74
tahun 1946 yang menolak argumen pimpinan Nazi pada waktu itu yang mengatakan bahwa tindakan Jerman adalah sebagai bentuk self-defence dan setiap
negara adalah pihak yang berhak untuk menentukan pada situasi apa negara tersebut dapat melakukan self-defence. Mahkamah militer dalam putusannya
mengatakan; ”whether action taken under the claim of self-defence was in fact aggressive or
defensive must ultimately be subject to investigation or adjudication if international law is ever to be enforced.”
120
2. Intervensi Kemanusiaan
Humanitarian Intervention
“Suatu tindakan yang diklaim sebagai self-defence baik untuk menyerang maupun bertahan akan diputuskan berdasarkan hukum internasional”
Intervensi kemanusiaan telah lama menjadi praktek dalam masyarakat internasional. Hal ini telah dilakukan oleh negara-negara secara individual atau
kolektif, misalnya intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh Rusia di Turki atas nama kaum nasionalis Bulgaria Tahun 1877, intervensi Amerika Serikat di
Kuba Tahun 1898, Prancis melakukan intervensi di Syria Tahun 1860, dan Negara-negara besar Eropa ditambah Jepang melakukan intervensi di China
tahun 1900.
121
Praktek ini terus berlanjut hingga dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari intervensi-intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia Tahun 1992, di
120
Putusan Mahkamah Militer di Nurenberg 1946, Trial of German Major War Criminals Before the International Military Tribunal
121
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Bandung: PT.Alumni, hlm.650
75
Rwanda tahun 1994, di Haiti Tahun 1994, di Boznia-Herzegovina Tahun 1992- 1995, di Kosovo Tahun 1998-1999, di Siere Leone Tahun 1999, dan di Libya
Tahun 2011. Pelaksanaan intervensi kemanusiaan di berbagai tempat tersebut selalu diikuti dengan pro dan kontra. Bagi yang pro atas tindakan intervensi
kemanusiaan, tindakan tersebut dipandang sebagai jalan keluar yang tepat untuk membebaskan orang-orang yang mengalami tindakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia HAM berat dari penindasan yang dialami di dalam wilayah suatu negara. Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan tindakan intervensi
kemanusiaan berpendapat bahwa pelaksanaan tindakan tersebut melemahkan kedaulatan negara, berpotensi merusak aturan yang ada di dalam piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, Mayoritas negara saat ini mendukung perlindungan terhadap hak asasi
manusia HAM dan menjamin penegakan HAM bagi setiap individu yang berada di dalam wilayahnya. Oleh karenanya negara-negara juga mengakui adanya
kewajiban untuk perlindungan HAM. Meskipun demikian hingga saat ini belum ada suatu definisi hukum yang jelas mengenai intervensi kemanusiaan dalam
hukum internasional. Hal ini mengakibatkan intervensi kemanusiaan terbuka untuk diinterpretasi oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Intervensi kemanusiaan didefinisikan oleh Danish Institute of International Affairs sebagai:
“coercive action by States involving the use of armed force in another State without the consent of its Government, with or without authorization from the UN
76
Security Council, for the purpose of preventing or putting to a halt gross and massive violations of human rights or international humanitarian law.”
122
“the threat or use of force across state borders by a state or group of states aimed at preventing or ending widespread and grave violations of
the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force is applied.”
Intervensi kemanusiaan juga didefinisikan oleh Robert O. Keohane dan J. L.Holzgrefe sebagai:
123
Intervensi kemanusiaan juga dapat diartikan sebagai intervensi bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara dengan pertimbangan kemanusiaan. Intervensi
ini bukan bertujuan untuk mengganti kedaulatan suatu negara tetapi menyelamatkan para korban perlakuan brutal atau kejam dan tidak manusiawi
yang dialami di suatu negara.
124
a. Menggunakan kekuatan bersenjata armed force Dalam melakukan
intervensi kemanusiaan di dalam wilayah negara lain tempat terjadinya penggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional, digunakan
kekeuatan bersenjata armed force untuk melindungi para korban dan menghentikan pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu penggunaan
Dari ketiga definisi yang disajikan di atas setidaknya ada empat unsur dari tindakan intervensi kemanusiaan, yaitu:
122
Hans Corell, To intervene or not: The dilemma that will not go away, dalam Conference On The Future Of Humanitarian Intervention, hlm.2 [diakses tanggal 10-03-2015
dariuntreaty.un.orgolamediainfo...lcduke01.pd
123
Robert O. Keohane J. L. Holzgrefe, ed, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, Cambridge University Press 2003, hlm.18
124
Ian Brownlie, op.cit., hlm.710
77
tindakan intervensi yang tidak menggunakan kekuatan bersenjata armed force seperti ancaman atau penggunaan sanksi ekonomi,
diplomatik,atau politik atau sanksi lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan.
125
b. Dilakukan dengan tujuan kemanusiaan yaitu untuk
menghentikan pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional. Dapat dilihat dari pengertian di atas bahwa tujuan utama dari
intervensi kemanusiaan adalah untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM atau hukum humaniter internasional.
Dengan demikian maka motif lain selain hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah intervensi kemanusiaan.
126
c. Dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan
terjadi. Sebagaimana diakui dalam hukum internasional, suatu negara memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorial yang diakui menjadi
Dalam melakukan tujuan kemanusiaan tersebut intervensi yang dilakukan oleh suatu negara dalam
wilayah negara lain melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata. Hal ini dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara tersebut.
Penekanan perlu dilakukan terhadap bagian dimana tindakan intervensi ini dapat dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara yang
bersangkutan. Hal ini perlu ditekankan karena erat kaitannya dengan kedaulatan suatu negara dan kemampuan suatu negara dalam mengatasi
permasalah HAM atau pun permaslahan humaniter di dalam wilayahnya.
125
Robert O. Keohane J. L. Holzgrefe, loc.cit, hlm.18
126
Christoher C. Joyner, International Law in The 21st Century, New York: Rowman Littlefield Publishers, inc 2005, hlm. 177
78
miliknya. Oleh karenanya negara memiliki yurisdiksi atas benda, orang, ataupun kejadian yang terjadi di dalam wilayahnya tersebut. Hal ini berarti
negara juga berdaulat penuh untuk mengatasi pelanggaran berat HAM ataupun hukum humaniter internasional yang terjadi di dalam wilayahnya.
Oleh karena itu sepanjang negara tersebut masih mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk mengatasi permaslahan tersebut, negara lain tidak
mempunyai hak untuk mengintervensi. Intervensi kemanusiaan mungkin untuk dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran
kemanusiaan terjadi ketika negarater sebut tidak berkeinginan atau tidak mempunyai kemampuan atau kapasitas yang cukup untuk menyelasaikan
permasalahan tersebut atau negara tersebut menjadi pelaku dari pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional. Contohnya
intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia Tahun 1992 yang dalam hal ini Somalia dipandang tidak mampu untuk menyelesaikan
persoalan kemanusiaan yang terjadi di sana karena dianggap sebagai negara gagal.
127
d. Dilakukan dengan atau tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB.
Tindakan intervensi kemanusiaan berdasarkan pengertian dari Danish Institute of International Affairs dapat dilakukan dengan atau
tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Dewasa ini masyarakat internasional akan lebih bisa menerima suatu intervensi kemanusiaan yang
127
Gerald A. Bunga, 2012, Analisis Hukum Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium Dan Armed Robbery Di Wilayah Laut Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan
Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia, LL.M, Universitas Gadjah Mada,hlm.78-82
79
dilakukan dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruno Simma dalam Boer Mauna bahwa
penggunaan kekerasan untuk tujuan humaniter tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB kecuali setelah mendapatotorisasi dari Dewan Keamanan
PBB.
128
Contohnya adalah intervensi kemnusiaan yang dilakukan di Somalia, Rwanda, dan Haiti, yang mana dilakukan berdasarkan otoritas
Dewan Keamanan PBB sehingga dapatditerima oleh masyarakat internasional. Sebaliknya, intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh
suatu negara tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB, akan diragukan legalitasnya dan cenderung mendapat penolakan dan kecaman dari
masyarakat internasional. Contohya adalah intervensi militer yang dilakukan NATO di Kosovo pada Tahun 1999. Intervensi ini oleh
sebagian besar sarjana dipandang sebagai tindakan unilateral dari NATO tanpa ada otorisasi dari Dewan Keamanan PBB.
129
128
Boer Mauna, op.cit., hlm. 652
129
John O’brien, 2001, International Law, Newyork: Routledge-Cavendish; Ryan Goodman, Humanitarian Intervention and Pretext of War, American Journal of International Law,
100 107, hlm.108; Natalino Ronzitti, 1999, Lessons of International Law from NATO’s Armed Intervention Against the Federal Republic of Yugoslavia, International Spectator, 35 3, hlm. 46
Contoh lainnya adalah Intervensi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat di beberapa negara
seperti di Nicaragua pada Tahun 1989, di Grenada Pada Tahun 1983, dan di Panama Tahun 1989 pada masa pemerintahan Ronald Reagan diragukan
oleh masyarakat internasional sebagai sebuah intervensi kemanusiaan yang bertujuan untuk alasan kemanusiaan. Intervensi ini dipandang lebih
bertujuan untuk menggulingkan pemimpin totaliter dan memungkinkan
80
hidupnya kebebasan memilih secara demokratis di negara-negara tersebut.
