalitas usaha dalam bentuk izin adalah sebuah bentuk pengakuan negara terhadap keabsahan suatu kegiatan yang dilakukan oleh warga negaranya. Dengan demikian pengakuan ini berarti kegiatan usaha tersebut dianggap sah menurut peraturan atau hukum (positif) yang berlaku di negara yang bersangkutan. Dengan adanya pengakuan secara formal tersebut, maka negara wajib memberikan perlindungan, pengawasan dan pembinaan terhadap suatu kegiatan usaha.

12

Hutan merupakan kumpulan pohon-pohon dan hewan yang berada dalam suatu kawasan yang saling berinteraksi, mereka hidup di atas tanah yang hidup dalam keseimbangan. Hutan ini akan tetap lestari bila kita mau melestarikannya. Namun, apabila tidak dilestarikan maka akan timbul kepunahan terhadap ekosistem hutan tersebut. Kepunahan atau kerusakan hutan ini salah satunya bisa disebabkan

9

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Penerbit Yudika, 1993, hal 2-3

10

Bruggink, J.J.H. Refleksi Tentang Hukum Administrasi Negara, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal 101

11

Op.Cit, Ridwan HR, hal 155

12

W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008, hal 64


(21)

oleh penebangan dan kebakaran hutan secara liar, dan oleh sebab itu Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. selain dari pada itu adanya penambah penyebab deforestasi hutan semakin kompleks.13

Dampak-dampak dari pengelolaan hutan-hutan ini jauh lebih besar daripada batasan-batasan yang diberikan dalam pemberian hak pengusahaan hutan. Pengelolaan hutan di Indonesia yang tak terkendali, dimana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Pengelolaan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga

dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pengelolaan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.14

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :

13

http://dek-dilla.blogspot.com/2012/02/makalah-penebangan-hutan.html, diakses tanggal 24 Oktober 2014

14


(22)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaipijakan normatif.15

2. Sumber Data

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, oleh karena itu maka upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data baik yang bersifat bahan hukum primer, sekunder maupun tersier seperti doktrin-doktrin dan perundang-undangan atau kaedah hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain

Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan internet.16

15

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal 163

16


(23)

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung atau melengkapi data primer dan data sekunder, seperti: kamus, kamus hukum, jurnal, makalah, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini mengumpulkan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan para sarjana dan ahli hukum yang bersifat teoritis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah

analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun

secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk

mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya

tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif

dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif berupa

data-data yang akan diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.


(24)

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IZIN PENGELOLAAN HUTAN Bab ini berisikan tentang Izin Pengelolaan Hutan, Fungsi Pengelolaan Hutan, Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Masalah Perizinan Pengelolaan Hutan dan Kaitan Antara Izin Pengelolaan Hutan dengan Hukum Administrasi Negara. BAB III : PELAKSANAAN PENGURUSAN IZIN PENGELOLAAN HUTAN

BERDASARKAN PERDA NO. 21 TAHUN 2002

Bab ini berisikan tentang Latar Belakang Lahirnya Perda No.21 Tahun 2002, Syarat dan Prosedur Pengelolaan Hutan, Fungsi Pengelolaan Hutan wilayah Sumatera Utara dan Pihak-Pihak yang Berwenang Mengeluarkan Izin pengelolaan hutan.

BAB IV : UPAYA PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERKAIT MARAKNYA PENEBANGAN HUTAN LIAR

Bab ini berisi tentang Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara, Kondisi hutan di Sumatera Utara, Penegakan hukum administrasi negara kaitannya dengan Pengelolaan Hutan, Sanksi Administratif Terhadap Penyalahgunaan Izin Pengelolaan Hutan berdasarkan Perda No. 21 tahun 2002.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG IZIN PENGELOLAAN HUTAN


(26)

Pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan buah-buahan, damar, kopi dan kakao dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani (agroforest). Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan pemerintah daerah setempat.

Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per tahun. Pengelolaan sumber kehutanan modern berdasarkan sifat renewable dan potensi serba guna bagi kesejahteraan rakyat sepanjang masa.

Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan ijin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.17

Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undag-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.18

17

Op.Cit, Philipus Mandiri Hadjon, hal 2

18

Op.Cit, Ridwan HR, hal 159


(27)

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.19

Izin juga dapat dilihat dari arti yang sempit yang tujuannya adalah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya.20

Jadi, yang pokok pada izin adalah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus.21

Menurut Prajudi Admosudirjo, mengatakan bahwa "izin (verguning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi daripada suatu larangan oleh undang-undang".

Membicarakan pengertian izin pada dasarnya mencakur suatu pengertian yang sangat kompteks yaitu berupa hal yang membolehkan seseorang atau badan hukum melakukan sesuatu hal yang rnenurut peraturan perundang-undangan harus memiliki izin. terlebih dahulu, maka akan dapat diketahui dasar hukum dari izinnya tersebut.

22

Pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi : "Dilarang tanpa izin memasuki areal/lokasi ini". Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan rincian daripada syarat-syarat, kriteria dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan

19

Op.Cit, Philipus Mandiri Hadjon, hal 3

20 Ibid 21

Ibid 22


(28)

penetapan prosedur atau petunjuk pelaksanaan kepada pejabat pejabat administrasi negara yang bersangkutan.

Menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Bachsan Mustafa :

"Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga mernperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (verguning)".23

Setelah kita memahami arti daripada perizinan maka timbul suatu pertanyaan apa yang dimaksud dengan hukum perizinan ? Hukum perizinan adalah : ketentuan yang berkaitan dengan pemberian izin atau bentuk lain yang berkaitan dengan itu yang d.ikeluarkan oleh pemerintah sehingga dengan pemberian izin tersebut

Kata perizinan kita peroleh atau kita dengar dan sepintas lalu kata perizinan mengandung arti yang sederhana yaitu pemberian izin terhadap sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas atau kegiatan, namun bila kita telusuri lebih jauh mengenai pengertian perizinan itu tidaklah semudah apa yang kita sebutkan tadi. Lalu apa sebenarnya perizinan tersebut. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan maksudnya dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi sertifikat, penentuan kuota dan izin untuk melaksanakan sesuatu usaha yang biasanya hams dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan.

23

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 80.


(29)

melahirkan hak bagi pemegang izin baik terhadap seseorang, badan usaha, organisasi, LSM dan sebagainya untuk beraktivitas.

Hukum perizinan merupakan hukum publik yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah di pusat maupun di daerah sebagai aparatur penyelenggaraan negara mengingat hukum perizinan ini berkaitan dengan pemerintah maka mekanisme media dapat dikatakan bahwa hokum perizinan termasuk disiplin ilmu Hukum Administrasi Negara atau hukum 'Tata Pemerintahan seperti yang kita ketahui pemerintah adalah : sebagai pembinaan dan pengendalian dari masyarakat dan salah satu fungsi pemerintah di bidang pembinaan dan pengendalian izin adalah pemberian izin kepada masyaralat dan organisasi tertentu yang merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan di dalam praktek pemerintahan.

Hutan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi umat manusia. Hal ini didasarkan pada banyaknya manfaat yang diambil dari hutan. Misalnya hutan sebagai penyangga paru-paru dunia. Menurut Black Law Dictionary, hutan (forest) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan tempat hidup segala binatang.24

Hutan adalah suatu lapangan pohon-pohon secara keseluruhan yang merupakan persekutuan hidup alam hayati besertaalam lingkungannya, dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Hutan merupakan harta kekayaan yang tidak ternilai, oleh karena itu hasil dari hutan perlu dijaga, dipertahankan dan di lindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik. Istilah hutan merupakan terjemahan

24

Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan), Penerbit Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, hal. 9


(30)

dari kata bos (Belanda) dan forrest(Inggris).Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan.

Pengelelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitas dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Pemanfaatan pada kawasan hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pad ataman nasional.25

1. Unsur lapangan yang cukup luas yang disebut tanah hutan.

Ada 4 (empat) unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu:

2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna. 3. Unsur lingkungan.

4. Unsur penetapan pemerintah.

Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan disini, menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh.26

25

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ke-2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 167

26

Ibid, hal. 41

Adanya penetapan pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena dengan adanya penetapan pemerintah tersebut, kedudukan hutan menjadi sangat kuat.


(31)

1. Agar setiap orang tidak sewenang-wenang untuk membabat, menduduki dan atau mengerjakan kawasan hutan.

2. Mewajibkan kepada pemerintah melalui Menteri Kehutanan untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan.

Adapun tujuan dan prinsip-prinsip perlindungan hutan adalah penyelenggaraan perlindungan hutan adalah bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.27

1. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.

Adapun prinsip- prinsip perlindungan hutan yaitu:

2. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.28

Menurut Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 5 sampai dengan pasal 9 yaitu hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan.

Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.29

27

Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 5

28

Ibid, Pasal 6

29

Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan hutan di Propinsi Sumatera Utara, Pasal 1 angka 13


(32)

Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrust air laut dan memelihara kesuburan tanah.30 Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang meliputi Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Baru.31

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.32

Pelaksanaan izin pemanfaatan hutan, pemegang izin diwajibkan melaksanakan semua ketentuan mengenai kewajiban selaku pemegang izin. Inti kewajiban tersebut terbagi pada tiga unsur utama yakni, pertama kewajiban yang berkaitan dengan teknis administrasi pemegang izin. Kedua, kewajiban financial kepada pemerintah, yakni membayar Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Kegita, kewajiban untuk menjaga kawasan izin yang telah diberikan. Ketiga kewajiban tersebut tidak tegas menyatakan, bahwa penyelenggaraan izin pemanfaatan hutan juga memperhatikan kemampuan daya dukung daya tampung lingkungan hidup. Pada paraturan tentang kehutanan tidak ditemukan kewajiban pemegang izin untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Padahal, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Upaya Pengelolaan

30

Ibid, Pasal 1 angka 14

31

Ibid, Pasal 1 angka 15

32


(33)

Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin bidang kehutanan.33

1. Izin pemanfaatan kawasan hutan

Hutan yang pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu pertama hutan lindung, kedua hutan produksi dan ketiga hutan konservasi, di dalam pengelolaanya membutuhkan beberapa izin sesuai dengan jenis usaha pemanfaatannya. Jenis-jenis izin tersebut antara lain :

Jenis-jenis usaha dalam pemanfaatan kawasan hutan ini terdiri dari budidaya jamur, budidaya tanaman obat (herbal), budidaya tanaman hias, budidaya persatuaan alam, budidaya tanaman pangan, budidaya perlebahan, budidaya hijauan pakan ternak, budidaya payau, budidaya penangkaran satwa dan tumbuhan, budidaya rotan dan budidaya lainnya yang tidak merusak ekosistem sumber daya alam hutan.

2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan terhadap hutan lindung dan hutan produksi.

Jenis-jenis usahanya terdiri dari; usaha pemanfaatan air, usaha wisata alam/rekreasi, usaha olah raga tantangan, perdagangan karbon, usaha penyelamatan hutan dan lingkungan.

3. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi. Jenis-jenis usaha hasil hutan kayu meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, permanen, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan, sementara jenis-jenis usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu meliputi kegiatan penebangan, permudaan, pemeliharaan, pengamanan,

33


(34)

pengelolaan dan pemasaran hasil, pemanfaatan getah, kulit kayu, daun, buah atau biji meliputi kegiatan permanen, pemeliharaan, pengelolaan dan pemasaran hasil. 4. Izin pemungutan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi

dan hutan lindung.

Jenis-jenis usaha dalam pemungutan hasil hutan kayu meliputi pengambilan hasil hutan kayu meliputi pengambilan hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan individu dan atau fasilitas umum penduduk sekitar hutan pada kawasan hutan produksi alam. Sementara jenis-jenis usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung antara lain; mengambil madu, mengambil rotan, mengambil buah dan aneka hasil hutan lain dan perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional.

B. Fungsi Pengelolaan Hutan

Secara etimologis, hutan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta, berarti kumpulan rapat pepohonan dan berbagai tumbuhan lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Hutan adalah habitat bermacam spesies tumbuhan, spesies hewan, beberapa kelompok etnik manusia, yang berinteraksi satu sama lain, sekaligus dengan lingkungan sekitarnya.34

Hutan tidak hanya bermanfaat bagi spesies hewan, spesies tumbuhan, atau kelompok etnik tertentu yang meninggalinya saja. Setidaknya ada tiga manfaat hutan yang berpengaruh global terhadap bumi sebagai habitat yang lebih luas. Tiga manfaat tersebut adalah: hutan sebagai tempat resapan air; hutan sebagai payung raksasa; hutan sebagai paru-paru dunia; dan hutan sebagai wadah kebutuhan primer. Sebagai

34

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahcisa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal, 286.


(35)

tempat resapan air, hutan merupakan daerah penahan dan area resapan air yang efektif. Banyaknya lapisan humus yang berpori-pori dan banyaknya akar yang berfungsi menahan tanah, mengotimalkan fungsi hutan sebagai area penahan dan resapan air tersebut. Kerusakan hutan bisa menyebabkan terganggunya fungsi hutan sebagai penahan air. Daerah dan habitat sekitar hutan yang rusak itupun sewaktu-waktu bisa ditenggelamkan banjir. Selain itu, kerusakan hutanpun akan membuat fungsi hutan sebagai area resapan terganggu. Ketiadaan area resapan ini bisa menimbulkan kelangkaan air yang bersih dan higienis, atau air siap-pakai.

Selain fungsinya sebagai tempat resapan air, hutan berfungsi pula sebagai 'payung raksasa'. Rapatnya jarak antara tetumbuhan satu dengan tumbuhan lainnya, juga rata-rata tinggi pohon di segenap lokasinya, berguna untuk melindungi permukaan tanah dari derasnya air hujan. Tanpa 'payung raksasa' ini, lahan gembur yang menerima curah hujan tinggi lambat laun akan terkikis dan mengalami erosi. Maka, dengan begitu, daerah-daerah sekitarnyapun akan rentan terhadap bahaya longsor.

Jika manfaat hutan sebagai daerah resapan terkait dengan keseimbangan kondisi air, bila fungsinya sebagai 'payung raksasa' terkait dengan kondisi tanah permukaan, maka sebagai 'paru-paru dunia' hutanpun 'bertanggung-jawab' atas keseimbangan suhu dan iklim. Kemampuan hutan hujan dalam menyerap karbondioksida, membuat suhu dan iklim di bumi selalu seimbang. Seandainya fungsi hutan sebagai 'paru-paru-nya dunia' itu terganggu, suhu dan iklim di bumi akan selalu bergerak ke titik ekstrem: kadang temperaturnya terlalu rendah, kadang temperaturnya bisa terlalu tinggi.

Karena hutan kaya akan hasil bumi, hutanpun menyimpan manfaat bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan pokoknya. Rotan, madu, tanaman


(36)

obat-obatan, dan banyak jenis sumber hayati lainnya, membuat hutan pantas dijuluki sebagai 'warung hidup' atau 'apotek hidup' besar. Dengan hutan hujan tropis yang sangat luas, rakyat Indonesia seharusnya tercukupi dalam hal kebutuhan pokok, terutama oleh sumber nabati dan hewani yang banyak terdapat di dalam hutannya. Melihat lokasinya, hutan bumi terbagi dalam tiga kelompok besar: hutan tropis, hutan subtropis (temperate), dan hutan boreal35

1. Fungsi ekonomi : masyarakat disekitar hutan dapat menikmati hasil dari hutan yang mereka kelola dengan harapan ada peningkatan ekonomi yang stabil dan menciptakan lapangan kerja bagi generasi mendatang dengan pola peningkatan pengelolaan hutan yang berteknologi ramah lingkungan.

.

Aktivitas pengelolaan hutan dengan tujuan produksi hasil hutan pada umumnya melibatkan kegiatan inventarisasi hutan, tata hutan dengan membentuk blok dan petak, pelaksanaan silvikultur (misalnya penanaman, penjarangan, praning, dan pemeliharaan lainnya).

Dalam pengelolaan hutan perlu memperhatikan beberapa fungsi diantaranya :

2. Fungsi sosial: terciptanya solidaritas masyarakat sekitar hutan dan menghindari kesenjangan sosial diantara kelompok masyarakat, maka dalam hal ini pengelolaan hutan dilakukan secar kolektif.

3. Fungsi ekologi : hutan berfungsi sebagai konservasi, untuk mencegah terjadinya bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran serta memberikan perlindungn terhadap masyarakat disekitarnya (dari segi keamanan dan kesehatan).36

35

Hutan dan Permasalahannya,

diakses tanggal 27 Februari 2015

1. 36 Adhiprasetyo,


(37)

Beberapa fungsi diatas sangat penting untuk diterapakan dalam pengelolaan hutan sistem masyarakat. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa masyarakat punya cara tersendiri dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang ada di hutan, mereka tetap memperhatikan budaya yang diwarisi dari para pendahulunya dan juga kearifan lokal masyarakat sangat mendukung dengan langkah-langkah yang mereka lakukan dalam pengelolaan hutan,beberapa hal diantaranya : melindungi sumber air dengan melestarikan pepohonan yang banyak mengandung kadar air, tidak menebang pohon di area kemiringan yang rawan longsor/banjir, menanam pohon yang produktif (hanya diambil buahnya) serta menanam tanaman yang bisa mendatangkan satwa.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian dan menyelamatkan fungsi hutan antara lain : membuat kesepakatan adat yang dibuat oleh para tokoh masyarakat yangn melibatkan semua lapisan masyarakat, yang isinya membuat peraturan yang harus ditaati dan sanksi bagi yang melanggar beberapa kesepakatan adat diantaranya : tidak menebang pohon yang berfungsi untuk penyerapan air, mengolah lahan dengan tidak menggunakan bahan kimia, bersdia dan sanggup menjaga serta melestarikan hutan, serta mewajibkan setiap masyarakat untuk menanam pohon yang produktif.

C. Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia

Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang semakin terganggu. Pengelolaan hutan saat ini lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan


(38)

ekonomi semata, dan bahkan Negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan.

Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepetingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah, sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejaterahkan masyarakat hanya mensejahterahkan segelintir orang.37

Secara keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik Selama lebih dari tiga dasawarsa kepemimpinan di era baru. Keadaan hutan Indonesia memiliki potret yang menyedihkan pengelolaan kawasan hutan yang eksploitatif menjadikan hutan dan sumber daya alam yang ada didalamnya sebagai obyek eksploitasi untuk mengejar pembangunan ekonomi tanpa memperdulikan kerentanan 41 tahun 1999 sebenarnya telah mencoba mengubah paradigma pengelolaan hutan yang tadinya sangat eksploitatif ke arah pengelolaan yang juga menitikberatkan perlindungan sumber daya hutan dan pemberian akses pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mencoba mengembangkan kewajiban Pemerintah dan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian terpenting dari unsur pembentuk lingkungan hidup. Namun, tampaknya komitmen Pemerintah dalam kedua undang-undang tersebut hanya berhenti sebatas regulasi semata tanpa ada aplikasi yang memadai.

37


(39)

horizontal di masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Deforestasi

Deforestasi di Indonesia sebenarnya berangkat dari warisan suatu sistem politik dan ekonomi korup yang menganggap bahwa sumber daya alam, khususnya hutan merupakan sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi sebanyak-banyaknya demi mengejar keuntungan pribadi, tanpa memperdulikan akibatnya terhadap kelestarian ekosistem kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan selama ini telah membawa ancaman deforestasi yang cukup mengejutkan. Deforestasi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kebakaran hutan, penebangan liar (illegal logging), penambahan hutan secara ilegal, konversi hutan untuk tempat tinggal, industri serta kegiatan pembangunan lainnya dan kesalahan pengelolaan. Dengan angka deforestasi hutan yang sedemikian besar, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pemanfaatan hutan selama ini telah membawa kepada hilangnya ekosistem kawasan hutan.

2. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan umumnya terjadi di hutan Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan diduga terjadi, baik secara disengaja maupun secara alami. Secara alami, kebakaran hutan diduga sebagai konsekuensi adanya endapan kayu asing. Namun, belakangan ini diketahui bahwa kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor deforestasi yang sangat tinggi. Kebakaran hutan secara sengaja pada umumnya lebih untuk kegiatan perladangan maupun pembukaan lahan untuk tujuan lainnya. Kebakaran hutan tidak dapat disangkal menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik dari segi ekonomi maupun konservasi yang meliputi


(40)

rusaknya habitat dan ekosistem hutan, pencemaran udara, gangguan penerbangan, gangguan kesehatan, kematian maupun rusaknya harta benda.

3. Kebijakan otonomi daerah

Instrumen kebijakan perimbangan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemeruntah Daerah, baik dalam UU No.22 tahun 2009 maupun UU No.32 tahun 2004 telah memberikan porsi kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Hal ini tentu saja memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk dalam sektor kehutanan. Namun, sayangnya, orientasi pemanfaatan hutan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah tidak mengutamakan unsur konservasi dan kelestarian ekosistem. Pemanfaatan hutan seringkali disalahartikan sebagai eksploitasi besar-besaran seluruh sumber daya hutan yang tentunya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.

4. Konflik Agraria

Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran. Kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaimkan hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir. Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah kosesi yang terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik


(41)

horizontal tersebut. Konflik atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumber daya alam tersebut akan tetap terjadi konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas.

5. Penebangan Liar (Illegal Loging) dan Penambangan Liar (Ilegal Mining)

Timbulnya kegiatan penebangan liar lebih banyak dilatarbelakangin oleh lemahnya penegakan hukum dan buruknya sistem perekonomian. Ketika krisis ekonomi melanda tahun 1998, terjadi putusan hubungan kerja besar-besaran yang menyebabkan masyarakat kemudian beralih mencari nafkah dengan melakukan kegiatan penebangan hutan (ilegal logging). Selain itu, kegiatan penebangan liar juga tidak jarang dilakukan oleh perusahaan besar yang tidak memiliki izin. Diduga kerugian negara akibat penebangan liar mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian akibat hilangnya tegakan serta habitat satwa liar. Khususnya penambangan liar pada umumnya dilakukan secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan maupun perusahaan pertambangan skala kecil yang tidak memiliki izin usaha. Namun, tidak jarang pula dilakukan oleh perusahaan besar yang bersekongkol dengan aparat pemerintah setempat. Contoh paling nyata kegiatan penambangan liar adalah tambang biji emas di kawasan daerah aliran sungai atau biasa disebut dengan penambangan emas tanpa izin.

6. Kerusakan Lingkungan

Kegiatan pertambangan seringkali menjadi penyebab rusaknya kelestarian lingkungan dikawasan hutan. Kerusakan tersebut terjadi baik pada masa penambangan maupun pasca tambang. Dampak lingkungan ini sangat terkait dengan penerapan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Pada masa penambangan, permasalahan seringkali berkaitan dengan pembuangan


(42)

limbah (dumping), hilangnya biodiversity (keanekaragaman hayati) akibat pembukaan lahan maupun adanya air asam tambang. Sedangkan masa pasca tambang, banyak perusahaan yang kemudian meninggalkan wilayah pertambangannya apabila tidak terdapat kandungan bahan tambang atau cadangan telah habis. Oleh karena itu, kebijakan reklamasi pasca tambang harus memiliki aturan yang jelas serta pengawasan yang ketat dari aparat pemerintah. 7. Tumpang tindih lahan Pemanafaatan hutan

Pemasalahan lain yang tidak kalah penting dalam tumpang tindih antara lahan tambang dan kehutanan. Hutan merupakan rumah bagi ribuan organisme alami dan tempat bagi senyawa-senyawa organik yang membusuk. Setelah melalui periode yang cukup panjang, senyawa organik yang membusuk tersebut tertimbun di dalam tanah dan menghasilkan mineral-mineral organik yang berpotensi menjadi bahan tambang. Oleh karena itu, kawasan hutan merupakan salah satu tempat paling strategis untuk pertambangan.38

D. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Masalah Perizinan Pengelolaan Hutan

Berapa banyak masalah pengelolaan hutan yang diselesaikan. Salah satunya menyangkut proses perizinan yang melangkahi prosedur yang ada. Seluruh kebijakan dan izin pengelolaan hutan harus dievaluasi. Namun, yang melakukan evaluasi tersebut bukan pihak yang menjadi bagian dari masalah dalam pengelolaan hutan. Misalnya, pemerintah pusat memerintahkan pemerintah daerah (Pemda) untuk mengevaluasi izin yang sudah diterbitkan. Padahal, kepala daerah menjadi bagian dari

38

Ristyo Pradana, Kebijakan Kehutanan: Mencari Solusi Sistem Pengelolaan Hutan Indonesia, Fakultas kehutanan Universitas Hasanuddin, 2009, hal 5


(43)

masalah karena kerap menerbitkan izin tanpa mengacu prinsip perlindungan kawasan hutan, lingkungan dan sosial.39

1. Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pekerjaan pemberian izin oleh pemerintah pada dasarnya merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi 1 (satu) yang dilakukan dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan instansi pemerintahan yang mengeluarkan izin tersebut. Sehingga membicarakan ketentuan-ketentuan mengenai masalah perizinan amat luas sekalanya karena beranekaragamnya jenis izin yang dikeluarkan sesuai dengan kedudukan masing-masing instansi pemerintahan itu sendiri. Tetapi meskipun demikian secara umum dapat dikatakan ketentuan ketentuan mengenai masalah perizinan tersebut merupakan pekerjaan pemerintah dalam bentuk nyata (konkret) yang diwujudkan dalam perbuatan mengeluarkan ketetapan yang mempunyai ciri konkret artinya nyata mengatur orang tertentu yang disebutkan identitasnya sebagai pemohon izin untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pemerintah agar seseorang tersebut dapat diberikan izin.

Ketentuan-ketentuan mengenai masalah perizinan pengelolaan hutan meliputi:

Kekayaan sumber daya alam hutan dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai sumber daya hutan oleh Negara menurut Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memberikan wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan

39


(44)

menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat (2)). Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l); dan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 50 ayat (3) huruf m).

Sementara Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut ‘UU Kehutanan´) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya menjabarkan tindakan-tindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain:mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasankonservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5)


(45)

dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan. 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang terdiri dari 12 Bab dan 114 Pasal ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.40

Pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin. Kejahatan

40

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 1 angka 1


(46)

itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional.

Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.41Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa. Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan.42

Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.43 Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.44

41

Ibid, Pasal 1 angka 3

42

Ibid, Pasal 7

43

Ibid, Pasal 1 angka 4

44

Ibid, Pasal 1 angka 9

Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri


(47)

untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.45

3. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)

Melalui pengawasan yang konsisten dan teratur maka berbagai bentuk pelanggaran izin dan peraturan perundang-undangan yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan dapat dicegah sedini mungkin. Dengan demikian pengawasan merupakan "jantung" dari penegakan hukum administratif. Perangkat pengelolaan lingkungan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin (terutama izin lingkungan atau izin yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup) dapat dijadikan tolok ukur pelaksanaan pemantauan atau pengawasan penaatan dalam kemasan penegakan hukum administrasi. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pengawasan (yang dilakukan oleh birokrasi/pemerintah/Pemda) merupakan jantung dari penegakan hukum administrasi. Sedangkan perizinan, baku mutu limbah/emisi atau baku mutu lingkungan dan kewajiban yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan merupakan perangkat administrasi yang digunakan sebagai tolok ukur pelaksanaan pengawasan pemerintah. Undang-Undang

45


(48)

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur Jenis-Jenis Sanksi Administratif dan Kewenangan Pejabat Pengawas (baik pengawas di tingkat pusat maupun daerah). Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan 4 (empat) jenis sanksi administratif yaitu: (a) teguran tertulis; (b) paksaan pemerintah; (c) pembekuan izin lingkungan; atau (d) pencabutan izin lingkungan. Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga dijelaskan bentuk-bentuk paksaan pemerintah antara lain penghentian sementara kegiatan produksi dan penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi.46

4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Atau pada Hutan Tanaman

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan hutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan kayu.47 Sedangkan Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) pada hutan tanaman adalah lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan kayu.48

46

Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 25

47

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Atau pada Hutan Tanaman, Pasal 1 angka 1

48

Ibid, Pasal 1 angka 2

Maksud verifikasi Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) pada hutan alam dan atau hutan tanaman adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum atas Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) yang diterbitkan oleh Gubernur


(49)

atau Bupati/Walikota dengan tujuan agar pemanfaatan hutan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.49

Satu atau lebih fungsí pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. Dalam hal satu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Ketentuan mengenai tata cara penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan.

6. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan hutan dalam upaya menjaga kelestarian hutan, yang dilakukan antara lain, dengan menata hutan dan menyusun rencana pengelolaan hutan, serta memanfaatkan hutan dalam rangka menjaga kelestarian hutan.

50

Berdasarkan ketentuan dari Peraturan Pemerintah bahwa hasil kegiatan disusun rencana pengelolaan hutan, yang dilakukan dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek.51

Kemudian Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung, harus membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.52

49

Ibid, Pasal 2

50

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Pasal 6

51

Ibid, Pasal 13 ayat (1) dan (2)

52


(50)

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, wajib: menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja dan melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, 1 (satu) bulan sejak diberikan izin pemungutan hasil hutan, 1 (satu) tahun untuk Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam hutan alam, Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman; atau 6 (enam) bulan sejak diberikan izin penjualan tegakan hasil hutan dalam hutan hasil rehabilitasi.53

Apabila pada saat berakhirnya izin, pemegang izin tidak mengajukan permohonan perpanjangan, pemberi izin menerbitkan keputusan hapusnya izin.54

Izin yang diberikan oleh gubernur ditembuskan kepada Menteri, bupati/walikota, dan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan izin yang diberikan oleh bupati/walikota ditembuskan kepada Menteri, gubernur, dan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan.55

Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, selain melaksanakan kegiatan pemanfaatan hutan, wajib melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.56

Memuat Pasal 129 Sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi dikenakan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dalam hutan alam pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran pemegang Izin

53

Ibid, Pasal 71 ayat (1)

54

Ibid, Pasal 81 ayat (3)

55

Ibid, Pasal 96 (1)

56


(51)

Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran dan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu yang melakukan pelanggaran.57

Pasal 128 ayat (1) bahwa Sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan di lapangan, denda danpengurangan jatah produksi; atau pencabutan izin. Ayat (2) Sanksi administratif dijatuhkan oleh pemberi izin sesuai dengan kewenangannya masing-masing, kecuali sanksi administratif berupa denda, dijatuhkan oleh Menteri. Ayat (3) bahwa Sanksi administratif berupa denda merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang disetorkan ke Kas Negara.58

5. Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Di Propinsi Sumatera Utara

Keberadaan hutan sangat penting dalam kehidupan dan pelestarian lingkungan sehingga perlu ditingkatkan pengelolaannya dalam rangka mewujudkan peran dan fungsinya secara optimal. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan berupa pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.59 Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi.60

57

Ibid, Pasal 129

58

Ibid, Pasal 128 ayat (3)

59

Op.Cit, Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002, Pasal 1 angka 31

60


(1)

b. Untuk perorangan atau badan yang memiliki izin pengelolaan hutan yang melakukan penebangan hutan secara liar dapat dikenakan sanksi berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan dilapangan, denda administrasi, pengurangan jatah produksi dan pencabutan izin atau apabila penebangan hutan tersebut merupakan pelanggaran aturan izin pengelolaan hutan juga dapat diberikan sanksi pidana, yang dapat diterapkan secara kumulatif bersama-sama dengan sanksi administrasi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang merupakan hasil penelitian dalam skripsi ini dibawah ini dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Mengingat keberadaan hutan sangat penting dalam kehidupan dan pelestarian lingkungan maka kepada pemerintah khususnya Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara agar dapat lebih mensosialisasikan Peraturan daerah No.21 tahun 2002 tentang pengelolaan hutan di Propinsi Sumatera Utara. Hal ini ditujukan terutama kepada pengusaha-pengusaha yang berminat untuk bergerak dibidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan karena sekalipun pada saat ini izin untuk HPH (Hak Penebangan Hutan) sudah moratorium oleh pemerintah, ternyata sesuai dengan Peraturan daerah No.21 tahun 2002 tersebut masih banyak usaha yang dapat dilakukan terhadap hutan yang sekaligus berfungsi ganda yaitu disatu sisi mendatangkan keuntungan daru sudut bisnis dan yang sisi lainnya sekaligus menjadi hutan dapat dilestarikan.

2. Dikarenakan penelitian dalam skripsi ini adalah melalui studi literature diperpustakaan, maka disarankan agar ada penelitian berikutnya kelapangan untuk mengetahui secara langsung teknis pengurusan izin pengelolaan hutan tersebut. Hal


(2)

ini sangat dibutuhkan mengingat banyaknya jenis izin yang dapat dimohonkan seperti diuraikan pada point 2 kesimpulan skripsi ini. Bahkan didalam Peraturan daerah No.21 tahun 2002 ini selain dari izin-izin yang telah diuraikan diatas, masih ada dibutuhkan izin usaha industry atau izin perbuatan industry primer bila hasil hutan kayu diolah menjadi bahan baku industri.

