Karakteristik gel – analisis profil tekstur modifikasi dari Mishra dan Rai,

50 Gambar 4.3 Bahan baku ubi kayu yang digunakan Tabel 4.1 Karakteristik bahan baku ubi kayu yang digunakan Varietas Kisaran umur panen optimal bulan Warna daging umbi Bentuk umbi Rendeman Thailand 8 – 10 Kekuningan Bulat 19,6 Kasetsar 10 – 12 Putih Lonjong 25,2 Pucuk biru 10 – 12 Putih Lonjong 28,9 Faroka 10 – 12 Putih Panjang 23,8 Adira 4 12 – 15 Putih Panjang 23,9 dari berat pati lolos ayakan 100 mesh terhadap berat umbi kupas Gambar 4.4 Penampakan granula tapioka pengamatan pada pembesaran 1000X, a: Thailand; b: Kasetsar, c: Pucuk biru, d: Faroka, e: Adira 4 51 Adejumo et al. 2011 mengelompokkan granula pati dalam empat kelom- pok ukuran: besar 25 µm, sedang 10 – 25 µm, kecil 5 – 10 µm dan sangat kecil 5 µm. Distribusi ukuran granula Gambar 4.5 dan pengelompokan ukur- an granula Tabel 4.2 menunjukkan bahwa granula tapioka dari lima varietas se- bagian besar masuk dalam kategori ukuran sedang. Jika dibandingkan antar 5 va- rietas, maka tapioka Adira 4 relatif lebih banyak memiliki granula berukuran kecil, Kasetsar lebih banyak memiliki granula berukuran sedang sementara 3 tapioka lainnya memiliki distribusi ukuran yang relatif mirip. Tabel 4.2 Persentase distribusi ukuran granula tapioka dari lima varietas ubi kayu Tapioka Diameter rata-rata µm Distribusi ukuran Sangat kecil 5 µm Kecil 5-10 µm Sedang 10-25 µm Besar 25 µm Thailand 14,12 10,92 13,87 73,34 1,86 Kasetsar 16,66 5,13 9,57 85,28 1,00 Pucuk biru 14,98 10,50 11,39 76,24 1,88 Faroka 14,69 10,27 12,38 76,01 1,35 Adira-4 12,82 9,80 19,76 70,44 0,00 Gambar 4.5 Distribusi ukuran granula tapioka Komposisi Kimia Tapioka Komposisi kimia tapioka bervariasi antar varietas, dimana varietas Thailand memiliki komposisi kimia yang relatif berbeda dari empat varietas yang lain Tabel 4.3. Sebagai pembanding, juga ditampilkan komposisi kimia tapioka dari beberapa sitasi Tabel 4.3. Perbedaan komposisi kimia ini disebabkan oleh banyak faktor dan sifatnya kompleks. Pada varietas yang sama, perbedaan dapat 52 Tabel 4.3 Komposisi kimia tapioka dari lima varietas ubi kayu data dalam g100 g bk, kecuali untuk kadar air dalam g100 g bb dan dari beberapa sitasi Komponen Tapioka data penelitian Nwokocha et al ., 2009 Sriroth et al ., 1999 Nuwamanya et al ., 2010 Abera dan Rakshit, 2003 Mishra dan Rai, 2006 a Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4 Tapioka Jagung Kentang Air 14,22 d ± 0,02 12,24 a ± 0,01 15,69 e ± 0,01 13,18 b ± 0,09 13,63 c ± 0,07 - - - - - - - Abu 0,19 d ± 0,000 0,12 a ± 0,001 0,15 c ± 0,000 0,14 b ± 0,000 0,11 a ± 0,001 0,34 ± 0,07 0,08 – 0,15 a - b 0,08 – 0,10 0,20 ± 0,05 0,36 ± 0,06 0,19 ± 0,02 Lemak 0,76 e ± 0,00 0,33 a ± 0,00 0,53 c ± 0,01 0,51 b ± 0,00 0,56 d ± 0,01 - – 0,01 0,12 – 0,38 0,06 – 0,12 0,51 ± 0,08 1,22 ± 0,16 0,32 ± 0,07 Protein 0,13 b ± 0,000 0,15 c ± 0,001 0,10 a ± 0,000 0,10 a ± 0,000 0,10 a ± 0,000 0,59 ± 0,06 0,15 – 0,30 a 0,28 – 0,52 0,25 – 0,30 0,051 ± 0,07 1,21 ± 0,15 0,61 ± 0,06 Pati 83,55 a ± 0,16 82,62 a ± 1,32 80,16 a ± 1,09 79,78 a ± 1,23 81,19 a ± 1,77 - - - - - - - Amilosa 33,13 c ± 0,16 31,81 b ± 0,04 30,88 a ± 0,25 30,92 a ± 0,12 31,13 a ± 0,12 34,30 ± 0,04 19,5 – 24,1 a 19,0 – 20,0 - 16,27 ± 0,32 , 25,60 ± 1,17 24,95 ± 0,68 Amilopektin 50,42 a ± 0,51 50,80 a ± 1,28 49,28 a ± 0,85 48,85 a ± 1,35 50,06 a ± 1,66 - - - - - - - huruf berbeda pada baris yang sa a enunjukkan perbedaan yang nyata α 0,05; a dalam g100 g bahan; b data tidak tersedia 53 disebabkan oleh lingkungan tempat tumbuh tanah, iklim, umur panen dan penanganan pasca panen Sriroth et al., 1999; Abera dan Rakshit, 2003; Moorthy, 2002; Zaidul et al., 2007; Wang et al., 2009. Seperti dilaporkan dalam beberapa sitasi, kandungan komponen minor di dalam tapioka lebih rendah dibandingkan dengan pati serealia, seperti jagung Tabel 4.3. Pati dengan kandungan komponen lain abu, lemak, protein yang rendah lebih disukai karena keberadaan komponen lain dapat mengganggu sifat- sifat pasting dari pati Copelan et al., 2009. Pola Difraksi Sinar X Pati umbi-umbian umumnya menunjukkan kristal tipe B. Walaupun meru- pakan pati umbi tapioka telah dilaporkan menunjukkan kristal tipe A, B dan C Moorthy, 2002. Penelitian Atichokudomchai et al. 2000 pada maizena menun- jukkan, pergeseran tipe kristalinitas bisa terjadi dengan perubahan kadar amilosa pati. Pati dengan amilosa rendah cenderung memiliki lapisan semikristalit yang lebih teratur dan membentuk kristal tipe A. Tapioka yang diamati memiliki kristal tipe A dengan empat puncak utama pada sudut difraksi 2Ɵ 15,06 -15,2; 17,1-17,2; 17,8-18,1 dan 23,18-23,2 Gambar 4.6. Puncak pada jarak 4,9 – 5,0 Å memiliki intensitas tertinggi kecuali pada tapioka dari varietas Thailand yang intensitas tertingginya ditunjukkan oleh puncak pada jarak 5,2 Å. Kristalinitas tipe A pada tapioka juga dilaporkan oleh Franco et al. 2002, Gunaratne dan Hoover 2002, Jyothi et al. 2010 dan Charoenkul et al. 2011. Kristalinitas tapioka berkisar antara 25,96 –27,60. Tapioka Adira memiliki kristalinitas tertinggi Tabel 4.4. Kristalinitas tampaknya tidak berhubungan dengan intensitas dari empat puncak utama. Empat puncak utama tapioka dari varietas Thailand dan Kasetsar yang berbeda kadar kristalinitasnya memiliki intensitas lebih rendah dari tiga jenis pati yang lain. Tapioka Thailand dengan kandungan amilosa yang tinggi, memiliki kristali- nitas terendah. Peningkatan derajat kristalinitas tapioka dengan menurunnya kadar amilosa telah dilaporkan pada tapioka Atichokudomchai et al., 2000, maizena Cheetham dan Tao, 1998 dan pati beras Zavareze et al., 2010. Pada penelitian 54 Gambar 4.6 Pola difraksi sinar X tapioka dari lima varietas ubi kayu Tabel 4.4 Kristalinitas dan intensitas puncak utama tapioka lima varietas ubi kayu Tipe kristal Kristalinitas relatif Jarak - A Intensitas – CPS Thailand A 25,96 5,9 64 5,2 108 4,9 104 3,8 90 Kasetsar A 27,35 5,8 65 5,2 106 5,0 107 3,8 90 Pucuk biru A 27,18 5,8 70 5,2 106 4,9 109 3,8 91 Faroka A 26,76 5,8 67 5,2 103 5,0 113 3,8 92 Adira 4 A 27,60 5,8 70 5,2 107 4,9 113 3,8 91 CPS = Counts per second 55 ini, walau tidak signifikan terlihat kecenderungan penurunan kristalinitas dengan naiknya kadar amilosa. Selain itu, keberadaan komponen minor diduga mengganggu pembentukan struktur doubel heliks. Dijumpai korelasi negatif antara kristalinitas dan kadar abu, serta kecenderungan penurunan kristalinitas dengan meningkatnya kadar lemak Tabel 4.5. Tabel 4.5 Korelasi antara kristalinitas dengan komposisi kimia tapioka Abu Lemak Protein Amilosa Amilopektin Kristali- nitas Pearson Corr -0,951 -0,730 -0,091 -0,730 0,000 Sig. 1-tailed 0,006 0,081 0,442 0,080 0,500 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah Pengaruh lemak pada kristalinitas dilaporkan secara berbeda. Vasanthan dan Hoover 1992 disitasi oleh Hoover et al. 1994 menyatakan bahwa penghilangan lemak meningkatkan kristalinitas relatif pati kentang dan lentil, tetapi tidak mengubah kristalinitas relatif pati gandum, jagung dan tapioka. Sebaliknya, Lorenz 1983 dalam Hoover et al. 1994 mengatakan bahwa penghilangan lemak dari pati kentang dan gandum akan menurunkan kristalinitas relatif. Kapasitas Pembengkakan Swelling Power, SP dan Solubilitas Pemanasan dalam air berlebih menyebabkan ikatan dalam granula melemah, sehingga air masuk dan terjadi pembengkakan granula sementara amilosa yang memiliki berat molekul BM rendah akan larut ke dalam air. Perbedaan karakteristik kapasitas pembengkakan SP dan solubilitas mengindikasikan perbedaan gaya pengikatan dari granula pati Nwokocha et al., 2009. Interaksi yang kuat akan mengurangi jumlah gugus OH bebas yang tersedia untuk hidrasi, dan mengurangi masuknya air ke dalam interior granula sehingga menurunkan SP dan solubilitas Chung et al., 2010. Sriroth et al. 1999 menemukan bahwa trend hubungan SP tapioka dengan umur panen ubi tidak sama antar varietas, sehingga diduga bahwa SP dipengaruhi oleh faktor lain seperti ukuran granula, struktur dan komposisi pati. Menurut Singh et al. 2003, intensitas SP dan solubilitas pati tergantung pada suhu, perbedaan kadar amilosa dan lemak, keberadaan fosfat, kristalinitas, interaksi 56 antara daerah amorfous dan kristalin pati yang dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin dan karakteristik molekuler pati. Kapasitas pembengkakan dan solubilitas granula tapioka dari lima varietas ubi kayu pada pemanasan di suhu 90°C selama 30 menit ditampilkan pada Tabel 4.6. Tapioka Thailand memiliki SP yang secara signifikan lebih tinggi dari tapioka lainnya, mengindikasikan bahwa pengaturan intra granularnya tidak sebaik varietas yang lain. Penyebabnya diduga karena kristalinitas tapioka Thailand yang lebih rendah. Daerah amorfis yang lebih tinggi menyebabkan air lebih mudah masuk ke dalam granula dan kristalinitas yang lebih rendah menyebabkan kekuatan ikatan intra granular menjadi lebih rendah sehingga pembengkakan pati meningkat. Selain kristalinitas, struktur amilopektin terutama proporsi dari rantai cabang am ilopektin dengan derajat poli erisasi D ≥ 37 juga berpengaruh pada kemampuan pembengkakan pati. Peningkatan amilopektin dengan D ≥ 37 berkontribusi pada pe bentukan struktur kristalin yang kuat karena akan membentuk doubel heliks. Peningkatan kekuatan struktur kristalin tersebut akan menghambat pembengkakan granula Chung 2010. Tabel 4.6 Kapasitas pembengkakan dan solubilitas tapioka dari lima varietas Tapioka Kapasitas pembengkakan gg bk Solubilitas Thailand 15,01 ± 0,024 c 10,90 ± 0,703 b Kasetsar 10,35 ± 0,667 a 5,30 ± 0,870 a Pucuk biru 10,12 ± 0,446 a 4,89 ± 0,360 a Faroka 10,92 ± 0,328 a 6,03 ± 0,119 a Adira 4 13,03 ± 0,275 b 13,15 ± 0,914 b Ket: huruf yang berbeda pada kolo yang sa a enunjukkan berbeda nyata α 0,05 Pada pati sereal gandum dan barley, peningkatan kandungan amilosa dan lemak menyebabkan penurunan SP dan solubilitas. Penurunan SP disebabkan oleh pembentukan kompleks amilosa-lemak yang memperkuat integritas struktur granula Tester dan Morrison, 1990 dikutip oleh Charles et al., 2005. Tetapi, penelitian Charles et al. 2005 menunjukkan terjadinya peningkatan SP dan solubilitas tapioka dengan meningkatnya kadar amilosa. Peningkatan solubilitas secara non linier dengan meningkatnya kadar amilosa, juga dilaporkan pada pati kacang hijau Abdel-Rahman et al., 2008. 57 Tapioka dengan amilosa yang lebih tinggi Thailand menunjukkan SP dan solubilitas yang relatif lebih tinggi. Kurangnya pembentukan kompleks lemak- amilosa karena kadar lemak yang rendah menyebabkan peningkatan amilosa akan meningkatkan SP dan solubilitas Charles et al., 2005. Pada empat tapioka yang lain, kadar amilosa dan kristalinitas relatif sama sehingga perbedan SP dan solubilitas dari 4 varietas tersebut diduga karena perbedaan panjang rantai amilosa dan amilopektin. Pati dengan panjang rantai yang lebih pendek dilaporkan lebih mudah larut selama pemanasan sehingga meningkatkan nilai solubilitas. SP berkorelasi positif dengan lemak dan kecenderungan hubungan yang positif dengan amilosa Tabel 4.7. Vasanthan dan Hoover 1992 serta Hoover dan Vasanthan 1992 yang disitasi oleh Hoover et al. 1994 menunjukkan penurunan SP pati gandum, jagung, oat, lentil dan kentang, jika kandungan lemaknya dihilangkan, sementara solubilitasnya bisa meningkat pati gandum, jagung, oat atau menurun pati kentang, tapioka dan lentil. Menurut Morrison et al . 1993 di dalam Tester dan Karkalas 1996, peningkatan amilosa dan lemak bebas dalam granula pati akan meningkatkan SP. Sebaliknya, peningkatan amilosa dan lemak akan menurunkan SP jika amilosa dan lemak ada dalam bentuk terikat kompleks. Tabel 4.7 Korelasi antara SP dan solubilitas dengan karakter fisikokimia tapioka Para- meter SP Kadar dari Krista- linitas Uk. granula Abu Lemak Protein Amilosa Amilo- pektin SP Pearson Corr 1 0,581 0,844 0,007 0,737 0,377 -0,594 -0,639 Sig.1-tailed 0,152 0,036 0,495 0,078 0,266 0,145 0,123 Solubi- litas Pearson Corr 0,848 0,106 0,610 -0,180 0,353 0,326 -0,099 -0,840 Sig.1-tailed 0,035 0,432 0,137 0,386 0,280 0,296 0,437 0,037 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah Solubilitas berkorelasi negatif dengan ukuran granula dan berkorelasi positif dengan SP Tabel 4.7. Peningkatan ukuran granula diduga akan memperlambat lisisnya amilosa, sehingga menyebabkan solubilitas turun. Peningkatan SP mempermudah amilosa untuk lisis sehingga akan terjadi peningkatan solubilitas dengan naiknya SP. 58 Karakteristik Pasting Gelatinisasi adalah fase transisi granula pati dari bentuk teratur menjadi tidak beraturan, yang terjadi selama pemanasan di dalam air berlebih. Proses transisi melibatkan hilangnya kristalinitas dan birefringence serta hidrasi pati Hermansson dan Svegmark, 1996. Pasting adalah fenomena yang terjadi mengikuti proses gelatinisasi Xie et al., 2006, menunjukkan perilaku viskositas selama proses pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan terkontrol Singh et al ., 2003. Profil pasta merupakan salah satu cara untuk memprediksi sifat fungsional pati dan pengembangan aplikasinya di dalam produk secara optimal Chen, 2003. Tapioka memiliki karakteristik pasting tipe A, dicirikan dengan puncak pasta yang tinggi dan diikuti dengan pengenceran yang cepat selama pemanasan Gambar 4.7. Pati dengan karakteristik pasting tipe A cenderung tidak tahan proses pemanasan dan pengadukan, sehingga kurang aplikatif untuk diterapkan pada produk yang diolah menggunakan panas dan pengadukan. Dari karakteristik pasting pada Tabel 4.8 diketahui bahwa perbedaan cukup menyolok ditunjukkan oleh tapioka Thailand yang memiliki viskositas breakdown relatif VBD-R yang lebih rendah, viskositas akhir lebih tinggi, viskositas balik relatif VB-R yang lebih rendah dan suhu pasting lebih rendah dari empat varietas lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tapioka Thailand lebih stabil selama pemanasan, memiliki sifat pengentalan yang lebih baik dengan kecende- rungan retrogradasi dan pembentukan gel yang lebih rendah. Suhu pasting adalah suhu pada saat awal terjadinya peningkatan viskositas pasta secara tiba-tiba selama proses gelatinisasi, dan terkait dengan imbibisi air dan pembengkakan granula. Pati Thailand dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah serta kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi memiliki suhu pasting terendah. Suhu pasting berkorelasi positif dengan tingkat kristalinitas pati dan berkorelasi negatif dengan kadar abu, lemak dan amilosa Tabel 4.9. Menurut Singh et al. 2003, daerah amorfous yang ikatan hidrogennya relatif lemah menjadi daerah pertama yang ditembus air. Pati dengan kristalinitas rendah memiliki daerah amorfous yang lebih tinggi sehingga lebih mudah mengalami 59 Gambar 4.7 Amilograf pasting tapioka dari 5 varietas ubi kayu 60 Tabel 4.8 Karakteristik pasting tapioka dari lima varietas ubi kayu menggunakan RVA V. Puncak Cp V. Panas Cp V. Akhir Cp VBD-R VB-R T pasting °C T puncak °C Thailand 6335,0 ± 25,46 b 2161 ± 67,88 b 2978,5 ± 143,54 b 65,9 ± 0,99 a 37,8 ± 2,31 a 67,3 ± 0,00 a 79.2 ± 0,00 ab Kasetsar 6244,0 ± 171,12 b 1568 ± 36,77 a 2623,5 ± 31,82 a 74,9 ± 0,14 c 67,3 ± 1,90 b 71,1 ± 0,28 b 79.4 ± 0,25 b Pucuk biru 6115,5 ± 53,03 ab 1683 ± 25,46 a 2683,0 ± 8,49 a 72,5 ± 0,64 b 59,4 ± 2,91 b 70,5 ± 0,04 b 78.6 ± 0,30 ab Faroka 6744,0 ± 0,00 c 1676 ± 0,00 a 2778,0 ± 0,00 ab 75,1 ± 0,00 c 65,8 ± 0,00 b 70,5 ± 0,00 b 78.4 ± 0,00 a Adira 4 5895,5 ± 17,68 a 1595 ± 22,63 a 2603,5 ± 7,78 a 72,9 ± 0,35 bc 63,3 ± 2,80 b 71,1 ± 0,28 b 79.0 ± 0,30 ab Keterangan: VBD-R = viskositas balik relatif = 100xVBDV.puncak; VB-R = viskositas balik relatif =100xVBV.panas H uruf berbeda pada kolo yang sa a enunjukkan perbedaan yang nyata α 0,05 61 pasting. Peningkatan komponen abu diduga meningkatkan muatan ionik sejenis yang saling tolak-menolak, meningkatkan jarak antar polimer pati dan mempermudah masuknya air sehingga pasting berlangsung pada suhu yang lebih rendah. Sementara itu, peningkatan lemak dalam jumlah yang kecil maupun peningkatan jumlah amilosa tetapi tidak berupa kompleks amilosa-lemak juga akan menurunkan kristalinitas. Akibatnya, peningkatan lemak dan amilosa di dalam tapioka akan menyebabkan turunnya suhu pasting. Suhu puncak merupakan suhu saat tercapainya viskositas pasta maksimum Batey, 2007. Kelima tapioka memiliki suhu puncak yang relatif mirip, dan dijumpai adanya korelasi positif antara suhu puncak dengan kadar protein dan kadar amilopektin Tabel 4.9. Ikatan double heliks amilopektin yang lebih susah dipenetrasi oleh air, menyebabkan terjadinya peningkatan suhu puncak dengan meningkatnya kadar amilopektin. Keberadaan protein yang mengembang selama pemanasan dan berkontribusi pada peningkatan viskositas dapat menyebabkan suhu puncak menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya. Tabel 4.9 Korelasi antara parameter pasting dengan karakter fisikokimia tapioka T pasting T puncak VP VBD-R VB-R Kadar abu Pearson Corr -0,952 -0,031 0,351 -0,850 -0,911 Sig. 1-tailed 0,006 0,48 0,281 0,034 0,016 Kadar lemak Pearson Corr -0,844 -0,051 0,005 -0,885 -0,885 Sig. 1-tailed 0,036 0,467 0,497 0,023 0,023 Kadar protein Pearson Corr -0,109 0,818 0,049 -0,038 -0,043 Sig. 1-tailed 0,431 0,045 0,469 0,476 0,473 Kadar amilosa Pearson Corr -0,846 0,694 0,051 -0,817 -0,823 Sig. 1-tailed 0,035 0,097 0,468 0,046 0,043 K. amilo- pektin Pearson Corr -0,208 1,000 -0,446 -0,329 -0,263 Sig. 1-tailed 0,368 0,226 0,294 0,334 Kristali- nitas Pearson Corr 0,940 -0,021 -0,548 0,76 0,838 Sig. 1-tailed 0,009 0,487 0,17 0,068 0,038 Ukuran granula Pearson Corr 0,204 0,214 0,324 0,369 0,307 Sig. 1-tailed 0,371 0,365 0,298 0,271 0,308 SP Pearson Corr -0,77 0,394 -0,14 -0,843 -0,808 Sig. 1-tailed 0,064 0,256 0,411 0,036 0,049 Solubi- litas Pearson Corr -0,325 0,334 -0,453 -0,512 -0,425 Sig. 1-tailed 0,297 0,292 0,222 0,189 0,238 Keterangan: VBD-R = viskositas balik relatif; VB-R = viskositas balik relatif . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah Viskositas puncak tertinggi ditunjukkan oleh tapioka faroka, terendah oleh tapioka adira 4 sementara tiga tapioka lainnya memiliki viskositas puncak yang 62 mirip. Nilai ini merefleksikan kemampuan granula untuk mengikat air dan mempertahankan pembengkakan selama pemanasan. Viskositas puncak terjadi ketika jumlah pati yang membengkak seimbang dengan jumlah pati yang rusak lisis. Tidak ditemukan korelasi antara viskositas puncak dengan beberapa parameter kimia pati Tabel 4.9. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah kadar dan rasio amilosaamilopektin, berat molekul, konformasi molekuler dan derajat polimerisasi amilosa dan amilopektin serta jumlah percabangan amilopektin maupun keberadaan komponen minor, juga ukuran granula Mélo et al ., 2003. Perbedaan nilai viskositas puncak dan viskositas panas dari masing-masing pati menyebabkan parameter viskositas breakdown dan viskositas balik tidak bisa digunakan untuk membandingkan kerentanan terhadap panas dan kecenderungan retrogradasi antar sampel. Agar bisa dilakukan pembandingan antar sampel, maka viskositas breakdown dinyatakan dalam bentuk relatif terhadap viskositas puncak VBD-R dan viskositas balik dinyatakan dalam bentuk relatif terhadap viskositas panas VB-R. VBD-R merupakan indikator dari kerentanan granula terhadap pemanasan, sementara VB-R mengindikasikan potensi pembentukan gel dan kecenderungan retrogradasi. Tapioka Thailand lebih tahan terhadap proses pemanasan dibandingkan dengan empat tapioka yang lain, ditunjukkan oleh VBD-R yang lebih rendah. VB-R tapioka Thailand secara signifikan juga lebih rendah dari tapioka yang lain, mengindikasikan bahwa gel dari tapioka thailand memiliki kekerasan yang lebih rendah. Nilai VB-R mengindikasikan potensi pembentukan gel dan kecenderungan retrogradasi. Pati dengan kecenderungan retrogradasi rendah mengindikasikan kemampuan untuk mempertahankan tekstur selama penyimpanan Tran et al., 2001 disitasi oleh Copeland et al., 2009. Peningkatan viskositas balik selama pendinginan mengindikasikan kecenderungan berbagai komponen di dalam pasta panas granula yang membengkak dalam bentuk utuhfragmen, dispersi koloid ataupun molekul-molekul terlarut untuk berhubungan atau mengalami retrogradasi Adebowale et al., 2009. Nilai VBD-R dan VB-R berkorelasi negatif dengan SP, komponen minor abu, lemak, amilosa dan tingkat kristalinitas Tabel 4.9. Menurut Hermansson 63 dan Svegmark 1996, granula dengan SP yang tinggi akan mengikat sebagian besar air bebas dan menghambat interaksi antar amilosa, danatau menghambat lisis amilosa keluar dari granula sehingga viskositas dapat dipertahankan selama pemanasan VBD-R rendah. Pada saat pendinginan, karena amilosa yang tersedia untuk proses retrogradasi menjadi lebih sedikit maka kecenderungan retrogradasi menjadi lebih rendah VB-R rendah. Keberadaan komponen minor, amilosa dan kondisi kristalinitas pati terkait dengan peningkatan pengikatan air yang diduga berpengaruh terhadap peningkatan SP dan atau ukuran granula. Karakteristik Tekstur Analisis profil tekstur texture profile analysis, TPA merupakan teknik pengukuran objektif yang mensimulasikan proses pengunyahan oleh manusia dan dilakukan untuk mengamati karakteristik tekstur. Kekerasan, kepaduan, kelengketan dan elastisitas adalah empat parameter yang bisa dilihat dari analisis TPA. Menurut Rosenthal 1999, kekerasan terkait dengan gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu produk pangan di antara geraham. Nilai kepaduan merefleksikan kekuatan dari ikatan-ikatan internal di dalam suatu produk sementara kelengketan merujuk pada kerja yang dibutuhkan untuk menarik produk menjauh dari suatu permukaan. Elastisitas menunjukkan seberapa besar suatu produk kembali ke ukuran awalnya ketika kompresi yang diberikan kepadanya dihilangkan. Kurva analisis profil tekstur ditampilkan pada Gambar 4.8. Gel tapioka yang berasal dari lima varietas ubi kayu ini memiliki perbedaan karakteristik kekerasan dan kelengketan sementara karakteristik kepaduan dan elastisitas relatif mirip Tabel 4.10. Varietas Thailand memiliki nilai kekerasan dan kelengketan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Faroka. Menurut Mishra dan Rai 2006, variasi dari tekstur gel dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik pati, serta keberadaan dari komponen minor termasuk diantaranya lemak, protein, dan sebagainya sehingga dihasilkan gel dengan sifat-sifat yang bervariasi. Kekerasan gel pati terkait dengan proses retrogradasi pati yang terjadi selama proses pendinginan dan penyimpanan pasca proses pemanasan gelatinisasi. Pasta pati bisa dianggap sebagai sistim dua fase dimana granula 64 Gambar 4.8 Kurva profil tekstur gel tapioka dari lima varietas ubi kayu keterangan gambar: Thailand : ungu; Kasetsar : hijau; Pucuk biru : merah; Faroka: biru; Adira : hitam 65 yang membengkak merupakan fase terdispersi dan amilosa yang lisis sebagai fase pendispersi. Jika jumlah fase pendispersi tinggi, maka proses agregasi selama pendinginan akan menghasilkan gel yang kuat Hermansson dan Svegmark, 1996. Pada proses agregasi, molekul amilosa bebas membentuk ikatan hidrogen tidak saja dengan sesama amilosa tetapi juga dengan percabangan amilopektin yang menjulur dari granula yang membengkak, sehingga amilopektin juga berperan dalam pembentukan kekerasan gel walaupun dengan intensitas kekuatan yang lebih rendah Collado dan Corke, 1999. Tabel 4.10 Nilai analisis tekstur tapioka dari lima varietas ubi kayu Kekerasan g Kepaduan Kelengketan g.s Elastisitas Thailand 162,48 ± 2,86 a 0,66 ± 0,00 a 19,66 ± 11,53 a 0,97 ± 0,01 a Kasetsar 227,74 ± 24,69 ab 0,68 ± 0,00 a 66,73 ± 15,48 b 0,89 ± 0,04 a Pucuk biru 226,20 ± 3,53 ab 0,66 ± 0,02 a 42,42 ± 1,36 ab 0,94 ± 0,00 a Faroka 254,15 ± 35,96 b 0,69 ± 0,00 a 65,97 ± 8,86 b 0,91 ± 0,03 a Adira 4 196,43 ± 9,87 ab 0,67 ± 0,00 a 51,57 ± 2,95 ab 0,91 ± 0,01 a huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Menurut Collado dan Corke 1999, peningkatan lisis amilosa solubilitas dan penurunan SP pati akan menyebabkan peningkatan kekerasan gel yang dihasilkan. Berbeda dari penjelasan Collado dan Corke 1999, penelitian ini menunjukkan bahwa tapioka dengan tingkat kekerasan gel yang tinggi memiliki SP rendah dan solubilitas rendah. Analisis korelasi Tabel 4.11 menunjukkan adanya korelasi negatif antara kekerasan gel dengan kapasitas pembengkakan SP pati. Menurut Hermansson dan Svegmark 1996, granula dengan SP yang tinggi akan mengikat sebagian besar air bebas dan menghambat interaksi antar amilosa, danatau menghambat lisis amilosa keluar dari granula. Hal ini menjelaskan mengapa SP yang tinggi tidak diikuti oleh peningkatan kekerasan gel. Keberadaan komponen lain seperti polisakarida non pati, protein, dan lemak bisa mempengaruhi tekstur gel karena secara fisik menghambat pembentukan ikatan hidrogen antar amilosa atau berinteraksi dengan molekul-molekul amilosa sehingga mereduksi interaksi amilosa-amilosa Charoenkul et al., 2011. Kekerasan cenderung turun dengan meningkatnya kadar amilosa Tabel 4.11. Kelengketan gel tapioka berkorelasi negatif dengan kadar abu dan lemak, sementara elastisitas berkorelasi positif dengan kadar abu dan lemak. 66 Tabel 4.11 Korelasi antara parameter tekstur dengan karakter fisikokimia tapioka Kekerasan Kepaduan Kelengketan Elastisitas Kekerasan Pearson Corr 1 0,775 0,848 -0,634 Sig. 1-tailed 0,062 0,035 0,126 Kepaduan Pearson Corr 0,775 1 0,935 -0,856 Sig. 1-tailed 0,062 0,010 0,032 Kelengketan Pearson Corr 0,848 0,935 1 -0,943 Sig. 1-tailed 0,035 0,010 0,008 Elastisitas Pearson Corr -0,634 -0,856 -0,943 1 Sig. 1-tailed 0,126 0,032 0,008 Kadar abu Pearson Corr -0,531 -0,625 -0,824 0,918 Sig. 1-tailed 0,179 0,130 0,043 0,014 Kadar lemak Pearson Corr -0,739 -0,719 -0,885 0,881 Sig. 1-tailed 0,077 0,086 0,023 0,024 Kadar protein Pearson Corr -0,149 0,191 0,131 -0,281 Sig. 1-tailed 0,406 0,379 0,417 0,324 Kadar amilosa Pearson Corr -0,781 -0,469 -0,666 0,531 Sig. 1-tailed 0,059 0,213 0,110 0,178 Kadar amilopektin Pearson Corr -0,594 -0,204 -0,201 -0,086 Sig. 1-tailed 0,145 0,371 0,373 0,445 Kristalinitas Pearson Corr 0,450 0,386 0,664 -0,759 Sig. 1-tailed 0,223 0,261 0,111 0,068 Ukuran granula Pearson Corr 0,474 0,370 0,415 -0,339 Sig. 1-tailed 0,210 0,270 0,244 0,288 SP Pearson Corr -0,896 -0,544 -0,742 0,586 Sig. 1-tailed 0,020 0,172 0,075 0,150 Solubilitas Pearson Corr -0,753 -0,373 -0,457 0,235 Sig. 1-tailed 0,071 0,268 0,220 0,352 VP Pearson Corr 0,455 0,496 0,235 0,012 Sig. 1-tailed 0,221 0,197 0,352 0,492 T Pasting Pearson Corr 0,722 0,632 0,858 -0,858 Sig. 1-tailed 0,084 0,126 0,032 0,031 T puncak Pearson Corr -0,604 -0,207 -0,212 -0,073 Sig. 1-tailed 0,140 0,369 0,366 0,453 VBD-R Pearson Corr 0,896 0,833 0,968 -0,887 Sig. 1-tailed 0,020 0,040 0,003 0,022 VB-R Pearson Corr 0,832 0,789 0,951 -0,908 Sig. 1-tailed 0,040 0,056 0,006 0,016 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah Jika dihubungkan dengan karakteristik pasting, terlihat bahwa parameter VBD-R dan VB-R berkorelasi dengan parameter tekstur yang diamati Tabel 4.11 sehingga parameter VBD-R dan VB-R dapat digunakan sebagai alat untuk menduga karakteristik tekstur gel pati. Secara umum, peningkatan VBD-R dan VB-R pasta tapioka mengindikasikan terbentuknya gel dengan tekstur yang keras, kohesif, lengket dan kurang elastis. Pati yang strukturnya relatif rentan terhadap 67 panas VBD-R tinggi akan mengalami penurunan viskositas secara drastis yang berarti bahwa lisis amilosa penyebab turunnya viskositas panas relatif lebih be- sar daripada pati yang lebih tahan panas, sementara pati dengan viskositas balik relatif yang lebih besar menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang lebih ting- gi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan kekerasan, kepaduan dan ke- lengketan serta menurunkan elastisitas gel. SIMPULAN Ukuran granula, komposisi kimia, kristalinitas, kapasitas pembengkakan, solubilitas, karakteristik pasting dan tekstur gel tapioka bervariasi antar varietas ubi kayu yang digunakan. Secara umum, granula tapioka berukuran sedang de- ngan diameter rata-rata berkisar antara 12,82 – 16,66 µm. Granula berukuran ke- cil terutama dijumpai pada tapioka Adira-4 dan Thailand. Tapioka Thailand me- miliki kadar amilosa, lemak dan abu yang lebih tinggi dengan kapasitas pembeng- kakan dan solubilitas yang lebih tinggi dibandingkan empat tapioka lainnya Ka- setsar, Pucuk biru, Faroka, Adira-4. Selain itu, tapioka Thailand juga menunjuk- kan stabilitas pasta yang lebih baik selama pemanasan. Kekerasan dan kelengket- an gel tapioka Thailand lebih rendah dari tapioka Faroka. Penelitian ini menun- jukkan bahwa perbedaan varietas ubi kayu dapat menyebabkan perbedaan pada karakteristik fisikokimia tapioka yang dihasilkan. Sebagai bahan baku untuk pem- buatan tapioka HMT, maka variasi sifat fisikokimia tapioka ini akan mempenga- ruhi karakteristik sifat fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1998. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. Abdel-Rahman ESA, El-Fishawy FA, El-Geddawy MA, Kurz T, El-Rify MN. 2008. Isolation and physico-chemical characterization of mung bean starches. International Journal of Food Engineering 41: Art.1 Abera S, Rakshit SK. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips. StarchStärke 55:287 –296 Adebowale KO, Henle T, Schwarzenbolz U, Doert T. 2009. Modification and properties of African yam bean Sphenostylis stenocarpa Hochst Ex. A. 68 Rich harms starch I: heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocolloids 23:1947 –1957 Adejumo AL, Aderibigbe AF, Layokun SK. 2011. Cassava starch: production, physicochemical properties and hydrolysation – a review. Advances in Food and Energy Security 2:8 –17 Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and Pasting Properties of Rice Starch Heat-Moisture Treated at the Melting Temperature Tm. StarchStärke 54: 401 –409 Anderson AK, Guraya HS. 2006. Effects of microwave heat-moisture treatment on properties of waxy and non-waxy rice starches. Food Chemistry 972:318 –323 Atichokudomchai N, Shobsngob S, Varavinita S. 2000. Morphological properties of acid-modified tapioca starch. StarchStärke 52:283 –289 Batey IL. 2007. Interpretation of RVA curves. Di dalam The RVA Handbook. Crosbie GB dan Ross AS. AACC International Becker A, Hill SE, Mitchell JR. 2001. Relevance of amylose-lipid complexes to the behaviour of thermally processed starches. StarchStärke 53:121 –130 Charles, AL, Chang Y-H, Ko W-C, Sriroth K, Huang T-C. 2004. Some physical and chemical properties of starch isolates of cassava genotypes. StarchStärke 56 413-418 Charles AL, Chang YH, Ko WC, Sriroth K, Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and amylose content on the gelling properties of five cultivars of cassava starches. J Agric Food Chem 537:2717 –25. Charoenkul N, Uttapap D, Pathipanawat W, Takeda Y. 2011. Physicochemical characteristics of starches and flours from cassava varieties having different cooked root textures. LWT - Food Science and Technology 44:1774 –1781 Cheetham NWH, Tao L. 1998. Variation in crystalline type with amylose content in maize starch granules: an X-ray powder diffraction study. Carbohydrate Polymers 36:277 –284 Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. Ph.D. Thesis Wageningen University. Chung H-J, Liu Q, Hoover R. 2010. Effect of single and dual hydrothermal treatments on the crystalline structure, thermal properties, and nutritional fractions of pea, lentil, and navy bean starches. Food Research International 43:501 –508 Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 3 p. 339- 346 Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang MC. 2009. Form and functionality of starch. Food Hydrocolloids 23:1527-1534 69 Defloor I, Dehing I dan Delcour JA. 1998. Physico-chemical properties of cassava starch. StarchStärke 50 2-3 58-64 Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA dan Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substance. Analytical Chemistry 28:350 –356 Franco CML, Cabral RAF, Tavares DQ. 2002. Structural and physicochemical characteristics of lintnerized native and sour cassava starches. StarchStärke 54:469-475. Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat –moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers 494: 425-437 Hermansson A-M, Svegmark K. 1996. Developments in the understanding of starch functionality – review. Trends in Food Science Technology 7:345 –353 Hoover R, Vasanthan T, Senanayake NJ, Martin AM. 1994. The effects of defatting and heat-moisture treatment on the retrogradation of starch gels from wheat, oat, potato, and lentil. Carbohydrate Research 2611: 13-24 Hoover R, Manuel H. 1996. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starches. Food Research International 298:731-750 Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylose. Cereal Science Today 16:334-338 Jyothi AN, Sajeev MS, Sreekumar JN. 2010. Hydrothermal modifications of tropical tuber starches. 1. Effect of heat-moisture treatment on the physicochemical, rheological and gelatinization characteristics. StarchStärke 62:28 –40 Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic Observation and X-Ray Diffractiometry of heatmoisture-treated strach granules. StarchStärke 46 12 463-469 Khunae P, Tran T, Sirivongpaisal P. 2007. Effect of heat-moisture treatment on structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. StarchStärke 59: 593-599. Lim S-T, Chang E-H, Chung H-J. 2001. Thermal transition characteristics of heat –moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46 2: 107-115 Lorenz K, Kulp K. 1982. Physico-chemical properties of defatted heat-moistured treated starches. StarchStärke 4:123 –129 Mélo EA, Stamford TLM, Silva MPC, Krieger N, Stamford NP. 2003. Functional properties of yam bean Pachyrhizus erosus starch - short communication. Bioresource Technology 89:103 –106 70 Mishra S, Rai T. 2006. Morphology and functional properties of corn, potato and tapioca starches. Food hydrocolloids 205: 557-566 Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Petunjuk Laboratorium Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Moorthy SN. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches: a review. StarchStärke 54:559 –592 Nuwamanya E, Baguma Y, Emmambux N, Taylor J, Patrick R. 2010. Physicochemical and functional characteristics of cassava starch in Ugandan varieties and their progenies. J. of Plant Breeding and Crop Science 2 1:001-011 Nwokocha LM, Aviara NA, Senan C, Williams PA. 2009. A comparative study of some properties of cassava Manihot esculenta, Crantz and cocoyam Colocasia esculenta, Linn starches. Carbohydrate Polymers 76:362 –367 Rosenthal AJ. 1999. Relation between instrumental and sensory measures of food texture. Di dalam Food Texture - Measurement and Perception. Rosenthal AJ ed. A Chapman and Hall Food Science Book Singh N, Singh J, Kaur L, Sodhi NS, Gill BS. 2003. Morphological, thermal and rheological properties of starches from different botanical sources - review. Food Chemistry 81:21 9 –231 SNI. 1992. Cara uji makanan dan minuman. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta Sriroth K, Santisopasri V, Petchalanuwat C, Kurotjanawong K, Piyachomkwan K, Oates CG. 1999. Cassava starch granule structure – function properties: influence of time and conditions at harvest on four cultivars of cassava starch. Carbohydrate Polymers 38:161 –170 Tester RF, Karkalas J. 1996. Swelling and gelatinization of oat starches. Carbohydrates. 73 2:271 –277 Wang L, Xie B, Shi J, Xue S, Deng Q, Wei Y, Tian B. 2010. Physicochemical properties and structure of starches from Chinese rice cultivars. Food Hydrocolloids 24 Issues 2-3: 208-216 Xie F, Liu H, Chen P, Xue T, Chen L, Yu L, Corrigan P. 2006. Starch gelatinization under shearless and shear conditions. International Journal of Food Engineering 25:Art.6 Zaidul ISM, Yamauchi H, Takigawa S, Matsuura-Endo C, Suzuki T, Noda T. 2007. Correlation between the compositional and pasting properties of various potato starches. Food Chemistry 105:164 –172 Zavareze ER, Storck CR, Castro LAS, Schirmer MA, Dias ARG. 2010. Effect of heat-moisture treatment on rice starch of varying amylose content. Food Chemistry 121:358 –365 71 PENGARUH KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA TAPIOKA HMT YANG DIHASILKAN Effect of Physicochemical Characteristics of Tapioca on Physicochemical Characteristics of HMT Tapioca from Five Varieties Cassava ABSTRACT Tapioca from five varieties Manihot utilisima Crantz from Lampung was physically modified by heat moisture treatment HMT at 110°C for 4 hours at 20 moisture content. Although heat treatment made a hollow area at the center of some granules, it did not change granule size and shape. The A-type crystalline pattern of tapioca starches remained unchanged after HMT but the crystallinity decreased. Heat moisture treatment decreased swelling power with varied of solubility and increased heat stability of starch. Starch pasting decreased peak viscosity and relative breakdown viscosity but it increased pasting temperature and relative setback viscosity. Gel texture was affected by HMT treatment. HMT increased hardness and adhesiveness gel. Syneresis of tapioca starch was also increased by HMT. HMT tapioca starch showed a significant decrease in digestibility of gelatinized starch. Intensity of changes in physicochemical properties on HMT were influenced by content varieties of tapioca. Physicochemical characteristics of native tapioca that affect intensity of changes were granule size, amylose, fat and ash, crystalinity, swelling power and solubility. Key words : tapioca, heat-moisture treatment, crystallinity, swelling power, solubility, syneresis, digestibility, physicochemical PENDAHULUAN Jenis sumber pati mempengaruhi besarnya perubahan karakteristik fisikokimia pati selama proses HMT Gunaratne dan Hoover, 2002; Lim et al., 2001; Lorenz dan Kulp, 1982. Faktor yang berpengaruh antara lain kadar amilosa Collado dan Corke, 1999; Hoover dan Manuel, 1996, tipe kristalit pati Gunaratne and Hoover, 2002. Keberadaan komponen lain seperti lemak juga berpengaruh pada perubahan yang terjadi selama HMT Gunaratne dan Hoover, 72 2002. Perbedaan dalam komposisi kimia dan kondisi struktural dari granula pati antar dan dalam suatu species menyebabkan perubahan karakteristik pati setelah proses HMT tidak selalu sama. Kondisi proses HMT juga berpengaruh pada karakteristik pati modifikasi yang dihasilkan. Intensitas perubahan selama HMT dilaporkan dipengaruhi oleh suhu Adebowale dan Lawal, 2003; Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007, kadar air Vermeylen et al., 2006; Adebowale et al., 2005, pH Collado dan Corke, 1999 dan lama waktu proses Collado and Corke, 1999. Penelitian tentang proses HMT tapioka relatif sedikit diantaranya dilaporkan oleh Abraham 1993, Gunaratne dan Hoover 2002 dan Jyothi et al. 2010. Proses dilaporkan tidak mengubah bentuk dan ukuran granula Abraham, 1993; Gunaratne dan Hoover, 2002, tidak mengubah tipe kristalit tapioka tetapi sedikit menurunkan kristalinitas Abraham, 1993; Gunaratne dan Hoover, 2002; Jyothi et al ., 2010, meningkatkan suhu gelatinisasi dan menurunkan enthalpy gelatinisasi Gunaratne dan Hoover, 2002; Jyothi et al., 2010, menurunkan kapasitas pem- bengkakan dengan peningkatan Jyothi et al., 2010 atau penurunan Gunaratne dan Hoover, 2002 solubilitas. Stabilitas pasting tapioka meningkat pasca HMT ditandai dengan suhu pas- ting meningkat, viskositas puncak dan viskositas breakdown turun; dengan visko- sitas balik meningkat Abraham, 1993 atau menurun Jyothi et al., 2010. Tapio- ka HMT membentuk gel dengan kekerasan dan kelengketan yang lebih tinggi dan dengan kepaduan dan elastisitas yang lebih rendah dari tapioka native Jyothi et al ., 2010. Pasca HMT terjadi peningkatan resistensi tapioka terhadap hidrolisis asam sementara resistensi terhadap hidrolisis enzimatis menurun Abraham, 1993; Gunaratne dan Hoover, 2002. Belum ada penelitian yang melaporkan pengaruh perbedaan varietas tapioka terhadap karakteristik pati modifikasi HMT yang dihasilkan. Penggunaan varietas dan disain proses HMT yang berbeda menyebabkan hasil dari penelitian-peneli- tian tersebut belum bisa menjelaskan pengaruh HMT terhadap perubahan karak- teristik fisikokimia tapioka secara memuaskan. Terkait dengan beragamnya varie- tas ubi kayu dengan karakteristik fisikokimia yang sangat bervariasi, maka dirasa 73 perlu untuk mempelajari bagaimana pengaruh varietas terhadap perubahan karak- teristik tapioka selama proses HMT. Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi sifat fisikokimia tapio- ka HMT dari lima varietas ubi kayu, untuk mengetahui pengaruh perbedaan varietas tapioka terhadap karakteristik fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan. Berbeda dengan penelitian yang telah dilaporkan oleh peneliti terdahulu Lorentz dan Kulp, 1982; Anderson et al., 2002; Gunaratne dan Hoover, 2002, proses HMT dilakukan dengan menggunakan retort pada suhu bahan 110 o C dan kadar air tapioka 20 selama 4 jam. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah tapioka dari lima varietas ubi kayu yaitu Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka dan Adira 4 dengan ukuran granula rata- rata 14,12; 16,66; 14,98; 14,69; dan 12,82 µm. Umbi dipanen pada umur 15 bulan. Komposisi kimia dari tapioka ditampilkan pada Tabel 5.1. Bahan-bahan lainnya adalah akuades dan bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis. Tabel 5.1 Komposisi kimia tapioka dari lima varietas. Data dinyatakan dalam g100 g bk, kecuali untuk kadar air dinyatakan dalam g100 g bb Komponen Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4 Air 14,22 ± 0,02 12,24 ± 0,01 15,69 ± 0,01 13,18 ± 0,09 13,63 ± 0,07 Abu 0,19 ± 0,00 0,12 ± 0,00 0,15 ± 0,00 0,14 ± 0,00 0,11 ± 0,00 Lemak 0,76 ± 0,00 0,33 ± 0,00 0,53 ± 0,01 0,51 ± 0,00 0,56 ± 0,01 Protein 0,13 ± 0,00 0,15 ± 0,00 0,10 ± 0,00 0,10 ± 0,00 0,10 ± 0,00 Pati 83,55 ± 0,16 82,62 ± 1,32 80,16 ± 1,09 79,78 ± 1,23 81,19 ± 1,77 Amilosa 33,13 ± 0,16 31,81 ± 0,04 30,88 ± 0,25 30,92 ± 0,12 31,13 ± 0,12 Amilopektin 50,42 ± 0,51 50,80 ± 1,28 49,28 ± 0,85 48,85 ± 1,35 50,06 ± 1,66 Pembuatan Tapioka HMT Pembuatan tapioka HMT dilakukan dengan peralatan dan prosedur yang te- lah dikembangkan Bab 3. Disain Proses Heat-MoistureTreatment. Kadar air pati 74 diatur menjadi 20, dengan penambahan akuades, yang diaduk selama 15 menit dan dibiarkan mencapai kesetimbangan selama 2 – 3 jam di suhu ruang. Pati di- kemas ke dalam tabung sampel yang terbuat dari pipa aluminium diameter 12.7 mm, panjang 20 cm dan tebal 0,75 mm. Tabung sampel lalu dimasukkan ke da- lam retort yang bagian dalamnya telah dipanaskan 100 o C. Setelah tabung sam- pel dimasukkan ke dalam retort, proses HMT dilakukan dengan waktu venting dua menit dan CUT 4 menit. Proses dilakukan pada suhu 110°C selama 240 me- nit. Waktu proses dihitung setelah CUT. Setelah proses pemanasan selesai, suhu retort diturunkan secara perlahan, dengan kecepatan penurunan suhu sekitar 1°Cmenit hingga tekanan mencapai tekanan udara normal. Tabung sampel dike- luarkan dari retort dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dikeluarkan dari ta- bung, pati lalu dikeringkan di oven pengering pada suhu 40 o C selama semalam. Pati HMT selanjutnya diblender dan disaring pada ayakan 100 mesh, dikemas dan disimpan di suhu beku -30 ± 5 o C. Karakterisasi Fisiko Kimia dan Fungsional Tapioka HMT Analisis yang dilakukan adalah analisis bentuk granula, tipe dan tingkat kristalinitas, karakteristik pasting suhu pasting, viskositas puncak, viskositas akhir, breakdown viscosity dan setback viscosity, serta karakteristik gel dan daya cerna pati gelatinisasi.

a. Morfologi pati – mikroskop polarisasi modifikasi Becker et al., 2001

Bentuk granula pati diamati dengan polarized light microscope Olympus Optical Co.Ltd, Japan dengan metode seperti dijelaskan pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu.

b. Struktur kristal dan kristalinitas pati Kawabata et al., 1994

Struktur kristal dan kristalinitas diamati dari difraktogram sinar-X menggunakan difraktometer sinar-X X-ray diffractometer. Metode analisis seperti pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu. 75

c. Kapasitas pembengkakan swelling power dan solubilitas Wang et al.,

2010 Metode analisis dijelaskan pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu.

d. Karakteristik pasting RVA standar 2

Pengukuran karakteristik pasting dilakukan menggunakan Rapid Visco Analyzer RVA tipe RVA-S4 dengan profil analisis standar 2. Metode analisis dijelaskan di dalam sub-bab Bahan dan Metode dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu.

e. Sineresis Wang et al., 2010

Suspensi pati 6, WV dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 30 menit dengan pengadukan konstan. Setelah didinginkan di suhu ruang, sampel lalu ditempatkan di dalam freezer suhu -20°C selama 22 jam. Sampel yang dikeluarkan dari freezer lalu dthawing pada suhu ruang. Sineresis diukur sebagai air yang dilepas setelah disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 20 menit.

f. Karakteristik gel – analisis profil tekstur modifikasi dari Mishra dan Rai,

2006 Analisis dilakukan dengan menggunakan texture analyzer TA-XT2. Meto- de analisis dijelaskan pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu.

g. Daya cerna pati modifikasi Muchtadi et al., 1992

Daya cerna dianalisis secara spektroskopi dengan metode seperti dijelaskan pada Lampiran 4. Analisis Statistik Analisis ragam dengan rancangan percobaan acak lengkap dilakukan untuk mengetahui pengaruh varietas ubi kayu terhadap sifat fisiko-kimia tapioka HMT. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat kekuatan hubungan antara parameter fisikokimia tapioka sebelum dimodifikasi dengan intensitas perubahan parameter 76 fisikokimia tapioka setelah proses HMT dibandingkan dengan nilai native-nya Kedua analisis ini dilakukan menggunakan software SPSS 13.00. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Granula Proses HMT tidak mengubah bentuk dan ukuran granula, tetapi sebagian pati kehilangan sifat birefringence di bagian tengah granulanya Gambar 5.1. Menurut Abraham 1993 serta Gunaratne dan Hoover 2002, HMT tidak meng- ubah bentuk dan ukuran granula tapioka, tetapi tidak melaporkan adanya peru- bahan sifat birefringence di bagian tengah granula. Beberapa penelitian juga melaporkan pembentukan rongga dan mengabur- nya persilangan polarisasi dibagian tengah granula pasca HMT Kawabata et al., 1994; Pukkahuta et al., 2007; Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007. Menurut Kawabata et al. 1994, HMT menyebabkan perpindahan atau pengaturan komponen dibagian tengah granula. Hilangnya persilangan polarisasi di bagian tengah granula menunjukkan terjadinya perubahan pengaturan double heliksnya Vermeylen et al., 2006. Pembentukan rongga di bagian tengah meng- indikasikan struktur jaringan pusat relatif lemah. Pola Sinar X dan Kristalinitas Tapioka memiliki kristalit tipe A. Difraktogram sinar-X menunjukkan bah- wa HMT tidak mengubah pola kristalin tapioka Gambar 5.2. HMT tidak meng- ubah pola kristalin tipe A juga dilaporkan pada pati jagung, ubi jalar, beras dan tapioka Kawabata et al., 1994; Pukkahuta et al., 2008; Franco et al., 1995; Collado dan Cork, 1999; Khunae et al., 2007; Gunaratne dan Hoover, 2002. Granula tapioka mengalami penurunan kristalinitas pasca HMT. Kristalini- tas lima tapioka HMT berkisar antara 22,01 – 25,59 atau turun sebesar 1,17 – 4,80 dari kristalinitas native Tabel 5.2. Penurunan kristalinitas tapioka akibat proses HMT juga dilaporkan oleh Abraham 1993, Gunaratne dan Hoover 2002 dan Jyothi et al. 2010. Selain tapioka, penurunan kristalinitas pasca HMT juga dilaporkan pada pati beras Zavareze et al., 2010, kentang Vermeylen et al.,