130
Ketiadaan instrumen hukum internasional yang secara jelas
mengatur mengena permasalahan intervensi kemanusiaan menyebabkan sulit bagi kita untuk menetapkan standar atau syarat bagi suatu negara atau sekelompok
negara untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Asian C. Udoh mengusulkan beberapa kriteria untuk menilai layak atau tidaknya suatu intervensi kemanusiaan,
yang mana berdasarkan kriteria-kriteria ini bisa dijadikan pijakan untuk melihat syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan intervensi kemanusiaan di suatu
negara. Kriteria yang diusulkan oleh Asian C. Udoh adalah sebagai berikut: a.
The use of humanitarian intervention must be immediate and only occur during the actual commission of the human rights violation or
immediate threat of an offense; b.
Authorization for intervention must be by a competent body within the United Nation;
c. Humanitarian intervention must be a collective effort executed by more
than one nation; d.
Humanitarian intervention must be used as a last resort when all other means have failed;
e. Humanitarian intervention must only be used for grave and large scale
violations of human rights;
130
Rosalyn Higgins, Problem and Process, International Law, How We Use It, Clarendon Press, Oxford 2001, hlm. 6
81
f. All military forces involved in the intervention must respect the principles
and spirit of the Geneva Conventions and all other applicable international humanitarian laws.
131
Jadi berdasarkan kriteria di atas, suatu intervensi kemanusiaan harusdilaksanakan dengan segera dan hanya dilakukan sepanjang terjadi
pelanggaran berat terhada HAM atau ketika terjadi suatu ancaman penyeranagan secara langsung. Pelaksanaan intervensi ini harus dilakukan berdasarkan otorisasi
dari badan PBB yang berkompeten, dalam hal ini adalah Dewan Keamanan PBB.
132
131
Asian C. Udoh, When Is Humanitarian Intervention Legal, pdf,
Dengan demikian tindakan yang dilakukan secara sepihak tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB dapat dianggap bertentangan dengan hukum
internasional.Intervensi kemanusiaan yang dilkukan juga harus dilaksanakan secara kolektif dan dilakukan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan
pelanggaran berat HAM yang terjadi. Hal ini berarti sebelum dilakukan intervensi kemanusiaan, harus dilakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa secara damai
sebagaimana yang disediakan dalam aturan hukum internasional, misalnya seperti yang diatur dalam Piagam PBB yang menyediakan cara-cara penyelesaian
sengketa secara damai melalui, perundingan, penyeledikan, mediasi, konsiliasi ,arbitrasi, penyelesaian melalu jalur hukum, penyelesaian melalui badan-badan
http:www.google.comurl?sa=trct=jq=when20is20humanitarian0intervention20legal source=webcd=4cad=rjaved=0CEAQFjADurl=htp32F2Fwww.lacba.org2Ffiles
2Flal2Fvol33no12F2687.pdfei=aasRUPNEcuVrgfx_4AQusg=AFQjCNFwgHGw8ocUt b1eGa5gCzp0cFjyA diakses tanggal 03-03-2015
132
Pasal 39 Piagam PBB
82
atau peraturan-peraturan regional, dan melalui cara-cara penyelesaian secara damai lainnya yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa.
133
a. The threat or occurrence of grave and large-scale violations of human
rights. Internvesi kemanusiaan yang dilakukan juga hanya dilaksanakan
ketikaterjadi pelanggaran yang berat dan dalam skala yang besar terhadap HAM Grave and large scale violations of human rights. Penilaian terhadap hal ini tetap
menjadi kewenangan Dewan Keamanan PBB karena akan berdampak terhadap penggunaan kekuatan bersenjata untuk penyelasaian masalah tersebut,
yang manaot orisasi penggunaan kekuatan bersenjata hanya dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Dalam melakukan intervensi kemanusiaan, pelaku
intervensi juga sangat ditekanakan untuk tetap berpegang pada pada prinsip- prinsip Konvensi Genewa dan aturan-aturan hukum humaniter internasional
lainnya. Selain kriteria yang diajukan oleh Asian C. Udoh di atas, terdapat juga kriteria lain yang diajukan oleh Centre for Strategic Studies, Victoria University
of Wellington, yaitu sebagai berikut:
b. Clear and objective evidence of such a threat or occurrence.
c. The government of the state is unwilling or unable to take remedial
action. d.
