60
Intervensi mencerminkan larangan bagi negara-negara untuk ikut campur di dalam urusan internal negara lain.
95
Prinsip ini telah diaplikasikan oleh Mahkamah Internasional dalam berbagai putusannya, dan sebagai kewajiban diberbagai
konvensi internasional.
96
Prinsip Non-Intervensi bertujuan untuk menjamin stabilititas dan ekualitas antar negara.
97
Dan prinsip ini diakui sebagai prinsip yang fundamental antara negara-negara.
98
i. Helsinki Final Act 1975
Di dalam Helsinki Final Act, diatur berbagai ketentuan yang mencerminkan mengenai prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara lain dalam
hubungan internasional. Di dalam pasal satu konvensi ini diatur mengenai hal- hal berikut;
Setiap negara harus menghormati kedaulatan negara lain Termasuk kedaulatan hukum, kesatuan wilayah, dan kebebasan politk. Setiap negara juga
harus menghormati perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan dan kedaulatan untuk menentukan sistem hukum. Di dalam lingkup hubungan
internasional. setiap negara mempunyai persamaan hak dan kewajiban. Setiap negara harus menghormati hak-hak negara lain untuk menentukan bagaimana
perjalanan hubungan negara mereka dengan negara lain sesuai dengan hukum
95
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 26 December 1933. Pasal 8;
96
Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua Nicaragua v. United States of America, Merits, Judgment, I.C.J. Reports 1986, para. 206, 264; Armed Activities on
the Territory of the Congo Democratic Republic of the Congo v. Uganda, Judgment, I.C.J. Reports 2005. para.164; Accordance with International Law of the Unilateral Declaration of
Independence in Respect of Kosovo, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 2010, para 79, 80; Corfu Channel case, Judgment of April 9th, 1949: I.C.J. Reports 1949, para. 36.
97
Piagam PBB, Pasal 2 ayat 4, Helsinki Final Act, bagian 1
98
Ian Brownlie, op.cit.,hlm, 287.
61
internasional. Setiap negara juga mempunyai hak untuk ikut atau tidak ikut serta dalam suatu organisasi internasional. mengambil bagian atau tidak mengambil
bagian dalam perjanjian multilateral, dan setiap negara juga mempunyai hak untuk menjadi negara netral.
“The participating States will respect each others sovereign equality and individuality as well as all the rights inherent in and encompassed by its
sovereignty, including in particular the right of every State to juridical equality, to territorial integrity and to freedom and political independence. They will also
respect each others right freely to choose and develop its political, social, economic and cultural systems as well as its right to determine its laws and
regulations. Within the framework of international law, all the participating States have equal rights and duties. They will respect each others right to define
and conduct as it wishes its relations with other States in accordance with international law and in the spirit of the present Declaration. They consider that
their frontiers can be changed, in accordance with international law, by peaceful means and by agreement. They also have the right to belong or not to belong to
international organizations, to be or not to be a party to bilateral or multilateral treaties including the right to be or not to be a party to treaties of alliance; they
also have the right to neutrality.”
99
“The participating States will refrain in their mutual relations, as well as in their international relations in general, from the threat or use of force against the
territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations and with the present
Declaration. No consideration may be invoked to serve to warrant resort to the threat or use of force in contravention of this principle. Accordingly, the
participating States will refrain from any acts constituting a threat of force or direct or indirect use of force against another participating State. Likewise they
Setiap negara dalam hubungan internasional harus menghindari penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan bersenjata terhadap kesatuan wilayah dan
kebebasan politk negara lain, atau cara-cara lain yang bertentangan dengan tujuan PBB. Setiap negara menghindari segala bentuk tindakan yang menggunakan
penggunaan kekuatan bersenjata baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap negara lain.
99
Helsinki Final Act 1975, bag. 1, pasal. 1
62
will refrain from any manifestation of force for the purpose of inducing another participating State to renounce the full exercise of its sovereign rights. Likewise
they will also refrain in their mutual relations from any act of reprisal by force. No such threat or use of force will be employed as a means of settling disputes, or
questions likely to give rise to disputes, between them.”
100
“The participating States regard as inviolable all one anothers frontiers as well as the frontiers of all States in Europe and therefore they will refrain now and in
the future from assaulting these frontiers. Accordingly, they will also refrain from any demand for, or act of, seizure and usurpation of part or all of the territory of
any participating State.” Setiap negara harus menghormati batas-batas negara lain dan menganggap
batas-batas negara sebagai sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, dan setiap negara dilarang untuk melakukan suatu tindakan yang dapat mengurangi atau
menghilangkan batas-batas negara lain
101
“The participating States will respect the territorial integrity of each of the participating States. Accordingly, they will refrain from any action inconsistent
with the purposes and principles of the Charter of the United Nations against the territorial integrity, political independence or the unity of any participating State,
and in particular from any such action constituting a threat or use of force. The Setiap negera wajib menghormati kesatuan wilayah suatu negara. Mereka
harus menghindari segala bentuk tindakan yang akan mengancam kesatuan wilayah, kebebasan politik dana kesatuan suatu negara yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam Piagam PBB. Setiap negara dilarang menjadikan wilayah teritorial negara lain sebagai target militer baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan tujuan untuk mengancam negara tersebur. Segala bentuk okupasi dan akuisasi adalah illegal.
100
Ibid, pasal 2
101
Ibid, pasal 3
63
participating States will likewise refrain from making each others territory the object of military occupation or other direct or indirect measures of force in
contravention of international law, or the object of acquisition by means of such measures or the threat of them. No such occupation or acquisition will be
recognized as legal.”
102
“The participating States will refrain from any intervention, direct or indirect, individual or collective, in the internal or external affairs falling within the
domestic jurisdiction of another participating State, regardless of their mutual relations. They will accordingly refrain from any form of armed intervention or
threat of such intervention against another participating State. They will likewise in all circumstances refrain from any other act of military, or of political,
economic or other coercion designed to subordinate to their own interest the exercise by another participating State of the rights inherent in its sovereignty and
thus to secure advantages of any kind. Accordingly, they will, inter alia, refrain from direct or indirect assistance to terrorist activities, or to subversive or other
activities directed towards the violent overthrow of the regime of another participating State.”
Setiap negara dilarang untuk melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, secara mandiri ataupun bersama-sama, dalam masalah internal atau
eksternal suatu negara yang berada di dalam wilayah yurisdiksi negara tersebut. Setiap negara juga dilarang untuk melakukan intervensi militer atau ancaman
militer terhadap negara lain. Segala bentuk paksaan coercion baik secara militer, politik ekonomi, atau bentuk paksaan lainnya untuk mewujudkan kepentingan
mereka juga dilarang menurut konvensi ini. Setiap negara juga tidak diperbolehkan untuk memberikan dukungan baik secaralangsung maupun tidak
langsung terhadap teroris atau kepada oknum-oknum tertentu yang bertujuan untuk menjatuhkan rezim suatu pemerintahan di negara lain.
103
102
Ibid, pasal 5
103
Ibid, pasal 6
64
ii. Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the
Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965.
Pembuatan deklarasi ini dilatar belakangi oleh banyaknya persengketaan internasional yang dilator belakangi oleh intervensi militer suatu negara terhadap
negara lainnya. Intervensi yang dilakukan baik secara militer maupun segala bentuk intervensi lain yang mengancam stabilitias dan kesatuan wilayah,
kebebasan politik suatu negara, dan mengancam keamanan dan perdamaian internasional. Dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, maka
segala bentuk peperangan harus dihapuskan, setiap negara harus meghormati persamaan hak setiap negara, menhindari segala bentuk penggunaan kekuatan
bersenjata yang mengancam kesatuan wilayah dan kebebasan politik suatu negara, mendukung hak-hak untuk menentukan nasib sendiri, sebagai mana termaktub
dalam Resolusi Majelis Umum PBB yang mengatakan bahwa setiap negara bebas untuk menegakkan yuriskdiksi hukum di wilayah teritorialnya, menentukan status
politik, dan mempunyai hak secara bebas untuk mengelola perekonomiannya. Penegakan Prinsip Non-Intervensi baik di dalam urusan internal maupun
eksternal negara lain adalah sangat penting dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan PBB. Intervensi
militer atau penggunaan kekuatan bersenjata adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar dalam hukum internasional mengenai kerjasama secara damai diantara
negara-negara dalam hubungan internasional. Segala bentuk intervensi lainnya baik langsung maupun tidak langsung adalah pelanggaran secara langsung
65
terhadap Piagam PBB. Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas maka deklarasi ini mengatur mengenai hal-hal berikut:
Tidak ada satu negarpun yang mempunyai hak untuk mengintevensi, baik secara langsung mapun tidak langsung, apapun alasannya, di dalam urusan
internal maupun eksternal negara lain. Intervensi militer dan segala bentuk intervensi lainnya yang bertujuan untuk menganca identitas politik, ekonomi, dan
kebudayaan suatu negara adalah dilarang berdasarkan deklarasi ini. “No State has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason
whatever, in the internal or external affairs of any other State. Consequently, armed intervention and all other forms of interference or attempted threats
against the personality of the State or against its political, economic and cultural elements, are condemned.”
