Pengertian Learned Helplessness Efek Learned Helplessness

15 BAB 2 PERSPEKTIF TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Learned Helplessness

2.1.1 Pengertian Learned Helplessness

Menurut Abramson et. Al dalam Dayakisni, 2009, h.50 learned helplessness adalah yaitu perasaan kurang dapat mengendalikan lingkungannya yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarah pada atribusi diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan. Menurut Reber dan Reber 2010, h.420 learned helplessness merupakan sebuah istilah yang dipadukan oleh Seligman untuk mencirikan generalisasi bahwa ketidakberdayaan bisa jadi kondisi yang dipelajari karena terpapar situasi-situasi yang membahayakan dan tidak menyenangkan dan tidak punya kemungkinan untuk lolos atau menghindarinya. Menurut Bell dan Naugle dalam Syafitri, 2008, h.17 teori learned helplessness menyatakan bahwa individu yang teraniaya umumnya berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perbuatan penyiksanya, dan akhirnya cenderung untuk menghentikan segala usaha untuk meninggalkan atau merubah kondisi kekerasan tersebut. Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa learned helplessness merupakan suatu kondisi dimana individu tidak memiliki kemampuan untuk berhenti dan keluar dari situasi menyakitkan serta kecenderungan yang mengarah pada diri individu untuk mengatribusikan masalah atau kejadian-kejadian dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bersifat kuat, tetap dan menyeluruh.

2.1.2 Komponen Dasar Learned Helplessness

Menurut Seligman dalam Syafitri, 2008, h.20-22 terdapat tiga komponen yang menghasilkan learned helplessness pada perilaku individu selanjutnya. Adapun komponen-komponen tersebut adalah:

2.1.2.1 Penurunan Motivasi motivation deficit

Menurut Maier Seligman dalam Syafitri, 2008, h.20-22 penurunan motivasi terjadi ketika kejadian yang tidak dapat dikontrol akan menurunkan motivasi seseorang untuk melakukan respon awal yang rendah dalam mengontrol kejadian yang akan datang. Penurunan motivasi dapat dilihat dari simptom-simptom berikut: a. Respon awal yang rendah, dimana terjadinya penurunan untuk merespon segala sesuatu tindakan, tekanan suara yang menurun, isolasi dan penolakan, tidak dapat membuat keputusan sendiri, menjadi pasif, retardasi psikomotor, perlambatan kemampuan intelektual, tidak memiliki kepekaan sosial. b. Selalu menunda hal yang akan dilakukan procrastination. c. Melakukan sedikit usaha untuk keluar dari stimulus yang berbahaya.

2.1.2.2 Penurunan Kemampuan Kognitif cognitive deficit

Menurut Maier Seligman dalam Syafitri, 2008, h.20-22 penurunan kognitif akan menghasilkan kesulitan dalam mempelajari respon untuk sukses. Individu akan percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan adalah suatu hal yang terpisah. Bila individu memproses pengaruh lingkungan yang dalam hal ini adalah kejadian yang tidak terkontrol dalam kognitifnya dan sampai pada belief atau keyakinannya maka hal inilah yang membuat individu tersebut tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Penurunan kognitif dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut: a. Set kognitif yang negatif, dimana adanya pemikiran-pemikiran negatif, hal- hal yang kecil menjadi sesuatu yang besar dan kesulitan dalam menghadapi suatu masalah dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diselesaikan. b. Kesulitan untuk mempelajari respon sukses, walaupun respon sukses dapat dilakukan dengan berhasil. c. Memperlambat kontrol persepsi. 2.1.2.3 Penurunan emosional emotional deficit Menurut Seligman dalam Syafitri, 2008, h.21 penurunan emosional adalah dimana seseorang menunjukkan ketidakmampuan dalam mengontrol situasi yang tidak menyenangkan. Maier Seligman 1976 menambahkan bahwa bila terjadi peristiwa traumatik yang menyebabkan tingkat emosional yang tinggi atau biasa disebut dengan ketakutan “fear”. Ketakutan yang berlanjut menyebabkan seseorang belajar untuk dapat mengontrol trauma atau tidak trauma ketakutan tersebut. Jika seseorang dapat mengontrol trauma tersebut maka ketakutan akan menurun dan menghilang, tapi jika seseorang tidak dapat mengontrol kejadian traumatik tersebut maka ketakutan akan meningkat dan digantikan menjadi depresi. Penurunan emosional dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut; a. Agresi yang rendah; dimana ketidakberdayaan menjadi awal dari penurunan agresi dan respon untuk dapat bersaing, dan status dominasi seseorang akan berkurang b. Kehilangan nafsu makan; dimana ketidakberdayaan akan menurunkan berat badan seseorang, dan penurunan dalam hal seksual dan sosial c. Luka nanah dan stress d. Perubahan fisiologis; dimana terjadi perubahan pada neuron dan hormon. Seperti cathecholamine. e. Mc Kein dalam Cemalcilar, Canbeyli dan Sunar, 2003 menyatakan bahwa penurunan emosional biasanya meliputi dysphasia atau depressed mood yang diikuti dengan hasil akhir yang negatif.

