Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Ketimpangan Pembangunan Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PADA KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH

RENI 120501033

PROGRAM STUDI STRATA-I STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PADA KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI SUMATERA UTARA

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data panel dari tahun 2010-2013. Penelitian ini menggunakan uji Hausman dalam memilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS) dan hasil uji tersebut menunjukan bahwa Fixed Effects Models (FEM) yang digunakan dalam menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Dana Perimbangan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Kata Kunci : Ketimpangan pembangunan, Desentralisasi fiskal, Pendapatan Asli


(3)

ABSTRACT

ANALYSIS THE INFLUENCE OF FISCAL DECENTRALIZATION OF INEQUALITY OF DEVELOPMENT IN DISTRICT/CITY IN NORTH

SUMATRA PROVINCE

Purpose of this study was to determine the influence of fiscal decentralization on development imbalances measured by Williamson Index in regencies / cities in North Sumatera province using panel data from 2010-2013.This research is examined with Hausman test in order to select the best model for General Least Square (GLS) and the results of the test show Fixed Effects Models (FEM) used to analysis the influence of fiscal decentralization on development gaps at the district / city in the province of Sumatera Utara.

Based on the estimation the variable local revenues have a positive effect and significant imbalance in the development of districts/cities in North Sumatera Province, while the Balance Fund have a negative impact and significant effect on inequality of development in the district/city in North Sumatera Province

Keywords:Inequality development, fiscal decentralization, local revenue, fund


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Karunia-Nya yang selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat beriring salam selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi dari Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah: “Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Ketimpangan Pembangunan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.

Skripsi ini saya persembahkan khusus untuk orang tua tercinta Ayah Rusli dan Ibu Erni dan kakak, abang dan adik saya yang selama pengerjaan penelitian ini selalu memberikan doa, nasihat serta bimbingannya. Terima kasih atas doa dan dukungan yang selama ini menyertai saya.

Penulismenyadari terdapatketerbatasanpengetahuandalammenyelesaikan skripsiini,sehinggatidak terlepasdari bantuanberbagai pihak,makadalam kesempatan inidengansegalakerendahanhatipenulis menyampaikanucapan terimakasihyangsebesar-besarnyakepada:

1. BapakProf. Dr. Azhar Maksum,M.Ec., Ac., Ak.,

CA.selakuDekanFakultasEkonomi dan Bisnis Universitas SumateraUtara. 2. BapakWahyuArioPratomo,SE,M.EcdanBapakDrs.SyahrirHakim Nasution,

M.Si selakuKetua dan Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan,Fakultas Ekonomi dan BisnisUniversitas SumateraUtara.

3. Bap Programstudi S1

EkonomiPembangunandan BapakPaidiHidayat,SE, M.Si selakuSekretarisProgramStudi S1EkonomiPembangunan, Fakultas Ekonomi dan BisnisUniversitas SumateraUtara serta selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukan


(5)

dan saran yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ibu Dra. Raina Linda Sari, M.Si selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk, saran dam kritik dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Bapak Haroni Doli Hamoraon Ritonga, SE, M.Si selaku Dosen Penguji II

yang telah memberikan petunjuk,saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Pengajar dan Staff Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan untuk segala jasa-jasanya selama perkuliahan.

7. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman angkatan 2012 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan memberikan kritik dan sarannya selama pengerjaan skripsi ini.

8. Beserta seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bentuk bantuan yang diberikan kepada saya.

Semoga Allah SWT membalas budi dan pengorbanan yang diberikan.Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang dapat membangun untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.Dengan segala kerendahan hati, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya rekan-rekan mahasiswa/i Ekonomi Pembangunan.

Medan, November 2015 Peneliti,

Reni NIM: 120501033


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTARK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Antar Daerah ... 8

2.2 Desentralisasi Fiskal ... 13

2.3 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ... 17

2.4 Penelitian Terdahulu ... 22

2.5 Kerangka Konseptual ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Populasi Penelitian ... 26

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 26

3.4 Variabel Penelitian ... 26

3.5 Pengolahan Data ... 26

3.6 Definisi Operasional ... 27

3.7 Model Analisis Data ... 28

3.7.1 Ketimpangan Pembangunan ... 28

3.7.2 Desentralisasi Fiskal ... 29

3.7.3 Model Analisis Ekonometrik ... 29

3.8 Metode Analisis ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perkembangan dan Struktur Ekonomi ... 31


(7)

4.3 Analisis Desentralisasi Fiskal ... 36

4.3.1 Derajat Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah ... 36

4.3.2 Derajat Desentralisasi Fiskal Dana Perimbangan ... 38

4.3.3Perbandingan Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD dengan Dana Perimbangan ... 41

4.4 Analisis Data ... 42

4.4.1 Analisis Estimasi dengan Generalized Least Square (GLS) ... 42

4.4.1.1 Uji Hausmant Test ... 43

4.4.1.2 Random Effect Model (REM) ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten

/kota di Provinsi Sumatera Utara (Miliar rupiah) ... 5 4.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/Kota

Atas Dasar Harga Konstan 2000 (%) di Provinsi

Sumatera Utara pada tahun 2010-2013 ... 31 4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Utara pada tahun 2010-2013 ... 33 4.3 Derajat Desentralisasi Fiskal dari PAD (DDF PAD)

Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

pada tahun 2010-2013 ... 36 4.4 Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana Perimbangan

(DDF DP) Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Utara pada tahun 2010-2013 ... 39 4.5 Hasil Estimasi Metode GLS (FEM dan REM) ... 43 4.6 Hasil uji Hausman untuk fixed effect dan random effect ... 44 4.7 Hasil Estimasi Random Effect Model (REM) ... 45


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual ... 25 4.1 Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari

Komponen PAD (Pajak Daerah, Restribusi Daerah, hasil Kekayaan yang Dipisahkan, Lain-lain PAD Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2013 ... 38 4.2 Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana

bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

.. Tahun 2010-2013 ... 40 4.3 Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD

denganDana Perimbangan Antar Kabupaten/Kota


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Tabel Judul Halaman

1 Hasil Regression Model GLS FIXED EFFECT

(FEM) ... 54 2 Hasil Regression Model GLS RENDOM

EFFECT (REM) ... 55 3 Uji Hausman Test ... 57 4 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010 (000 Rupiah) ... 58 5 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2011 (000 Rupiah) ... 59 6 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2012 (000 Rupiah) ... 60 7 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2013 (000 Rupiah) ... 61 8 Data Realisasi Dana Perimbangan Kabupaten/Kota

di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

(000 Rupiah) ... 62 9 Data Realisasi Dana Bagi Hasil (DBH)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013 (000 Rupiah) ... 63 10 Data Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013 (000 Rupiah) ... 64 11 Data Realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013 (000 Rupiah) ... 65 12 Data Ketimpangan Pembangunan (Indeks Williamson),

Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara


(11)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PADA KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI SUMATERA UTARA

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data panel dari tahun 2010-2013. Penelitian ini menggunakan uji Hausman dalam memilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS) dan hasil uji tersebut menunjukan bahwa Fixed Effects Models (FEM) yang digunakan dalam menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Dana Perimbangan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Kata Kunci : Ketimpangan pembangunan, Desentralisasi fiskal, Pendapatan Asli


(12)

ABSTRACT

ANALYSIS THE INFLUENCE OF FISCAL DECENTRALIZATION OF INEQUALITY OF DEVELOPMENT IN DISTRICT/CITY IN NORTH

SUMATRA PROVINCE

Purpose of this study was to determine the influence of fiscal decentralization on development imbalances measured by Williamson Index in regencies / cities in North Sumatera province using panel data from 2010-2013.This research is examined with Hausman test in order to select the best model for General Least Square (GLS) and the results of the test show Fixed Effects Models (FEM) used to analysis the influence of fiscal decentralization on development gaps at the district / city in the province of Sumatera Utara.

Based on the estimation the variable local revenues have a positive effect and significant imbalance in the development of districts/cities in North Sumatera Province, while the Balance Fund have a negative impact and significant effect on inequality of development in the district/city in North Sumatera Province

Keywords:Inequality development, fiscal decentralization, local revenue, fund


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam perkembangannya, pembangunan ekonomi sering kali tidak merata dan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah.Adanya perbedaan tingkat pembangunan di berbagai daerah dapat disebabkan karena adanya perbedaan potensi yang dimiiki oleh masing-masing daerah, diantaranya latar belakang geografis, potensi sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, infrastruktur, dan sebagainya. Perbedaan potensi tersebut menyebabkan ketimpangan antar daerah yang satu dan daerah yang lain. Perbedaan tingkat pembangunan ini membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan wilayah antar daerah semakin besar.Maka dari itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity) tersebut, terlihat dengan adanya wilayah yang maju dangan wilayah yang terbelakang atau kurang maju.Hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur ekonomi (Hadi, 2009).

Ketimpangan antar daerah akan terus terjadi bahkan meningkat apabila tidak adanya implikasi atau kebijakan dari pemerintah dalam menurunkan ketimpangan tersebut, baik dari sisi fiskal maupun distribusi pendapatan. Menurut


(14)

Nazara (2010) disparitas antar daerah adalah masalah struktural di perekonomian Indonesia.Dalam hal ini, diperlukan campur tangan pemerintah dalam memecahkan permasalahan struktural perekonomian, salah satunya adalah dengan merancang kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal yang diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia.

Kebijakan otonomi daerah sudah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2001.Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan.Otonomi dan desentralisasi fiskal dapat lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah untuk mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.

Otonomi daerah tidak hanya berhenti pada pembagian dana pembangunan yang relatif adil antara pemerintah pusat dan yang diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan (balancing fund), tetapi keberhasilan otonomi daerah juga diukur dari seberapa besar porsi sumbangan masyarakat lokal berupa pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Oleh sebab itu, implementasi otonomi daerah tidak hanya tanggung jawab penyelenggara pemerintah daerah, yakni Bupati atau Walikota serta perangkat daerah lainnya, tetapi juga seluruh masyarakat lokal di tiap-tiap daerah (Saragih, 2003).

Salah satu pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya desentralisasi fiskal, adapun kebijakan Desentralisasi fiskal yaitu pelimpahan wewenang dalam


(15)

mengelola sumber-sumber keuangan. Selain dari pendapatan asli daerah tersebut juga dari pemberian sumber dana dari pusat yang berupa dana perimbangan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tolok ukur dalam pelaksanaan otonomihdaerah karena pendapatan asli daerah sebagai sumber pendapatan dan pembiayaan pemerintah daerahyang utama.Dengan adanya peningkatan PAD diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan yang semakin membesar antar daerah. Selain itu pemberian dana transfer kepada pemerintah daerah yang disebut dengan dana perimbangan. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH).Dana tersebut harus dapat dimanfaatkan secara maksimal dan terarah sesuai dengan kebutuhan daerah.Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah untuk mendanai kewenangannya dalam meningkatkan pembangunan, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Sehingga tujuan dari kebijakan desentralisasi fiskal yaitu tercapainya suatu keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk dana perimbangan bisa tercapai.

Dillinger (1994) dalam Hirawan (2007) tentang pelaksanaan desentralisasi di berbagai belahan dunia menemukan bahwa pemicu dilakukannya kebijakan ini adalah keinginan atau upaya untuk memperoleh layanan publik yang lebih baik. Selain itu, Bird dan Vaillancourt (1998) menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi menjadi kebijakan populer akhir-akhir ini karena model kebijakan


(16)

ini menjanjikan terjadinya: efisiensi ekonomi, efektivitas biaya program, akuntabilitas, peningkatan mobilisasi sumber daya, berkurangnya tingkat kesenjangan (disparitas), peningkatan partisipasi politik, serta penguatan demokrasi.

Di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 sebesar 6,63 namun tahun selanjutnya perumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara semakin terus menurun dari tahun 2012-2013. Hal ini menujukan bahwa di Provinsi Sumatera Utara memiliki kinerja pembangunan yang tidak baik.

Selain itu juga terlihat pada PDRB kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara yang sangat berbeda. Ada beberapa wilayah yang tingkat perkembangan PDRB yang relatif cukup tinggi, dan ada beberapa wilayah di kabupaten yang memiliki tingkat perkembangan PDRB yang cukup rendah. Contohnya adalah Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2013 yang mempunyai PDRB yang cukup tingggi dikarenakan banyaknya kegiatan di bidang perekonomian, salah satunya adanya Bandar Udara Internasional Kualanamu sedangkan untuk Kabupaten seperti Pakpak Barat memiliki PDRB yang rendah dikarenakan tingkat kegiatan produksi dan perekonomian masih rendah. Namun di setiap daerah dari tahun 2010-2013 PDRB selalu mengalami kenaikan. Akan tetapi ada beberapa daerah yang memiliki perbedaan yang jauh. Jika ini masih terus berlanjut, maka tingkat ketimpangan akan semakin jauh dan pemerataan pembangunan tidak akan merata ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara.


(17)

Tabel 1.1

PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara (Miliar rupiah)

Kabupate/Kota 2010 2011 2012 2013

Nias 510,79 545,56 579,58 616,87

Mandailing natal 2 031,96 2 161,96 2 300,54 2 447,98 Tapanuli Selatan 1 783,88 1 878,42 1 976,50 2 099,00 Tapanuli Tengah 1 198,51 1 273,80 1 354,65 1 447,37 Tapanuli Utara 1 614,37 1 703,75 1 805,19 1 914,42 Toba Samosir 1 761,93 1 854,52 1 956,87 2 057,48 Labuhanbatu 3 261,57 3 448,18 3 658,83 3 879,01

Asahan 5 389,83 5 679,51 5 995,60 6 345,25

Simalungun 5 571,10 5 894,59 6 251,83 6 531,90

Dairi 2 050,67 2 158,86 2 276,25 2 400,45

Karo 3 367,19 3 589,13 3 816,81 3 996,71

Deli Serdang 14 516,73 15 389,01 16 322,03 18 409,80

Langkat 7 210,56 7 627,00 8 058,65 8 527,34

Nias Selatan 1 231,58 1 286,52 1 360,87 1 431,03 Humbang Hasundutan 1 006,56 1 066,34 1 130,26 1 198,35

Pakpak Bharat 164,88 174,74 185,26 196,13

Samosir 1 058,49 1 121,62 1 189,69 1 266,56

Serdang Bedagai 4 550,68 4 822,99 5 112,21 5 417,22 Batubara 7 394,49 7 772,03 8 111,47 8 382,81 Padang Lawas Utara 783,76 837,15 890,59 945,20

Padang Lawas 750,29 798,26 848,65 900,59

Labuhanbatu Selatan 2 835,77 3 009,51 3 200,06 3 393,58 Labuhanbatu Utara 3 163,22 3 359,75 3 574,05 3 800,37

Nias Utara 490,12 522,87 553,64 588,25

Nias Barat 254,10 271,27 284,65 301,20

Silboga 740,04 777,72 819,28 866,83

Tanjungbalai 1 396,69 1 464,56 1 537,57 1 607,03 Pematangsiantar 2 039,00 2 161,82 2 285,31 2 403,10 Tebing Tinggi 1 165,58 1 254,37 1 327,25 1 419,00 Medan 35 822,22 38 576,23 41 519,32 43 303,96

Binjai 2 020,90 2 147,82 2 284,05 2 426,09

Padangsidimpuan 936,05 991,12 1 052,89 1 118,07

Gunungsitoli 867,97 924,07 982,09 1 044,89

Sumatera Utara 118 718,90 126 587,62 134 463,95 142 537,12

Sumber : BPS Sumut

Jika perbedaan tersebut terus berlanjut maka ketimpangan akan semakin besar. Untuk mencegah agar ketimpangan tidak terus melebar diperlukan


(18)

kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengelola penerimaan daerahnya yaitu dengan melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal berupa PAD dan Dana Perimbangan. Dana yang diterima di masing-masing daerah cukup besar, dan masing-masing daerah akan menerima dana perimbangan yang berbeda-beda tergantung pada kapasitas fiskal. Dengan adanya pendapatan dari daerah masing masing dan pemberian dana dari pusat ini diharapkan terjadinya pemerataan pembangunan di masing-masing daerah sehingga dapat mengurangi ketimpangan yang ada.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi antar daerah, serta melihat pengaruh desentralisasi fiskal (PAD dan Dana Perimbangan) terhadap ketimpangan pembangunan yang terjadi selama kurun waktu 2010-2013.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara ?

2. Bagaimana pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara ?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut :

1. Untuk menguji dan menganalisis ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.


(19)

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan di pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam hal masalah ketimpangan pembangunan, serta salah satu syarat bagi peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan.

2. Sebagai tambahan informasi bagi pemerintah daerah dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan perumusan pengeluaran pemerintah.

3. Menjadi referensi atau diharapkan sebagai bahan kajian peneliti-peneliti lain untuk menulis topik yang sama.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Ketimpangan Antar Daerah

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity).Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah.Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata.Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja.Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan.

Menurut Williamson (1965) berkaitan tentang pembangunan ekonomi regional, menyatakan bahwa dalam tahap pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilitas sumber-sumber daya yang dimilki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya tersebut antara lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber alam yang dimiliki.

Ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah.Ketimpangan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang


(21)

terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region) (Sjafrizal, 2012).

Menurut Kuncoro (2006), kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyrakat, sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor).Perbedaan ini yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau kurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut.

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik.Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah.Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012).

Menurut Hipotesa Neo-Klasik, pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada


(22)

negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik. Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section.Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya (Sjafrizal, 2012).