104
“No State may use or encourage the use of economic, political or any other type of measures to coerce another State in order to obtain from it the subordination of
the exercise of its sovereign rights or to secure from it advantages of any kind. Also, no State shall organize, assist, foment, Finance, incite or tolerate
subversive, terrorist or armed activities directed towards the violent overthrow of the regime of another State, or interfere in civil strife in another State.”
Tidak ada satu negarapun yang boleh menggunakan kekuatan ekonomi, politik atau segala bentuk tindakan lainnya untuk memaksa negara lain melakukan
suatu kegiatan yang menguntungkan negaranya sendiri. Dan juga, setiap negara dilarang untuk memberikan segala bentuk dukungan kepada teroris atau oknum
lain yang berpotensi menimbulkan kekacauan di dalam negara lain atau ikut campur dalam segala bentuk kericuhan lainnya
105
104
Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965, pasal 1
105
Ibid, pasal 2
66
Penggunaan penggunaan kekuatan bersenjata untuk menghilangkan identitas kenegaraan suatu kelompok masyarakat adalah pelanggaran terhadap prinsip non-
intervensi “The use of force to deprive peoples of their national identity constitutes a
violation of their inalienable rights and of the principle of non-intervention.“
106
“ The strict observance of these obligations is an essential condition to ensure that nations live together in peace with one another, since the practice of any
form of intervention not only violates the spirit and letter of the Charter of the United Nations but also leads to the creation of situations which threaten
international peace and security.” Semua hal yang diatur dalam konvensi ini adalah guna memastikan setiap
negara dapat hidup berdampingan secara damai, karena intervensi hanya akan melanggar semangat Piagam PBB dan menciptakan suatu situasi yang
mengancam perdamaian dan keamanaan internasional.
107
iii. Declaration on Principles of International Law Concerning
Friendly Relations and Co-operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970.
Deklarasi ini dilatar belakangi oleh aturan dalam hukum internasional yaitu mengenai tanggun jawab setiap negara untuk tidak ikut campur dalam urusan
negara lain yang merupakan elemen penting untuk menjamin setiap negara untuk dapat hidup secara berdampingan dengan damai. Hal ini karena segala bentuk
106
Ibid, pasal 3
107
Ibid, pasal 4
67
praktek intervensi tidak hanya melanggar semangat Piagam PBB, namun juga menciptakan suatu keadaan yang mengancam keamanan dan perdamaian
internasional. Pada pasal 3 Konvensi ini mencakup satu bagian yang membahas prinsip
yang mengatur kewajiban negara-negara untuk tidak mengintervensi urusan- urusan dalam yurisdiksi suatu negara lain, dengan rincian sebagai berikut;
“No State or group of States has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other
State. Consequently, armed intervention and all other forms of interference or attempted threats against the personality of the State or against its political,
economic and cultural elements, are in violation of international law.”
108
C. Intervensi yang Dibenarkan dalam Hukum Internasional
Tidak ada satu negarapun yang mempunyai hak untuk mengintervensi, secara langsung maupun tidak langsung, apapun alasannya, urusan-urusan dalam negeri
negara lain. Dengan demikian, segala bentuk intervensi baik intervensi militer yang bertujuan untuk mengancam identitas negara lain adalah pelanggaran
terhadap hukum internasional.
Di dalam situasi tertentu, ada kalanya komunitas internasional dapat melakukan intervensi. Berikut adalah situasi dimana prinsip non-intervensi dapat
dikesampingkan
108
Declaration on Principles of Intenational Law Concerning Friendly Relations and Co- operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970, pasal 3
68
1. Pengecualian Terhadap Pasal 2 ayat 4 dan Pasal 2 ayat 7
Piagam PBB.
Piagam PBB melarang setiap negara untuk menggunakan tindakan atau ancaman agresi, namun memberikan hak kepada badan PBB untuk menggunakaan
agresi dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan Internasional. terkait dengan prinsip non-intervensi, ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Bab VII
merefleksikan pengecualian terhadap prinsip tersebut.
i. Penegakan Hukum oleh PBB
Tujuan utama dari Perserikatan Bangsa-bangsa sebagaimana termaktub dalam pasal 11 Piagam PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan
Internasional.
109
109
Piagam PBB 1945, pasal 11
untuk mencapai tujuan tersebut, kewenangan utama diberikan kepada Dewan Keamanan PBB. Bab VII Piagam PBB mencakup keseluruhan
ketentuan yang berfokus untuk menjaga perdamaian dunia. Dewan Keamanan memiliki kekuatan untuk membuat suatu keputusan yang mengikat bagi negara
anggota PBB terkait baik secara ekonomi, politik, atau militer untuk menjaga perdamaian dunia,
Pasal 39 Bab VII Piagam PBB menyatakan; “The Security Council shall determine the existence of any threat to the peace,
breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to
maintain or restore international peace and security.”
69
“Dewan Keamanan PBB akan memutuskan apakah terdapat suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan
akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan yang akan diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk menjaga atau mengembalikan perdamain dan
keamanan internasional.” Sebagaimana diatur dalam Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan pertama
sekali harus membuktikan terlebih dahulu adanya sebuah ‘ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, dan tindakan agresi” sebelum
mengambil suatu tindakan. Namun demikian, Bab VII Piagam PBB tidak memberikan definisi yang pasti mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan
yang mengacam perdamaian internasional, melanggar perdamaian internasional, dan tindakan agresi. Semua hal tersebut menjadi keputusan Dewan Keamanan
PBB. Sehingga salah seorang sarjana mengatakan, “apa yang menjadi ancaman bagi perdamaian internasional adalah apa yang menurut Dewan Keamanan
sebagai ancaman bagai perdamaian internasional”.
110
Terkait dengan hal tersebut, apa yang menjadi ancaman terhadap perdamaian tidak harus selalu sesuai dengan apa yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 4
Piagam PBB. Dengan kata lain, ancaman terhadap perdamaian internasional tidak selalu merupakan persengketaan bilateral negara.
111
110
Kelsen, hlm. 731
111
Ibid, hlm. 735
Terlebih lagi PBB dapat mengintervensi dalam yurisdiksi suatu negara apabila suatu sengketa yang terjadi
dalam negara tersebut berpotensi untuk mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Perang sipil, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan
70
repressive regime adalah pengecualian terhadap kewenangan domestik suatu negara.
Keputusan Dewan Keamanan terhadap eksistensi ancaman, pelanggaran perdamaian internasional, dan tindakan agresi, adalah suatu prekondisi untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil sesuai Bab VII Piagam PBB. Pasal 41 mencantumkan mengenai sanksi non-militer terhadap
negara yang divonis bersalah. Jika sanksi yang diberikan sesuai dengan pasal ini tidak berhasil, maka Dewan Keamanan akan melanjutkan dengan memberi sanksi
sesuai dengan pasal 42 yang melibatkan serangan udara, air, dan darat. Dan keputusan Dewan Keamanan PBB adalah mengikat kepada negara-negara.
112
Organisasi regional juga mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi. Pasal VIII Piagam PBB mengatur mengenai kemungkinan peran
Organisasi Regional untuk melakukan intervensi dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 522 mewajibkan setiap negara
anggota untuk mengupayakan penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa secara regional terlebih dahulu sebelum membawanya
kepada Dewan Keamanan. Dengan demikian, segala bentuk operasi untuk menjaga perdamaian kawasan tidaklah dilarang, karena penggunaan kekuatan
bersenjata untuk menjaga perdamaian wilayah regional tidak termasuk kedalam lingkup pasal 2 ayat 4.
113
112
Perlu dicatat sebagaimana diindikasikan dalam Certain Expenses advisory opinion 1962, tindakan yang diambil Dewan Keamanan berdasarkan pasal 42 harus dibedakan dengan
tindakan peace-keeping. Certain Expenses case dapat dilihat di Harris, hlm. 975-984.
113
Funda Keskin, The Use of Force in International law; War, Intervention and the United Nations. Ankara, Mulkiyeliler Birliqi Vakfi Yayinlari, 1998, Hlm. 156
Sebagai contoh, pada tahun 1961 Arab League Force
71
melakukan intervensi militer di Kuwait, intervensi militer Inter-Arab Deterrence Force tahun 1976. African Union di Chad tahun 1981-1982.
ii. Hak Pembelaan Diri The Right of Self-Defence
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pasal 2 ayat 4 melarang negara-negara menggunakan agresikekerasan dalam menyelesaikan persengketaan. Namun
demikian, pasal 51 memberikan hak kepada negara-negara baik secara kolektif maupun individual untuk pembelaan diri self-defence. Self-defence memberikan
kesempatan kepada suatu negara untuk melakukan tindakan agresi sebagai last resort usaha terakhir.
