anak banyak belum tentu memiliki pengetahuan dan dan prilaku yang baik menjadi aseptor KB. Karena sebelum selain pengalaman dan informasi masih banyak hal-hal
yang akan mengubah prilaku seseorang menuju prilaku yang positif diantaranya motivasi, kecerdasan pendidikan, pekerjaan, media massa, budaya dan lingkungan
Notoadmodjo, 2003. Oleh karena itu jika akseptor yang memiliki jumlah anak sedikit dibiarkan dengan pengetahuan dan prilaku yang kurang dalam menjadi
akseptor KB mungkin akan dapat menyebabkan meningkatnya angka kegagalan KB, karena tujuan KB antara lain menjarangkan kehamilan dan mengurangi angka
kelahiran untuk membantu meningkatkan kesejahteraan ibu dan menurunkan Angka Kematian Bayi.
5.4. Hubungan Budaya Kepercayaan dengan PUS Menjadi Akseptor KB
Hasil analisis statistik memperlihatkan adanya hubungan budaya kepercayaan dengan PUS menjadi akseptor KB. Dapat dilihat dari budaya
kepercayaan baik positif maupun negatif lebih banyak dijumpai pada PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB. Dari 10 PUS yang ikut menjadi akseptor KB yang menjadi
responden dengan budaya kepercayaan positif sebanyak 3 75 dan yang menjadi responden dengan budaya kepercayaan negatif sebanyak 7 12,1 sedangkan dari
52 PUS yang tidak ikut menjadi akseptor KB yang menjadi responden dengan budaya kepercayaan positif sebanyak 1 25 yang menjadi responden dengan budaya
kepercayaan negatif sebanyak 51 87,9. Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pendidikan dengan PUS menjadi akseptor KB dengan nilai p= 0,012 α=0,05 sehingga Ho ditolak menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikans.
Artinya, bahwa budaya kepercayaan responden sangat berpengaruh untuk
mendukung PUS menjadi akseptor KB. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pardede 2012 yang menyatakan bahwa ada hubungan faktor nilai budaya
yang ada di masyarakat dengan pemanfaatan program KB dengan hasil uji p α=0,05.
Budaya kepercayaan yang ada pada daerah Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal masih menekankan kepada pasangan usia subur khususnya para istri
untuk terus melahirkan selama masa reproduksinya dengan alasan anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga budaya kepercayaan yang mereka
miliki bertentangan dengan tujuan program KB yang disebabkan oleh pengalaman, kepercayaan, religius, tradisi bangsa, kebiasaan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh
para orang tua terhadap keturunan-keturunan berikutnya. Sudarti dalam bukunya Antropologis Medis, menyatakan bahwa adanya
kepercayaan dan nilai-nilai dalam suatu budaya yang dapat menghambat program KB. Misalnya dalam pemilihan jenis kelamin dalam setiap keluarga yang dominan pada
suku batak yang berada di Kelurahan Babura Kecamatan Medan Sunggal, para orang tua biasanya menghendaki anak laki-laki sebagai pewaris bagi keluarga mereka.
Dalam hal ini jelas terdapat permasalahan, jika mereka masih belum mendapatkan jenis kelamin anak laki-laki maka mereka akan terus meningkatkan angka kelahiran
dan pandangan seperti ini akan cenderung mengarah ke keluarga besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Maran 2004 yang menyatakan kepercayaan
merupakan pola pikir tentang sesuatu yang diharapkan karena dianggap baik. Pola pikir tersebut merupakan basis pembentukan norma sosial yang berkaitan dengan
upaya memanfaatkan pelayanan KB yang bersumber pada pengalaman seseorang selaku anggota kelompok sosial. Hal tersebut juga berhubungan dengan faktor sosio
psikologi, dimana salah satu aspek didalamnya adalah kepercayaan. Aspek tersebut
akan memengaruhi seseorang dalam pemanfaatan pelayanan KB sehingga masing- masing dari pribadi PUS yag menjadi responden akan menentukan apakah mereka
akan memanfaatkan atau tidak memanfaatkan pelayanan KB yang ada disekitar wilayah tersebut.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN