Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor KB Di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASANGAN USIA SUBUR MENJADI AKSEPTOR KB DI KELURAHAN BABURA

KECAMATAN MEDAN SUNGGAL KOTA MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH: AFNI ANDINI NIM. 101000320

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASANGAN USIA SUBUR MENJADI AKSEPTOR KB DI KELURAHAN BABURA

KECAMATAN MEDAN SUNGGAL KOTA MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

AFNI ANDINI NIM. 101000320

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

ABSTRAK

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan meningkatkan sumber daya manusia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui program Keluarga Berencana yang berorientasi pada Norma Keluarga Kecil Berencana Sejahtera (NKKBS). Meskipun program KB dinyatakan cukup berhasil di Indonesia namun dalam pelaksanaannya masih mengalami berbagai macam hambatan, diantaranya masih banyak pasangan usia subur (PUS) yang tidak menggunakan alat kontrasepsi. Faktor-faktor yang memengaruhi Pasangan Usia Subur (PUS) menjadi akseptor KB diantaranya adalah faktor pendidikan, faktor pengetahuan, faktor paritas dan faktor budaya (kepercayaan).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur (PUS) menjadi akseptor KB berdasarkan pendidikan, pengetahuan, paritas dan budaya (kepercayaan) di (Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012). Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan cara mengolah data yang disebarkan kepada responden dengan populasi akseptor Pasangan Usia Subur (PUS). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling dengan besar sampel sebanyak 62 PUS. Data dianalisa dengan uji Chi Squaredengan α 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tinggi (72,6%), tingkat pengetahuan buruk (54,8%), paritas > 2 orang (91,9%) dan budaya (kepercayaan) negatif (93,5%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan dan paritas dengan PUS menjadi akseptor KB, tetapi terdapat hubungan antara pengetahuan dan budaya (kepercayaan) dengan PUS menjadi akseptor KB.

Diharapkan kepada petugas pelayanan KB Kelurahan agar lebih proaktif dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada PUS agar mereka lebih mengerti dan memahami manfaat program KB dan mengubah paradigma terhadap nilai (kepercayaan) yang ada di masyarakat


(4)

ABSTRACT

There are many efforts have been taken by the government to controlling population growth and improving human resources. One of the efforts is through by Family Planning programs that oriented to Small Family Norm Happy Prosperous. Although the Family Planning program in Indonesia stated quite successful, but the implementation is still a lot of couples of childbearing age who do not use contraceptives. The factors affecting couples of childbearing age become Family Planning acceptors such as, educational factor, knowledge factor, parity factor and cultural (belief) factor.

This research aims to determine the factors that affect couples of childbearing age become acceptors of Family Planning based on education, knowledge, parity and cultural (belief) in (Sub-urban of Babura, Sub-district of Medan Sunggal, Medan of 2012). This research is descriptive-analytical by processing the data that distributed to the respondents by population in couples of childbearing age as an acceptor. The sampling was tested by Purposive Sampling with a large of sample of 62 repondents in couples of childbearing age. The data was tested by Chi Square test with α 0,05.

The results of research showed that higher levels of education is (72,6%), low knowledge level is (54,8%), parity of > 2 childs is (91,9%) and culture (belief) negative is (93,5%). The results of bivariate analysis showed there was no correlation between education and parity with couples of childbearing age become acceptors of Family Planning. But there is a correlation between knowledge and cultural (belief) with couples of childbearing age become acceptors of Family Planning.

It is expected that family planning officials in sub-urban area to be more pro-active in providing outreach to the public especially for couples of childbearing age in order for them to better understand and comprehend the benefits of Family Planning and may change the paradigm of the values (belief) that exist in the community of public

Keywords: The Factors Affecting Couples of Childbearing Age, Acceptors of Family Planning


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Afni Andini

Tempat/Tanggal Lahir : Marbau / 28 Juli 1989

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin Jumlah Anggota Keluarga : 1 (Satu) Orang

Alamat Rumah : Jl. Besar Marbau No. 13 Kelurahan Marbau Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhan Batu Utara

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1993-1994 : TK Marsel

2. Tahun 1994-2000 : SD Negeri 112310 Marbau 3. Tahun 2000-2003 : MTs Swasta Alwasliyah Marbau 4. Tahun 2003-2006 : SMA Negeri 1 Marbau

5. Tahun 2006-2009 : Akademi Kebidanan Senior Medan 6. Tahun 2010-2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis masih bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012” merupakan salah satu syarat unuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Penulis menyadari hingga selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak teristimewa kepada Orang tua yang penulis sayangi dan cintai Ayahanda (Syahwinal Dalimunthe) dan Ibunda (Nuraisyah, S.Pd) yang telah memberikan banyak dukungan baik moril dan materil, do’a dan pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Heru Santosa, MS, P.hD selaku Ketua Departemen Kependudukan dan Biostatistika FKM USU

3. Ibu Asfriyati, SKM, M.kes selaku Dosen Pembimbing I Skripsi penulis. 4. Ibu Maya Fitria, SKM, M.kes selaku Dosen Pembimbing II Skripsi penulis. 5. Ibu Dr. Ir. Evawani. Y. A. M.kes selaku Dosen Penasehat Akademik yang

membantu penulis selama masa perkuliahan.

6. Bapak dan Ibu dosen serta pegawai/tenaga non-edukatif FKM USU yang turut mendukung persiapan penyelesaian skripsi ini.


(7)

7. Bapak Syahrudin, seluruh pegawai BKKBN Propinsi Sumatera Utara dan pegawai BKKBN Kota Medan yang turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu pegawai kecamatan, kelurahan, kepling Babura yang telah membantu penulis dalam menyediakan data-data yang membantu penulis. 9. Buat Kekasih, Sahabat sekaligus Best Motivator yang selalu ada buatku "My

Lala" terima kasih atas seluruh dukungan dan bantuannya buat penulis.

10.Buat Sepupuku tersayang Julia Budiarty, S.sos dan Ayu Irma Putri Hasibuan dan Seluruh The Rumpil Family yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih banyak atas dukungannya selama ini.

11.Buat Sahabat bin Tetanggaku "Cikguku Nuzul" dan buat se-rekan tim sukses KB "Jeng Srik dan Bg Pahottor" terima kasih atas dukungan dan semangatnya buat penulis.

12.Buat rekan-rekan mahasiswa seperjuangan di FKM USU dan seluruh teman-teman seangkatan Ex A 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungannya buat penulis.

13.Buat seluruh mahasiswa Kespro FKM USU atas dukungannya buat penulis. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan tulisan ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tulisan ini. Dan dengan segala keterbatasan yang ada penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin...

Medan, Januari 2013


(8)

DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Pasangan Usia Subur (PUS) ... 9

2.2. Program Keluarga Berencana (KB)... 9

2.2.1 Sejarah dan Perkembangan KB ... 9

2.2.2 Pengertian KB ... 10

2.2.3 Tujuan Program KB... 11

2.2.4 Sasaran Program KB... 12

2.3. Kontrasepsi... 13

2.3.1 Pengertian kontrasepsi ... 13

2.3.2 Jenis dan Metode Kontrasepsi ... 13

2.4 Akseptor KB ... 22

2.5. Faktor Keikutsertaan PUS Menjadi Akseptor KB ... 24

2.5.1 Faktor Pendidikan ... 24

2.5.2 Faktor Pengetahuan ... 25

2.5.3 Faktor Paritas... 26

2.5.4 Faktor Budaya (Kepercayaan) ... 27

2.6. Kerangka Konsep ... 28

2.7. Hipotesis Penelitian ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Desain Penelitian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 29

3.3.1 Populasi ... 29

3.3.2 Sampel ... 30

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.5 Defenisi Operasional ... 31

3.6 Aspek Pengukuran ... 32


(9)

3.8 Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 35

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 35

4.1.1 Letak geografis ... 35

4.1.2 Demografi ... 36

4.2. Analisis Univariat ... 36

4.2.1 Distribusi Faktor yang Memengaruhi PUS Menjadi Akseptor KB ... 36

4.2.2 PUS Menjadi Akseptor KB ... 38

4.3. Analisis Bivariat ... 39

4.3.1 Hubungan Pendidikan dengan PUS Menjadi Akseptor KB.. 39

4.3.2 Hubungan Pengetahuan dengan PUS Menjadi Akseptor KB 40 4.3.3 Hubungan Paritas dengan PUS Menjadi Akseptor KB ... 41

4.3.4 Hubungan Budaya (Kepercayaan) dengan PUS Menjadi Akseptor KB ... 41

BAB V PEMBAHASAN ... 43

5.1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan PUS Menjadi Akseptor KB... 43

5.2. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan PUS Menjadi Akseptor KB... 44

5.3. Hubungan Tingkat Paritas dengan PUS Menjadi Akseptor KB ... 46

5.4. Hubungan Budaya (Kepercayaan) dengan PUS Menjadi Akseptor KB... 47

BAB VI PENUTUP ... 50

6.1. Kesimpulan ... 50

6.2. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Distribusi Pencapaian Peserta KB Kota Medan Tahun 2011…..5

Tabel 2.2 Distribusi Data PUS Per kelurahan Kecamatan Medan Sunggal Peserta KB di Pelayanan Pemerintah dan Swasta...5

Tabel 4.1 Distribusi Pendidikan Responden Tahun 2012...36

Tabel 4.2 Distribusi Pengetahuan RespondenTahun 2012………...37

Tabel 4.3 Distribusi Paritas Responden Tahun 2012………...37

Tabel 4.4 Distribusi Budaya (Kepercayaan) Responden Tahun 2012....… .38

Tabel 4.5 Distribusi PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012………...38

Tabel 4.6 Distribusi Tingkat Pendidikan dengan PUS Menjadi Akseptor KBTahun 2012…...39

Tabel 4.7 Distribusi Tingkat Pengetahuan dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012...40

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Tingkat Paritas dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012………...41

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Budaya (Kepercayaan) dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012………...………...42


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 28


(12)

ABSTRACT

There are many efforts have been taken by the government to controlling population growth and improving human resources. One of the efforts is through by Family Planning programs that oriented to Small Family Norm Happy Prosperous. Although the Family Planning program in Indonesia stated quite successful, but the implementation is still a lot of couples of childbearing age who do not use contraceptives. The factors affecting couples of childbearing age become Family Planning acceptors such as, educational factor, knowledge factor, parity factor and cultural (belief) factor.

This research aims to determine the factors that affect couples of childbearing age become acceptors of Family Planning based on education, knowledge, parity and cultural (belief) in (Sub-urban of Babura, Sub-district of Medan Sunggal, Medan of 2012). This research is descriptive-analytical by processing the data that distributed to the respondents by population in couples of childbearing age as an acceptor. The sampling was tested by Purposive Sampling with a large of sample of 62 repondents in couples of childbearing age. The data was tested by Chi Square test with α 0,05.

The results of research showed that higher levels of education is (72,6%), low knowledge level is (54,8%), parity of > 2 childs is (91,9%) and culture (belief) negative is (93,5%). The results of bivariate analysis showed there was no correlation between education and parity with couples of childbearing age become acceptors of Family Planning. But there is a correlation between knowledge and cultural (belief) with couples of childbearing age become acceptors of Family Planning.

It is expected that family planning officials in sub-urban area to be more pro-active in providing outreach to the public especially for couples of childbearing age in order for them to better understand and comprehend the benefits of Family Planning and may change the paradigm of the values (belief) that exist in the community of public

Keywords: The Factors Affecting Couples of Childbearing Age, Acceptors of Family Planning


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Situasi dan kondisi Indonesia dalam bidang kependudukan, kualitasnya saat ini masih sangat memprihatinkan. Hal ini merupakan suatu fenomena yang memerlukan perhatian dan penanganan secara seksama. Hingga saat ini telah dilakukan berbagai usaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, terutama melalui pengendalian angka kelahiran atau fertilitas. Upaya penurunan angka kelahiran ini dilakukan dengan cara pemakaian kontrasepsi secara sukarela kepada pasangan usia subur. Dengan pemakaian kontrasepsi oleh pasangan usia subur yang semakin memasyarakat diharapkan semakin banyak kehamilan dan kelahiran yang dapat dicegah, yang kemudian akan menurunkan angka kelahiran atau fertilitas (BkkbN, 2005).

Tahun 2010 jumlah penduduk dunia telah mencapai sekitar 6 miliar jiwa dan jumlah penduduk Indonesia menempati urutan ke empat dunia yaitu 242 juta jiwa. Tingkat pertumbuhan sekitar 1,48% per tahun dan tingkat kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2,6 anak per wanita. Jumlah penduduk Indonesia setiap saat mengalami peningkatan, padahal pemerintah telah berupaya untuk menargetkan idealnya 2,1 anak per wanita. Meski begitu, masih ada saja dari keluarga Indonesia yang senang mempunyai anak banyak (BkkbN, 2009).

Menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN) dan United Nations Population Found UNFPA (2005) pelaksanaan program KB masih mengalami beberapa hambatan. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, masih sekitar 46% Pasangan Usia Subur (PUS) yang belum menjadi akseptor KB. Dari rekapitulasi laporan pengendalian program KB nasional tingkat Provinsi Sumatera Utara pada bulan Januari tahun 2009 diketahui bahwa dari 2.041.398 Pasangan Usia Subur, terdiri dari peserta


(14)

KB aktif sebanyak 1.309.498 Pasangan Usia Subur (64,14%), dan Pasangan Usia Subur yang bukan merupakan peserta KB sebanyak 731.900 orang (BkkbN, 2009).

Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, cenderung masih sangat mempercayai mitos-mitos terdahulu. Misalnya, banyak anak akan banyak rezeki. Banyak anak akan banyak kegembiraan di hari tua (jika semua anaknya bisa bergantian membahagiakannya). Bagi masyarakat kita, yang cenderung dinamis dalam bidang ekonomi dan sosial, atau makin meningkat kemakmuran hidupnya, jumlah anak sering dianggap bukan masalah yang memberatkan. Dalam hal ini, target program KB dengan semboyan "dua anak lebih baik" sering dianggap sebagai usang yang mungkin cuma cocok bagi masyarakat statis yang hidup dalam garis kemiskinan (BkkbN, 2010).

Menurut World Health Organization (WHO) Keluarga Berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapat kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan. Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto, 2004).

Program KB ini mempunyai visi NKKBS dan telah dirubah menjadi keluarga berkualitas tahun 2015. Sehingga melalui program KB ini dapat dilakukan penilaian pelayanan KB yang berkualitas dengan mengikut sertakan menitikberatkan pada strategi agar pelayanan lebih mudah diperoleh dan peserta diterima oleh berbagai pasangan usia subur sehingga pasangan usia subur tertarik menjadi akseptor KB (Sarwono, 2005).

Meskipun program KB dinyatakan cukup berhasil di Indonesia, namun dalam pelaksanaan hingga saat ini juga masih mengalami hambatan-hambatan yang dirasakan antara lain adalah masih banyak pasangan usia subur yang masih belum menjadi peserta KB. Dari hasil penelitian yang diketahui banyak alasan dikemukakan oleh wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi, antara lain karena mereka menginginkan anak. Alasan yang cukup


(15)

menonjol adalah karena masalah kesehatan yang ditimbulkan dari efek samping ber-KB, karena masalah agama dan sosial budaya juga karena alasan yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yaitu biaya yang mahal (BkkbN, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Radita Kusumaningrum (2009) mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan PUS di kota Semarang disimpulkan faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada pus adalah jumlah anak (p=0,049), dan tingkat pendidikan (p=0,081).

Kemudian jika dilihat dari menurut hasil penelitian Nikmah Choiriah (2010) mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pasangan Usia subur (PUS) tidak menggunakan alat kontrasepsi di Dusun II Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas segi demografi yaitu berdasarkan umur 26-30 tahun 12 orang (48%), berdasarkan pekerjaan 15 orang (60%) bekerja, 21 orang (84%) beragama islam dan paritas melahirkan 3 kali 16 orang (64%), pengetahuan responden berada dalam klasifikasi cukup 17 responden (68%), 20 orang (80%) menyatakan bahwa ada efek samping sebagai akibat ber-KB, dari segi pendapatan keluarga mendukung sebanyak 15 orang (60%) untuk tidak berKB, mayoritas 20 responden (80%) dari segi agamanya mendukung untuk ber-KB, Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan setiap faktor masih memengaruhi ketidakikutsertaan pasangan usia subur dalam menggunakan alat kontrasepsi.

Begitu juga dengan penelitian lain dari Tri Wijayanti (2009) dengan judul “Faktor Sosial Budaya dan Pelayanan Kontrasepsi yang Berkaitan dengan Kesertaan KB IUD” menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara pendidikan ibu dan nilai budaya dengan kesertaan KB IUD di Kecamatan Gembong Kabupaten Kebumen.

Sehubungan dengan hal di atas, Hartanto (2004) mengemukakan semua jajaran pembangunan diajak untuk ikut menangani program KB dengan sebaik-baiknya. Juga


(16)

sekaligus mengajak semua pasangan usia subur yang potensial untuk menjadi akseptor KB yang lestari.

Berdasarkan hasil survey BkkbN pada tahun 2010 di Sumatera Utara, jumlah Pasangan Usia Subur sebanyak 2.120.692 peserta, pasangan yang menjadi peserta KB aktif pada tahun 2010 sebanyak 1.424.630. Sementara pasangan usia subur yang bukan peserta KB ada sebanyak 716.739 (BkkbN, 2010).

Tabel 1.1 Pencapaian Peserta KB Kota Medan Tahun 2011 NO Kecamatan Jumlah PUS Jumlah Pencapaian

Pemerintah Swasta

%

1 Medan Kota 8354 1999 2953 59

2 Medan Timur 14138 2986 6189 65

3 Medan Barat 8579 2071 3770 68

4 Medan Baru 5783 1657 1978 63

5 Medan Denai 23455 7979 6446 62

6 Medan Labuhan 19488 8137 5151 68

6 Medan Johor 18376 4814 8213 71

7 Medan Belawan 17073 5350 6218 68

8 Medan Deli 24373 7330 8102 63

9 Medan Tembung 19785 3897 8140 61

10 Medan Tuntungan 11689 3021 4740 66

11 Medan Sunggal 17900 4201 6245 58

12 Medan Petisah 9793 2158 4071 64

13 Medan Helvetia 24244 6390 8763 63

14 Medan Polonia 7243 2970 1635 64

15 Medan Maimun 5216 1012 2316 64


(17)

17 Medan Amplas 21086 5551 7335 61

18 Medan Area 13935 3525 5209 63

19 Medan Marelan 20917 4057 10377 69

20 Medan Perjuangan 13772 3363 5040 61

(Data Laporan Badan Pemerdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan 2011)

Tabel 1.2 Data PUS Per Kelurahan Kecamatan Medan Sunggal Peserta KB di Pelayanan Pemerintah Dan Swasta

NO Kelurahan Jumlah PUS Peserta KB

Pemerintah Swasta

%

1 Lalang 3049 776 1097 61.42

2 Sunggal 4771 894 2220 65.27

3 Tanjung Rejo 4421 1023 1728 62.22

4 Sei Kambing B 3917 1107 1274 60.78

5 Babura 1545 353 438 51.19

6 Simpang Tanjung 197 24 97 61.42

(Data Laporan Badan Pemerdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan 2011)

Dari data laporan pencapaian peserta KB dari 21 Kecamatan di Kota Medan yang paling rendah pencapaiannya ada di Kecamatan Medan Sunggal pencapaian hanya sekitar 10445 PUS (58 %) dari 17900 PUS. Kebanyakan penduduk di Kecamatan Medan Sunggal bekerja di sektor swasta seperti karyawan swasta dengan jumlah 16.245 orang dan disusul yang berprofesi sebagai pedagang 15.351 orang. Selain itu jika dilihat dari data Kecamatan Medan Sunggal tahun 2011 banyak juga diantara penduduk Kecamatan Medan Sunggal itu berprofesi tidak tetap atau dalam keadaan perekonomian yang sulit yaitu berkisar 2.950 orang. Kebanyakan penduduk di Kelurahan Sunggal berada pada umur 15-44 tahun dan memiliki jumlah anak > 3 orang.


(18)

Sedangkan untuk di Kelurahan Medan Sunggal yang paling kecil pemanfaatannya ada di Kelurahan Babura dari 1545 PUS hanya 791 (51.19 %) PUS yang menggunakan KB. Jumlah penduduk Kelurahan Babura tahun 2011 tercatat sebanyak 11967 jiwa yang terdiri dari 5899 laki-laki (49,29%) dan 6068 perempuan (50,71%). Mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan 5664 jiwa (47,33%) dan suku yang paling dominan adalah suku batak yaitu 6291 jiwa (52,56%) dimana suku batak yang ada di kelurahan Babura ini masih sangat memegang teguh budaya (kepercayaan) yang diwarisi dari leluhur mereka terdahulu yaitu Filosofi 3H "Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon". Dalam kultur masyarakat Batak, pencapaian 3H ini merupakan ukuran keberhasilan pencapaian dan kesuksesan seseorang. Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai 3H tersebut, bekerja keras menuntut ilmu agar bisa "Hamoraon" (Kaya), kemudian membina rumah tangga dan memiliki banyak keturunan "Hagabeon" (Memiliki banyak keturunan) dan yang terakhir berusaha mencapai tingkatan tertinggi dalam kehidupan yaitu menjadi pribadi yang sempurna "Hasangapon" (Memiliki kehidupan yang terhormat).

Menurut survey awal di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan didapat bahwa dari 10 PUS hanya 3 orang yang menggunakan KB, sementara 7 orang lagi tidak menggunakan KB dengan alasan 4 orang diantaranya mengatakan memang tidak mau menggunakan KB karena masih mengikuti budaya (kepercayaan) filosofi 3H tersebut dan diantara 3 lainnya mengatakan tidak cocok menggunakan KB karena efek sampingnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik mengambil judul fakor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan.


(19)

1.2 Perumusan Masalah

Masih rendahnya keikutsertaan pasangan usia subur menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1) Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan.

2) Tujuan Khusus

a. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB berdasarkan pendidikan.

b. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB berdasarkan pengetahuan.

c. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB berdasarkan paritas.

d. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB berdasarkan budaya (kepercayaan).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan ada manfaatnya terutama :

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi peneliti sehingga peneliti dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang jelas dan lengkap tentang Keluarga Berencana kepada pasangan usia subur yang ada di


(20)

Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal sehingga dapat meningkatkan keikutsertaan pasangan usia subur menjadi akseptor KB di wilayah tersebut. 3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan informasi bagi

peneliti lain yang terkait dengan program KB.

4) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan informasi bagi pelaksana pelayanan keluarga berencana dalam merencanakan program peningkatan cakupan Keluarga Berencana pada pasangan usia subur.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasangan Usia Subur (PUS)

Pasangan suami istri yang pada saat ini hidup bersama, baik bertempat tinggal resmi dalam satu rumah ataupun tidak, dimana umur istrinya antara 15 tahun sampai dengan 44 tahun. Batasan umur yang digunakan disini adalah 15 sampai 44 tahun dan bukan 15–49 tahun. Hal ini tidak berarti berbeda dengan perhitungan fertilitas yang menggunakan batasan 15–49, tetapi dalam kegiatan keluarga berencana mereka yang berada pada kelompok 45–49 bukan merupakan sasaran keluarga berencana lagi. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa mereka yang berada pada kelompok umur 45–49 tahun, kemungkinan untuk melahirkan lagi sudah sangat kecil sekali (Wirosuhardjo, 2004).

2.2 Program Keluarga Berencana

2.2.1. Sejarah Dan Perkembangan Program Keluarga Berencana

Gerakan KB bermula dari kepeloporan beberapa tokoh di dalam dan luar negeri. Pada awal abad 19 di Inggris upaya KB timbul atas prakarsa sekelompok orang yang menaruh perhatian pada masalah kesehatan ibu antara lain Maria Stopes pada tahun 1880-1950 yang mengatur kehamilan kaum buruh di Inggris. Margareth Sanger (1883-1966) merupakan pelopor KB modern di AS yang telah mengembangkan tentang Program Birth Control, bermula pada tahun 1917 mendirikan National Birth Control (NBC). Pada tahun 1952 diresmikan berdirinya International planned parenthood federation (IPPF) dan sejak saat itu berdirilah perkumpulan-perkumpulan KB diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Pelopor KB di Indonesia, yaitu Dr Sulianti


(22)

Saroso pada tahun 1952 menganjurkan para ibu untuk membatasi kelahiran, karena Angka Kelahiran Bayi sangat tinggi. Sedangkan di DKI Jakarta mulai dirintis dibagian kebidanan dan kandungan FKUI/RSCM oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo. Pada tanggal 23 Desember 1957 PKBI diresmikan oleh dr.R.Soeharto sebagai ketua.

Program KB di Indonesia mengalami perkembangan pesat, ditinjau dari sudut, tujuan, ruang lingkup geografi, pendekatan, cara operasional dan dampaknya terhadap pencegahan kelahiran. Tahap selanjutnya program KB menjadi gerakan KB yang ditujukan terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dilandasi oleh undang-undang no 10 tahun 1992 tentang kependudukan dan keluarga sejahtera. Pada tanggal 29 juni 1994 Presiden Soeharto mencanangkan gerakan pembangunan keluarga sejahtera yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas dan ketahanan masing-masing keluarga (Suratun, 2008).

2.2.2. Pengertian Keluarga Berencana

Menurut WHO (World Health Organization) keluarga berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu yaitu dengan:

a. Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan b. Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan c. Mengatur interval di antara kelahiran

d. Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri, dan e. Menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto, 2004

2.2.3 Tujuan Program KB

Secara umum tujuan 5 tahun kedepan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan visi dan misi program KB adalah membangun kembali dan melestarikan


(23)

pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB nasional yang kuat dimasa mendatang, sehingga visi untuk mewujudkan keluarga berkualitas 2015 dapat tercapai.

Tujuan utama program KB Nasional adalah untuk memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat/angka kematian ibu bayi, dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil berkualitas.

Tujuan gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi :

1. Tujuan demografi yaitu mencegah terjadinya ledakan penduduk dengan menekan laju pertumbuhan penduduk (LPP) dalam hal ini tentunya akan diikuti dengan menurunkan angka kelahiran.

2. Mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan, menunda kehamilan anak pertama dan menjarangkan kehamilan setelah kelahiran anak pertama serta menghentikan kehamilan bila dirasakan anak telah cukup.

3. Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi pasangan yang telah menikah lebih dari satu tahun tetapi belum juga mempunyai keturunan, hal ini memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia.

4. Married Conseling atau nasehat perkawinan bagi pasangan yang akan menikah dengan harapan bahwa pasangan akan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi dalam membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas. 5. Tujuan akhir KB adalah tercapainya NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan

Sejahtera) dan membentuk keluarga berkualitas (Noviawaty, 2008).

2.2.4 Sasaran Program KB 1. Sasaran langsung yaitu:


(24)

Pasangan Usia Subur (PUS) yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15–44 tahun.

2. Sasaran tidak langsung yaitu :

a) Pelaksana dan pengelola KB, dengan cara menurunkan tingkat kelahiran melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang berkualitas, keluarga sejahtera (Handayani, 2010). b) Organisasi–organisasi, lembaga kemasyarakatan serta instansi pemerintah

maupun swasta serta tokoh masyarakat dan pemuka agama yang diharapkan dapat memberikan dukungan dalam melembagakan NKKBS (Suratun, 2008).

2.3 Kontrasepsi

2.3.1. Pengertian kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata “Kontra” yang berarti mencegah atau melawan dan “Konsepsi” yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Jadi, kontrasepsi adalah upaya mencegah pertemuan sel telur matang dan sperma untuk mencegah kehamilan.

2.3.2 Jenis dan Metode kontrasepsi

Kontrasepsi yang baik harus memiliki syarat-syarat antara lain aman, dapat diandalkan, sederhana (sebisa mungkin tidak perlu dikerjakan oleh dokter), murah, dapat diterima oleh orang banyak, dan dapat dipakai dalam jangka panjang. Sampai saat ini belum ada metode atau alat kontrasepsi yang benar-benar 100% ideal.

Jenis-jenis kontrasepsi yang tersedia antara lain:


(25)

1) Tanpa alat

a) Pantang berkala b) Metode kalender

c) Metode suhu badan basal d) Metode lendir serviks e) Metode simpto-termal f) Coitus interruptus 2) Dengan alat

a) Mekanis (barrier) - Kondom pria

- Barier intra vaginal antara lain: diafragma, kap serviks, spons, dan kondom wanita.

b) Kimiawi

- Spermisid antara lain: vaginal cresm, vaginal foam, vaginal jelly, vaginal suppositoria, vaginal tablet dan vaginal soluble film.

B. Metode modern

1. Kontrasepsi hormonal a) Pil KB

b) AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)/IUD (Intra Uterine Devices) c) Suntikan KB

d) Susuk KB 2. Kontrasepsi mantap


(26)

b) Medis Operatif Wanita (MOW)

Berdasarkan lama efektivitasnya, kontrasepsi dapat dibagi menjadi:

1. MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), yang termasuk dalam kategori ini adalah jenis susuk/implant, IUD, MOP dan MOW.

2. Non MKJP (Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), yang termasuk dalam kategori ini adalah kondom, pil, suntik, dan metode-metode lain selain metode yang termasuk dalam MKJP.

1. Kondom pria

Kondom adalah selubung tipis dari karet, vinil, atau produk alamiah dapat berwarna maupun tidak berwarna, biasanya ditambahkan spermisida untuk perlindungan tambahan, serta digunakan untuk menutupi penis sesaat sebelum berhubungan. Mekanisme kerja kondom adalah dengan cara menghalangi masuknya spermatozoa ke dalam traktus genitalia interna wanita. Efektivitas kondom sendiri tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 3-4 kehamilan per 100 wanita selama tahun pertama.

Pemakaian kondom memiliki keuntungan dan kerugian seperti:

1) Keuntungan kondom: a. Mencegah kehamilan

b. Memberi perlindungan terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS) c. Dapat diandalkan

d. Sederhana, ringan dan mudah digunakan

e. Tidak memerlukan pemeriksaan medis, supervisi atau follow-up f. Reversibel


(27)

h. Efektif segera setelah dipasang i. Tidak mempengaruhi kegiatan laktasi

j. Dapat digunakan sebagai pendukung metode kontrasepsi lain k. Tidak mengganggu kesehatan

l. Tidak ada efek samping sistemik

m.Mudah didapatkan dan tidak perlu resep dokter n. Murah karena digunakan dalam jangka pendek 2) Kerugian kondom:

a. Efektivitas dipengaruhi kesediaan akseptor mematuhi instruksi yang diberikan dan motivasi akseptor

b. Efektivitas tidak terlalu tinggi

c. Perlu menghentikan aktivitas dan spontanitas hubungan seks guna memasang kondom

d. Dapat mengurangi sensitifitas penis sehingga ereksi sukar dipertahankan

2. Pil KB

Pil KB biasanya megandung Estrogen dan Progesteron. Cara kerja pil KB adalah dengan cara menggantikan produksi normal Estrogen dan Progesteron dan menekan hormon yang dihasilkan ovarium dan relesing faktor yang dihasilkan otak sehingga ovulasi dapat dicegah. Efektivitas metode ini secara teoritis mencapai 99% atau 0,1–5 kehamilan per 100.


(28)

Wanita pada pemakaian di tahun pertama bila digunakan dengan tepat. Tetapi dalam praktek ternyata angka kegagalan pil masih cukup tinggi yaitu mencapai 0,7-7%. Keuntungan dan kerugian pemakaian pil KB antara lain:

1) Keuntungan pil KB:

a. Efektivitasnya tinggi bila diminum secara rutin

b. Nyaman, mudah digunakan, dan tidak mengganggu senggama c. Reversibilitas tinggi

d. Efek samping sedikit

e. Mudah didapatkan, tidak selalu perlu resep dokter karena pil KB dapat diberikan oleh petugas non medis yang terlatih

f. Dapat menurunkan resiko penyakit-penyalit lain seperti kanker ovarium, kehamilan ektokpik, dan lain-lain.

2) Kerugian pil KB:

a. Efektivitas tergantung motivasi akseptor untuk meminum secara rutin tiap hari b. Rasa mual, pusing, kencang pada payudara dapat terjadi

c. Efektivitas dapat berkurang bila diminum bersama obat tertentu d. Kemungkinan untuk gagal sangat besar karena lupa

e. Tidak dapat melindungi dari resiko tertularnya Penyakit Menular Seksual

3. Kontrasepsi suntik

Kontrasepsi suntik yang biasa tersedia adalah Depo-provera yang hanya mengandung Progestin dan diberikan tiap 3 bulan. Cara kerja kontrasepsi suntik yaitu dengan mencegah ovulasi, mengentalkan lerndir serviks, dan menghambat perkembangan siklis endometrium. Efektivitas dari kontrasepsi suntik sangat tinggi mencapai 0,3 kehamilan per 100 wanita selama tahun pertama penggunaan. Angka


(29)

kegagalan metode ini <1 kehamilan per 100 wanita per tahun. Keuntungan dan kerugian metode ini adalah:

1) Keuntungan kontrasepsi suntik: a. Sangat efektif

b. Memberikan perlindungan jangka panjang selama 3 bulan

c. Bila digunakan bersama pil KB dapat mengurangi resiko yang ditimbulkan karena lupa meminum pil KB

d. Tidak mengganggu senggama

e. Bisa diberikan oleh petugas non medis yang terlatih

f. Mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh Estrogen karena metode ini tidak mengandung Estrogen

2) Kerugian kontrasepsi suntik: a. Berat badan naik

b. Siklus menstruasi kadang terganggu

c. Pemulihan kesuburan kadang-kadang terlambat

4. Susuk/implant

Kontrasepsi susuk yang sering digunakan adalah Norplant. Susuk adalah kontrasepsi sub-dermal yang mengandung Levonorgestrel (LNG) sebagai bahan aktifnya. Mekanisme kerja Norplant yang pasti belum dapat dipastikan tetapi mungkin sama seperti metode lain yang hanya mengandung Progestin. Norplant memiliki efek mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks dan menghambat perkembangan siklis endometrium. Efektivitas Norplant sangat tinggi mencapai 0,05-1 kehamilan per 100


(30)

wanita dalam tahun pertama pemakaian. Angka kegagalan Norplant <1 kehamilan per 100 wanita per tahun dalam 5 tahun pertama pemakaian. Angka kegagalan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan metode barier, pil KB, dan IUD. Keuntungan dan kerugian Norplant antara lain:

1) Keuntungan Norplant:

a. Norplant merupakan metode kontrasepsi yang sangat efektif b. Tidak merepotkan dan tidak mengganggu senggama

c. Resiko untuk lupa lebih kecil dibandingkan pil KB dan suntikan karena Norplant dipasang tiap 5 tahun

d. Mudah diangkat dan segera setelah diangkat kesuburan akseptor akan kembali e. Pemasangan dapat dilakukan oleh petugas non medis yang terlatih

f. Dapat mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh Estrogen karena Norplant tidak mengandung Estrogen

g. Lebih efektif secara biaya karena walaupun harganya mahal tetapi masa pemakaiannya mencapai 5 tahun.

2) Kerugian Norplant:

a. Efektivitas dapat berkurang bila digunakan bersama obat-obatan tertentu b. Merubah siklus haid dan meningkatkan berat badan

c. Tergantung pada petugas

d. Tidak melindungi dari resiko tertularnya PMS

5. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) atau IUD (Intra Uterine Devices) AKDR adalah kontrasepsi yang terbuat dari plastik halus berbentuk spiral atau berbentuk lain yang dipasang di dalam rahim dengan memakai alat khusus oleh dokter atau paramedis lain yang terlatih. Mekanisme kerja AKDR belum diketahui tetapi


(31)

kemungkinan AKDR menyebabkan perubahan-perubahan seperti munculnya sel-sel radang yang menghancurkan blastokis atau spermatozoa, meningkatkan produksi prostaglandin sehingga implantasi terhambat, serta bertambah cepatnya pergerakan ovum di tuba falopii. Efektivitas IUD mencapai 0,6–0,8 kehamilan per 100 wanita selama tahun pertama penggunaannya. Angka kegagalan IUD 1–3 kehamilan per 100 wanita per tahun. Keuntungan dan kerugian pemakaian AKDR antara lain:

1) Keuntungan AKDR: a. Efektivitas tinggi

b. Dapat memberikan perlindungan jangka panjang sampai dengan 10 tahun c. Tidak mengganggu hubungan seksual

d. Efek samping akibat Estrogen dapat dikurangi karena AKDR hanya mengandung Progestin

e. Tidak ada kemungkinan gagal karena kesalahan akseptor KB f. Reversibel

g. Dapat disediakan oleh petugan non medis terlatih h. Akseptor hanya kembali ke klinik bila muncul keluhan 2) Kerugian AKDR:

a. Perlunya pemeriksaan pelvis dan penapisan PMS sebelum pemasangan

b. Butuh pemerikasaan benang setelah periode menstruasi jika terjadi kram bercak atau nyeri

c. Akseptor tidak dapat berhenti menggunakan kapanpun ia mau

6. Metode Operatif Pria (MOP)

MOP merupakan suatu metode kontrasepsi operatif minor yang aman, sederhana dan sangat efektif, memakan waktu operasi relatif singkat dan tidak


(32)

memerlukan anestesi umum. MOP dilakukan dengan cara memotong vas deferens sehingga sperma tidak dapat mencapai air mani dan air mani yang dikeluarkan tidak mengandung sperma. Efektivitas sangat tinggi mencapai 0,1–0,15 kehamilan per 100 wanita selama tahun pertama pemakaian. Angka kegagalan <1 kehamilan per 100 wanita. Keuntungan dan kerugian MOP antara lain:

1) Keuntungan MOP: a. Sangat efektif

b. Tidak mengganggu senggama c. Tidak ada perubahan fungsi seksual

d. Baik untuk klien yang bila mengalami kehamilan akan membahayakan jiwanya 2) Kerugian MOP:

a. Permanen dan kesuburan tidak dapat kembali normal b. Efek tertunda sampai 3 bulan atau 20 kali ejakulasi

c. Nyeri setelah prosedur serta komplikasi lain akibat pembedahan dan anestesi d. Hanya dapat dilakukan oleh dokter yang terlatih

e. Tidak memberi perlindungan terhadap PMS

7. Metode Operatif Wanita (MOW)

MOW adalah tindakan operasi minor untuk mengikat atau memotong kedua tuba falopii sehingga ovum dari overium tidak akan mencapai uterus dan tidak akan bertemu dengan spermatozoa. Efektivitas MOW sekitar 0,5 kehamilan per 100 wanita selama tahun pertama pemakaian, sedikit lebih rendah dibandingkan MOP. Keuntungan dan kerugian MOW antara lain:


(33)

a. Sangat efektif b. Segera efektif c. Permanen

d. Tidak mengganggu senggama

e. Baik untuk klien yang bila mengalami kehamilan akan membahayakan jiwanya f. Pembedahan sederhana dan hanya perlu anestesi lokal

g. Tidak ada efek samping jangka panjang h. Tidak ada gangguan seksual

2) Kerugian MOW: a. Permanen

b. Nyeri setelah prosedur serta komplikasi lain akibat pembedahan dan anestesi c. Hanya dapat dilakukan oleh dokter yang terlatih

d. Tidak memberi perlindungan terhadap PMS

e. Meningkatkan resiko kehamilan ektopik (Sarwono, 2003).

2.4 Akseptor Keluarga Berencana A.Akseptor KB

Akseptor KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan jarak anak serta waktu kelahiran (Stright, 2004).

B.Jenis-Jenis Akseptor KB

1. Akseptor aktif adalah akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah satu cara/alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan.

2. Akseptor aktif kembali adalah pasangan usia subur yang telah menggunakan kontrasepsi selama 3 (tiga) bulan atau lebih yang tidak


(34)

diselingi suatu kehamilan, dan kembali menggunakan cara alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti/istirahat kurang lebih 3 (tiga) bulan berturut–turut dan bukan karena hamil.

3. Akseptor KB baru adalah akseptor yang baru pertama kali menggunakan alat/obat kontrasepsi atau pasangan usia subur yang kembali menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan atau abortus.

4. Akseptor KB dini adalah para ibu yang menerima salah satu cara kontrasepsi dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus. 5. Akseptor langsung adalah para istri yang memakai salah satu cara

kontrasepsi dalam waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus.

6. Akseptor drop out adalah akseptor yang menghentikan pemakaian kontrasepsi lebih dari 3 bulan (BkkbN, 2007).

C. Akseptor KB menurut sasarannya 1. Fase menunda kehamilan

Masa menunda kehamilan pertama sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang istrinya belum mencapai usia 20 tahun. Karena usia di bawah 20 tahun adalah usia yang sebaiknya menunda untuk mempunyai anak dengan berbagai alasan. Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu kontrasepsi dengan pulihnya kesuburan yang tinggi, artinya kembalinya kesuburan dapat terjamin 100%. Hal ini penting karena pada masa ini pasangan belum mempunyai anak, serta efektifitas yang tinggi.

2. Fase mengatur/menjarangkan kehamilan

Periode usia istri antara 20-30 tahun merupakan periode usia paling baik untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2-4 tahun.


(35)

Kriteria kontrasepsi yang perlukan yaitu efektifitas tinggi, reversibilitas tinggi karena pasangan masih mengharapkan punya anak lagi. Kontrasepsi dapat dipakai 3-4 tahun sesuai jarak kelahiran yang direncanakan.

3. Fase mengakhiri kesuburan/tidak hamil lagi

Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30 tahun tidak hamil. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan hal ini dapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko tinggi bagi ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan untuk mempunyai anak lagi.

2.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi PUS Menjadi Akseptor KB

Faktor-faktor yang memengaruhi PUS menjadi akseptor KB adalah faktor pendidikan, faktor pengetahuan, faktor paritas dan faktor budaya (kepercayaan). Selain faktor-faktor di atas, ternyata pemilihan jenis kontrasepsi yang akan digunakan juga tergantung dari kebutuhan masing-masing akseptor. Kebutuhan akseptor tersebut disesuaikan dengan Masa Reproduksi Sehat. Masa Reproduksi Sehat wanita dibagi menjadi 3 periode yaitu: kurun reproduksi muda (15-19 tahun) merupakan tahap menunda kehamilan, kurun reproduksi sehat (20-35 tahun) merupakan tahap untuk menjarangkan kehamilan dan kurun reproduksi tua (36-45) tahun merupakan tahap untuk mengakhiri kehamilan. (BkkbN, 2003).

2.5.1 Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan seseorang sangat menentukan dalam pola pengambilan keputusan dan penerimaan informasi dari pada seseorang yang berpendidikan rendah. Pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan dan persepsi seseorang tentang pentingnya suatu hal, termasuk dalam perannya dalam program KB. Pada akseptor KB


(36)

dengan tingkat pendidikan rendah, keikutsertaannya dalam program KB hanya ditujukan untuk mengatur kelahiran. Sementara itu pada akseptor KB dengan tingkat pendidikan tinggi, keikutsertaannya dalam program KB selain untuk mengatur kelahiran juga untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga karena dengan cukup dua anak dalam satu keluarga dan laki-laki atau perempuan sama saja maka keluarga kecil bahagia dan sejahtera dapat tercapai dengan mudah. Hal ini dikarenakan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki pandangan yang lebih luas tentang suatu hal dan lebih mudah untuk menerima ide atau cara kehidupan baru. Dengan demikian, tingkat pendidikan juga memiliki hubungan dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang akan digunakan (Bappenas, 2009).

2.5.2 Faktor Pengetahuan

Salah satu pelayanan yang tersedia dalam program KB adalah pelayanan kontrasepsi. Pelayanan kontrasepsi akan berhasil dengan baik bila masyarakat mengenal berbagai jenis kontrasepsi yang tersedia. Akan tetapi, pengenalan berbagai jenis kontrasepsi ini cukup sulit karena hal ini menyangkut pola pengambilan keputusan dalam masyarakat itu sendiri. Proses pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi meliputi empat tahap yaitu tahap pengetahuan (knowledge), tahap persuasi (persuasion), tahap pengambilan keputusan (decision), dan tahap konfirmasi (confirmation). Suatu inovasi dapat diterima maupun ditolak setelah melalui tahap-tahap tersebut. Inovasi ditolak bila inovasi tersebut dipaksakan oleh pihak lain, inovasi tersebut tidak dipahami, inovasi tersebut dinilai sebagai ancaman terhadap nilai-nilai penduduk. Sementara itu, inovasi yang diterima tidak akan diterima secara menyeluruh tetapi bersifat selektif dengan berbagai macam pertimbangan.


(37)

Tingkat pengetahuan masyarakat akan mempengaruhi penerimaan program KB di masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Laksmi Indira (2009) menemukan bahwa ”Sekali wanita mengetahui tempat pelayanan kontrasepsi, perbedaan jarak dan waktu bukanlah hal yang penting dalam menggunakan kontrasepsi, dan mempunyai hubungan yang signifikan anatara pengetahuan tentang tempat pelayanan dan metode kontrasepsi yang digunakan. Wanita yang mengetahui tempat pelayanan kontrasepsi lebih sedikit menggunakan metode kontrasepsi tradisional.” Pengetahuan yang benar tentang program KB termasuk tentang berbagai jenis kontrasepsi akan mempertinggi keikutsertaan masyarakat dalam program KB (Notoatmodjo, 2003).

2.5.3 Faktor Paritas

Paritas yang dimaksud di sini adalah berapa kali ibu melahirkan didalam satu keluarga sampai pada saat wawancara dilakukan (BPS, 2009). Setiap anak memiliki nilai, maksudnya setiap anak merupakan cerminan harapan serta keinginan orang tua yang menjadi pedoman dari pola pikir, sikap maupun perilaku dari orang tua tersebut. Dengan demikian, setiap anak yang dimiliki oeh pasangan suami istri akan memberi pertimbangan tentang apakah mereka ingin memiliki anak dan jika ingin, berapa jumlah yang diinginkan.

Jumlah anak berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan tinggi umumnya lebih mementingkan kualitas anak daripada kuantitas anak. Sementara itu pada keluarga miskin, anak dianggap memiliki nilai ekonomi. Umumnya keluarga miskin memiliki banyak anak dengan harapan anak-anak tersebut dapat membantu orang tuanya bekerja. Jumlah anak juga dapat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan setempat yang menganggap anak laki-laki lebih bernilai dari anak perempuan. Hal ini mengkibatkan pasangan suami istri


(38)

berusaha untuk menambah jumlah anak mereka jika belum mendapatkan anak laki-laki.

Jumlah anak berkaitan erat dengan program KB karena salah satu misi dari program KB adalah terciptanya keluarga dengan jumlah anak yang ideal yakni dua anak dalam satu keluarga, laki-laki maupun perempuan sama saja. Para wanita umumnya lebih menyadari bahwa jenis kelamin anak tidak penting sehingga bila jumlah anak sudah dianggap ideal maka para wanita cenderung untuk mengikuti program KB. Dengan demikian, jenis kontrasepsi yang banyak digunakan adalah jenis kontrasepsi untuk wanita (BkkbN, 2010).

2.5.4 Faktor Budaya (Kepercayaan)

Sejumlah faktor budaya dapat memengaruhi klien dalam memilih metode kontrasepsi. Faktor-faktor ini meliputi salah pengertian dalam masyarakat mengenai berbagai metode, kepercayaan religius, serta tingkat pendidikan dan persepsi mengenai resiko kehamilan dan status wanita. Penyedia layanan harus menyadari bagaimana faktor-faktor tersebut memengaruhi pemilihan metode di daerah mereka dan harus memantau perubahan–perubahan yang mungkin mempengaruhi pemilihan metode. Oleh karena itu, agar program KB dapat berjalan dengan lancar diperlukan pendekatan secara menyeluruh termasuk pendekatan kepada tokoh masyarakat ataupun tokoh agama. Peran tokoh masyarakat dan agama dalam program KB sangat penting karena peserta KB memerlukan pegangan, pengayoman dan dukungan yang kuat yang hanya dapat diberikan oleh tokoh masyarakat ataupun tokoh agama (BkkbN, 2010).


(39)

2.6 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.7 Hipotesis Penelitian

Dari gambar kerangka konsep di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh faktor pendidikan terhadap keikutsertaan PUS menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012.

2. Ada pengaruh faktor pengetahuan terhadap keikutsertaan PUS menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012. 3. Ada pengaruh faktor paritas terhadap keikutsertaan PUS menjadi akseptor KB di

Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012.

4. Ada pengaruh faktor budaya (kepercayaan) terhadap keikutsertaan PUS menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012.

1. Pendidikan 2. Pengetahuan 3. Paritas

4. Budaya (Kepercayaan)

PUS menjadi akseptor KB


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pasangan usia subur menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal. Penelitian ini diukur satu kali saja dalam kurun waktu yang bersamaan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota medan. Waktu penelitian yang dilakukan mulai dari bulan Agustus sampai dengan Januari 2013.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan usia subur mulai dari usia 15–44 tahun yang bertempat tinggal di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian obyek yang diambil pada saat penelitian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili populasi (Sugiyono, 2008). Pengambilan sampel pada penelitian dilakukan secara Purposive Sampling. Tehnik


(41)

pengambilan sampel ini didasarkan pada suatu pertimbangan tidak adanya kerangka sampel, besarnya jumlah populasi dan luasnya wilayah penelitian.

Sedangkan besar sampel tunggal untuk uji hipotesis diketahui dengan menggunakan rumus: (Sastroasmoro, 2002).

[Z1-α/2 �Po(1−Po) + Z1-β�Pa(1−Pa) ]2 n =

(Pa – Po)2 Dimana:

n = Besar sampel minimum

Z1-α/2 = Nilai distribusi normal baku pada α 5% sebesar 1,96 Z1-β = Nilai distribusi normal baku pada β 10% sebesar 1,282

Po = Proporsi pasangan usia subur (PUS) yang menjadi akseptor KB sebesar 0,5 Pa = Proporsi pasangan usia subur (PUS) yang diharapkan menjadi akseptor KB

sebesar 0,7 Maka:

[Z1-α/2 �Po(1−Po) + Z1-β�Pa(1−Pa) ]2 n =

(Pa – Po)2

[1,96 �0,5(0,5) + 1,282�0,7(0,3) ]2 n =

(0,7 – 0,5)2 n = 61,43

Berdasarkan perhitungan besar sampel, maka besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 62 pasangan usia subur.


(42)

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari PUS melalui pengukuran dengan membagikan kuesioner untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi PUS menjadi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari catatan dan laporan Dinas Kesehatan Kota Medan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana melalui surat izin Litbang Kota Medan dan kantor Kecamatan Medan Sunggal bagian keluarga berencana untuk mengetahui jumlah PUS, target dan pencapaian program KB.

3.5 Definisi Operasional

1. Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh responden dengan memperoleh ijazah

2. Pengetahuan adalah pengetahuan yang dimiliki responden tentang KB. 3. Paritas adalah berapa kali ibu melahirkan didalam satu keluarga

4. Budaya (kepercayaan) adalah: dimana seseorang yang percaya menaruh sikap positif terhadap aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat yang dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang melarang pembatasan anak.

5. Pasangan usia subur adalah pasangan suami istri yang pada saat ini hidup bersama, baik bertempat tinggal resmi dalam satu rumah ataupun tidak, dimana umur istrinya antara 15 tahun sampai dengan 44 tahun.

6. Akseptor KB adalah istri atau wanita usia subur yang menggunakan salah satu cara/alat kontrasepsi.


(43)

3.6 Aspek Pengukuran

1. Pendidikan diukur melalui tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh responden dengan memperoleh ijazah. Selanjutnya dari hasil pengukuran pendidikan dikategorikan menjadi:

a) Tingkat pendidikan rendah : Tidak tamat SD, SD, SLTP. b) Tingkat pendidikan tinggi : SLTA, Akademi/Sarjana

2. Pengetahuan diukur melalui jawaban kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 10 pertanyaan. Setiap jawaban yang benar akan diberi skor 1 dan jawaban yang salah akan diberi skor 0. Total skor maksimal adalah 10 dan total skor minimal adalah 0 (Khomsan, 2000). Tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi 3 kategori:

a) Baik: Apabila responden menjawab soal >75% dengan benar, atau dengan total skor responden 8-10

b) Sedang: Apabila responden menjawab soal 40-75% dengan benar, atau dengan total skor responden 4-7

c) Buruk: Apabila responden menjawab soal <40% dengan benar, atau dengan total skor responden 1-3

3. Paritas atau berapa kali ibu melahirkan didalam satu keluarga. Selanjutnya dari hasil pengukuran jumlah anak hidup dikategorikan berdasarkan tujuan Program Keluarga Berencana, yaitu:

a) ≤ 2 orang b) > 2 orang

4. Budaya diukur melalui variabel budaya yang didasarkan dari 5 buah pertanyaan dengan menggunakan Rating Scale. Setiap pertanyaan memiliki


(44)

bobot nilai 4. Pemberian skor setiap poin jawaban sebagai berikut. Tiap pertanyaan terdiri dari 1 pilihan jawaban dan jawaban yang benar diberi skor 4 dan jawaban yang salah diberi skor 0 (Sugiyono, 2008).

Skor tertinggi yang bisa diperoleh responden adalah 20 dan dikategorikan menjadi :

a) Positif : Apabila jawaban responden benar ≥ 65% dengan total nilai 20).

b) Negatif : Apabila jawaban responden benar < 65% dengan total nilai (0- 12).

5. PUS menjadi akseptor KB, dikelompokkan berdasarkan dua kategori berdasarkan tujuan Program Keluarga Berencana, yaitu:

a) Ikut serta menjadi akseptor KB b) Tidak ikut serta menjadi akseptor KB

3.7 Teknik Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul diolah secara manual dan komputerisasi untuk mengubah data menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan. Coding, yaitu memberikan kode numerik atau angka kepada masing-masing kategori. Data entry yaitu memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputerisasi.


(45)

3.8 Teknik Analisa Data

Analisa data dilakukan dua tahap, yaitu: 1. Dengan Analisa Univariat

Untuk menggambarkan (mendeskripsikan) masing-masing variabel independen dan variabel dependen dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.

2. Dengan Analisa Bivariat

Untuk melihat hubungan masing-masing variabel independen dengan variabel dependen, menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan (level of significance) (α) = 0,05.

Dengan kriteria:

1. Ho ditolak jika p < α (0,05) maka ada pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen.

2. Terima Ho jik a p > α (0 ,05) maka tidak ada pengaruh diantara variabel independen dengan variabel dependen.


(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Geografis

Kelurahan Babura berada di Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan. Secara geografis Kelurahan Babura memiliki luas 106 Ha. Kelurahan Babura terdiri dari 11 Lingkungan yaitu Lingkungan I Sei Batang Hari, Lingkungan II Sei Kapuas, Lingkungan III Sei Brantas, Lingkungan IV Sei Simare, Lingkungan V Sei Bilah, Lingkungan VI Sei Bilah M/2, Lingkungan VII Sei Mencirim, Lingkungan 8 Sei Rokan, Lingkungan IX Sei Bengawan, Lingkungan X Sei Musi dan Lingkungan XI Sei Serayu. Jarak Kelurahan Babura ke Pusat Pemerintahan Kecamatan ±1 km, ke Ibukota Kabupaten/Kota ±7 km, dan Ibukota Propinsi ±9 km.

Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Babura adalah sebagai berikut:

− Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sei Sikambing, Kecamatan

Medan Petisah

− Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan PB. Selayang I Kecamatan

Medan Selayang

− Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Rejo Kecamatan

Medan Sunggal

− Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Babura Kecamatan Medan


(47)

4.1.2. Demografi

Berdasarkan Profil Kelurahan Babura Tahun 2012 diketahui jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Babura yaitu sebanyak 11.967 jiwa. Terdiri dari 2.807 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah PUS 1.545 dan dari 1.545 PUS yang menjadi akseptor KB baru hanya 791 orang.

4.2. Analisis Univariat

Analisis Univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel independen (bebas) dan dependen (terikat) dalam penelitian yang meliputi: faktor pendidikan, faktor pengetahuan, faktor paritas dan faktor budaya (kepercayaan).

4.2.1. Distribusi Faktor yang Memengaruhi PUS Menjadi Akseptor KB

Pada penelitian ini yang menjadi responden adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang berumur 15-44 tahun yang bertempat tinggal di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal dengan kriteria PUS yang cocok ber-KB baik yang menggunakan alat kontrasepsi maupun yang tidak menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan pengumpulan data di lapangan diperoleh distribusi pendidikan yang secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1

Distribusi Pendidikan Responden Tahun 2012

No Pendidikan Jumlah Persentase

1. Pendidikan Rendah 17 27,4

2. Pendidikan Tinggi 45 72,6

Jumlah 62 100

Dari tabel 4.1. menunjukkan bahwa pendidikan responden yang lebih banyak adalah Pendidikan Tinggi yaitu sebesar 45 responden (72,6%), dan yang lebih sedikit adalah Pendidikan Rendah yaitu sebesar 17 responden (27,4%).


(48)

Tabel 4.2

Distribusi Pengetahuan RespondenTahun 2012

No Pengetahuan Jumlah Persentase

1. Baik 14 22,6

2. Sedang 14 22,6

3. Buruk 34 54,8

Jumlah 62 100

Dari tabel 4.2. menunjukkan bahwa pengetahuan responden yang lebih banyak adalah buruk yaitu sebesar 34 responden (54,8%), dan yang lebih sedikit adalah baik dan sedang yaitu masing-masing sebesar 14 responden (22,6%).

Tabel 4.3

Distribusi Paritas Responden Tahun 2012

No Paritas Jumlah Persentase

1. ≤ 2 Orang 5 8,1

2. > 2 Orang 57 91,9

Jumlah 62 100

Dari tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai jumlah anak > 2 orang yaitu sebanyak 57 responden (91,9%), dan yang lebih sedikit adalah mempunyai jumlah anak ≤ 2 orang sebanyak 5 responden (8,1%).

Tabel 4.4

Distribusi Budaya (Kepercayaan) Responden Tahun 2012

No Budaya (Kepercayaan) Jumlah Persentase

1. Positif 4 6,5

2. Negatif 58 93,5

Jumlah 62 100

Dari tabel 4.4. menunjukkan bahwa distribusi budaya (kepercayaan) responden lebih banyak negatif yaitu sebanyak 53 responden (85,5%) dan yang sedikit adalah positif sebanyak 9 responden (14,5%). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa dari 62


(49)

responden terdapat 53 responden memiliki budaya (kepercayaan) negatif yang berarti bahwa 52 responden sangat mendukung dan masih mengikuti budaya (kepercayaan) setempat yang menganggap banyak anak banyak rezeki.

4.2.2. PUS Menjadi Akseptor KB

Tabel 4.5

Distribusi PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012

No PUS Menjadi Akseptor KB Jumlah Persentase

1. Ikut Serta 10 16,1

2. Tidak Ikut Serta 52 83,9

Jumlah 62 100

Dari tabel 4.5. menunjukkan bahwa lebih banyak responden adalah tergolong dalam kategori tidak ikut serta menjadi akseptor KB yaitu sebanyak 52 responden (83,9%), dan yang lebih sedikit adalah tergolong dalam kategori ikut serta mejadi akseptor KB yaitu sebanyak 10 responden (16,1%).

4.3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel bebas yang meliputi faktor pendidikan, pengetahuan, paritas dan budaya (kepercayaan) dengan variabel terikat yaitu PUS menjadi akseptor KB yang menggunakan uji pearson chi-square. Dikatakan ada hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p < 0,05. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan uji pearson chi-square dapat dilihat dengan hasil sebagai berikut:


(50)

4.3.1. Hubungan Pendidikan dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tabel 4.6

Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012

No Pendidikan PUS Menjadi Akseptor KB N % Ikut Tidak ikut

n % n %

1. Rendah 2 11,8 15 88,2 17 100 2. Tinggi 8 17,8 37 82,2 45 100

p= 0,682

Dari tabel 4.6. dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan rendah ada 15 (88,2%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB, sedangkan pada tingkat pendidikan tinggi PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB sebanyak 37 (82,2%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p= 0,682 > α=0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna . Artinya bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan PUS menjadi akseptor KB.

4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tabel 4.7

Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012

No Pengetahuan PUS Menjadi Akseptor KB N % Ikut Tidak ikut

n % n %

1. Baik 6 42,9 8 57,1 14 100

2. Sedang 3 21,4 11 78,6 14 100

3. Buruk 1 2,9 33 97,1 34 100 p= 0,002

Dari tabel 4.7. dapat dilihat berdasarkan tingkat pengetahuan baik ada 8 (57,1%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB, dari tingkat pengetahuan sedang ada 11 (78,6%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB dan dari tingkat


(51)

pengetahuan buruk ada 33 (97,1%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p= 0,002 < α=0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna . Artinya bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan PUS menjadi akseptor KB.

4.3.3. Hubungan Paritas dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tabel 4.8

Distribusi Frekuensi Tingkat Paritas dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012

No Paritas PUS Menjadi Akseptor KB N %

Ikut Tidak ikut

n % n %

1. ≤ 2 orang 1 20 4 80 5 100

2. > 2 orang 9 15,8 48 84,2 57 100 p= 0,806

Dari tabel 4.8. dapat dilihat berdasarkan paritas (jumlah anak hidup) ≤ 2 orang ada 4 (80%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB, sedangkan pada paritas (jumlah anak hidup) > 2 orang yang tidak ikut menjadi akseptor KB sebanyak 48 (94,2%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p= 0,806 > α=0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna . Artinya bahwa tidak ada hubungan antara tingkat paritas (jumlah anak hidup) dengan PUS menjadi akseptor KB.


(52)

4.3.4. Hubungan Budaya (Kepercayaan) dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tabel 4.9

Distribusi Frekuensi Tingkat Budaya (Kepercayaan) dengan PUS Menjadi Akseptor KB Tahun 2012

No Kepercayaan PUS Menjadi Akseptor KB N %

Ikut Tidak ikut

n % n %

1. Positif 3 75 1 25 4 100

2. Negatif 7 12,1 51 87,9 58 100

p= 0,012

Dari tabel 4.9. dapat dilihat berdasarkan tingkat budaya (kepercayaan) yang positif yang tidak mendukung atau mengikuti budaya (kepercayaan) tentang banyak anak banyak rezeki ada 3 (75%) PUS yang ikut menjadi akseptor KB, sedangkan pada budaya (kepercayaan) negatif yang dalam arti responden masih mendukung dan mengikuti budaya (kepercayaan) banyak anak banyak rezeki yang tidak ikut menjadi akseptor KB sebanyak 51 (87,9%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p= 0,012 < α=0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna . Artinya bahwa ada hubungan antara budaya (kepercayaan) dengan PUS menjadi akseptor KB.


(53)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan PUS Menjadi Akseptor KB

Hasil analisis statistik memperlihatkan tidak adanya hubungan pendidikan dengan PUS menjadi akseptor KB. Dapat dilihat tingkat pendidikan baik rendah maupun tinggi lebih banyak dijumpai pada PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari 10 PUS yang ikut menjadi akseptor KB yang berpendidikan rendah sebanyak 2 (11,8%) dan yang berpendidikan tinggi sebanyak 8 (17,8%), sedangkan dari 52 PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB yang berpendidikan rendah sebanyak 15 (88,2%) sedangkan yang berpendidikan tinggi sebanyak 37 (82,2%).

Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,682 > α=0,05 sehingga Ho diterima. Dari hasil uji penelitian tersebut diketahui tidak terdapat kecenderungan bahwa pendidikan tinggi seseorang akan berpengaruh terhadap PUS menjadi akseptor KB. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Pardede (2012) bahwa tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan pemanfaatan program KB dengan hasil uji nilai p > α=0,05.

Hal ini tidak sesuai dengan teori Nursalam (2001) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan maka akan semakin mudah seseorang tersebut menerima informasi sehingga pengetahuannya akan menjadi semakin baik, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Pendidikan merupakan tingkat dasar pengetahuan yang dimilki seseorang yang menunjukkan korelasi dengan terjadinya perubahan perilaku positif yang meningkat sehingga pengetahuan juga akan meningkat.. Hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya keikutsertaan pasangan usia subur dalam hal


(54)

pendidikan dikarenakan pendidikan tidak secara langsung berdampak terhadap pengetahuan, karena pengetahuan adalah aspek kognitif pada diri manusia, sebelum menjadi suatu kegiatan yang sifatnya motorik yang akan memengaruhi sisi afektif atau sikap pada diri manusia, oleh karena itu PUS dengan pendidikan yang tinggi belum tentu baik pengetahuannya di bidang KB, sehingga akan mengubah sikap dan prilaku PUS tersebut dalam hal keikutsertaan menjadi akseptor KB atau tidak.

5.2 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan PUS Menjadi Akseptor KB

Hasil analisis statistik memperlihatkan adanya hubungan pengetahuan dengan PUS menjadi akseptor KB. Dapat dilihat dari tingkat pengetahuan baik, sedang maupun buruk lebih banyak dijumpai pada PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari 10 PUS yang ikut menjadi akseptor KB yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 6 (42,9%), memiliki pengetahuan sedang sebanyak 3 (21,4%) dan yang memilki pengetahuan buruk sebanyak 1 (2,9%) sedangkan dari 52 PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB yang memilki pengetahuan baik sebanyak 8 (57,1%), memiliki pengetahuan sedang sebanyak 11 (78,6%) dan yang memiliki pengetahuan buruk sebanyak 33 (97,1%). Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,002 < α=0,05 sehingga Ho ditolak menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikans. Artinya, bahwa pengetahuan responden sangat berpengaruh untuk mendukung PUS menjadi akseptor KB.


(55)

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Choiriah (2010) bahwa terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan keikutsertaan PUS dalam pemanfaatan alat kontrasepsi dengan hasil uji nilai p < α=0,05. Hal ini juga sejalan dengan study yang dilakukan BKKBN pusat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menunjukkan rendahnya pengetahuan menjadi salah satu faktor rendahnya keikutsertaan PUS dalam ber-KB (BKKBN, 2006). Pengetahuan berperan besar dalam memberikan wawasan kepada PUS dalam hal pembentukan sikap terhadap informasi tentang KB yang didapat. Sikap tersebut akan diikuti dengan tindakan dalam melakukan usaha-usaha untuk ikut serta menjadi akseptor KB. Sebaliknya PUS yang tidak mempunyai pengetahuan yang luas tentang KB tidak akan termotivasi untuk mengikuti program KB (Notoatmojo, 2003).

Menurut Green pengetahuan sebelum melakukan tindakan itu adalah merupakan hal yang penting (Smet, 1994). Adanya pengetahuan akan menimbulkan kesadaran seseorang yang akhirnya memicunya untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya tersebut. Semakin baik pengetahuan seseorang tentang suatu objek maka akan semakin tinggi kesadarannya untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan pengetahuannya tersebut. Menurut Gergan (2001), semakin tinggi tingkat pengetahuan jelas akan memengaruhi secara pribadi dalam berpendapat, berpikir, bersikap rasional mengambil suatu keputusan dan tindakan. Hal ini juga akan memengaruhi secara langsung seseorang dalam hal pengetahuan hidupnya termasuk dalam hal merencanakan keluarganya.

Dari hasil penelitian yang didapat untuk meningkatkan prevalensi akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Sunggal dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan mereka tentang KB dan manfaat yang didapat dari mengikuti program


(56)

KB karena terbukti bahwa mereka yang berpengetahuan baik memiliki peluang besar untuk mengambil keputusan ber-KB.

5.3 Hubungan Paritas dengan PUS Menjadi Akseptor KB

Hasil analisis statistik memperlihatkan tidak adanya hubungan paritas dengan PUS menjadi akseptor KB. Dapat dilihat dari paritas ≤ 2 orang dan > 2 orang le bih banyak dijumpai pada PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari 10 PUS yang ikut menjadi akseptor KB yang menjadi responden dengan paritas ≤ 2 orang sebanyak 1 (20%) dan PUS yang menjadi responden dengan paritas > 2 orang sebanyak 9 (15,8%), sedangkan dari 52 PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB yang menjadi responden dengan paritas ≤ 2 orang sebanyak 4 (80%) sedangkan yang menjadi responden dengan paritas > 2 orang sebanyak 48 (84,2%).

Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,806 > α=0,05 sehingga Ho diterima. Dari hasil uji penelitian tersebut dapat dilihat bahwa responden dengan paritas ≤ 2 dan > 2 orang anak dalam hal ini memiliki nilai yang hampir sama dan cenderung tidak ikut serta menjadi akseptor KB. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustina (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikans antara paritas dengan pemanfaatan alat kontrasepsi jenis susuk (implant) dengan hasil uji p = > α=0,05.

Hal ini juga tidak sesuai dengan pendapat Pastuty (2005) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi anak yang pernah dilahirkan maka akan memberikan peluang, pengalaman dan informasi yang lebih baik dan lebih banyak lagi bagi PUS untuk membatasi kelahiran. Kondisi ini akan mendorong PUS untuk ikut serta menjadi akseptor KB sesuai dengan keinginannya. Padahal akseptor yang memiliki jumlah


(57)

anak banyak belum tentu memiliki pengetahuan dan dan prilaku yang baik menjadi aseptor KB. Karena sebelum selain pengalaman dan informasi masih banyak hal-hal yang akan mengubah prilaku seseorang menuju prilaku yang positif diantaranya motivasi, kecerdasan pendidikan, pekerjaan, media massa, budaya dan lingkungan (Notoadmodjo, 2003). Oleh karena itu jika akseptor yang memiliki jumlah anak sedikit dibiarkan dengan pengetahuan dan prilaku yang kurang dalam menjadi akseptor KB mungkin akan dapat menyebabkan meningkatnya angka kegagalan KB, karena tujuan KB antara lain menjarangkan kehamilan dan mengurangi angka kelahiran untuk membantu meningkatkan kesejahteraan ibu dan menurunkan Angka Kematian Bayi.

5.4. Hubungan Budaya (Kepercayaan) dengan PUS Menjadi Akseptor KB

Hasil analisis statistik memperlihatkan adanya hubungan budaya (kepercayaan) dengan PUS menjadi akseptor KB. Dapat dilihat dari budaya (kepercayaan) baik positif maupun negatif lebih banyak dijumpai pada PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari 10 PUS yang ikut menjadi akseptor KB yang menjadi responden dengan budaya (kepercayaan) positif sebanyak 3 (75%) dan yang menjadi responden dengan budaya (kepercayaan) negatif sebanyak 7 (12,1%) sedangkan dari 52 PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB yang menjadi responden dengan budaya (kepercayaan) positif sebanyak 1 (25%) yang menjadi responden dengan budaya (kepercayaan) negatif sebanyak 51 (87,9%).

Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,012 < α=0,05 sehingga Ho ditolak menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikans. Artinya, bahwa budaya (kepercayaan) responden sangat berpengaruh untuk


(58)

mendukung PUS menjadi akseptor KB. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pardede (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan faktor nilai budaya yang ada di masyarakat dengan pemanfaatan program KB dengan hasil uji p < α=0,05.

Budaya (kepercayaan) yang ada pada daerah Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal masih menekankan kepada pasangan usia subur khususnya para istri untuk terus melahirkan selama masa reproduksinya dengan alasan anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga budaya (kepercayaan) yang mereka miliki bertentangan dengan tujuan program KB yang disebabkan oleh pengalaman, kepercayaan, religius, tradisi bangsa, kebiasaan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh para orang tua terhadap keturunan-keturunan berikutnya.

Sudarti dalam bukunya Antropologis Medis, menyatakan bahwa adanya kepercayaan dan nilai-nilai dalam suatu budaya yang dapat menghambat program KB. Misalnya dalam pemilihan jenis kelamin dalam setiap keluarga yang dominan pada suku batak yang berada di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal, para orang tua biasanya menghendaki anak laki-laki sebagai pewaris bagi keluarga mereka. Dalam hal ini jelas terdapat permasalahan, jika mereka masih belum mendapatkan jenis kelamin anak laki-laki maka mereka akan terus meningkatkan angka kelahiran dan pandangan seperti ini akan cenderung mengarah ke keluarga besar.

Hal ini sesuai dengan pendapat Maran (2004) yang menyatakan kepercayaan merupakan pola pikir tentang sesuatu yang diharapkan karena dianggap baik. Pola pikir tersebut merupakan basis pembentukan norma sosial yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan pelayanan KB yang bersumber pada pengalaman seseorang selaku anggota kelompok sosial. Hal tersebut juga berhubungan dengan faktor sosio psikologi, dimana salah satu aspek didalamnya adalah kepercayaan. Aspek tersebut


(59)

akan memengaruhi seseorang dalam pemanfaatan pelayanan KB sehingga masing-masing dari pribadi PUS yag menjadi responden akan menentukan apakah mereka akan memanfaatkan atau tidak memanfaatkan pelayanan KB yang ada disekitar wilayah tersebut.


(60)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang Faktor-faktor yang memengaruhi Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor KB di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota medan Tahun 2012 dapat diambil kesimpulan dan saran diantaranya: 6.1. Kesimpulan

1. Dari total keseluruhan 62 responden terdapat 10 (16,1%) PUS yang ikut menjadi akseptor KB dan 52 (83,9%) PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB.

2. PUS yang ikut dan tidak ikut serta menjadi akseptor KB lebih banyak dijumpai pada PUS yang berpendidikan tinggi. Oleh karena itu diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,682 > α=0,05 sehingga Ho diterima menunjukkan tidak adaya korelasi positif yang sifnifikans. Artinya, bahwa tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan tidak mendorong atau mendukung Pasangan Usia Subur (PUS) untuk ikut serta menjadi akseptor KB..

3. Dari 10 PUS yang ikut serta menjadi akseptor KB paling banyak dijumpai dengan pengetahuan baik. Sedangkan dari 52 PUS yang tidak ikut serta menjadi akseptor KB, paling banyak dijumpai dengan pengetahuan buruk. Oleh karena itu diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,002 < α=0,05 sehingga Ho ditolak menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikans. Artinya, bahwa pengetahuan berperan besar dalam memberikan wawasan kepada PUS dalam hal pembentukan sikap tentang informasi KB yang didapat, sehingga akan lebih menentukan perubahan prilaku PUS apakah akan menjadi akseptor KB atau tidak.


(1)

Tamat SLTP Count 2 6 8 % within

Pendidikan Terakhir

25.0% 75.0% 100.0%

% within Akseptor 1

20.0% 11.5% 12.9% % of Total 3.2% 9.7% 12.9%

Tamat SLTA Count 7 32 39

% within Pendidikan Terakhir

17.9% 82.1% 100.0%

% within Akseptor 1

70.0% 61.5% 62.9% % of Total 11.3% 51.6% 62.9%

Akademi/Sarjana Count 1 5 6

% within Pendidikan Terakhir

16.7% 83.3% 100.0%

% within Akseptor 1

10.0% 9.6% 9.7% % of Total 1.6% 8.1% 9.7%

Total Count 10 52 62

% within Pendidikan Terakhir

16.1% 83.9% 100.0%

% within Akseptor 1

100.0% 100.0 %

100.0% % of Total 16.1% 83.9% 100.0%


(2)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 2.293a 4 .682

Likelihood Ratio 3.672 4 .452

Linear-by-Linear Association

.865 1 .352

N of Valid Cases 62

a. 5 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,16.

Crosstabs Pengetahuan * Akseptor

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent Pengetahuan *

Akseptor 1

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

Pengetahuan * Akseptor 1 Crosstabulation

Akseptor 1

Total Ikut serta

Tidak ikut serta

Pengetahuan Baik Count 6 8 14

% within Pengetahuan

42.9% 57.1% 100.0% % within Akseptor 1 60.0% 15.4% 22.6%


(3)

Sedang Count 3 11 14 % within

Pengetahuan

21.4% 78.6% 100.0% % within Akseptor 1 30.0% 21.2% 22.6%

% of Total 4.8% 17.7% 22.6%

Buruk Count 1 33 34

% within Pengetahuan

2.9% 97.1% 100.0% % within Akseptor 1 10.0% 63.5% 54.8%

% of Total 1.6% 53.2% 54.8%

Total Count 10 52 62

% within Pengetahuan

16.1% 83.9% 100.0% % within Akseptor 1 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 16.1% 83.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 12.055a 2 .002

Likelihood Ratio 12.091 2 .002

Linear-by-Linear Association

11.845 1 .001

N of Valid Cases 62

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,26.


(4)

Crosstabs Paritas * Akseptor

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent Paritas * Akseptor

1

62 100.0% 0 .0% 62 100.0%

Paritas * Akseptor 1 Crosstabulation

Akseptor 1

Total Ikut serta

Tidak ikut serta

Paritas <= 2 orang Count 1 4 5

% within Paritas 20.0% 80.0% 100.0% % within Akseptor 1 10.0% 7.7% 8.1%

% of Total 1.6% 6.5% 8.1%

> 2 orang Count 9 48 57

% within Paritas 15.8% 84.2% 100.0% % within Akseptor 1 90.0% 92.3% 91.9%

% of Total 14.5% 77.4% 91.9%

Total Count 10 52 62

% within Paritas 16.1% 83.9% 100.0% % within Akseptor 1 100.0% 100.0% 100.0%


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .060a 1 .806

Continuity Correctionb

.000 1 1.000

Likelihood Ratio .057 1 .811

Fisher's Exact Test 1.000 .598

Linear-by-Linear Association

.059 1 .808

N of Valid Cases 62

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,81.

b. Computed only for a 2x2 table Crosstabs Budaya * Akseptor

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Budaya * Akseptor 1


(6)

Budaya * Akseptor 1 Crosstabulation Akseptor 1

Total Ikut serta Tidak ikut serta

Budaya Positif Count 3 1 4

% within Budaya 75.0% 25.0% 100.0%

% within Akseptor 1 30.0% 1.9% 6.5%

% of Total 4.8% 1.6% 6.5%

Negatif Count 7 51 58

% within Budaya 12.1% 87.9% 100.0%

% within Akseptor 1 70.0% 98.1% 93.5%

% of Total 11.3% 82.3% 93.5%

Total Count 10 52 62

% within Budaya 16.1% 83.9% 100.0%

% within Akseptor 1 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 16.1% 83.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 10.955a 1 .001

Continuity Correctionb 6.797 1 .009

Likelihood Ratio 7.563 1 .006

Fisher's Exact Test .012 .012

Linear-by-Linear Association

10.778 1 .001

N of Valid Cases 62

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,65.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pasangan Usia Subur (PUS), Akseptor KB dan Jumlah Posyandu Terhadap Jumlah Kelahiran di Kota Medan Tahun 2012

0 45 63

Faktor-faktor Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur menjadi Akseptor KB di Desa Bandar Klippa Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

6 62 58

Karakteristik Akseptor KB Di Kelurahan Setia Negara Pematangsiantar Tahun 2009

4 62 169

Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur ( PUS ) Terhadap Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Kecamatan Medan Denai

1 9 130

Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur ( PUS ) Terhadap Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Kecamatan Medan Denai

0 2 14

Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur ( PUS ) Terhadap Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Kecamatan Medan Denai

0 0 2

B. Faktor Pengetahuan - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor KB Di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasangan Usia Subur (PUS) - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor KB Di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor KB Di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan Tahun 2012

0 0 8

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PASANGAN USIA SUBUR MENJADI AKSEPTOR KB DI KELURAHAN BABURA KECAMATAN MEDAN SUNGGAL KOTA MEDAN TAHUN 2012

0 0 11