Berikut adalah bunyi pasal 51 Piagam PBB; “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or
collective self-defence if an armed attack ocurs againts a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain
international peace and security. Measures taken by the Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council
and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take any time such action as it deems
necessary in order to maintain or restore international peace and security” “tidak ada ketentuan di dalam Piagam ini yang menghilangkan hak untuk
melakukan pertahanan diri baik secara kolektif maupun individual apabila terjadi serangan militer terhadap negara-negara anggota PBB, sampai Dewan Keamanan
mengambil tindakan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan yang diambil oleh negara anggota PBB untuk mempertahankan diri
harus segera dilaporkan kepada Dewan Kamanan PBB dan tidak boleh menghalangi Dewan Keamanan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang
72
dianggap perlu untuk menjaga atau mengembalikan perdamaian dan keamanan in ternasional.”
Banyak perdebatan yang timbul terkait dengan ketentuan dalam pasal 51. Hal ini karena di dalam pasal ini tidak dijelaskan mengenai ruang lingkup self-
defence dan dalam situasi apa self-defence tidak dapat dibenarkan. Pertanyaan lain yang muncul adalah apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘armed attack’ dan
apakah self-defence hanya dapat dilakukan apabila armed attack telah ada atau dapat dilakukan sebagai suatu tindakan pencegahan. Beberapa ahli berpendapat
bahwa jika dihubungkan dengan dengan pasal 2 ayat 4, self-defence hanya dapat dilakukan apabila telah timbul suatu serangan.
114
Sebaliknya beberapa ahli juga berpendapat bahwa pasal 51 tidak dapat ditafsirkan tanpa mempertimbangkan adanya hak anticipatory self-defence dalam
kasus adanya ancaman serangan yang tidak dapat dielakkan. Pandangan ini mengatakan bahwa sebelum piagam ini diadakan, telah ada hukum kebiasaan
internasional yang mengatur mengenai anticipatory self-defence. Para pendukung pandangan ini merujuk kepada situasi pada kasus Steamer Caroline,
Dengan kata lain satu-satunya kondisi dimana self-defence dapat dilakukan adalah apabila telah terjadi serangan
terlebih dahulu.
115
yang telah menjadi hukum kebiasaan.
116
114
Brownlie, hlm.265; Kelsen, hlm. 797-798
115
R.Y. Jennings, The Caroline and McLeod Cases, American Journal of International Law, Vol. 32 1938 hlm. 80-90
116
Ibid, hlm. 92
Dalam kasus ini, ICJ memutuskan bahwa
73
anticipatory self-defence dibenarkan apabila dilakukan dengan segera, tidak ada pilihan lain, dan tidak dilaksanakan dengan perencanaan yang matang.
117
Masalah lainnya terkait dengan pelaksanaan hak self-defence adalah hal- hal yang mempengaruhi suatu negara memutuskan untuk menggunakan agresi
sebagai bentuk pertahanan diri. Karena di dalam hukum internasional, setiap negara mempunyai hak untuk mempertimbangkan secara mandiri dan bebas
mengenai situasi yang memaksa mereka untuk melakukan self-defence.
118
Pasal 51 menyatakan bahwa self-defence dapat dilakukan hingga Dewan Keamanan
mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga atau mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional. Jadi dapat dikatakan bahwa ketentuan ini
membuka kemungkinan bagi negara untuk mengambil suatu tindakan defensive secara segera sebelum Dewan Keamanan bertindak. Namun pada saat yang
bersamaan kalimat dalam pasal 51 yang mengatakan bahwa ‘tindakan yang diambil untuk membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan’
mewajibkan negara untuk berhubungan dengan pendapat internasional.
119
117
Timothy L. H. McCormack, Self-Defence in International Law, The Israeli Raid on the Iraqi Nuclear Reactor, New York. St. Martin’s Press 1996, hlm. 183
118
Nicaragua Case, hlm. 194
119
Timothy L. H. McCormack, op.cit., hlm. 259
terkait dengan hal ini, tindakan negara untuk membela diri tidak selamanya murni berasal
dari pertimbangan negara tersebut namun juga berdasarkan pertimbangan internasional. sebagai contoh, Jepang mengatakan bahwa tindakan yang
dilakukannya di Manchuria adalah bentuk self-defence. Namun Majelis Umum PBB menyatakan bahwa tindakan Jepang bukan merupakan self-defence. Hal
yang juga terjadi dalam putusan International Military Tribunal di Nuremberg
74
tahun 1946 yang menolak argumen pimpinan Nazi pada waktu itu yang mengatakan bahwa tindakan Jerman adalah sebagai bentuk self-defence dan setiap
negara adalah pihak yang berhak untuk menentukan pada situasi apa negara tersebut dapat melakukan self-defence. Mahkamah militer dalam putusannya
mengatakan; ”whether action taken under the claim of self-defence was in fact aggressive or
defensive must ultimately be subject to investigation or adjudication if international law is ever to be enforced.”
120
2. Intervensi Kemanusiaan