Helsinki Final Act 1975 Prinsip Non-Intervensi Menurut Konvensi Internasional

60 Intervensi mencerminkan larangan bagi negara-negara untuk ikut campur di dalam urusan internal negara lain. 95 Prinsip ini telah diaplikasikan oleh Mahkamah Internasional dalam berbagai putusannya, dan sebagai kewajiban diberbagai konvensi internasional. 96 Prinsip Non-Intervensi bertujuan untuk menjamin stabilititas dan ekualitas antar negara. 97 Dan prinsip ini diakui sebagai prinsip yang fundamental antara negara-negara. 98

i. Helsinki Final Act 1975

Di dalam Helsinki Final Act, diatur berbagai ketentuan yang mencerminkan mengenai prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara lain dalam hubungan internasional. Di dalam pasal satu konvensi ini diatur mengenai hal- hal berikut; Setiap negara harus menghormati kedaulatan negara lain Termasuk kedaulatan hukum, kesatuan wilayah, dan kebebasan politk. Setiap negara juga harus menghormati perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan dan kedaulatan untuk menentukan sistem hukum. Di dalam lingkup hubungan internasional. setiap negara mempunyai persamaan hak dan kewajiban. Setiap negara harus menghormati hak-hak negara lain untuk menentukan bagaimana perjalanan hubungan negara mereka dengan negara lain sesuai dengan hukum 95 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 26 December 1933. Pasal 8; 96 Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua Nicaragua v. United States of America, Merits, Judgment, I.C.J. Reports 1986, para. 206, 264; Armed Activities on the Territory of the Congo Democratic Republic of the Congo v. Uganda, Judgment, I.C.J. Reports 2005. para.164; Accordance with International Law of the Unilateral Declaration of Independence in Respect of Kosovo, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 2010, para 79, 80; Corfu Channel case, Judgment of April 9th, 1949: I.C.J. Reports 1949, para. 36. 97 Piagam PBB, Pasal 2 ayat 4, Helsinki Final Act, bagian 1 98 Ian Brownlie, op.cit.,hlm, 287. 61 internasional. Setiap negara juga mempunyai hak untuk ikut atau tidak ikut serta dalam suatu organisasi internasional. mengambil bagian atau tidak mengambil bagian dalam perjanjian multilateral, dan setiap negara juga mempunyai hak untuk menjadi negara netral. “The participating States will respect each others sovereign equality and individuality as well as all the rights inherent in and encompassed by its sovereignty, including in particular the right of every State to juridical equality, to territorial integrity and to freedom and political independence. They will also respect each others right freely to choose and develop its political, social, economic and cultural systems as well as its right to determine its laws and regulations. Within the framework of international law, all the participating States have equal rights and duties. They will respect each others right to define and conduct as it wishes its relations with other States in accordance with international law and in the spirit of the present Declaration. They consider that their frontiers can be changed, in accordance with international law, by peaceful means and by agreement. They also have the right to belong or not to belong to international organizations, to be or not to be a party to bilateral or multilateral treaties including the right to be or not to be a party to treaties of alliance; they also have the right to neutrality.” 99 “The participating States will refrain in their mutual relations, as well as in their international relations in general, from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations and with the present Declaration. No consideration may be invoked to serve to warrant resort to the threat or use of force in contravention of this principle. Accordingly, the participating States will refrain from any acts constituting a threat of force or direct or indirect use of force against another participating State. Likewise they Setiap negara dalam hubungan internasional harus menghindari penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan bersenjata terhadap kesatuan wilayah dan kebebasan politk negara lain, atau cara-cara lain yang bertentangan dengan tujuan PBB. Setiap negara menghindari segala bentuk tindakan yang menggunakan penggunaan kekuatan bersenjata baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap negara lain. 99 Helsinki Final Act 1975, bag. 1, pasal. 1 62 will refrain from any manifestation of force for the purpose of inducing another participating State to renounce the full exercise of its sovereign rights. Likewise they will also refrain in their mutual relations from any act of reprisal by force. No such threat or use of force will be employed as a means of settling disputes, or questions likely to give rise to disputes, between them.” 100 “The participating States regard as inviolable all one anothers frontiers as well as the frontiers of all States in Europe and therefore they will refrain now and in the future from assaulting these frontiers. Accordingly, they will also refrain from any demand for, or act of, seizure and usurpation of part or all of the territory of any participating State.” Setiap negara harus menghormati batas-batas negara lain dan menganggap batas-batas negara sebagai sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, dan setiap negara dilarang untuk melakukan suatu tindakan yang dapat mengurangi atau menghilangkan batas-batas negara lain 101 “The participating States will respect the territorial integrity of each of the participating States. Accordingly, they will refrain from any action inconsistent with the purposes and principles of the Charter of the United Nations against the territorial integrity, political independence or the unity of any participating State, and in particular from any such action constituting a threat or use of force. The Setiap negera wajib menghormati kesatuan wilayah suatu negara. Mereka harus menghindari segala bentuk tindakan yang akan mengancam kesatuan wilayah, kebebasan politik dana kesatuan suatu negara yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB. Setiap negara dilarang menjadikan wilayah teritorial negara lain sebagai target militer baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mengancam negara tersebur. Segala bentuk okupasi dan akuisasi adalah illegal. 100 Ibid, pasal 2 101 Ibid, pasal 3 63 participating States will likewise refrain from making each others territory the object of military occupation or other direct or indirect measures of force in contravention of international law, or the object of acquisition by means of such measures or the threat of them. No such occupation or acquisition will be recognized as legal.” 102 “The participating States will refrain from any intervention, direct or indirect, individual or collective, in the internal or external affairs falling within the domestic jurisdiction of another participating State, regardless of their mutual relations. They will accordingly refrain from any form of armed intervention or threat of such intervention against another participating State. They will likewise in all circumstances refrain from any other act of military, or of political, economic or other coercion designed to subordinate to their own interest the exercise by another participating State of the rights inherent in its sovereignty and thus to secure advantages of any kind. Accordingly, they will, inter alia, refrain from direct or indirect assistance to terrorist activities, or to subversive or other activities directed towards the violent overthrow of the regime of another participating State.” Setiap negara dilarang untuk melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, secara mandiri ataupun bersama-sama, dalam masalah internal atau eksternal suatu negara yang berada di dalam wilayah yurisdiksi negara tersebut. Setiap negara juga dilarang untuk melakukan intervensi militer atau ancaman militer terhadap negara lain. Segala bentuk paksaan coercion baik secara militer, politik ekonomi, atau bentuk paksaan lainnya untuk mewujudkan kepentingan mereka juga dilarang menurut konvensi ini. Setiap negara juga tidak diperbolehkan untuk memberikan dukungan baik secaralangsung maupun tidak langsung terhadap teroris atau kepada oknum-oknum tertentu yang bertujuan untuk menjatuhkan rezim suatu pemerintahan di negara lain. 103 102 Ibid, pasal 5 103 Ibid, pasal 6 64 ii. Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965. Pembuatan deklarasi ini dilatar belakangi oleh banyaknya persengketaan internasional yang dilator belakangi oleh intervensi militer suatu negara terhadap negara lainnya. Intervensi yang dilakukan baik secara militer maupun segala bentuk intervensi lain yang mengancam stabilitias dan kesatuan wilayah, kebebasan politik suatu negara, dan mengancam keamanan dan perdamaian internasional. Dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, maka segala bentuk peperangan harus dihapuskan, setiap negara harus meghormati persamaan hak setiap negara, menhindari segala bentuk penggunaan kekuatan bersenjata yang mengancam kesatuan wilayah dan kebebasan politik suatu negara, mendukung hak-hak untuk menentukan nasib sendiri, sebagai mana termaktub dalam Resolusi Majelis Umum PBB yang mengatakan bahwa setiap negara bebas untuk menegakkan yuriskdiksi hukum di wilayah teritorialnya, menentukan status politik, dan mempunyai hak secara bebas untuk mengelola perekonomiannya. Penegakan Prinsip Non-Intervensi baik di dalam urusan internal maupun eksternal negara lain adalah sangat penting dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan PBB. Intervensi militer atau penggunaan kekuatan bersenjata adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar dalam hukum internasional mengenai kerjasama secara damai diantara negara-negara dalam hubungan internasional. Segala bentuk intervensi lainnya baik langsung maupun tidak langsung adalah pelanggaran secara langsung 65 terhadap Piagam PBB. Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas maka deklarasi ini mengatur mengenai hal-hal berikut: Tidak ada satu negarpun yang mempunyai hak untuk mengintevensi, baik secara langsung mapun tidak langsung, apapun alasannya, di dalam urusan internal maupun eksternal negara lain. Intervensi militer dan segala bentuk intervensi lainnya yang bertujuan untuk menganca identitas politik, ekonomi, dan kebudayaan suatu negara adalah dilarang berdasarkan deklarasi ini. “No State has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other State. Consequently, armed intervention and all other forms of interference or attempted threats against the personality of the State or against its political, economic and cultural elements, are condemned.” 104 “No State may use or encourage the use of economic, political or any other type of measures to coerce another State in order to obtain from it the subordination of the exercise of its sovereign rights or to secure from it advantages of any kind. Also, no State shall organize, assist, foment, Finance, incite or tolerate subversive, terrorist or armed activities directed towards the violent overthrow of the regime of another State, or interfere in civil strife in another State.” Tidak ada satu negarapun yang boleh menggunakan kekuatan ekonomi, politik atau segala bentuk tindakan lainnya untuk memaksa negara lain melakukan suatu kegiatan yang menguntungkan negaranya sendiri. Dan juga, setiap negara dilarang untuk memberikan segala bentuk dukungan kepada teroris atau oknum lain yang berpotensi menimbulkan kekacauan di dalam negara lain atau ikut campur dalam segala bentuk kericuhan lainnya 105 104 Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965, pasal 1 105 Ibid, pasal 2 66 Penggunaan penggunaan kekuatan bersenjata untuk menghilangkan identitas kenegaraan suatu kelompok masyarakat adalah pelanggaran terhadap prinsip non- intervensi “The use of force to deprive peoples of their national identity constitutes a violation of their inalienable rights and of the principle of non-intervention.“ 106 “ The strict observance of these obligations is an essential condition to ensure that nations live together in peace with one another, since the practice of any form of intervention not only violates the spirit and letter of the Charter of the United Nations but also leads to the creation of situations which threaten international peace and security.” Semua hal yang diatur dalam konvensi ini adalah guna memastikan setiap negara dapat hidup berdampingan secara damai, karena intervensi hanya akan melanggar semangat Piagam PBB dan menciptakan suatu situasi yang mengancam perdamaian dan keamanaan internasional. 107 iii. Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970. Deklarasi ini dilatar belakangi oleh aturan dalam hukum internasional yaitu mengenai tanggun jawab setiap negara untuk tidak ikut campur dalam urusan negara lain yang merupakan elemen penting untuk menjamin setiap negara untuk dapat hidup secara berdampingan dengan damai. Hal ini karena segala bentuk 106 Ibid, pasal 3 107 Ibid, pasal 4 67 praktek intervensi tidak hanya melanggar semangat Piagam PBB, namun juga menciptakan suatu keadaan yang mengancam keamanan dan perdamaian internasional. Pada pasal 3 Konvensi ini mencakup satu bagian yang membahas prinsip yang mengatur kewajiban negara-negara untuk tidak mengintervensi urusan- urusan dalam yurisdiksi suatu negara lain, dengan rincian sebagai berikut; “No State or group of States has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other State. Consequently, armed intervention and all other forms of interference or attempted threats against the personality of the State or against its political, economic and cultural elements, are in violation of international law.” 108

C. Intervensi yang Dibenarkan dalam Hukum Internasional

Tidak ada satu negarapun yang mempunyai hak untuk mengintervensi, secara langsung maupun tidak langsung, apapun alasannya, urusan-urusan dalam negeri negara lain. Dengan demikian, segala bentuk intervensi baik intervensi militer yang bertujuan untuk mengancam identitas negara lain adalah pelanggaran terhadap hukum internasional. Di dalam situasi tertentu, ada kalanya komunitas internasional dapat melakukan intervensi. Berikut adalah situasi dimana prinsip non-intervensi dapat dikesampingkan 108 Declaration on Principles of Intenational Law Concerning Friendly Relations and Co- operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970, pasal 3 68 1. Pengecualian Terhadap Pasal 2 ayat 4 dan Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB. Piagam PBB melarang setiap negara untuk menggunakan tindakan atau ancaman agresi, namun memberikan hak kepada badan PBB untuk menggunakaan agresi dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan Internasional. terkait dengan prinsip non-intervensi, ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Bab VII merefleksikan pengecualian terhadap prinsip tersebut.

i. Penegakan Hukum oleh PBB

Tujuan utama dari Perserikatan Bangsa-bangsa sebagaimana termaktub dalam pasal 11 Piagam PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan Internasional. 109 109 Piagam PBB 1945, pasal 11 untuk mencapai tujuan tersebut, kewenangan utama diberikan kepada Dewan Keamanan PBB. Bab VII Piagam PBB mencakup keseluruhan ketentuan yang berfokus untuk menjaga perdamaian dunia. Dewan Keamanan memiliki kekuatan untuk membuat suatu keputusan yang mengikat bagi negara anggota PBB terkait baik secara ekonomi, politik, atau militer untuk menjaga perdamaian dunia, Pasal 39 Bab VII Piagam PBB menyatakan; “The Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security.” 69 “Dewan Keamanan PBB akan memutuskan apakah terdapat suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan yang akan diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk menjaga atau mengembalikan perdamain dan keamanan internasional.” Sebagaimana diatur dalam Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan pertama sekali harus membuktikan terlebih dahulu adanya sebuah ‘ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, dan tindakan agresi” sebelum mengambil suatu tindakan. Namun demikian, Bab VII Piagam PBB tidak memberikan definisi yang pasti mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan yang mengacam perdamaian internasional, melanggar perdamaian internasional, dan tindakan agresi. Semua hal tersebut menjadi keputusan Dewan Keamanan PBB. Sehingga salah seorang sarjana mengatakan, “apa yang menjadi ancaman bagi perdamaian internasional adalah apa yang menurut Dewan Keamanan sebagai ancaman bagai perdamaian internasional”. 110 Terkait dengan hal tersebut, apa yang menjadi ancaman terhadap perdamaian tidak harus selalu sesuai dengan apa yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Dengan kata lain, ancaman terhadap perdamaian internasional tidak selalu merupakan persengketaan bilateral negara. 111 110 Kelsen, hlm. 731 111 Ibid, hlm. 735 Terlebih lagi PBB dapat mengintervensi dalam yurisdiksi suatu negara apabila suatu sengketa yang terjadi dalam negara tersebut berpotensi untuk mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Perang sipil, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan 70 repressive regime adalah pengecualian terhadap kewenangan domestik suatu negara. Keputusan Dewan Keamanan terhadap eksistensi ancaman, pelanggaran perdamaian internasional, dan tindakan agresi, adalah suatu prekondisi untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil sesuai Bab VII Piagam PBB. Pasal 41 mencantumkan mengenai sanksi non-militer terhadap negara yang divonis bersalah. Jika sanksi yang diberikan sesuai dengan pasal ini tidak berhasil, maka Dewan Keamanan akan melanjutkan dengan memberi sanksi sesuai dengan pasal 42 yang melibatkan serangan udara, air, dan darat. Dan keputusan Dewan Keamanan PBB adalah mengikat kepada negara-negara. 112 Organisasi regional juga mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi. Pasal VIII Piagam PBB mengatur mengenai kemungkinan peran Organisasi Regional untuk melakukan intervensi dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 522 mewajibkan setiap negara anggota untuk mengupayakan penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa secara regional terlebih dahulu sebelum membawanya kepada Dewan Keamanan. Dengan demikian, segala bentuk operasi untuk menjaga perdamaian kawasan tidaklah dilarang, karena penggunaan kekuatan bersenjata untuk menjaga perdamaian wilayah regional tidak termasuk kedalam lingkup pasal 2 ayat 4. 113 112 Perlu dicatat sebagaimana diindikasikan dalam Certain Expenses advisory opinion 1962, tindakan yang diambil Dewan Keamanan berdasarkan pasal 42 harus dibedakan dengan tindakan peace-keeping. Certain Expenses case dapat dilihat di Harris, hlm. 975-984. 113 Funda Keskin, The Use of Force in International law; War, Intervention and the United Nations. Ankara, Mulkiyeliler Birliqi Vakfi Yayinlari, 1998, Hlm. 156 Sebagai contoh, pada tahun 1961 Arab League Force 71 melakukan intervensi militer di Kuwait, intervensi militer Inter-Arab Deterrence Force tahun 1976. African Union di Chad tahun 1981-1982. ii. Hak Pembelaan Diri The Right of Self-Defence Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pasal 2 ayat 4 melarang negara-negara menggunakan agresikekerasan dalam menyelesaikan persengketaan. Namun demikian, pasal 51 memberikan hak kepada negara-negara baik secara kolektif maupun individual untuk pembelaan diri self-defence. Self-defence memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk melakukan tindakan agresi sebagai last resort usaha terakhir. Berikut adalah bunyi pasal 51 Piagam PBB; “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack ocurs againts a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by the Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security” “tidak ada ketentuan di dalam Piagam ini yang menghilangkan hak untuk melakukan pertahanan diri baik secara kolektif maupun individual apabila terjadi serangan militer terhadap negara-negara anggota PBB, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan yang diambil oleh negara anggota PBB untuk mempertahankan diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Kamanan PBB dan tidak boleh menghalangi Dewan Keamanan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang 72 dianggap perlu untuk menjaga atau mengembalikan perdamaian dan keamanan in ternasional.” Banyak perdebatan yang timbul terkait dengan ketentuan dalam pasal 51. Hal ini karena di dalam pasal ini tidak dijelaskan mengenai ruang lingkup self- defence dan dalam situasi apa self-defence tidak dapat dibenarkan. Pertanyaan lain yang muncul adalah apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘armed attack’ dan apakah self-defence hanya dapat dilakukan apabila armed attack telah ada atau dapat dilakukan sebagai suatu tindakan pencegahan. Beberapa ahli berpendapat bahwa jika dihubungkan dengan dengan pasal 2 ayat 4, self-defence hanya dapat dilakukan apabila telah timbul suatu serangan. 114 Sebaliknya beberapa ahli juga berpendapat bahwa pasal 51 tidak dapat ditafsirkan tanpa mempertimbangkan adanya hak anticipatory self-defence dalam kasus adanya ancaman serangan yang tidak dapat dielakkan. Pandangan ini mengatakan bahwa sebelum piagam ini diadakan, telah ada hukum kebiasaan internasional yang mengatur mengenai anticipatory self-defence. Para pendukung pandangan ini merujuk kepada situasi pada kasus Steamer Caroline, Dengan kata lain satu-satunya kondisi dimana self-defence dapat dilakukan adalah apabila telah terjadi serangan terlebih dahulu. 115 yang telah menjadi hukum kebiasaan. 116 114 Brownlie, hlm.265; Kelsen, hlm. 797-798 115 R.Y. Jennings, The Caroline and McLeod Cases, American Journal of International Law, Vol. 32 1938 hlm. 80-90 116 Ibid, hlm. 92 Dalam kasus ini, ICJ memutuskan bahwa 73 anticipatory self-defence dibenarkan apabila dilakukan dengan segera, tidak ada pilihan lain, dan tidak dilaksanakan dengan perencanaan yang matang. 117 Masalah lainnya terkait dengan pelaksanaan hak self-defence adalah hal- hal yang mempengaruhi suatu negara memutuskan untuk menggunakan agresi sebagai bentuk pertahanan diri. Karena di dalam hukum internasional, setiap negara mempunyai hak untuk mempertimbangkan secara mandiri dan bebas mengenai situasi yang memaksa mereka untuk melakukan self-defence. 118 Pasal 51 menyatakan bahwa self-defence dapat dilakukan hingga Dewan Keamanan mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga atau mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional. Jadi dapat dikatakan bahwa ketentuan ini membuka kemungkinan bagi negara untuk mengambil suatu tindakan defensive secara segera sebelum Dewan Keamanan bertindak. Namun pada saat yang bersamaan kalimat dalam pasal 51 yang mengatakan bahwa ‘tindakan yang diambil untuk membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan’ mewajibkan negara untuk berhubungan dengan pendapat internasional. 119 117 Timothy L. H. McCormack, Self-Defence in International Law, The Israeli Raid on the Iraqi Nuclear Reactor, New York. St. Martin’s Press 1996, hlm. 183 118 Nicaragua Case, hlm. 194 119 Timothy L. H. McCormack, op.cit., hlm. 259 terkait dengan hal ini, tindakan negara untuk membela diri tidak selamanya murni berasal dari pertimbangan negara tersebut namun juga berdasarkan pertimbangan internasional. sebagai contoh, Jepang mengatakan bahwa tindakan yang dilakukannya di Manchuria adalah bentuk self-defence. Namun Majelis Umum PBB menyatakan bahwa tindakan Jepang bukan merupakan self-defence. Hal yang juga terjadi dalam putusan International Military Tribunal di Nuremberg 74 tahun 1946 yang menolak argumen pimpinan Nazi pada waktu itu yang mengatakan bahwa tindakan Jerman adalah sebagai bentuk self-defence dan setiap negara adalah pihak yang berhak untuk menentukan pada situasi apa negara tersebut dapat melakukan self-defence. Mahkamah militer dalam putusannya mengatakan; ”whether action taken under the claim of self-defence was in fact aggressive or defensive must ultimately be subject to investigation or adjudication if international law is ever to be enforced.” 120

2. Intervensi Kemanusiaan