There is clear urgency. e.
The use of force should be the last resort.
133
Pasal 33 Piagam PBB
83
f. The purpose is clearly explained to publics and the international
community. g.
The purpose is limited to stopping the human rights abuses. h.
The action is supported by those for whom it is intended. i.
There is support of regional states j.
There should be a high probability of success. k.
There should be a mapped-out transition to post conflict peace building. l.
The use of force should be proportionate to achieving these goals. m.
International law on the conduct of war should be followed during theaction.
134
Berdasarkan kriteria di atas, jika dibandingkan dengan kriteria yang diajukan oleh Asian C Udoh, maka terdapat sembilan kriteria yang baru yaitu, sebelum
melakukan intervensi kemanusiaan harus ada bukti yang jelas dan objektif bahwa telah terjadi ancam atau pelanggaran yang berat dan dalam skala besar terhadap
HAM.. Pelaksanaan intervensi kemanusiaan juga dimungkinkan jika pemerintah
dimana tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi tidak bersedia unwilling atau tidak mempunyai kapasitas yang cukup unable untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun untuk melaksanakan intervensi
134
Centre for Strategic Studies, 2000, Humanitarian Intervention: Definition and Criteria, Centre for Strategic Studies Briefing Paper, 3 1, hlm.2,
pdfhttp:www.google.comurl?sa=trct=jq=humanitarian20intervention3A20definition 20and20criteria2C20centre20for20strategic20studies20briefing20papersource
=webcd=1cad=rjasqi=2ved=0CCsQFjAAurl=http3A2F2Fwww.victoria.ac.nz2F hppi2Fcentres2Fstrategicstudies2Fpublications2Fstrategicbriefing papers2FHI.pdfei=
WLMRUqjMF9DyrQfNgYHABwusg=AFQjCNF8sdub2nYLDijl5lTpgfRqWFQqwbvm=bv.5 0768961,d.bmk ,diakses tanggal 04-03-2015
84
tersebut harus dilakukan penilaian terlebih dahulu apakah intervensi tersebut mendesak untuk dilakukan atau tidak, atau dengan kata lain apakah ada urgensi
untuk segera melaksanakan intervensi tersebut atau tidak.Intervensi kemanusiaan yang dilaksanakan juga, berdasarkan kriteria di atas,harus mendapat persetujuan
dari pihak yang mana intervensi ini ditujukan, yakni mereka yang menjadi korban pelanggaran kemanusiaan tersebut.
Selain itu tindakan intervensi yang dimaksud juga disarankan untuk mendapat dukungan dari negara-negara yang berada pada regional yang sama dengan tempat
terjadinya pelanggaran kemanusiaan tersebut. Hal ini mungkin menjadi pertimbangan karena negara-negara tersebut bisa terkena imbas langsung ataupun
tidak langsung dari pelanggaran kemanusiaan yang terjadi ataupun intervensi kemanusiaan yang akan dilakukan. Misalnya bisa terjadi pengungsian besar-
besaran dari para korban pelanggaran kemanusiaan ke negara-negara yang berada pada regional yang sama dengan negara mereka. Suatu intervensi
kemanusiaan juga bisa dilaksanakan apabila ada peluang yang besar untuk sukses menghentikan pelanggaran berat HAM yang terjadi. Dalam hal ini tahap
pertimbangan dan persiapan sebelum melakukan intervensi menjadi sangat penting. Hal ini tidak hanya meliputi persiapan dalam hal kekuatan bersenjata saja
tapi juga mempertimbangkan aspek-aspek lain yang terkait, seperti aspek hukum dan politik.
Intervensi kemanusiaan yang dilakukan juga dikehendaki untuk tidak berhenti setelah sukses menghentikan pelanggaran berat HAM yang terjadi tapi juga harus
disiapkan rencana pembangunan perdamaian pasca konflik yang terjadi. Hal ini
85
dapat dianggap sebagai langkah kemanusiaan yang baik, karena pengalaman yang ada menunjukan bahwa keadaan masyarakat setelah terjadi suatu konflik selalu
berada pada situasi yang memprihatinkan. Contohnya apa yang terjadi di Somalia sejak tahun 1990an hingga saat ini.
