Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

(1)

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA

MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN

MANUSIA PADA KABUPATEN/KOTA

DI PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

S Y A H R I L

087017076/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA

MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN

MANUSIA PADA KABUPATEN/KOTA

DI PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

S Y A H R I L

087017076/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA KABUPATEN/ KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : S y a h r i l Nomor Pokok : 087017076 Program Studi : Akuntansi

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Erlina, SE., M.Si., Ak) (Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak) Ketua Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 10 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak

Anggota : 1. Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak

2. Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak 3. Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Februari 2011 Yang membuat pernyataan,


(6)

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak dan Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak

ABSTRAK

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Belanja Modal (BM) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, pengujian metode dengan analisis regresi berganda dengan melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal sebagai variabel independen serta Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Sampel penelitian adalah sebanyak 19 kabupaten/kota dari hasil purposive sampling pada 33 populasi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari situs www.djpkd.depkeu.go.id dan Badan Pusat Statistik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Secara parsial Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.


(7)

THE INFLUENCES OF LOCAL OWN REVENUE AND CAPITAL EXPENDITURE TO THE HUMAN DEVELOPMENT INDEX ON

DISTRICTS/CITIES IN NORTH SUMATRA PROVINCE

Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak and Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak

ABSTRACT

The purpose of this research are to find out and to analyze the influences of Local Own Revenue and Capital Expenditure to the Human Development Index.

The method of analysis which used in this research is quantitative method, testing method with multiple regression analysis with the classic assumption test before finding out the best research model. The variable in this research is the Local Own Revenue and Capital Expenditures as an independent variable and the Human Development Index as the dependent variable. The samples are 19 districts/cities from the result of purposive sample in 33 population of districts/cities in North Sumatra Province. Data is the secondary one which is taken from official website www.djpkd.depkeu.go.id and Central Bureau of Statistics.

The results of this research shows that The Local Own Revenue and Capital Expenditure have simultaneously effect on the Human Development Index. Partially Local Own Revenue has significant influence to Human Development Index. There in no significant effect of Capital Expenditure to Human Development Index.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.

Tesis ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak selaku Ketua Program Magister Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan bertindak sebagai Dosen Pembanding yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan hingga selesainya tesis ini.

4. Ibu Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak selaku Sekretaris Program Magister Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sekaligus bertindak sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan saran, kritik dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.


(9)

5. Ibu Prof. Dr. Erlina, M.Si, Ak, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam proses penelitian dan penulisan untuk menyusun tesis ini.

6. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak, selaku Dosen Pembanding, yang telah banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini.

7. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak, selaku Dosen Pembanding, yang juga telah banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini.

8. Ayahanda (Alm) H. Munir Sutan Mantari dan Ibunda (Almh) Hj. Mariani di masa hidup yang telah memberikan kasih sayang, pendidikan dan dorongan kepada penulis untuk terus belajar dalam menjalankan kehidupan sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU. 9. Istri tercinta (Ninik Wahyuni, SE) dan anak-anakku tersayang (M. Wahyu Riza,

M. Zaki Rabbani dan (Alm) Yasmin Nazira), yang telah mendoakan serta menjadi motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.

10. Segenap Bapak/Ibu Komisaris, Dewan Direksi dan rekan-rekan kerja di LP3i yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menempuh studi ini.

11. Teman-temanku seperjuangan Angkatan XVII Program Magister Akuntansi- SPs USU (Ewin, Riva, Agus dan Buqhori) yang telah banyak memberikan semangat, bantuan dan dorongan sampai penulis dapat menyelesaikan studi ini serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu.


(10)

12. Bapak dan Ibu tata usaha Sekolah Pascasarjana USU yang juga menjadi bagian pada keberhasilan penulis dalam membantu kelancaran proses studi ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun kepada segenap masyarakat, baik di lingkungan akademis maupun praktisi. Amin Ya Rabbal Alamin...

Medan, Februari 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : Syahril

Tempat/Tanggal Lahir : Langsa, 21 Agustus 1970 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln. Bhayangkara Gg. Sosial Kel. Indra Kasih Medan Telp/HP : 081263901006

Pendidikan

- Tamatan Sekolah Dasar Negeri 1 Langsa tahun 1983.

- Tamatan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Langsa tahun 1986. - Tamatan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Langsa tahun 1989.

- Tamatan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Nommensen tahun 1995.

B. Pengalaman Kerja

- Kepala Kampus Politeknik Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (Politeknik LP3i Medan) tahun 2005 s/d sekarang.

- Branch Manager LP3i Cabang Surabaya tahun 2003 s/d 2005. - Wakil Branch Manager LP3i Cabang Surabaya tahun 2002 s/d 2003.

- Kepala Bagian Finance & HRD LP3i Cabang Surabaya tahun 2000 s/d 2002. - Kepala Bagian Finance & HRD LP3i Cabang Medan tahun 1996 s/d 2000.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.6. Originalitas ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 11

Tinjauan Teori 11 2.1.1.Pendapatan Asli Daerah ... 11

2.1.2.Belanja Modal ... 19

2.1.3.Indeks Pembangunan Manusia ... 22

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS... 28

3.1. Kerangka Konsep ... 28


(13)

BAB IV METODE PENELITIAN... 31

4.1. Jenis Penelitian ... 31

4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 31

4.3. Populasi dan Sampel ... 31

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 32

4.5. Definisi Operasional Variabel ... 33

4.6. Model Analisis Data ... 35

4.6.1. Pengujian Asumsi Klasik ... 36

4.6.1.1. Uji normalitas ... 36

4.6.1.2. Uji outler ... 36

4.6.1.3. Uji multikolinearitas ... 36

4.6.1.4. Uji autokorelasi ... 37

4.6.1.6. Uji heteroskedastisitas ... 37

4.6.2. Pengujian Hipotesis ... 38

4.6.2.1. Koefisien determinasi (R2) ... 38

4.6.2.2. Uji statistik F ... 38

4.6.2.3. Uji statistik t ... 39

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 40

5.1. Hasil Penelitian ... 40

5.1.1. Statistik Deskriptif ... 40

5.1.2. Uji Asumsi Klasik... 42

5.1.2.1. Uji normalitas ... 43

5.1.2.2. Uji multikolinearitas ... 44

5.1.2.3. Uji autokorelasi ... 45

5.1.2.4. Uji heteroskedastisitas ... 46

5.1.3. Pengujian Hipotesis ... 47


(14)

5.1.3.2. Uji statistik F ... 48

5.1.3.3. Uji statistik t ... 48

5.2. Pembahasan ... 49

5.2.1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia ... 50

5.2.2. Pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 54

6.1. Kesimpulan ... 54

6.2. Keterbatasan ... 55

6.3. Saran ... 55


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1.1. Data Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal (BM)

Tahun 2005 dan 2006 serta Pengaruhnya terhadap IPM

Tahun 2006 dan 2007 ... 8

2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu ... 27

4.1. Data Sampel Kabupaten dan Kota ... 32

4.2. Definisi Operasional ... 34

5.1. Statistik Variabel ... 40

5.2. Hasil Uji Multikolinieritas ... 45

5.3. Hasil Uji Autokorelasi... 45

5.4. Nilai Koefisien Determinasi ... 47

5.5. Hasil Pengujian Hipotesa Uji F ... 48


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

3.1. Kerangka Konseptual ... 28

5.1. Histogram Uji Normalitas ... 43

5.2 Normal P - P Plot ... 44


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Hasil Olah SPSS ... 58 2. Data Penelitian ... 62


(18)

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak dan Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak

ABSTRAK

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Belanja Modal (BM) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, pengujian metode dengan analisis regresi berganda dengan melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal sebagai variabel independen serta Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Sampel penelitian adalah sebanyak 19 kabupaten/kota dari hasil purposive sampling pada 33 populasi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari situs www.djpkd.depkeu.go.id dan Badan Pusat Statistik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Secara parsial Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.


(19)

THE INFLUENCES OF LOCAL OWN REVENUE AND CAPITAL EXPENDITURE TO THE HUMAN DEVELOPMENT INDEX ON

DISTRICTS/CITIES IN NORTH SUMATRA PROVINCE

Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak and Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak

ABSTRACT

The purpose of this research are to find out and to analyze the influences of Local Own Revenue and Capital Expenditure to the Human Development Index.

The method of analysis which used in this research is quantitative method, testing method with multiple regression analysis with the classic assumption test before finding out the best research model. The variable in this research is the Local Own Revenue and Capital Expenditures as an independent variable and the Human Development Index as the dependent variable. The samples are 19 districts/cities from the result of purposive sample in 33 population of districts/cities in North Sumatra Province. Data is the secondary one which is taken from official website www.djpkd.depkeu.go.id and Central Bureau of Statistics.

The results of this research shows that The Local Own Revenue and Capital Expenditure have simultaneously effect on the Human Development Index. Partially Local Own Revenue has significant influence to Human Development Index. There in no significant effect of Capital Expenditure to Human Development Index.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial telah menjadi perhatian Nasional. Diasumsikan bahwa kemajuan bangsa ataupun keberhasilan pemerintah tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari keberhasilan dari pembangunan nasional. Kegiatan pembangunan telah dilakukan oleh beberapa pemimpin pemerintahan sejak pasca kemerdekaan tahun 1945. Namun demikian, harus diakui setelah beberapa kali pemerintahan berganti, taraf kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal. Pemenuhan taraf kesejahteraan sosial perlu terus diupayakan mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya.

Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial pun menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Seperti penanganan masalah kemiskinan, kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban bencana alam dan sosial. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas, tidak dapat terlayani dengan baik.

Untuk itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial terus dikembangkan bersama dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara, namun pembangunan ekonomi


(21)

yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak akan mampu menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Bahkan pengalaman negara maju dan berkembang seringkali memperlihatkan jika prioritas hanya difokuskan pada kemajuan ekonomi memang dapat memperlihatkan angka pertumbuan ekonomi. Namun sering pula gagal menciptakan pemerataan dan menimbulkan kesenjangan sosial. Akhirnya dapat menimbulkan masalah kemiskinan yang baru. Oleh karenanya penanganan masalah kemiskinan harus didekati dari berbagai sisi baik pembangunan ekonomi maupun kesejahteraan sosial.

Masalah kemiskinan dewasa ini bukan saja menjadi persoalan bangsa Indonesia. Kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan untuk membahas kemiskinan, terlepas apakah itu negara berkembang maupun sedang berkembang. Negara sedang berkembang di sebagian wilayah Asia dan Afrika, sangat berurusan dengan agenda pengentasan kemiskinan. Sebagian besar rakyat di kawasan ini masih menyandang kemiskinan. Sementara bagi negara maju, mereka pun sangat tertarik membahas kemiskinan. Ketertarikan itu karena kemiskinan di negara berkembang berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik mereka.

Pada akhirnya kemiskinan menjadi urusan semua bangsa dan menjadi musuh utama (common enemy) umat manusia di dunia. Konsekuensinya kemiskinan dibahas semakin meluas intensif dan berkesinambungan di manapun dan oleh siapapun. Menurut laporan Human Development Report tahun 2005, jumlah penduduk miskin terbesar di Asia Tenggara adalah di Indonesia, yaitu sebesar 38,7 juta orang diikuti


(22)

oleh Vietnam (17,38), Kamboja (13,01), dan Myanmar (10,84). Tingginya tingkat kemiskinan Indonesia, membuat negara ini memiliki kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia menempati urutan 110, lebih rendah dibanding negara di Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (73), dan Filipina (84).

Gubsu mengajak seluruh bupati dan wali kota yang merupakan “tangan kanan” provinsi untuk sama-sama bertekad dan bekerja mengurangi angka kemiskinan yang hingga kini masih ditemui di Provinsi Sumut. Di Sumut saat ini, bukan hanya kemiskinan yang ditemui, tetapi juga masalah gizi buruk atau kelaparan yang seharusnya tidak boleh terjadi di daerah kita. Untuk mengatasinya, pemberdayaan masyarakat miskin agar menjadi lebih mandiri dan berdaya secara ekonomi, perlu dicari solusinya, yang antara lain bisa ditempuh melalui program pembangunan yang dibarengi dengan akurasi data di mana kantong kemiskinan berada dan berapa jumlahnya, sehingga program yang dijalankan tidak sia-sia. Untuk masalah pendidikan (kebodohan), Gubsu menekankan bahwa pendidikan anak sekolah bukan lagi sekedar gerakan wajib belajar sembilan tahun, tetapi sudah merupakan hak belajar sembilan tahun. Soal kesehatan, Gubsu melihat peningkatan akses masyarakat miskin terhadap bidang kesehatan menjadi kata kunci sebagai sebuah solusi. Karena, masalah kesehatan masyarakat, sebagaimana halnya pendidikan, juga sangat terkait dengan kemiskinan dan kebodohan. Terkait masalah anggaran, Gubsu tak menampik, bahwa sampai kini sumber keuangan bagi daerah masih terbatas. Oleh karenanya, alokasi anggaran lebih baik diprioritaskan untuk


(23)

pembangunan yang mendasar di bidang ekonomi kerakyatan/UKM, pendidikan, dan kesehatan yang menjangkau sebagaian besar masyarakat. Dan sebagai apresiasi, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan memberikan dukungan anggaran dan juga penghargaan kepada kabupaten dan kota yang memberi perhatian lebih terhadap program pendidikan, kesehatan, ketersediaan pangan, dan pemberdayaan UKM, apalagi bila ada terobosan yang manfaatnya dirasakan masyarakat (Berita Sore, 2008).

Seluruh daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara memiliki beberapa sumber keuangan daerah yang dipergunakan untuk menjalankan aktivitas daerah yaitu yang terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Daerah. 2. Dana Perimbangan. 3. Pinjaman Daerah.

4. Lain-lain penerimaan yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah (BUMD) yang diperoleh dan lain-lain, PAD yang sah yaitu hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadan barang dan/atau jasa oleh daerah (Bab V Pasal 6 ayat 2, UU No. 33 Tahun 2004).