Ketimpangan pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam pembangunan suatu daerah. Adanya ketimpangan, akan memberikan dorongan kepada daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Selain itu daerah-daerah tersebut akan bersaing guna meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya ketimpangan antar wilayah.Dampak negatif tersebut berupa inefisiensiekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 2004).

Pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur dalam melihat ketimpangan pembangunan suatu wilayah.Selain itu pendapatan perkapita juga banyak


(23)

digunakan sebagai tolak ukur ketimpangan wilayah.bukan dari tingginya pendapatan tetapi bagaimana peendapatan tersebut terdistribusi secara merata.

Shenggen (2011) melakukan penelitian tentang menilai evolusi kesenjangan antar daerah di Cina, dan menunjukan bahwa ketimpangan regional di dua indikator yaitu Gini ratio dan Theil indeks menunjukkan bahwa kesenjangan sosial telah meningkat terus dan ada tiga elemen dalam kebijakan yang diambil yaitu : infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi pemerintahan. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen dan divergen.Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi.Ying (2000) melakukan penelitian juga di Cina tentang kesenjangan regional di 30 propinsi di Cina periode tahun 1978-1994.

Mopanga (2010), melakukan penelitian Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo, dimana hasil penelitiannya menunjukan bahwa perbedaan pada PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur signifikan sebagai sumber utama ketimpangan.Lebih lanjut secara deskriptif, Mopanga (2010) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan (Indeks Gini).Artinya secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan.

Ada beberapa faktor yang menentukan ketimpangan antar wilayah, antar lain yaitu (Syafrial,2012) :


(24)

1. Perbedaan sumber daya alam pada masing-masing daerah.

Perbedaan sumberdaya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup banyak akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murahdibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber dayaalam yang lebih sedikit. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai sumber daya alam yang sedikit hanya akan memproduksi barang-barang denganbiaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah.

2. Perbedaan kondisi demografis.

Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhandan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikandan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah tersebut. Kondisi demografis ini akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar daerah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat daerah tersebut.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah danmigrasi, baik yang disposori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan), karena bila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang sangat


(25)

membutuhkan. Demikian pula dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lainyang membutuhkan sehingga darah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Pertumbuhan ekonomi daerah yang akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah

5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah

Bila sistem pemerintahan yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimmpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi. Jika sistem yang dianut bersifat otonomi, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan akan cenderung rendah.

6. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup:

1. Self-financing atau cost recorvery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah.


(26)

2. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.

3. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat, serta pinjaman daerah (sumber daya alam)

Desentralisasi fiskal akan memberi keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal. Simanjuntak (2001) berpendapat ada beberapa alasan untuk mempunyai sistem pemerintahan yang terdesentralisai yaitu: Desentralisasi merupakan bagian dari strategi setiap institusi yang berkehendak untuk tidak mati dalam persaingan global. Ia adalah strategi untuk menjadi kompetitif. Demikian pula bagi sebuah negara.Desentralisasi menjadikannya terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang terintegrasi.

Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna (Sumarsono dan Utomo, 2009).


(27)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Pemerintah pusat memberikan dukungan baik berupa dana transfer kepada daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sehingga dapat menggali pendapatan daerah tersebut.

Penerapan desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada 1 Januari 2001. Dalam perjalanannya kedua undang-undang tersebut menimbulkan beberapa permasalahan yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi undang-undang tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diberlakukan pada bulan desember 2004 (RPJMN 2004-2009). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah, oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatan Republik Indonesia.

Slinko (2002) mempertegas pengertian desentralisasi fiskal, yaitu sebagai bentuk transfer kewenangan (tanggung jawab dan fungsi) dari pemerintah pusat kepada 29 pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pemberian otoritas bagi pemerintah daerah untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran daerahnya


(28)

sendiri. Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyedian barang dan jasa publik (pubilc goods/publicservices). Ada dua keuntungan yang dapat dicapai dari penerapan desentralisasi fiskal (Ebel dan Yilmaz, 2002), antara lain:

1. Efisiensi dan alokasi sumber-sumber ekonomi

Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah mampu memperoleh informasi yang lebih baik (dibandingkan dengan pemerintah pusat) mengenai kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah daerah lebih mampu merefleksikan kebutuhan/pilihan masyarakat di wilayah tersebut dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat.

2. Persaingan antara pemerintah daerah

Penyediaan barang publik yang dibiayai oleh pajak daerah akan mengakibatkan pemerintah daerah berkompetisi dalam menyediakan fasilitas publik yang lebih baik. Karena dalam sistem desentralisasi fiskal, warga negara menggunakan metode ―vote byfeet dalam menentukan barang publik di wilayah mana, yang akan dimanfaatkan. Untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu wilayah, terdapat dua variabel umum yang sering digunakan, yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah.

Ebel dan Yilmaz (2002) menyatakan terdapat variasi dalam pemilihan indikator untuk mengukur desentralisasi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Meskipun sama-sama menggunakan variabel yang pengeluaran dan penerimaan pemerintah, yang menjadi pembeda adalah variabel ukuran (size


(29)

variabels) yang digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada tiga size variabels yang umum digunakan, yaitu: jumlah penduduk, luas wilayah, dan GDP.

Supriyadi (2013) melakukan penelitian tentang analisis desentralisasi fiskal di Kabupaten Bungo, dimana hasil didapat yaitu derajat desentralisasi di Kabupaten Bungo sangat kurang, sedangkan Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, derajat desentralisasi fiskalnya juga sangat kurang.

3. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut :

1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana yang di amanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka daerah harus melakukan maksimalisasi pendapatan asli daerah. Maksimalisasi PAD dalam pengertian bahwa keleluasaan


(30)

yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang baru.

5. Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan untuk masing-masing daerah terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Tujuan instrumen fiskal dari dana perimbangan yaitu berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja pembangunan dan investasi daerah. Dengan meningkatnya dana perimbangan, kontribusi belanja pembangunan akan menarik investor untuk dapat berinvestasi di daerah sehingga akan memperluas basis kegiatan ekonomi di berbagai sektor, dan secara khusus memperluas lapangan usaha dan menurunkan tingkat pegangguran dan kemiskinan.

Dana perimbangan terdiri dari : 1. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ayng bersumber dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanani kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat block grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daeraah


(31)

untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Dana alokasi umum terdiri atas berikut ini: 1. Dana alokasi umum untuk daerah propinsi.

Jumlah dana alokasi bagi semua daerah provinsi dan jumlah dana alokasi umum bagi semua daerah kabupaten/ kota masing – masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN.

2. Dana alokasi umum untuk daerah kabupaten/ kota

Dana alokasi umum ini merupakan jumlah seluruh dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/ kota. Perubahan dana alokasi umum akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi.

Dana alokasi umum ditetapkan sekurang–kurangnya 25% dari penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/ kota ditetapkan masing–masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum.

1. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu


(32)

mendanai kegiatan khusus yang merupakann urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK bertujuan:

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayana dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah.

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasana dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata.

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan mengurangi risiko benana melalui kegiatan khusus di bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur.


(33)

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan.

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD.

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.

1. Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentrslisasi. DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyaluran berdasarakan realisasi peneriamaan.

DBH dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, teridiri dari Pajak, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh); Sumber Daya Alam berasaal dari Kehutanan yaitu Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR); Pertambangan Umum berasal dari Iuran Tetap (Landrent), Iuran


(34)

Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty); Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan; Pertambangan Minyak Bumi dibagi dengan imbangan 84,5% untuk 36 pemerintah pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah; Pertambangan Gas Bumi dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk pemerintah daerah; Pertambangan Panas Bumi untuk daerah sebesar 80% dan dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan (UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).

2. Penelitian Terdahulu

1. Hadi Sasana (2009) yang berjudul “Analisis dampak pertumbuhan ekonomi, kesenjangan antar daerah, dan tenaga kerja terserap terhadap kesejahteraan di kab/kota provinsi Jawa Tengah dalam era desenralisasi fiskal” Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, kesenjangan, serta tenaga kerja terserap terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di provinsi Jawa tengah. Menggunakan metode analisis jalur (path analysis). Kesimpulan dari penelitian pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Kesenjangan ekonomi antar daerah mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.


(35)

2. Rama Nurhuda, M. R. Khairul Muluk, Wima Yudo Prasetyo (2013) yang berjudul “Analisis ketimpangan pembangunan ; Studi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2011”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketimpangan yang terjadi, apakah hipotesis Kuznets berlaku di wilayah ini dan pengaruh variabel PDRB, PAD, DAU, dan IPM terhadap ketimpangan pembangunan. Teknik analisis yang digunakan adalah indeks wiliamson, hipotesis Kuznets, dan regresi berganda. Dengan menggunakan data Panel dari tahun 2005-2011. Hasil penelitian menujukan bahwa ketimpangan di Provinsi Jawa Timur masih rendah. Hipotesis Kuznets juga berlaku di Provinsi ini. PAD dan IPM berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan. Sedangkan untuk PDRB dan DAU tidak diketahui pengaruhnya dikarenakan tidak memenuhi syarat dalam uji asumsi klasik.