2.1.3 Efek Learned Helplessness

Seligman dalam Sitompul, 2009, h.30-31 mengemukakan tiga hal sebagai akibat learned helplessness sebagai berikut: a. Jika sesorang sering mengalami kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrol, hal ini akan berakibat pada penurunan motivasi individu untuk bertingkah laku dengan cara tertentu yang sebenarnya dalam situasi tertentu dapat merubah hasil akhir dari suatu kejadian. b. Pengalaman masa lalu dengan kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengurangi kemampuan individu untuk belajar bahwa kejadian-kejadian tertentu dapat diubah dengan tingkah laku tertentu pula. c. Pengalaman yang berulang-ulang dengan kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengarah pada perasaan tidak berdaya. Individu-individu akan mengatribusikan ketidakberdayaan pada diri mereka sendiri atau pada kejadian-kejadian khusus dan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Terdapat tiga komponen dasar yang menyebabkan terjadinya proses learned helplessness, yaitu: informasi yang tidak tentu mengenai apa yang akan terjadi, representasi kognitif belajar, pengharapan, persepsi dan kepercayaan, dan perilaku terhadap apa yang akan terjadi. Berikut ini adalah gambaran komponen dasar learned helplessness yang dikemukakan oleh Seligman dalam Syafitri, 2011, h.18-19. Gambar 2. Skema Proses Terjadinya learned helplessness Individu memiliki informasi yang tidak tentu mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa. Informasi ini merupakan informasi yang berasal dari lingkungan individu informasi objektif dimana respon dan hasil dari respon merupakan dua hal yang berdiri sendiri, bukan informasi yang berasal dari individu sendiri informasi subyektif. Perilaku terhadap apa yang akan terjadi Informasi yang tidak tentu mengenai apa yang akan terjadi Representasi kognitif belajar, pengharapan, persepsi dan kepercayaan Kemudian informasi yang tidak tentu tersebut akan diproses dan ditransformasikan di kognitifnya. Komponen representasi kognitif sistem kepercayaan tersebut akan membangun pengharapan yang salah mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa. Dimana individu merasa bahwa respon yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Tetapi, pada kenyataannya respon yang baik tidak selalu diiringi oleh hasil yang baik pula. Pengharapan yang salah tersebut akan menyebabkan individu tidak memiliki kontrol terhadap suatu peristiwa dimana respon dan hasil merupakan dua hal yang bebas. Individu yang tidak memiliki kontrol terhadap suatu peristiwa akan mengalami penurunan motivasi, kognitif dan emosional. Ketiga penurunan tersebut akan memunculkan learned helplessness ketidakberdayaan yang dipelajari mengenai bagaimana perilaku individu yang akan datang.

2.2 Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT

2.2.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya Wahab, 2011, h.3.