Sejak tahun 1997 telah terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dampak dari krisis tersebut terlihat pada sektor swasta seperti pasar modal dan pada


(24)

sektor publik (pemerintah). Berbagai dampak negatif seperti bertambahnya pengangguran dan peningkatan kemiskinan bermunculan. Pengaruh negatif krisis moneter juga terjadi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang pada gilirannya berdampak pula pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sektor pendapatan sangat labil atau faktor ketidakpastian akan penerimaan dari Pemerintah pusat menjadi lebih tinggi. Kondisi tersebut lebih memperhatikan pada daerah yang PAD rendah. Dengan PAD yang rendah berarti ketergantungan kepada pemerintah pusat lebih tinggi.

Pajak dan retribusi daerah yang menjadi komponen utama dari PAD juga terpengaruh akibat terjadinya krisis ekonomi. Menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat akibat adanya krisis ekonomi menyebabkan terganggunya penerimaan masyarakat yang kemudian mempengaruhi penerimaan pendapatan daerah yang mengakibatkan pendapatan daerah menjadi lebih rendah dan tidak menentu. Dengan keadaan pemerintah yang mengalami tekanan keuangan mengakibatkan penyusunan APBD menjadi tidak pasti sehingga menyebabkan kemungkinan adanya pergeseran pada komponen-komponen pendapatan dan belanja daerah. Tekanan keuangan (Fiskal Stress) berakibat pada tidak stabilnya kesiapan Pemerintah Kabupaten dan Kota terutama pada segi keuangannya, kinerja keuangan merupakan salah satu tolak ukur dari kesiapan suatu daerah dalam menghadapi otonomi daerah.

Sehubungan dengan tujuan otonomi daerah, yaitu menuntun kemandirian daerah maka upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan IPM dibuat dan dipopulerkan oleh Program Pembangunan PBB atau UNDP sejak


(25)

tahun 1990 dalam seri laporan tahunan yang diberi judul “Human Development Report”. Indeks ini disusun sebagai salah satu dari indikator alternatif, selain pendapatan nasional per kapita, untuk menilai keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara. Indeks Pembangunan Manusia ini meranking semua negara dengan skala 0 (nol) sampai 1 (satu). Angka nol menyatakan tingkat pembangunan manusia yang paling rendah dan angka 1 menyatakan tingkat pembangunan manusia yang paling tinggi.

Ada tiga indikator yang dijadikan tolok ukur untuk menyusun IPM. Pertama, usia panjang yang diukur dengan rata-rata lama hidup penduduk atau angka harapan hidup di suatu negara. Kedua, pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang bisa membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga). Ketiga, penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan daya belinya untuk tiap-tiap negara. Berdasarkan IPM yang telah disusun, maka bisa ditetapkan tiga kelompok negara. Pertama, negara dengan tingkat pembangunan manusia yang rendah bila IPM-nya berkisar antara 0 sampai 0,5. Negara yang masuk kategori ini sama sekali atau kurang memperhatikan pembangunan sumber daya manusia. Kedua, negara dengan tingkat pembangunan manusia sedang jika IPM-nya berkisar antara 0,51 sampai 0,79. Negara yang masuk dalam kategori ini mulai memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. Ketiga, negara dengan tingkat pembangunan manusia tinggi jika IPM-nya berkisar antara 0,80 sampai 1. Negara yang masuk dalam kategori ini sangat memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya.


(26)

Selain ditampilkan sebagai indikator tunggal, IPM biasanya juga ditampilkan bersama-sama dengan ranking pendapatan per kapita, hasilnya bisa bervariasi. Ada negara yang ranking pendapatan per kapitanya masuk ranking atas, tetapi IPM-nya masuk ranking rendah. Ini artinya hasil pembangunan yang tampak dari pendapatan per kapita tinggi tidak dipakai untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ada negara yang pendapatan per kapitanya masuk ranking bawah tetapi IPM-nya masuk ranking yang tinggi. Artinya, meskipun masuk ke dalam negara yang miskin, tetapi dengan pendapatan yang kecil itu negara atau pemerintah memakainya untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ada pula negara yang konsisten antara ranking pendapatan per kapita dan urutan IPM nya, dimana urutan IPM-nya ranking atas dan pendapatan per kapitanya ranking atas pula.

Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan perkapita. Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan bukti keberhasilan pembangunan yang merupakan salah satu tugas pemerintah. Pendapatan perkapita menunjukkan rata-rata tingkat pendapatan masyarakat pada suatu daerah. Pemerintah pusat dalam rangka desentraliasi kewenangannya memberikan dana transfer kepada pemerintah daerah (Pemda). Data Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal (BM) tahun 2005 dan 2006 serta pengaruhnya terhadap IPM tahun 2006 dan 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.1.


(27)

Tabel 1.1. Data Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal (BM) Tahun 2005 dan 2006 serta Pengaruhnya terhadap IPM Tahun 2006 dan 2007

No. Kab/Kota PAD (dalam Jutaan)

BM

(dalam Jutaan) IPM 2005 2006 2005 2006 2006 2007

1 Kab. Asahan 22,624.38 29,143.50 64,159.83 134,811.20 70.70 71.16 2 Kab. Dairi 4,555.50 7,966.49 14,173.66 41,063.06 71.30 71.49 3 Kab. Deli Serdang 52,540.86 66,776.41 31,423.77 159,719.88 73.20 73.76 4 Kab. Tanah Karo 11,379.87 17,007.16 21,815.69 50,956.10 73.50 74.01 5 Kab. Labuhan Batu 25,178.21 32,162.85 59,565.27 84,488.16 72.00 72.54 6 Kab. Langkat 15,884.49 18,640.50 84,881.03 99,643.81 71.50 71.83 7 Kab. Simalungun 16,899.37 26,803.26 38,554.30 104,069.39 71.70 72.13 8 Kab. Tapanuli Utara 4,349.70 14,100.31 36,418.71 84,680.33 72.60 72.99 9 Kab. Toba Samosir 3,596.92 13,596.24 17,479.77 76,245.14 75.20 75.33 10 Kota Binjai 8,890.59 10,308.30 24,041.26 49,143.41 75.30 75.51 11 Kota Medan 303,383.07 312,862.35 194,497.82 215,676.83 75.60 76.22 12 Kota Pematang Siantar 13,517.78 16,207.94 35,617.17 64,387.44 75.90 76.52 13 Kota Sibolga 5,467.17 7,831.43 35,752.74 40,307.19 73.70 73.93 14 Kota Tanjung Balai 9,530.90 10,319.73 44,225.25 67,636.55 71.90 72.80 15 Kota Tebing Tinggi 9,457.10 13,385.95 39,270.30 62,267.55 75.00 75.27 16

Kota Padang

Sidempuan 5,485.30 7,262.13 24,768.28 36,859.27 73.60 73.79 17 Kab. Nias Selatan 1,497.07 8,893.62 4,744.34 17,748.43 64.50 65.06 18

Kab. Humbang

Hasundutan 4,653.01 6,332.87 30,016.19 95,099.67 70.50 70.79 19

Kab. Serdang

Berdagai 12,037.53 21,676.72 33,109.40 94,015.00 71.50 72.20

Sumber: http://www.djpkpd.or.id (data olahan)

Melihat dari fenomena yang terjadi di atas bahwa masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama yang terjadi baik di daerah, nasional maupun negara-negara saat ini, dan IPM erat kaitannya terhadap kesejahteraan masyarakat ataupun tingkat kemiskinan. Di mana IPM juga merupakan salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan suatu daerah maupun negara. Menurut peneliti ada pengaruh dari pada kebijakan pemerintah terhadap bagaimana pengelolaan BM yang


(28)

diterima dari pemerintah pusat terhadap penyediaan infrastruktur, sarana dan prasarana pelayanan publik dalam rangka peningkatan IPM pada setiap daerah. Dan PAD yang tentunya merupakan bagian dari lingkaran perekonomian yang terkait dengan pendapatan perkapita, pengeluaran pemerintah maupun aktivitas perekonomian daerah yang juga berperan dalam meningkatkan IPM. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh dari pada PAD dan BM terhadap IPM pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian adalah: “Apakah Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh PAD dan BM baik secara simultan dan parsial terhadap IPM.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan, yaitu:

1. Peneliti, sebagai pengetahuan atas pemahaman terhadap akuntansi sektor publik. 2. Pemerintah daerah kabupaten/kota, sebagai informasi untuk mengetahui


(29)

faktor-faktor apa saja dalam keuangan daerah yang dapat mempengaruhi IPM.

3. Akademis, sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya dan memberi masukan pada perkembangan akuntansi sektor publik.

1.5. Originalitas

Penelitian ini mereplikasi penelitian Christy (2009) yang berjudul hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dapat diterima dan nilai adjusted R square model regresi ini cukup besar, yaitu 0,435 atau 43,6%. Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adalah pada variabel independen PAD, tahun dan tempat penelitian yang berbeda.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Pendapatan Asli Daerah

Berbagai cara dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota untuk meningkatkan pendapatan daerahnya dalam upaya memenuhi kebutuhan belanja pemerintah daerah bagi pelaksanaan kegiatannya. Pertama, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota dapat memperoleh dana dari sumber-sumber yang dikategorikan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kedua, memperoleh transfer dana dari APBN yang dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Pengalokasian dana perimbangan ini selain ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD, juga bertujuan untuk mengurangi/memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Ketiga, daerah memperoleh penerimaan dari sumber lainnya seperti bantuan dana kontijensi dan bantuan dana darurat. Keempat, menerima pinjaman dari dalam dan luar negeri.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, maka Pemerintah Kabupaten dan Kota segera melakukan berbagai kegiatan guna menyongsong diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu buah reformasi itu. Hal yang dapat dipandang penting adalah dilakukannya perubahan dan penyesuaian organisasi berbagai perangkat di setiap daerah. Perubahan ini tentunya sangat terkait erat dengan berbagai


(31)

isu dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama sekali yang menyangkut dengan pelimpahan berbagai kewenangan baik dari Pemerintahan Pusat maupun dari Pemerintahan Provinsi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, menekankan bahwa simpul penyelenggaraan otonomi daerah berada di tingkatan Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten dan Kota menghadapi pelaksanaan otonomi daerah ini haruslah dengan suatu persiapan yang matang. Dengan tidak adanya lagi hubungan pertanggungjawaban vertikal dari Kabupaten dan Kota kepada Pemerintahan Pusat dan Provinsi, maka Pemerintah Kabupaten dan Kota merupakan daerah otonom yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan karakteristik, potensi dan sumber daya yang ada di daerahnya masing-masing.

Kondisi ini jelas sangat berlawanan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, yang menempatkan pemerintah Kabupaten dan Kota (baca Kotamadya) sebagai daerah tingkat kedua (Tingkat II) setelah Provinsi yang berkedudukan sebagai daerah tingkat pertama (Tingkat I), sehingga menciptakan adanya pemerintahan atasan dan bawahan dalam satu sistem pemerintahan, yang meliputi: Pemerintahan Tingkat Pusat, Pemerintahan Tingkat I, dan Pemerintahan Tingkat II. Perubahan yang menuju terlepasnya Pemerintah Kabupaten dan Kota sebagai bawahan Pemerintahan Provinsi dapat kita lihat ketentuannya dalam Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyebutkan:


(32)

(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang.

(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukkan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.

(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

PAD merupakan sumber dana terbesar Penerimaan Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 dan 2005. PAD merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai, tentunya komponen-komponen yang berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti. Misalnya dengan memberikan pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan:

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintahan Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.


(33)

Besarnya tekanan agar instansi Pemerintah meningkatkan kinerja dan akuntabilitas mempengaruhi praktek-praktek penyelenggaraan operasi entitas sektor publik untuk memberi tanggapan akan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat, sebagai salah satu stakeholder. Lembaga-lembaga publik diharapkan memiliki kinerja yang baik. Kinerja yang baik akan menunjukkan stewardship dan akuntabilitas lembaga akan sumber daya-sumber daya publik yang dikelolanya, agar lembaga-lembaga negara menjalankan aktivitasnya dengan baik dan mampu memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka dirancang sistem pengukuran kinerja agar peningkatan dan perbaikan kinerja instansi pemerintah dapat dilakukan secara berkesinambungan.

2.1.1.1. PAD sebelum otonomi daerah

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa PAD adalah penerimaan pemerintah atas pajak daerah, retribusi daerah, pembagian laba BUMD, dan lain-lain pendapatan, di mana keempat komponen di atas harus menjadi andalan utama bagi pembiayaan APBD sehingga mengharuskan penerimaan PAD dioptimalkan penggaliannya. Hal ini yang dikatakan meningkatnya kinerja keuangan daerah.

UU RI Nomor 32 Tahun 2004, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan pemerintah pusat yang dikategorikan menjadi pendapatan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah. Dalam Pasal 55 UU tersebut dikatakan bahwa sumber pendapatan daerah otonom, yaitu:


(34)

1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.

2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah pusat yang terdiri dari sumbangan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. Subsidi daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintah pusat terus mengalami perubahan dan disesuaikan dengan sasaran pemberian bantuan yang disebut juga dengan istilah Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah.

3. Lain-lain penerimaan yang sah.

4. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah.

5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD, namun masih merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari pemerintah pusat untuk membantu pembangunan, sarana dan prasarana.

Dari keterangan di atas diketahui bahwa sebelum adanya UU otonomi daerah Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 1999, sistem pembiayaan daerah adalah perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah. Pengeluaran daerah dan pengaturan belanja diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975, No. 6 Tahun 1975 dan Peraturan Mendagri No. 2 Tahun 1994 Jo. Tahun 1996 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah, akan dikemukakan PAD sebelum otonomi daerah oleh:


(35)

a. Pengeluaran rutin terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja angsuran, sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain, serta pengeluaran tidak tersangka.

b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik.

c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang tertera dalam sistem digit.

d. Belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan kepala daerah masing-masing.

e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD dan belanja pembangunan didanai dari subsidi pemerintahan pusat.

f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik. Dan terhadap pekerjaan non fisik hanya dapat dipertanggung jawabkan oleh bukti yang memadai.

2.1.1.2. PAD sesudah otonomi daerah

PAD adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus dipacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini kemandirian pemerintah daerah


(36)

sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan juga pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara perlu diprioritaskan karena nantinya diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.

Pada otonomi daerah sumber pembiayaan daerah diharapkan didominasi oleh PAD, sementara sebelum otonomi daerah pembiayaan daerah didominasi oleh bantuan keuangan pemerintah pusat yang dikategorikan sebagai pendapatan daerah (UU No. 5/74, Pasal 55). Dalam penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dikemukakan bahwa agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya maka kepadanya perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi dikarenakan tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah maka kepada daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber keuangan sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun yang termasuk sumber-sumber pendapatan daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 55 yaitu PADS yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu: pajak daerah, retribusi daerah bagian laba usaha daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah. Sehubungan dengan objek penelitian di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara, maka komponen PAD akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Pos Pajak Daerah. 2. Pos Retribusi Daerah.


(37)

4. Pos Lain-lain PAD Yang Sah.

Sehubungan dengan hal di atas, untuk kemandirian suatu daerah otonomi, maka kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara sangat dituntut melalui peningkatan PAD. Jika PAD naik maka dapat dikatakan kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota tersebut naik (meningkat). Ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kontribusi PAD tersebut terhadap total penerimaan daerah.

a. Adanya sumber pendapatan potensial yang digali dari suatu daerah provinsi, tetapi masih berada di wewenang Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara.

b. Badan Usaha Milik Daerah pada umumnya belum beroperasi secara efisien yang tercermin pada laba bersih yang dihasilkan.

c. Kurangnya kesadaran masyarakat membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya.

d. Masalah peraturan-peraturan PAD yang perlu disesuaikan dan disempurnakan lagi.

e. Rendahnya tingkat dan ekonomi masyarakat yang biasanya hal ini tercermin dalam pendapatan masyarakat.

Kemandirian pemerintah dalam membiayai daerahnya dapat diukur dari besarnya PAD dibandingkan dengan pembelanjaan daerah. Kenyataannya semua daerah otonom masih menerima dana dari pusat baik itu Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus yang diperuntukkan untuk membiayai pembangunan


(38)

daerah. Dengan melihat kenyataan ini perlu upaya maksimal atau kinerja pemerintah ditingkatkan untuk peningkatan PAD Kabupaten dan Kota. PAD menurut Halim (2002: 64) merupakan Semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa PAD merupakan semua penerimaan yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan lain-lain yang sah dan bukan dari pajak. Lebih besar kontribusi PAD untuk membiayai pembangunan dan pelayanan masyarakat maka dapat dikatakan ada peningkatan kinerja keuangan pemerintah daerah.

2.1.2. Belanja Modal

Perbedaan definisi dan pengertian antara belanja barang dan Belanja Modal (BM) dalam anggaran pemerintah (APBN dan APBD) bukanlah sesuatu yang sederhana dan dapat diabaikan begitu saja. Banyak penyimpangan anggaran terjadi karena kelonggaran dalam pengklasifikasian ini. Pemerintah Pusat selaku regulator, melalui Departemen Keuangan, kemudian menerbitkan aturan yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi aparatur pemerintah yang menjadi pelaksana di lapangan.

PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS) sudah didefinisikan perbedaan belanja barang dan belanja modal secara jelas. Belanja barang adalah pengeluran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual


(39)

kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan.

Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual (Abdullah, 2008).

Dalam penyusunan perencanaan anggaran sudah mengacu pada BAS, sementara dalam pelaksanaan anggaran masih belum mengacu pada BAS. Inilah pokok awal terjadinya perbedaan persepsi. Demikian juga dalam penyusunan perencanaan anggaran berpedoman pada petunjuk penyusunan dan penelahaan RKA-KL yang mengatur penerapan konsep full costing dalam suatu kegiatan yaitu seluruh biaya yang menunjang dalam pencapaian output disesuaikan dengan jenis belanjanya. Ini sejalan dengan norma akuntansi yaitu azas full disclosure untuk masing-masing jenis belanja. Misalnya, belanja modal tanah menjadi belanja modal tanah, belanja modal pembebasan tanah, belanja modal pembayaran honor tim tanah, belanja modal pembuatan sertifikat tanah, belanja modal pengukuran dan pematangan tanah, belanja modal biaya pengukuran tanah, dan belanja modal perjalanan pengadaan tanah. Faktor lain berupa pemahaman pegawai tentang konsep BAS belum utuh, sementara sosialiasi BAS masih minim. Demikian pula masih banyak pegawai yang belum mengerti prinsip-prinsip akuntansi yang dipakai dalam BAS. Sehingga berdampak


(40)

pada kesalahan dalam menterjemahkan dan menjelaskan kepada kementerian/ lembaga.

Menyadari akan hal tersebut serta untuk memberikan kemudahan dalam mekanisme pelaksanaan APBD/APBN dan penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga, maka diterbitkan Perdirjen Perbendaharaan No. PER-33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan AKUN Pendapatan, Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Belanja Modal Sesuai dengan BAS.

Menurut Perdirjen Perbendaharaan tersebut, suatu belanja dikategorikan sebagai BM apabila:

1. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas;

2. Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah;

3. Pengeluaran terhadap aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.

Dalam petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-KL nilai kapitalisasi aset tetap di atas Rp. 300.000 per unit. Sedangkan batasan minimal kapitalisasi untuk gedung dan bangunan, dan jalan, irigasi dan jaringan sebesar Rp. 10.000.000. Sementara karakteristik aset lainnya adalah tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dan nilainya relatif material. BM juga mensyaratkan kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan. Namun demikian perlu diperhatikan, karena ada beberapa belanja pemeliharaan yang memenuhi persyaratan sebagai BM yaitu apabila (a) pengeluaran tersebut


(41)

mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas, dan volume aset yang telah dimiliki dan (b) pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimum nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya.

2.1.3. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, buta huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program Pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.

HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:

1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.


(42)

2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas

gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).

3. Standar kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic

product/produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS.

2.1.4.1. Komponen penyusunan IPM A. Usia Hidup

Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup waktu lahir (life

expectancy at birth) yang dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini

menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup (live births) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) per wanita usia 15-49 tahun menurut kelompok umur lima tahunan. Pada komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun.

B. Pengetahuan

Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan 2 indikator yaitu rata-rata lama sekolah (mean year schooling) dan angka melek huruf. Angka rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses


(43)

penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberi bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks, batas maksimum untuk angka melek huruf dipakai 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis dan nilai 0 mencerminkan sebaliknya.

C. Standard Hidup Layak

Angka standard hidup layak bisa menggunakan indikator GDP perkapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) atau menggunakan indikator rata-rata pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan (adjusted real per

capita expenditure). Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan kategori sebagai berikut:

1. Tinggi : IPM lebih dari 80,0 2. Menengah Atas : IPM antara 66,0 – 79,9 3. Menengah Bawah : IPM antara 50,0 – 65,9 4. Rendah : IPM kurang dari 50,0


(44)

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah tinjauan atas penelitian terdahulu yang berhubungan dengan IPM:

a. Sinullingga (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan IPM (Studi Kasus Kota Medan)” dengan metode expost facto (Sugiyono, 2004) karena meneliti sesuatu yang telah terjadi yaitu peningkatan IPM Kota Medan tahun 1995 sampai dengan 2005, yang dipengaruhi oleh sektor anggaran pembangunan pemerintah kota tahun 1995 sampai dengan 2005. Variabel dependen pada penelitian ini adalah IPM yang dinilai dengan nilai IPM sedangkan variabel independennya yaitu sektor pendidikan (X1), sektor kesehatan (X2), sektor transportasi (X3), sektor pembangunan daerah (X4), sektor perumahan (X5), sektor industri (X6) dan sektor tenaga kerja (X7). Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Selama tahun penelitian 1995-2005 sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung


(45)

menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM. Untuk tahap penelitian ini, dikemukakan yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis.

b. Christy (2009) melakukan penelitian dengan judul hubungan antara belanja alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia. Christy meneliti tahun 2004 sampai 2006 pada Kabupaten/Kota se- Jawa Tengah. Hasil regresi sederhana diperoleh nilai signifikansi yang sangat kecil (0,000) berkaitan dengan pengaruh belanja modal terhadap IPM. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi ini relatif tepat untuk memprediksi besarnya IPM. Dengan demikian hipotesis 2 yang menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dapat diterima (terbukti). Nilai adjusted

R square model regresi ini cukup besar, yaitu 0,435 atau 43,6%. Hal ini berarti

IPM dapat dijelaskan oleh belanja modal sebesar 43,6%, selebihnya dijelaskan oleh faktor/variabel lainnya.


(46)

Tabel 2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu Nama Judul

Penelitian

Variabel Hasil Penelitian Budi D.

Sinullingga (2009)

Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran

Pemerintah terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan)

Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah, Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia

Hasil penelitian diketahui bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponene peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM, yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis.

Fhino Andrea Christy (2009)

Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia

Dana Alokasi Umum, Belanja Modal Kualitas Pembangunan Manusia

Hasil penelitian diketahui bahwa belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dapat diterima (terbukti). Nilai adjusted R

square model regresi ini cukup besar, yaitu 0,435

atau 43,6%. Hal ini berarti IPM dapat dijelaskan oleh belanja modal sebesar 43,6%, selebihnya dijelaskan oleh faktor/variabel lainnya.


(47)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori dan penjelasan pada bab sebelumnya maka kerangka konseptual yang dibentuk adalah sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual

Berdasarkan penjelasan literatur dan hasil penelitian sebelumnya peneliti membentuk kerangka konseptual yang menggambarkan hubungan antara variabel dependen dan independen. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Belanja Modal (BM) yang diduga akan berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap variabel dependen yakni IPM. Tanda panah menunjukkan bahwa masing-masing variabel independen diduga berpengaruh baik secara parsial maupun simultan terhadap variabel dependen.

Kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli daerah yang dikatakan sebagai PAD yang harus terus

PAD (X1)

BM (X2)


(48)

menerus dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan kontribusi PAD akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat dikatakan sebagai kinerja pemerintah daerah. Kinerja ini dapat dilihat melalui sasaran yang telah tercapai dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat melalui pemanfaatan PAD (Pendapatan Daerah, Retribusi Daerah, Laba BUMD, dan Lain-lain pendapatan yang sah).

PAD merupakan dana pemerintah daerah yang digunakan untuk menjalankan pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik di kabupaten/kota. Sebagian PAD dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. BM untuk peningkatan fasilitas publik dengan kata lain tidak ada bagian BM yang digunakan untuk biaya operasional pembangunan seperti biaya perjalanan dinas dan sebagainya. IPM/Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Jika fasilitas publik dapat terpenuhi maka masyarakat merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan menciptakan hidup yang sehat dan harapan hidup lebih panjang, meningkatkan kualitas pendidikan dan standard kehidupan masyarakat.


(49)

3.2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan kerangka konseptual yang telah digambarkan dan dijelaskan sebelumnya maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: PAD dan BM berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap IPM.


(50)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hubungan kausal untuk membuktikan secara empiris pengaruh PAD dan Belanja Modal terhadap IPM. Penelitian ini dilakukan dengan cara menguji variabel-variabel penelitian melalui pembentukan model analisis dengan prosedur statistik kemudian diambil intepretasi untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan.

4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, waktu yang direncanakan untuk melakukan penelitian adalah bulan September 2010 sampai dengan selesai.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari 33 kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Data untuk tahun amatan lengkap.


(51)

Tabel 4.1. Data Sampel Kabupaten dan Kota

Populasi Kriteria Keputusan

1 2

1. Kab. Asahan 2. Kab. Dairi

3. Kab. Deli Serdang 4. Kab. Tanah Karo 5. Kab. Labuhan Batu 6. Kab. Langkat

7. Kab. Mandailing Natal 8. Kab. Nias

9. Kab. Simalungun 10. Kab. Tapanuli Selatan 11. Kab. Tapanuli Tengah 12. Kab. Tapanuli Utara 13. Kab. Toba Samosir 14. Kota Binjai 15. Kota Medan

16. Kota Pematang Siantar 17. Kota Sibolga

18. Kota Tanjung Balai 19. Kota Tebing Tinggi 20. Kota Padang Sidempuan 21. Kab. Pakpak Bharat 22. Kab. Nias Selatan

23. Kab. Humbang Hasundutan 24. Kab. Serdang Berdagai 25. Kab. Samosir 26. Kab. Batubara

27. Kab. Padang Lawas Utara 28. Kab. Padang Lawas 29. Labuhan Batu Selatan 30. Labuhan Batu Utara 31. Nias Utara

32. Nias Barat 33. Gunung Sitoli

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X X X X X X X X X X X X X X Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel - - Sampel - - Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel - Sampel Sampel Sampel - - - - - - - - - Ket: 1. Lengkap


(52)

4.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel (pooled

data) dari 19 kabupaten/kota selama dua tahun. Data PAD dan Belanja Modal

diperoleh melalui realisasi APBD kabupaten/kota se-Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari situs Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (http://www.djpkpd.or.id) tahun anggaran 2005 dan 2006. Data yang diambil adalah realisasi pendapatan asli daerah (PAD), dan belanja modal. Sedangkan data IPM diperoleh melalui buku terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) dan situs www.bps.go.id.

4.5. Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan dua variabel independen dan satu variabel dependen. Definisi operasional variabel pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: 1. Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, yaitu realisasi PAD yang diperoleh dari masing-masing APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara.


(53)

memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio, yaitu realisasi Belanja Modal yang diperoleh dari masing-masing APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara.

3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standard hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.


(54)

4.6. Model Analisis Data

Model analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis pada penelitian ini adalah regresi linier berganda (Multiple Regression Analysis) dengan persamaan sebagai berikut:

Y

1

=

â

0

+

â

1

X

1

+

â

2

X

2

+

å

Di mana:

X1 : PAD tahun 2006 dan 2007 Variabel

Variabel Dependen

Definisi Parameter Skala Ukuran IPM (Y) Variabel Independe n PAD (X1) BM (X2)

Pengukuran perbandingan dari Harapan, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain.

Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Nilai IPM Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara

Penelitian ini menggunakan nilai realiasi PAD yang diperoleh dari masing-masing APBD Kabupaten/ Kota se-Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan nilai realisasi Belanja Modal PAD yang diperoleh dari masing-masing APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara.

Rasio

Rasio

Rasio


(55)

X2 : Belanja Modal tahun 2006 dan 2007 Y1 : IPM tahun 2007 dan 2008

â0.. â2 : Konstanta

å : Error Term

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda. Analisis regresi bermanfaat terutama untuk tujuan peramalan (estimation) yaitu bagaimana variabel independen digunakan untuk mengestimasi nilai variabel dependen. Penelitian ini pada dasarnya menguji hipotesis tentang pengaruh PAD dan Belanja Modal secara simultan dan parsial terhadap IPM. Sebelum melakukan uji hipotesa terlebih dahulu dilakukan olah uji asumsi klasik.

4.6.1. Pengujian Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik diperlukan sebelum dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian asumsi klasik yang dilakukan yaitu uji normalitas, outlier, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

4.6.1.1. Uji normalitas

Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel independen dan dependen memiliki distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik apabila distribusi data normal atau mendekati normal (Ghozali, 2005). Uji normalitas dideteksi dengan melihat penyebaran data pada sumbu diagonal dari grafik atau dapat juga dengan melihat histogram dari residualnya. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi


(56)

asumsi normalitas, begitu juga sebaliknya. Jika terdapat data yang tidak normal maka uji metode bisa dilakukan dengan uji outler.

4.6.1.2. Uji outlier

Menurut Erlina dan Mulyani (2007) uji ini berguna untuk melihat apakah ada data yang outlier, yaitu data yang mempunyai nilai sangat menyimpang dari nilai data lainnya. Salah satu sebab terjadi distribusi tidak normal karena ada yang outlier yaitu karena ada data ekstrim yang tidak bisa dihindari keberadaannya. Selanjutnya menurut Hair et.al (1998) dalam Erlina (2008) cara untuk mengatasi data yang outlier dengan cara trimming yaitu membuang data outlier yang mempunyai nilai absolut skor Z (standardizedscore) sama atau melebihi 3.

4.6.1.3. Uji multikolinearitas

Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2005). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Pengujian multikolinearitas pada penelitian ini dilakukan dengan uji collinierity statistic. Menurut (Ghozali, 2005) dalam melakukan uji multikolinearitas harus terlebih dahulu diketahui Variance Inflation Factor (VIF). Pedoman untuk mengambil suatu keputusan adalah sebagai berikut:

1. Jika Variance Inflation Factor (VIF) > 10, maka artinya terdapat persoalan multikolinieritas diantara variabel bebas.

2. Jika Variance Inflation Factor (VIF) < 10, maka artinya tidak terdapat persoalan multikolinieritas diantara variabel bebas.


(57)

4.6.1.4. Uji autokorelasi

Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain (Hanke dan Reitsch, 1998 dalam Kuncoro, 2001). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan pengujian Durbin-Watson (DW) dengan melihat model regresi linear berganda. Jika nilai Durbin-Watson berada di bawah angka 2 maka model tersebut terbebas dari autokorelasi (Lubis et.al, 2007). Syarat untuk dilakukannya pengujian Durbin-Watson (DW) apabila berbedanya kesimpulan antara satu orang dengan yang lainnya dan gambar terlihat mempunyai skala yang berbeda.

4.6.1.5. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah di dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variasi dari data pengamatan yang satu ke pengamatan yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas ini adalah dengan melihat pola sebaran pada grafik scatter plot. Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas dan jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005).

4.6.2. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis yang dilakukan meliputi uji F (uji signifikansi simultan) dan uji t (uji signifikansi parameter individual).


(58)

4.6.2.1. Koefisien determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) atau Adjusted R2 bertujuan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai R2 atau Adjusted R2 adalah di antara nol dan satu. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen dan sebaliknya jika mendekati nol.

4.6.2.2. Uji statistik F

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Adapun langkah-langkah dalam pengambilan keputusan untuk uji F adalah sebagai berikut:

Ho : â = 0, maka PAD dan Belanja Modal tidak berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap IPM.

Ha : â ≠ 0, maka PAD dan Belanja Modal berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap IPM.

Kriteria pengujian adalah:

P Value (sig) < 0,05 = H0 ditolak

P Value (sig)> 0,05 = H0 diterima

4.6.2.3. Uji statistik t

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat.


(59)

Adapun langkah-langkah dalam pengambilan keputusan untuk uji t adalah sebagai berikut:

Ho : â = 0, maka PAD dan Belanja Modal tidak berpengaruh secara parsial terhadap IPM.

Ha : â ≠ 0, maka PAD dan Belanja Modal berpengaruh secara parsial terhadap IPM. Kriteria pengujian adalah:

P Value (sig) < 0,05 = H0 ditolak P Value (sig)> 0,05 = H0 diterima


(60)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode statistik diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:

5.1.1. Statistik Deskriptif

Tabel 5.1 berikut ini menyajikan deskriptif statistik atas variabel-variabel yang terlihat dalam penelitian ini.

Tabel 5.1. Statistik Variabel Descriptive Statistics

Mean

Std.

Deviation N

IPM 72.8034 2.56562 38

PAD 30.84753 67.496608 38 Belanja Modal 63.50871 47.938261 38

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 30.847.530.000 dan standard deviasinya sebesar 67,496608. Pemerintah Kabupaten dan Kota yang memiliki PAD minimum adalah sebesar Rp. 1.497.070.000 yaitu berada di Kabupaten Nias Selatan, hal ini disebabkan karena Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah otonomi yang baru terbentuk. Sedangkan PAD yang paling tinggi berada di Kota Medan sebesar Rp. 312.862.350.000 karena pendapatan PBB, Pajak Hotel dan Restoran cukup tinggi.


(61)

Pendapatan asli daerah (PAD) adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus di pacu pertumbuhannya. Adapun yang termasuk sumber-sumber pendapatan daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 55 yaitu Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu: pajak daerah, retribusi daerah bagian laba usaha daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.

Untuk kemandirian suatu daerah otonomi, maka kinerja keuangan pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara sangat dituntut melalui peningkatan PAD. Jika PAD naik maka dapat dikatakan kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota tersebut naik (meningkat). Beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kontribusi PAD tersebut terhadap total penerimaan daerah.

a. Badan Usaha Milik Daerah pada umumnya belum beroperasi secara efisien yang tercermin pada laba bersih yang dihasilkan.

b. Kurangnya kesadaran masyarakat membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya.

c. Masalah peraturan-peraturan PAD yang perlu disesuaikan dan disempurnakan lagi.

d. Rendahnya tingkat dan ekonomi masyarakat yang biasanya hal ini tercermin dalam pendapatan masyarakat.

Rata-rata Belanja Modal (BM) 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 63.508.710.000 dan standard deviasinya sebesar 47,938261. Pemerintah Kabupaten dan Kota yang memiliki BM minimum adalah sebesar


(62)

Rp. 4.744.340.000 yaitu berada di Kabupaten Nias Selatan, sedangkan BM paling tinggi berada di Kota Medan sebesar Rp. 215.676.830.000.

BM merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Rata-rata IPM 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara sebesar 72,8034 dan standard deviasinya sebesar 2,56562. Pemerintah Kabupaten dan Kota yang memiliki IPM minimum adalah 64,50 yaitu berada di Kabupaten Nias Selatan, sedangkan IPM paling tinggi berada di Kota Pematang Siantar sebesar 76,95.

Metode yang dipakai dalam Indonesia sama dengan metode UNDP, untuk memastikan hasilnya dapat dibandingkan dengan gambaran internasional. Walau bagaimanapun juga berkaitan dengan ketersediaan data dan juga untuk alasan beberapa substansi maka beberapa modifikasi dari metode. Sebagian dari perbedaan itu adalah pengukuran pencapaikan pendidikan dalam komponen IPM diganti angka rata-rata lama sekolah menjadi kontribusi angka partisipasi kasar pendidikan dasar, sekunder dan tertier. Hal lain yang berbeda dengan laporan dunia (global report) ialah pemakaian database untuk menggambarkan pendapatan. Laporan dunia memakai GDP per kapita, sedangkan Indonesia memakai pengeluaran per kapita. Untuk rincian lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 2.


(63)

5.1.2. Uji Asumsi Klasik

Oleh karena hipotesa akan diuji dengan memakai alat Uji Regresi, maka harus dilakukan terlebih dahulu Uji Asumsi Klasik yang terdiri dari: Uji Normalitas, Uji Multikolinearitas, Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas.

5.1.2.1. Uji normalitas

Hasil pengujian normalitas data pada variabel PAD, BM dan IPM diperoleh hasil sebagai berikut:

Gambar 5.1. Histogram Uji Normalitas

Berdasarkan tampilan histogram dan kurva normal yang berbentuk lonceng maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan sudah berdistribusi normal. Analisa lebih lanjut dengan menggunakan Normal Probability Plot of Regression


(1)

pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5.2.2. Pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Hasil pengujian diperoleh hasil bahwa BM secara parsial tidak berpengaruh terhadap IPM. Hal ini disebabkan pengaruh BM dalam jangka pendek tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil penelitian tidak sejalan dengan peneliti terdahulu Christy (2009) yaitu BM berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dapat diterima (terbukti). Di mana nilai adjusted R square cukup besar, yaitu 0,435 atau 43,6%. Hubungan BM terhadap kualitas IPM sangat kuat dalam jangka panjang.

Untuk rentang waktu jangka panjang (lebih dari setahun) kemungkinan ada pengaruh yang signifikan pengaruh BM secara parsial terhadap IPM. BM merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk membantu operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja Pemerintah Kabupaten/Kota bukan untuk dijual.


(2)

meningkatkan kualitas pendidikan dan standard kehidupan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan IPM.

Namun penelitian ini tidak memisahkan alokasi BM perbidang seperti pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, air bersih, kelautan dan perikanan serta pertanian. Selain itu, pengalokasian BM per bidang di tiap-tiap daerah berbeda-beda tergantung dari prioritas pembangunan nasional yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah. Peneliti tidak dapat mengetahui secara rinci sarana dan prasarana apa saja yang dibangun pemerintah yang menggunakan BM dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat selain itu terdapat perbedaan BM untuk masing-masing Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis sehingga diketahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengujian hipotesis secara simultan menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

2. Pengujian hipotesis secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Pengujian hipotesis secara parsial Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Christy (2009) bahwa belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia pada Kabupaten/


(4)

6.2. Keterbatasan

1. Keterbatasan penelitian ini yaitu data PAD, BM dan IPM yang digunakan hanya daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, sehingga hasil penelitian ini perlu pengujian lagi untuk daerah Kabupaten/Kota Provinsi lain.

2. Penelitian menggunakan model regresi dengan lag satu tahun sehingga tidak dapat diketahui apakah PAD, dan BM dalam jangka lebih panjang semakin berpengaruh dalam peningkatan IPM atau malah terjadi penurunan.

6.3. Saran

1. Penelitian berikutnya disarankan menggunakan data yang lebih lengkap dan rentang waktu yang lebih panjang sehingga besarnya pengaruh PAD, dan BM terhadap IPM lebih teruji. Data BM sebaiknya dilakukan pemisahan alokasi perbidang sehingga dapat diketahui mana saja yang memiliki peranan jangka pendek dan jangka panjang terhadap peningkatan IPM.

2. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan model regresi dengan lag lebih dari setahun sehingga dapat diketahui apakah PAD, dan BM dalam jangka lebih panjang semakin berpengaruh dalam peningkatan IPM atau malah terjadi penurunan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy dan Abdul Halim. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STE1 No.

2/Th. XIII/25/April-Juni 2004. Yogyakarta. Hlm. 90-109.

Abimanyu, Anggito. 2005. Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang

Tindih. Bapekki Depkeu. Jakarta.

Adi, Priyo Hari. 2006. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Volume 08, No.

01, February 2007. Hlm. 1450 -1465.

Berita Sore. 2008. Puluhan Triliun Dana APBD Se Sumut Akan Disinergikan

Memacu Pembangunan. http://beritasore.com diakses tanggal 17 Juni 2010.

Christy, Fhino Andrea. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal

dan Kualitas Pembangunan Manusia.

Departemen Keuangan. http://www.djpk.depkeu.go.id, diakses tanggal 15 Juni 2010. Departemen Komunikasi dan Indormasi. 2008. Dana Alokasi Khusus untuk Bantu

Daerah dalam Pembangunan. http://balitbang.depkominfo.go.id, di akses

tanggal 21 Juli 2010.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2006. Sosialisasi Kebijakan dan Perhitungan Dana Perimbangan Tahun

2007. http://www.perbendaharaan.go.id, diakses tanggal 25 Juli 2010

Erlina. 2008. Pengaruh Set Kesempatan Investasi terhadap Nilai Perusahaan: Peran


(6)

Irawan, Ari. 2009. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Transfer Pemerintah Pusat dan Belanja Modal terhadap Pendapatan Perkapita Masyarakat di Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Program Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana USU. Medan. (tidak dipublikasikan).

Lubis, Ade Fatma, Arifin Akhmad, dan Firman Syarif 2007. Aplikasi SPSS

(Statistical Product and Service Soutions) untuk Penyusunan Skripsi dan Tesis. USU Press. Medan.

Ndadari, Laras Wulan dan Priyo Hari Adi. 2008. Perilaku Asimetris Pemerintah

Daerah terhadap Transfer Pemerintah Pusat. The 2nd National Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008.

Nurlina. 2004. Analisis Pengaruh Anggaran Belanja Rutin dan Anggaran Belanja Pembangunan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nanggroe Aceh Darussalam.

Tesis. Program Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana USU. Medan. (tidak

dipublikasikan).

Ramzuhri. 2008. Pengaruh Pertumbuhan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten di Sumatera Utara. Tesis. Program Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana USU. Medan. (tidak dipublikasikan).

Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.

. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

Sinulingga, Budi D. 2009. Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah

terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Walidi. 2009. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pendapatan Perkapita, Belanja Modal sebagai Intervening Variabel (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara). Tesis. Program Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana USU. Medan. (tidak dipublikasikan).