3. Andreas P Kyriacou et al (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Fiscal decentralization and regional disparities: The importance of good governance” dalam penelitian ini menjelaskan bagaimana mempertimbangkan kualitaspemerintah dalammengatasi hubungan antaradesentralisasi fiskaldankesenjangan antar daerah. Data yang digunakan yaitu diambil dari beberapa sampeldari24 negaraOECDselama periode1984-2006. Hasil penelitian menemukan bahwadesentralisasi

fiskaldapat mempengaruhi suatu daerahdalam

pengaturankualitaspemerintah yang lebih baik dan desentralisasi fiskal juga dapat mengurangiperbedaan pendapatandidaerah. Akan tetapipotensi


(36)

initidak dapatdirealisasikankarena masalahtata kelolaterkait denganotoritassubnasional. Sehingga hal ini yang mengarah kedisparitasregional yang lebih luasdi negara-negaradengantata kelola yang buruk.

4. Roberto Ezcurra, Pedro Pascual (2008) dalam penelitian berjudul “Fiscal decentralization and regional disparities: evidence from several European Union countries” tujuan penilitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara desentralisasi fiskal dan kesenjangan antar wilayahdi negara-negara Uni Eropa. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data panel. Hasil penelitian menujukan bahwa desentralisasi fiskal berhubungan negatif dengan tingkat ketimpangan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah di negara-negara Uni Eropa.

5. Christian Lessmann (2009) dalam penelitian berjudul “Fiscal Decentralization and Regional Disparity : A Panel Data Approach for OECD Countries” penelitian ini untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dengan menggunakan analisis data panel untuk 17 negara OECD dari tahun 1980-2001. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan derajat yang semakin tinggi dari desentralisasi maka semakin berhubungan kuat dengan rendahnya ketimpangan wilayah. Di mana wilayah yang miskin tidak akan dirugikan dengan adanya desentralisasi, begitupun sebaliknya.


(37)

6. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka teoritis yang dapat penulis paparkan mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan yaitu dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini :

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

OTONOMI DAERAH KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

DANA PERIMBANGAN PAD

PEMBANGUNAN EKONOMI

PERTUMBUHAN EKONOMI

PEMERATAAN PEMBANGUNAN UU no.33 Tahun 2004


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang mana data yang diperoleh dari seluruh populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan kemudian diinterpretasikan.

2. Populasi Penelitian

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota Provinsi se-Sumatera Utara yang terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota.

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data panel yaitu gabungan antara data time series dan cross section yang bersumber Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode 2010-2013 untuk setiap Kab/Kota di Sumatera Utara.

4. Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat diberi berbagai macam nilai. Variabel yang digunakan penelitian ini adalah Desentralisasi Fiskal yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Perimbangan (DAU,DAK,DBH) sebagai variabel bebas (independent variable) dan ketimpangan pembangunan sebagai variabel terikat (dependent variable).

5. Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer E-views untuk mengolah data dalam penelitian ini.


(39)

6. Definisi Operasional

1. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi Fiskal adalah seberapa besar ketergantungan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan.

2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah Pendapatan yang diperoleh darimasing-masing daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.Berupa hasil pajak daerah, restribusi, pengelolaan kekayaan, dan lain-lain pendapatan asli daerah.

3. Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah dana yang diberikan oleh pusat dan diberikan ke Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara berupa DAU,DAK,DBH dalam satuan desimal.

4. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer yang bersifat umum yang diberikan oleh pusat ke Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang dialokasi dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar Kabupaten/Kota.

5. Dana Alokasi Khusu (DAK)

Dana Alokasi Khusu (DAK) adalah dana transfer yang bersifat khusus yang dialokasikan ke Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.


(40)

6. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana dari penerimaan perpajakan maupun sumber daya alam yang dibagikan ke Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 7. Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan Pembangunan adalah ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang diproksi dengan nilai Indeks Williamson masing-masing kabupaten/kota dalam satuan desimal.

8. Model Analisis Data

1. Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan Pembangunan antar kabupaten/kota yang terjadi di Sumatera Utara dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional Inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal,1997) :

Indeks Williamson (IW) =

�∑�(�−�)2 x

� ��

� Dimana :IW = Indeks Williamson

�� = PDRB perkapita kabupaten/kota

Y = PDRB perkapita rata-rata Provinsi Sumatera Utara �� = Jumlah penduduk kabupaten/kota

n = Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara

Hasil perhitungan dengan metode indeks Williamson diatas jika nilai indeks > 1, maka terjadi ketimpangan yang maksimum, jika nilai indeks 0,7 – 1 maka terjadi ketimpangan yang tinggi, jika nilai indeks 0,4 – 0,6 maka terjadi ketimpangan yang sedang dan jika nilai indeks < 0,3 maka terjadi ketimpangan yang rendah.


(41)

2. Desentralisasi Fiskal

Untuk pengukuran derajat desentralisasi fiskal di kabupaten kota di Sumatera Utara, dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan penerimaan yaitu dilihat dari PAD, DAU, DAK, DBH. Dimana dirumuskan sebagai berikut :

��,�

=

����,�

����,�

x 100 %

Dimana :

DFi,t = Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota i, pada tahun t PADi,t = Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota i, pada tahun t TPDi,t = Total Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota i, pada tahun t

3. Model Analisis Ekonomterik

Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi terhadap ketimpangan pembangunan di Sumatera Utara periode 2010-2013 dengan menggunakan model analisis adalah :

���� = �+ ��������+ �������+ ��� Dimana :

IW = Ketimpangan Pembangunan PAD = Pendapat Asli Daerah DP = Dana Perimbangan

α = Konstanta β1− β2 = Koefisien Regresi

μ = Variabel Gangguan (error term) i = Kabupaten/Kota

t = Tahun

4. Metode Analisis

Metode dalam penelitian ini yaitu dengan metode Generalized Least Square (GLS). Menurut Gujarati (2003), menemukan bahwa dengan mengestimasi jenis data panel menggunakan OLS tidak konsisten dan inefisiensi., sehingga disarankan menggunakan Generalized Least Square (GLS). Dimana


(42)

dengan metode ini dapat dianalisis dengan dua model pendekatan, yaitu fixed effects model (FEM) dan random effects model (REM).

Kemudian dari kedua model tersebut dapat ditentukan model yang terbaik untuk digunakan dalam model persamaan ekonometrika. Untuk melihat model terbaik maka dapat dilakukan dengan Uji Hausman test,1978 (Gujarati,2003). Uji Hausman test diestimasi dengan program eviews.

Adapun pemilihan model antara Fixed EffectModel (FEM) dengan Random EffectModel (REM) dapat dilakukan dengan Hausman Test, yaitu dengan hipotesis sbb :

H0 : Random Effect Model (REM)

H1 : Fixed Effect Model (FEM)

Dengan asumsi, H0 ditolak jika P-value lebih kecil dari α = 5 % dan nilai

chi-square lebih besar dari chi-chi-square tabel lebih maka model yang digunakan Fixed Effect Model (FEM). Sebaliknya, H0 diterima jika P-value lebih besar dari α = 5% dan nilai chi-square lebih kecil dari chi-square tabel, atau dengan kata lain, jika probabilitas yang dihasilkan tidak signifikan dengan α , maka dapat memilih salah satu yang terbaik antara model Fixed Effect Model (FEM) dengan Random Effect Model (REM).


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan dan Struktur Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satuu indikator terpenting untuk melihat keberhasilan pembangunan dalam bidang ekonomi. Bagi daerah, indikator ini sangatlah penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan untuk menentukan arah pembangunan pada masa yang akan datang.

Tabel 4.1

Laju Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan 2000 (%) di Provinsi Sumatera Utara

pada tahun 2010-2013

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Rerata

Nias 6,75 6,81 6,24 6,43 6,55

Mandailing natal 6,41 6,4 6,41 6,41 6,40

Tapanuli Selatan 5,06 5,27 5,74 5,21 5,32

Tapanuli Tengah 6,13 6,27 6,35 6,85 6,4

Tapanuli Utara 5,56 5,54 5,95 6,05 5,77

Toba Samosir 5,5 5,26 5,52 5,14 5,35

Labuhan Batu 5,15 5,72 6,13 6 5,75

Asahan 4,97 5,37 5,57 5,83 5,43

Simalungun 5,12 5,81 6,06 4,48 5,36

Dairi 5,02 5,28 5,44 5,48 5,30

Karo 6,03 6,57 6,35 4,72 5,91

Deli Serdang 5,98 6,01 6,06 12,79 7,71

Langkat 5,74 5,84 6,05 5,97 5,9

Nias Selatan 4,12 4,46 5,78 5,16 4,88

Humbang Hasundutan 5,45 5,94 5,99 6,03 5,85

Pakpak Bharat 6,77 5,98 6,02 5,86 6,15

Samosir 5,59 5,96 6,07 6,46 6,02

Serdang Bedagai 6,14 5,98 6 5,97 6,02

Batubara 4,65 5,11 4,37 3,35 4,37

Padang Lawas Utara 6,74 6,81 6,36 6,13 6,51


(44)

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Rerata Labuhanbatu Selatan 5,61 6,13 6,33 6,05 6,03 Labuhanbatu Utara 5,68 6,21 6,38 6,33 6,15

Nias Utara 6,73 6,68 5,88 6,25 6,38

Nias Barat 6,3 6,76 4,93 5,81 5,95

Silboga 6,04 5,09 5,35 5,8 5,57

Tanjung Balai 4,76 4,86 4,98 4,52 4,78

Pematang Siantar 5,85 6,02 5,71 5,16 5,68

Tebing Tinggi 6,04 6,67 6,75 6,91 6,59

Medan 7,16 7,69 7,63 4,3 6,69

Binjai 6,07 6,56 6,61 6,48 6,43

Padang Sidempuan 5,81 5,88 6,23 6,2 6,03

Gunung Sitoli 6,73 6,46 6,33 6,35 6,46

Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Sumatera

Utara 5,93

Sumatera Utara 6,42 6,63 6,22 6,01 6,32

Sumber : BPS Sumut

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, bahwa pertmbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif dengan rata-rata 5,93% namun ini tidak sebaik dengan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,32 pertahun.

Sedangkan untuk kabupaten/kota yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu Kabupaten Deli Serdang dengan 7,71% pertahun. Ini dikarena laju pertumbuhan ekonomi tahun 2013 di kabupaten tersebut meningkat tajam dari tahun sebelumnya dan dikarenakan juga banyaknya kegiatan di bidang perekonomian, salah satunya adanya Bandar Udara Internasional Kualanamu.Sementara Kabupaten Batubara merupakan daerah yang laju pertumbuhan ekonominya paling rendah karena dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yaitu 4,37%.


(45)

Untuk ibu kota Provinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan memiliki laju pertumbuhan dari tahun 2010-2012 sselalu mengalami peningkatan, namun pada tahun 2013 laju pertumbuhan di Kota Medan menurun sebesar 4,3 %

2. Analisis Ketimpangan Pembangunan

Salah untuk melihat ukuran ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah dengan melalui perhitungan Indeks Williamson (IW).Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat diperoleh nilai indeks Williamson masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2

Indeks Williamson Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2013

No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Rerata 1 Nias 0.0485 0.0474 0.0468 0.0460 0.0472 2 Mandailing natal 0.0579 0.0573 0.0566 0.0557 0.0569 3 Tapanuli Selatan 0.0134 0.0129 0.0125 0.0125 0.0128 4 Tapanuli Tengah 0.0749 0.0757 0.0765 0.0767 0.0760 5 Tapanuli Utara 0.0331 0.0331 0.0327 0.0320 0.0327 6 Toba Samosir 0.0419 0.0419 0.0420 0.0418 0.0419 7 Labuhanbatu 0.0093 0.0069 0.0058 0.0048 0.0067 8 Asahan 0.0182 0.0174 0.0169 0.0177 0.0175 9 Simalungun 0.0219 0.0207 0.0192 0.0206 0.0206 10 Dairi 0.0024 0.0026 0.0029 0.0034 0.0028 11 Karo 0.0468 0.0461 0.0453 0.0418 0.0450 12 Deli Serdang 0.0319 0.0268 0.0220 0.0440 0.0312 13 Langkat 0.0004 0.0002 0.0006 0.0018 0.0008 14 Nias Selatan 0.0663 0.0654 0.0654 0.0658 0.0657 15 Humbang Hasundutan 0.0246 0.0247 0.0246 0.0243 0.0245 16 Pakpak Bharat 0.0254 0.0258 0.0261 0.0264 0.0259 17 Samosir 0.0177 0.0185 0.0194 0.0208 0.0191 18 Serdang Bedagai 0.0056 0.0076 0.0096 0.0119 0.0087 19 Batubara 0.2782 0.2745 0.2674 0.2573 0.2693


(46)

No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Rerata 20 Padang Lawas Utara 0.0700 0.0699 0.0706 0.0713 0.0705 21 Padang Lawas 0.0725 0.0737 0.0748 0.0758 0.0742 22 Labuhanbatu Selatan 0.0487 0.0512 0.0498 0.0486 0.0496 23 Labuhanbatu Utara 0.0448 0.0455 0.0465 0.0479 0.0462 24 Nias Utara 0.0479 0.0473 0.0470 0.0465 0.0472 25 Nias Barat 0.0463 0.0458 0.0458 0.0454 0.0458 26 Silboga 0.0139 0.0140 0.0143 0.0152 0.0143 27 Tanjungbalai 0.0230 0.0211 0.0197 0.0179 0.0204 28 Pematangsiantar 0.0220 0.0225 0.0225 0.0220 0.0222 29 Tebing Tinggi 0.0079 0.0083 0.0088 0.0100 0.0087 30 Medan 0.5175 0.5351 0.5509 0.5382 0.5354 31 Binjai 0.0137 0.0138 0.0141 0.0147 0.0141 32 Padangsidimpuan 0.0419 0.0425 0.0431 0.0436 0.0428 33 Gunungsitoli 0.0077 0.0075 0.0073 0.0069 0.0073

Rata-rata Indeks Wiliamson 0.0547

Sumber : BPS Sumut Dalam Angka,(diolah)

Dari tabel diatas menujukan bahwa angka Indeks Williamson atau ketimpangan pembangunan dilihat dari PDRB perkapita atas harga konstan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2010-2013, yaitu rata-rata sebesar 0.0547. Angka ini memberikan arti bahwa rata-rata ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara relatif kecil atau rendah.

Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tergolong rendah, ini dikarenakan nilai indeks Williamsonnya mendekati nilai 0. Sehingga jika ketimpangan semakin kecil maka semakin merata pendapatan baik dari pendapatan asli daerah tersebut maupun pemberian dana dari pusat antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Dari nilai indeks Williamson antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, ada beberapa kota yang nilai ketimpangannya paling rendah dari rata-rata


(47)

seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat yang memilki rata-rata dari tahun 2010-2013 sebesar 0.0008.

Nilai indeks Williamson yang semakin rendah akan menujukan bahwa semakin kecilnya tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi sehingga tingkat pendapatan semakin merata. Dengan tingkat pendapatan yang semakin merata maka kesejahteraan di daerah tersebut akan meningkat. Tetapi hal ini tidak berarti menunjukan bahwa kabupaten/kota di Sumatera Utara tersebut lebih baik tingkat kesejahteran masyarakat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang ada di Provinsi Sumatera Utara.Semua ini disebabkan karena setiap kabupaten/kota memiliki potensi daerah yang berbeda-beda salah satunya sumber daya alam yang dimiliki merupakan pemicu dalam pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tersebut. Adanya berbedaan karakteristik dari suatu daerah akan menyebabkan kecenderungan ketimpangan antar daerah.

Sedangkan untuk nilai ketimpangan pembangunan yang paling tinggi terdapat di daerah Kota Medan yang memiliki rata-rata indeks Williamson dari tahun 2010-2013 sebesar 0.5354, ini menandakan bahwa tingkat kemajuan pembangunan pada kota Medan tersebut jauh di atas kabupaten dan kota lainnya yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini disebabkan karena lebih banyak kegiatan perekonomian dan pembangunan terpusat di kota tersebut. Sehingga ini menimbulkan tidak meratanya pendapatan masyarakat dan ini akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan di daerah tersebut rendah.