3. Disarankan kepada semua aparatur Negara khususnya Depertemen kehutanan dan lebih utama lagi kepada Polhut (Polisi Kehutanan) dan masyarakat luas agar dapat setiap saat dapat mengawasi pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hal ini diperlukan karena hutan banyak sekali manfaatnya bagi kehidupan dan lingkungan bukan hanya terhadap bangsa dan Negara Indonesia saja, karena kita termasuk paru-paru dunia, sementara disisi lain illegal loging atau penebangan liar hutan Indonesia tetap terjadi dimana-mana khususnya di Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu aparatur Negara khususnya yang telah disebutkan diatas agar dapat bahu-membahu dengan warganya agar penebangan hutan secara liar tersebut tidak lagi terjadi atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Admosudirdjo, Prajudi, Dasar-Dasar Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013

Departemen Kehutanan. Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga

Departemen Kehutanan Tahun 2005 – 2009. Departemen Kehutanan. Jakarta,

2005

Dimock, Marshal Edward and Gladys Ogden Dimock. Administrasi Negara. Diterjemahkan oleh Husni Thamrin Pane. Cetakan Kelima. Rineka Cipta. Jakarta, 1997

Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 Effendi, Lutfi, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Cetakan ketiga, Penerbit

Bayumedia Publishing, Yogyakarta, 2004

Hadjon, Philipus M., Pengantar Hukum Perizinan,Penerbit Yudika, Surabaya, 1993 H. S., Salim, Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012 HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, Cet ke 2, Penerbit Rajawali Pers,

Yogyakarta, 2006

J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum Administrasi Negara, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999

Kusdarini, Eny, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, UNY Press,Yogyakarta, 2011

Marbun, SF & Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 2006

Murhaini, Suriansyah, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan), Penerbit Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012

Muslimin, Amrah, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Penerbit Alumni, Bandung, 1982


(4)

Mustafa, Bachsan, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya, Jakarta, 1999

______________, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Pradana, Ristyo, Kebijakan Kehutanan: Mencari Solusi Sistem Pengelolaan Hutan Indonesia, Fakultas kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar, 2009

Pudyatmoko, Sri Y., Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2009 Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ke-2, PT RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2012

Siagian, S.P., Filsafat Administrasi, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1992

Situmorang, Victor, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Penerbit Bina Pustaka, Jakarta, 1988

Tjandra, W. Riawan , Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008

Tjokroamidjojo, Bintoro, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1994

Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988

II. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Atau pada Hutan Tanaman

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan


(5)

III. Website

Pengelolaan Hutan System

Masyarakat, diakses tanggal 27 Februari 2015

Oktober 2014

2014

Penebangan Hutan secara Liar”,

diakses tanggal 27 Oktober 2014

https://Arief1004.wordpress.com/.html,Arief sekilas bunga rampai, perizinan-hutan untuk-rakyat, diakses tanggal 1 Maret 2014

http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/02/27/keadaan-hutan-sumatera-utara/ diakses tanggal 27 Oktober 2014

Keadaan Hutan

Sumatera Utara”, diakses tanggal 27 Oktober 2014

diakses tanggal 28 Oktober 2014

http://dek-dilla.blogspot.com/2012/02/makalah-penebangan-hutan.html, diakses tanggal 24 Oktober 2014

24 Oktober 2014

Iko Matussuniah, “Hukum

Perizinan”, diakses tanggal 24 Oktober 2014


(6)

diakses tanggal 27 Oktober 2014

http://lovesaturdays.blogspot.com, html, Siti Rahma, Keadaan Hutan Lindung di Sumut, diakses tanggal 6 Maret 2015

https://nenytriana.wordpress.com, html, Neny Triana, Sanksi Administrasi Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, diakses tanggal 6 Maret 2015

Hutan dan Permasalahannya,

diakses tanggal 27 Februari 2015

http:

IV. Jurnal, Makalah, Kamus

Greenomic Indonesia (ICW), Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Kayu Pada Hutan

Alam Dan Hutan Tanaman, Desember 2004, kertas kerja 06

Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence

Dalam Kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim

Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta 2003

Kartikasar, Feby Ivalerina, Maret Priyanta, Dewi Tresya dan Wulan Kusumawardhani, Perizinan Terpadu untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia, Penerbit ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Jakarta, 2012

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahcisa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2005


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Penebangan Pohon pada Dinas Pertamanan Kota Medan Berdasarkan Peraturan Daerah No. 21 Tahun 2002

3 72 71

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

1 15 112

Prosedur Izin Pengelolaan Pelataran Parkir Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2002

1 2 7

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 9

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 15

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 35

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 1 4

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 35

BAB I I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 16

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP IZIN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 21 TAHUN 2002 SKRIPSI

0 0 9