Dalam melakukan intervensi kemanusiaan juga dikehendaki agar pelaksanaannya harus proporsional dalam mencapai tujuan yang
dikehendaki dari intervensi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan kekuatan bersenjata yang digunakan tidak melebihi dari apa yang seharusnya
dilakukan sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang tidak perlu yang mana bisa memperparah kondisi yang ada. Berdasarkan kriteria-kriteria yang diusulkan
oleh Asian C. Udoh dan Centre for Strategic Studies, Victoria University of Wellington, berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang
bermaksud melakukan intervensi kemanusiaan. Syarat-syarat ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan
intervensikemanusiaan dan syarat yang harus dilakukan selama berlangsungnya intervensi kemanusiaan dan yang ketiga adalah syarat yang harus dilakukan
setelah intervensi kemanusiaan berjalan dengan sukses. a.
Sebelum pelaksanaan intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi harus:
- Dilakukan sebagai upaya terakhir setelah upaya-upaya
penyelesaian sengketa secara damai telah dilakukan dan tidak berhasil menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi. Hal ini selaras
dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang mana dibentuk
86
pada masa sesudah konflik perang dunia I dan II, sehingga memliki tujuan untuk menciptakan suatu komunitas internasional yang berubah bukan
dengan menggunakan kekerasan, dan apabila terjadi sengketa maka diharapkan bisa diselesaikan secara damai;
135
- Ada otorisasi dari Dewan Keamanan PBB;
- Dilakukan terhadap pelanggaran yang berat dan dalam skala
besar terhadap HAM. Oleh karena itu harus terlebih dahulu dilakukan suatu penilaian apakah memang benar terjadi pelanggaran yang
dimaksud atau tidak. Hal ini harus didukung dengan bukti yang jelas dan objektif bahwa pelanggaran yang dimaksud memang benar terjadi;
- Pemerintahan negara tempat pelanggaran berat HAM terjadi
tidak bersedia unwilling atau tidak mampu unable untuk menghentikan pelanggaran yang dimaksud. Dengan demikian harus ada
suatu penilaian atau penyelidikan dan disertai bukti-bukti yang objektif yang menunjukan pemerintahan negara tempat pelanggaran terjadi
tidak bersedia atau tidak mampu untuk menyelesiakan permasalahan tersebut;
b. Selama berlangsungnya intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan
intervensi harus: -
Menghormati prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Jenewa dan aturan-aturan hukum internasional lainnya;
135
John O’Brien, op.cit., hlm. 679
87
- Melakukan intervensi kemanusiaan dengan segera dan hanya
selama terjadinya anacaman atau pelanggaran HAM dalam skala yang besar dan berat;
- Melakukan intervensi kemanasiaan secara proporsional dengan
tujuanyang hedak dicapai, sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kerugian yang tidak perlu.
c. Setelah intervensi kemanusiaan berjalan dengan sukses pihak yang
melakukan intervensi harus membantu dalam masa transisi untuk membangun perdamaian pasca konflik yang terjadi.
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa hingga saat ini tidak ada suatuinstrumen internasional yang secara eksplisit dan khusus mengatur mengenai
intervensi kemanusiaan. Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa pada prinsipnya Piagam PBB menentang penggunaan kekuatan bersenjata dalam
hubungan antar negaraanggotanya. Hal ini disadari oleh PBB berdasarkan pengalaman dua perang duniayang terjadi sebelumnya yang mana menunjukan
bahwa penggunaan kekuatan bersenjata terlalu berbahaya untuk digunakan sebagai alat yang sah dalam hubungan antar negara. Penggunaan kekerasan juga
hanya dimungkinkan oleh Piagam PBB dalam hal bela diri self defence dan tindakan yang diotorisasi oleh Dewan Keamanan PBB.Dalam Pasal 39 Piagam
penggunaan kekuatan bersenjata haya diizinkan dalam hal: a.
Ada ancaman terhadap perdamaian internasional; b.
Ada pelanggaran terhadap perdamaian internasional; dan
88
c. Terjadi tindakan agresi. Dengan demikian dapat dilihat bahwa penggunaan
kekuatan bersenjata dengan tujuan melakukan intervensi kemanusiaan tidak disebutkan secara eksplisit dalam pasal ini. Demikian juga dalam
keseluruhan Bab VII Piagam PBB tidak ada satu pasalpun yang secara eksplisit berkaitan dengan penggunaan kekuatan bersenjata untuk tujuan
intervensi kemanusiaan. Penggunaan kekeuatan bersenjata untuk tujuan intervensi kemanusiaan sedikit mendapat tempat dalam Piagam PBB jika
kita melihat kepada tujuan dari PBB, yaitu: -
Menjaga perdamaian dunia, -
Perlindungan HAM, dan -
Kegiatan untuk mendukung hak menentukan nasib sendiri self- determination
3. Responsibility to Protect