(48)

3. Analisis Desentralisasi Fiskal

1. Derajat Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah (DDF PAD)

Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah (DDF PAD) antar kabupaten/kota selama periode 2010-2013 rata-rata sebesar 5.34% kondisi ini menggambarkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) sangat kurang. Ini bisa dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 4.3

Derajat Desentralisasi Fiskal dari PAD (DDF PAD) Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2013

Kabupaten/ Kota DDF (%) 2010

DDF (%) 2011

DDF (%) 2012

DDF (%) 2013

Rerata

Nias 4.15 3.63 5.8 7.72 5.33

Mandailing natal 1.95 4.03 2.59 5.19 3.44

Tapanuli Selatan 5.93 8.49 7.17 7.67 7.32

Tapanuli Tengah 2.95 3.19 2.93 2.56 2.91

Tapanuli Utara 2.48 3.1 2.75 4.33 3.16

Toba Samosir 2.59 2.92 2.51 2.62 2.66

Labuhan Batu 6.4 7.57 7.41 5.74 6.78

Asahan 3.24 3.42 3.57 4.38 3.65

Simalungun 4.44 3.79 4.35 6.66 4.81

Dairi 36.2 2.99 3.18 3.93 11.6

Karo 4.1 4.8 5.07 4.76 4.68

Deli Serdang 8.72 12.8 15.6 15.7 13.2

Langkat 3 3.09 9.04 3.97 4.78

Nias Selatan 1.82 3.91 1.87 9.04 4.16

Humbang Hasundutan 2.29 2.54 2.91 2.48 2.55

Pakpak Bharat 1.77 1.82 1.88 2.1 1.89

Samosir 5.84 2.82 3.42 4.28 4.09

Serdang Bedagai 3.24 4.6 4.42 4.98 4.31

Batubara 3.56 2.08 2.54 3.5 2.92

Padang Lawas Utara 1.52 1.85 2.15 2.45 1.99

Padang Lawas 2.98 1.88 1.99 3.94 2.7

Labuhanbatu Selatan 1.88 3.08 3.03 3.33 2.83


(49)

Kabupaten/ Kota DDF (%) 2010

DDF (%) 2011

DDF (%) 2012

DDF (%) 2013

Rerata

Nias Utara 1.07 1.81 1.57 1.78 1.56

Nias Barat 0.78 0.93 1.12 1.74 1.14

Silboga 4.68 5.26 5.95 5.97 5.46

Tanjung Balai 6.27 6.96 5.54 5.87 6.16

Pematang Siantar 4.05 7.62 7.27 7.9 6.71

Tebing Tinggi 6.5 6.74 8.8 8.15 7.55

Medan 22.4 31.7 37.3 36.4 31.9

Binjai 4.19 4.36 6.46 6.13 5.28

Padang Sidempuan 3.79 4.3 4.16 5.31 4.39

Gunung Sitoli 1.64 1.53 1.92 1.96 1.76

RATA-RATA 5.34

Sumber : BPS Sumut (diolah)

Berdasarkan tabel 4.3 untuk Kabupaten/Kota yang memilki DDF PAD tertinggi yaitu Kota Medan yang memiliki rata-rata dari tahun 2010-2013 sebesar 31.9% . DDF PAD tertinggi disebabkan adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah.Peningkatan PAD tersebut berasal dari Pajak Daerah.Dimana untuk DDF pajak daerah tahun 2010-2013 rata-rata sebesar 21.7%. Ini menandakan bahwa di kota medan untuk pendapatan asli daerah banyak didapat dari pajak daerah. Sedangkan hasil untuk DDF PAD terendah yaitu terdapat di daerah Kabupaten Nias Barat disebabkan persentase peningkatan total pendapatan daerah lebih besar dari persentase peningkatan PAD.

Sedangkan Jika dianalisis lebih lanjut pada komponen PAD ternyata Hasil Kekayaan Daerah yang dipisahkan rata-rata DDF-nya hanya 0.67% disusul oleh DDF Retribusi Daerah dengan rata-rata 1.34%, dan rata-rata DDF Lain-lain PAD 1.7% kemudian rata-rata DDF Pajak Daerah 2.13%. Dengan demikian penyebab utama dari sangat kurangnya DDF PAD adalah dari DDF Hasil Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan DDF Retribusi daerah.


(50)

Gambar 4.1

Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari Komponen PAD (Pajak Daerah, Restribusi Daerah, hasil Kekayaan yang Dipisahkan, Lain-lain PAD Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2013

Sangat kurangnya derajat desentralisasi fiskal dari komponen PAD menunjukan bahwa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2010—2013 masih sangat tergantung kepada penerimaan yang bersumber di luar PAD, seperti dana perimbangan dan lain-lain penerimaan yang sah. Hasil temuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan Halim dan Jamal (2006) serta Hidayat dan Sirojuzilam (2006) yang menunjukan bahwa transfer dana yang berasal dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan (DAU dan DAK) masih mendominasi struktur APBD kabupaten/kota di Indonesia

2. Derajat Desentralisasi Fiskal Dana Perimbangan (DDF DP)

Rata-rata derajat desentralisasi fiskal dana perimbangan antar kabupaten/kota di Sumatera Utara dari tahun 2010-2013 yaitu rata-rata sebesar 77.6%, kondisi ini menggambarkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) dana perimbangan sangat baik.

36%

23% 12%

29%

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan


(51)

Jika dianalisis lebih lanjut daerah yang mendapatkan dana transfer dari pusat berupa dana perimbangan tertinggi yaitu Kabupaten Dairi rata-rata sebesar 245.6%, dimana ini mengambar bahwa Kabupaten Dairi sumber penerimaan dari pusat lebih banyak dari pada sumber penerimaan pendapatan asli daerahnya. Ini juga terlihat sekali pada tahun 2010 dimana Kabupaten Dairi realisasi untuk dana perimbangan lebih besar dari pada total penerimaan kabupaten tersebut. Sedangkan untuk penerimaan dari pusat yang paling rendah yaitu kota Medan rata-rata sebesar 46.44%.

Rincian lebih lanjut atas derajat desentralisasi fiskal dari dana perimbangan antar kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 2010-2013 dapat dilihat tabel berikut :

Tabel 4.4

Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana Perimbangan (DDF DP) Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

pada tahun 2010-2013

Kabupaten/Kota DDF (%) 2010

DDF (%) 2011

DDF (%) 2012

DDF (%) 2013

Rerata

Nias 51.38 63.62 66.73 71.63 63.34

Mandailing natal 81.99 78.97 76 76.51 78.37 Tapanuli Selatan 80.28 66.65 69.91 67.75 71.15 Tapanuli Tengah 87.34 74.42 70.21 66.52 74.63 Tapanuli Utara 71.52 65.46 74.14 72.7 70.96

Toba Samosir 76.67 78.2 70.35 66.1 72.83

Labuhan Batu 68.17 68.37 73.76 71.59 70.47

Asahan 73.28 67.63 70.8 71.74 70.86

Simalungun 75.54 73.8 72.55 76.15 74.51

Dairi 749.1 75.13 79.25 78.88 245.6

Karo 71.69 69.91 75.64 72.35 72.39

Deli Serdang 74.17 63.86 66.51 67.02 67.89

Langkat 82.15 83.1 74.15 74.81 78.55

Nias Selatan 64.01 67.83 72.38 67.17 67.84 Humbang Hasundutan 77.32 73.75 71.29 72.91 73.82 Pakpak Bharat 84.94 72.43 83.46 81.21 80.51


(52)

Kabupaten/Kota DDF (%) 2010 DDF (%) 2011 DDF (%) 2012 DDF (%) 2013 Rerata

Samosir 67.13 66.41 74.65 70.78 69.74

Serdang Bedagai 78.61 73.4 75.63 73.45 75.27

Batubara 71.3 69.37 80.51 75.15 74.08

Padang Lawas Utara 87.04 71.79 69.73 70.55 74.78

Padang Lawas 75.33 72.4 82.59 75.51 76.46

Labuhanbatu Selatan 74.49 63.14 65.9 63.64 66.79 Labuhanbatu Utara 78.54 72.3 67.87 68.87 71.89

Nias Utara 89.42 76.94 74.69 73.15 78.55

Nias Barat 81.16 84.14 84.11 73.19 80.65

Silboga 82.54 70.59 74.35 78.73 76.55

Tanjung Balai 72.79 79.84 70.22 76.89 74.93 Pematang Siantar 73.9 68.63 71.98 72.06 71.64 Tebing Tinggi 67.09 60.88 66.56 65.5 65.01

Medan 48.88 45.35 46.03 45.51 46.44

Binjai 79.9 66.26 64.67 66.13 69.24

Padang Sidempuan 82.27 71.18 74.08 74.16 75.42 Gunung Sitoli 85.37 79.22 77.97 75.78 79.58

Rata-Rata 77.6

Sumber : BPS Sumut (diolah)

Sementara itu untuk derajat desentralisasi dari komponen dana perimbangan yang diterima antar kabupaten/kota di Sumatera Utara dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4.2

Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013

8%

82% 10%

Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak

Dana alokasi umum


(53)

Dari gambar 4.1 diatas terlihat bahwa komponen dana perimbangan yang diterima antar kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 2010-2013 yang disalurkan untuk dana alokasi umum rata-rata sebesar 82%. Ini berarti banyak kabupaten/kota di Sumatera Utara yang mendapatkan dana alokasi umum dari pada dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak yang hanya rata-rata sebesar 10% dan dana alokasi khusus rata-rata sebesar 8%.

Semakin banyak Dana Alokasi Umum yang diterima maka berarti daerah tersebut masih tergantung terhadap pemerintah pusat dalam memenuhi belanjanya, ini menandakan bahwa daerah tersebut belumlah mandiri, dan begitu juga sebaliknya.

3. Perbandingan Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD dengan Dana Perimbangan

Rincian perbandingan antara derajat desentralisasi fiskal PAD dengan Dana Perimbangan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4.3

Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD dengan Dana Perimbangan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2013

6%

94%

PAD


(54)

Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa rata-rata derajat desentralisasi fiskal yang memegang peranan penting yaitu dana perimbangan dimana derajat ini sangat baik dimana secara keseluruhan bahwa dana perimbangan memilki derajat desentralisasi fiskal sebesar 94 % dan sisanya dari derajat desentralisasi fiskal PAD. Ini berarti bahwa kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara lebih banyak menerima transfer dari pemerintah pusat dibandingkan dari pendapatan asli daerah.

4. Analisis Data

1. Analisis Estimasi dengan Generalized least square (GLS)

Dengan hasil estimasi ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara untuk data panel dengan menggunakan metode OLS terbukti tidak konsisten dan efisien, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis dan mengestimasi dengan metode Generalized Least Square (GLS) seperti yang disarankan oleh Gujarati (2003).

Gujarati (2003) mengatakan bahwa metode GLS terbukti metode ini lebih baik dan konsisten. Hal ini dikarenakan metode GLS dapat dianalisis dengan fixed effects models (FEM) dan random effects model (REM), sehingga dapat diketahui mana model yang terbaik. Berikut hasil estimasi dari kedua model tersebut dengan metode GLS seperti berikut ini.


(55)

Tabel 4.5

Hasil Estimasi Metode GLS (FEM dan REM)

Variabel Terikat : Ketimpangan Pembangunan (IW) Periode 2010 – 2013 Variabel Bebas Random Effects Fixed Effects

C LPAD

LDP

0.093232 0.004995 -0.008708

0.068873 0.001467 -0.002886

R2 Durbin –Watson

0.018576 1.238486

0.999276 1.376938 Sumber: Data diolah (Lampiran 1 & 2)

Berdasarkan estimasil diatas model fixed effects models (FEM) lebih baik dibandingkan random effects model (REM). Hal ini bisa dilihat berdasarkan hasil estimasi diatas, fixed effects models (FEM) menujukan hasil yang lebih baik dibandingkan random effects model (REM). Hal ini bisa dilihat dari nilai R-square(�2) dan nilai Durbin –Watson yang lebih baik pada fixed effects models (FEM) dibandingkan random effects model (REM).

Setelah berdasarkan estimasi diatas, maka dilakukan pemilihan model terbaik dengan Husman test, 1978 (Gujarati,2003). Untuk penelitian ini, Husman test diestimasi dengan program Eviews 7 sehingga diperoleh nilai chi-squarenya. Ketentuan dari Husman test adalah apabila null hypothesis (Ho) diterima, maka model yang digunakan adalah random effect model (REM) dan sebaliknya apabila null hypothesis (Ho) ditolak, maka model yang akan digunakan adalah fixed effect model (FEM)

1. Uji Hausman Test

Uji ini dilakukan untuk memilih model terbaik antara fixed effect model (FEM) dan random effect model (REM) dalam metode Generalized Least Square (GLS) dan diperoleh hasil estimasi seperti pada tabel 4.5 berikut ini :


(1)

Lampiran 10

Data Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

(000 Rupiah)

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013

Nias 151,147,338 265,217,572 289,608,144 336,470,399 Mandailing natal 398,482,296 455,393,393 541,106,638 625,543,432 Tapanuli Selatan 334,737,772 375,893,846 454,322,254 517,342,688 Tapanuli Tengah 313,957,675 343,731,494 422,611,672 491,010,818 Tapanuli Utara 369,275,117 405,822,524 487,345,532 552,463,211 Toba Samosir 280,449,853 310,252,416 387,623,169 423,292,453 Labuhan Batu 315,309,199 367,737,566 461,644,282 520,457,519 Asahan 479,299,307 523,561,849 628,974,980 733,671,988 Simalungun 644,610,865 696,225,292 865,405,855 977,808,611 Dairi 336,864,702 372,373,357 451,176,116 512,477,041 Karo 401,710,290 441,566,566 546,294,802 625,822,348 Deli Serdang 793,141,685 888,557,245 1,100,013,616 1,260,755,135 Langkat 655,701,433 736,887,816 847,503,037 982,658,132 Nias Selatan 277,887,323 318,920,943 378,605,613 422,367,546 Humbang Hasundutan 279,893,022 313,431,176 376,847,178 440,919,622 Pakpak Bharat 167,780,345 198,239,174 232,990,274 273,598,951 Samosir 243,041,606 282,988,294 331,412,601 384,760,680 Serdang Bedagai 420,258,697 458,160,308 554,245,457 628,900,240 Batubara 337,663,207 385,883,017 452,227,480 517,734,102 Padang Lawas Utara 243,969,546 262,539,422 348,056,278 387,954,949 Padang Lawas 241,106,688 249,496,791 331,754,392 371,650,111 Labuhanbatu Selatan 249,091,013 266,922,749 334,512,284 400,566,653 Labuhanbatu Utara 296,809,708 346,684,689 400,601,985 457,714,720 Nias Utara 108,563,262 231,746,690 267,283,183 294,071,932 Nias Barat 63,068,373 193,616,447 227,860,872 251,631,634 Silboga 227,216,241 248,405,548 292,873,107 338,507,471 Tanjung Balai 241,921,536 275,525,468 313,729,707 369,246,576 Pematang Siantar 307,523,437 352,525,649 429,632,177 492,115,399 Tebing Tinggi 228,057,807 261,948,729 307,635,669 368,586,756 Medan 846,541,452 1,066,353,555 1,153,789,320 1,270,244,794 Binjai 293,536,658 336,779,454 416,965,216 477,553,537 Padang Sidempuan 270,129,118 308,014,507 364,923,284 423,251,346 Gunung Sitoli 100,936,065 251,728,688 305,726,000 356,042,897


(2)

Lampiran 11

Data Realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

(000 Rupiah)

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013

Nias 53,790,900 54,943,100 48,137,260 64,603,150 Mandailing natal 58,131,400 48,451,600 41,555,830 38,791,268 Tapanuli Selatan 41,495,400 44,491,900 53,366,970 54,321,700 Tapanuli Tengah 51,299,900 52,300,100 48,644,240 83,254,250 Tapanuli Utara 48,018,500 56,791,600 50,220,620 55,778,010 Toba Samosir 46,949,200 51,434,700 52,119,770 46,036,240 Labuhan Batu 45,054,900 45,508,800 75,496,690 49,738,450 Asahan 48,288,300 50,626,400 65,206,660 79,875,480 Simalungun 62,053,050 73,945,400 90,868,630 80,773,970 Dairi 44,113,800 44,144,700 43,357,200 61,125,590 Karo 47,518,000 42,439,000 38,426,590 48,120,130 Deli Serdang 85,589,900 67,178,200 65,478,160 81,867,590 Langkat 65,865,700 53,872,700 56,056,730 81,165,730 Nias Selatan 57,176,475 54,193,100 64,679,170 101,799,850 Humbang Hasundutan 29,210,500 31,606,800 28,968,140 50,779,570 Pakpak Bharat 24,610,700 28,831,400 25,460,900 54,005,910 Samosir 38,969,700 35,623,800 27,844,598 33,547,500 Serdang Bedagai 61,308,800 65,750,400 64,704,900 68,230,650 Batubara 42,832,000 29,201,625 44,148,640 42,178,640 Padang Lawas Utara 30,443,250 44,759,200 36,733,240 36,311,060 Padang Lawas 42,767,600 40,016,700 42,520,850 31,082,900 Labuhanbatu Selatan 29,993,000 35,433,200 25,663,500 53,225,680 Labuhanbatu Utara 29,565,500 33,344,625 42,495,140 48,433,300 Nias Utara 38,748,900 39,976,800 36,405,150 56,382,660 Nias Barat 27,591,975 47,860,125 63,754,580 42,168,069 Silboga 18,135,900 22,753,900 19,290,260 29,474,070 Tanjung Balai 19,508,400 20,198,000 17,955,740 28,391,040 Pematang Siantar 39,228,000 24,783,200 28,447,080 41,399,700 Tebing Tinggi 17,807,400 22,086,200 25,323,480 36,283,080 Medan 67,201,000 81,594,600 66,298,270 62,016,918 Binjai 24,831,500 25,266,200 23,777,970 19,655,758 Padang Sidempuan 20,661,600 25,568,500 23,986,600 39,957,160 Gunung Sitoli 25,337,800 50,790,000 56,898,180 31,781,842


(3)

Lampiran 12

Data Ketimpangan Pembangunan (Indeks Williamson), Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013

KABUPATEN/KOTA Tahun PAD DP IW

Nias 2010 17,629,575 218,354,957 0.048573574

Nias 2011 18,943,904 331,708,125 0.047423562

Nias 2012 30,531,670 351,220,077 0.046805788

Nias 2013 44,726,141 415,008,232 0.04601698

Mandailing natal 2010 11,825,858 496,601,753 0.057907508 Mandailing natal 2011 27,525,847 539,510,212 0.057338552 Mandailing natal 2012 21,274,113 624,737,082 0.056672724 Mandailing natal 2013 47,665,840 702,429,458 0.05573665 Tapanuli Selatan 2010 30,496,787 412,917,731 0.013439414 Tapanuli Selatan 2011 57,463,805 450,930,689 0.012927481 Tapanuli Selatan 2012 56,160,143 547,419,656 0.012536836 Tapanuli Selatan 2013 69,220,483 611,457,537 0.012551874 Tapanuli Tengah 2010 13,371,779 395,696,961 0.074969598 Tapanuli Tengah 2011 18,091,203 421,841,806 0.075777137 Tapanuli Tengah 2012 21,136,802 507,033,029 0.076538809 Tapanuli Tengah 2013 23,210,742 603,803,915 0.076759627 Tapanuli Utara 2010 15,433,009 445,304,912 0.033098237 Tapanuli Utara 2011 23,104,104 488,402,686 0.033133395 Tapanuli Utara 2012 20,974,585 565,630,017 0.032784398 Tapanuli Utara 2013 37,952,078 637,547,711 0.032035015 Toba Samosir 2010 11,981,287 354,898,543 0.041938845 Toba Samosir 2011 14,181,847 380,231,093 0.04191967 Toba Samosir 2012 16,542,682 463,267,888 0.042068571 Toba Samosir 2013 19,803,160 499,262,760 0.041848345 Labuhan Batu 2010 38,532,205 410,592,537 0.009375093 Labuhan Batu 2011 50,958,559 460,031,899 0.00699428 Labuhan Batu 2012 59,439,168 591,320,545 0.005814769 Labuhan Batu 2013 49,784,550 621,030,278 0.004815286

Asahan 2010 26,067,056 589,031,936 0.0182226

Asahan 2011 31,844,328 629,142,075 0.017400367

Asahan 2012 37,894,588 751,912,958 0.016996214

Asahan 2013 53,691,706 878,627,985 0.017711618

Simalungun 2010 45,255,180 769,606,466 0.021942528 Simalungun 2011 42,543,354 828,603,068 0.020795088


(4)

Simalungun 2012 61,246,499 1,021,460,381 0.019229348 Simalungun 2013 97,914,776 1,119,108,338 0.020685489

Dairi 2010 19,835,722 409,964,594 0.002470719

Dairi 2011 17,673,471 443,722,273 0.002616789

Dairi 2012 20,911,510 521,886,257 0.00292452

Dairi 2013 29,933,428 600,146,272 0.003432781

Karo 2010 27,685,562 483,849,879 0.046877167

Karo 2011 35,363,330 515,454,236 0.046105278

Karo 2012 41,242,973 615,142,283 0.045351469

Karo 2013 46,342,694 704,068,996 0.041853122

Deli Serdang 2010 120,537,227 1,025,331,368 0.031947856 Deli Serdang 2011 213,791,545 1,064,005,654 0.026877097 Deli Serdang 2012 291,017,501 1,237,551,490 0.022060426 Deli Serdang 2013 328,348,147 1,401,726,244 0.044029652

Langkat 2010 31,357,008 859,012,340 0.000482282

Langkat 2011 34,540,643 928,573,080 0.000292528

Langkat 2012 129,242,580 1,060,399,150 0.0006465 Langkat 2013 65,521,499 1,233,279,204 0.001852682 Nias Selatan 2010 10,276,243 360,429,265 0.066323242 Nias Selatan 2011 23,030,719 399,717,262 0.065455157 Nias Selatan 2012 12,146,969 469,146,621 0.065431227 Nias Selatan 2013 75,541,198 561,337,590 0.065797844 Humbang Hasundutan 2010 10,007,221 337,677,015 0.024668856 Humbang Hasundutan 2011 12,870,032 374,193,776 0.024706667 Humbang Hasundutan 2012 17,901,927 439,194,192 0.024617426 Humbang Hasundutan 2013 17,632,874 519,013,616 0.024365618 Pakpak Bharat 2010 4,533,364 217,108,249 0.025401867 Pakpak Bharat 2011 6,306,029 251,021,410 0.025841572 Pakpak Bharat 2012 6,353,112 282,389,038 0.026132013 Pakpak Bharat 2013 9,080,677 350,858,546 0.02645145

Samosir 2010 26,112,156 299,887,983 0.017753455

Samosir 2011 14,201,579 334,265,150 0.018585484

Samosir 2012 17,459,630 380,799,447 0.019418161

Samosir 2013 26,661,345 441,138,043 0.020819776

Serdang Bedagai 2010 22,093,187 535,626,028 0.005682552 Serdang Bedagai 2011 35,894,399 572,521,057 0.007669498 Serdang Bedagai 2012 39,274,570 671,314,179 0.009662491 Serdang Bedagai 2013 50,371,733 742,398,212 0.011950442 Batubara 2010 20,616,744 412,438,537 0.278211293


(5)

Batubara 2011 13,240,861 442,375,616 0.274569849 Batubara 2012 16,558,177 524,476,686 0.267409926 Batubara 2013 27,800,612 597,047,211 0.257388695 Padang Lawas Utara 2010 5,332,770 304,945,199 0.070064195 Padang Lawas Utara 2011 8,728,415 337,797,195 0.069996292 Padang Lawas Utara 2012 12,798,138 415,651,488 0.070662134 Padang Lawas Utara 2013 15,804,225 454,236,461 0.07136126 Padang Lawas 2010 12,528,138 317,050,434 0.072501875 Padang Lawas 2011 8,216,151 316,121,951 0.07377448 Padang Lawas 2012 9,881,176 410,794,247 0.074859624 Padang Lawas 2013 23,129,957 442,927,105 0.075853737 Labuhanbatu Selatan 2010 8,371,926 330,878,145 0.048725601 Labuhanbatu Selatan 2011 17,081,272 350,528,835 0.051275041 Labuhanbatu Selatan 2012 18,976,643 413,225,408 0.049868549 Labuhanbatu Selatan 2013 26,701,972 510,631,418 0.048627467 Labuhanbatu Utara 2010 10,657,251 360,303,292 0.044883486 Labuhanbatu Utara 2011 10,581,250 416,851,039 0.045509989 Labuhanbatu Utara 2012 18,971,116 481,110,043 0.04652047 Labuhanbatu Utara 2013 25,651,300 541,453,128 0.047930361 Nias Utara 2010 1,905,121 159,700,892 0.04792297 Nias Utara 2011 6,655,233 282,794,828 0.0473641 Nias Utara 2012 6,707,989 318,496,035 0.047085411 Nias Utara 2013 8,857,119 363,089,217 0.04656976

Nias Barat 2010 958,747 99,301,762 0.046355225

Nias Barat 2011 2,761,470 251,084,176 0.04586865 Nias Barat 2012 4,067,651 305,237,626 0.045880564 Nias Barat 2013 7,223,691 303,731,606 0.045471806

Silboga 2010 15,118,409 266,811,932 0.013983175

Silboga 2011 21,663,390 290,945,768 0.014092588

Silboga 2012 26,698,353 333,434,803 0.014325721

Silboga 2013 29,457,629 388,296,339 0.015200212

Tanjung Balai 2010 24,126,011 280,047,627 0.023048056 Tanjung Balai 2011 27,238,537 312,340,755 0.021158536 Tanjung Balai 2012 27,676,094 350,519,715 0.019757838 Tanjung Balai 2013 31,920,754 418,300,052 0.017949031 Pematang Siantar 2010 20,458,428 373,757,905 0.022009209 Pematang Siantar 2011 44,792,749 403,598,316 0.022548994 Pematang Siantar 2012 49,915,366 494,525,809 0.022531375 Pematang Siantar 2013 61,357,963 559,740,945 0.022035617


(6)

Tebing Tinggi 2010 26,272,469 271,044,257 0.007920713 Tebing Tinggi 2011 33,665,264 304,033,015 0.008332928 Tebing Tinggi 2012 47,330,984 357,856,653 0.008888501 Tebing Tinggi 2013 53,199,538 427,473,187 0.010025207 Medan 2010 588,941,453 1,287,769,042 0.517521231 Medan 2011 995,072,572 1,422,441,737 0.535133815 Medan 2012 1,147,901,461 1,417,185,769 0.550942617 Medan 2013 1,206,169,709 1,506,316,350 0.538258387

Binjai 2010 18,832,884 359,494,731 0.013725904

Binjai 2011 26,470,116 401,834,542 0.013850514

Binjai 2012 48,178,079 482,077,838 0.014178486

Binjai 2013 49,172,644 530,808,739 0.014709118

Padang Sidempuan 2010 14,602,384 317,219,703 0.041950865 Padang Sidempuan 2011 21,614,811 357,577,097 0.042535582 Padang Sidempuan 2012 23,682,308 421,732,104 0.043125065 Padang Sidempuan 2013 35,018,175 489,005,615 0.04362798 Gunung Sitoli 2010 2,663,494 138,967,930 0.007765938 Gunung Sitoli 2011 6,051,302 313,140,980 0.007504676 Gunung Sitoli 2012 9,329,679 378,059,907 0.007327132 Gunung Sitoli 2013 10,382,482 401,073,048 0.006986053