d. Kekerasan ekonomi tidak memberikan uang belanja, bahkan lebih
parah dari itu pelaku tindak kekerasan dalam hal ini suami justru memeras istri. Istri yang banting tulang mencari uang untuk
membiayai kehidupan rumah tangganya, uang sekolah anak-anak dan sebagainya.
e. Kekerasan sosial dalam bentuk mengisolasi korban dari dunia luar,
tidak boleh keluar rumah, tidak bisa mengakses informasi dengan dunia luar, istri bagai katak dalam tempurung Latifa, dalam
Kristyanti, 2004, h.84.
2.2.3.1 Karakteristik Kekerasan Terhadap Perempuan
Penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Rifka Annisa Women‟s Crisis Center Yogyakarta tahun 2001
menemukan bahwa karakteristik perempuan yang mudah terkena tindak kekerasan diantaranya Rismiyati, dalam Yulianie, 2007, h.18-20 :
a. Menganut peran steorotipe tradisonal laki-laki dan perempuan,
bahwa sebagian masyarakat kita masih menganut budaya patriarki yang kental, sehingga melakukan pemahaman yang kadang kurang
tepat. Laki- laki dianggap „berkuasa‟ atas perempuan, sehingga
terkadang banyak laki-laki yang semena-mena terhadap perempuan. b.
Pasif dan patuh terhadap suami, sikap inilah yang kadang menjerumuskan perempuan itu sendiri. Istri terlalu menuruti apa
perintah suami tanpa melihat apakah yang diperintahkan suami tersebut baik lagi benar atau tidak.
c. Menerima dominasi dan superioritas laki-laki, sikap nrimo oleh
sebagian perempuan atas dominasi laki-laki yang terkadang menimbulkan mematikan rasa kritis perempuan agar mendapat hak-
haknya yang sempat tertindas. d.
Menyamakan dominasi dengan kejahatan maskulinitas, perempuan yang masih beranggapan bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan
dikarenakan kodrat dari Tuhan bahwa laki-laki ditakdirkan menadi orang orang kuat jantan, maskulin.
e. Merasa tidak memiliki hak asasi, ini yang tidak kalah pentingnya,
banyak perempuan yang merasa bahwa ia tidak punya hak yang sama dengan laki-laki, hal ini mungkin terjadi karena faktor
tertutupnya akses atau informasi tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh perempuan.
f. Mengaku salah walau tidak berbuat salah, istri yang terlanjur cinta
pada suaminya terkadang tidak mampu berfikir objektif, terasa buntu dalam menghadapi masalahnya. Ketika yang salah adalah suami
tetapi demi untuk menutupi aib, atau takut justru sang istrilah yang mengaku bersalah walau sebenarnya dia tidak bersalah.
g. Berperan sebagai tumbal akibat perbuatan pasangan, seolah-olah
begitulah adanya, istri dijadikan pusat sasaran oleh tindak semena- mena suami.
h. Merasa bahagia bila dibutuhkan pasangan, sebagai perempuan pada
umumnya yang terkadang lebih menonjol pasangannya, banyak istri
yang merasa bahagia ketika dibutuhkan pasangannya, ini sebagai bentuk pengabdian rasa cintanya, sehingga bisa menimbulkan
penindasan terselubung atas nama cinta. i.
Pasrah akan tindak kekerasan dengan harapan akan membaik, ketidakmampuan istri dalam membela diri ketika mendapatkan
tindak kekerasan dari suami terjadi karena banyak faktor, diantaranya rasa pengharapan istri suatu saat kelak suaminya akan
„sayang‟ lagi dan tidak mengulangi kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya. Siklus kekerasan yang tidak pernah usai,
sehingga menimbulkan siklus stres tang tak berujung. j.
Merasa rendah diri, karena banyak hal menimpa istri, sehingga timbul rasa tidak percaya diri lagi. Istri merasa dirinya tidak berguna
hanya dijadikan pelangkap penderita dalam hidup ini.
2.2.4 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT