Pengembangan disain peralatan dan proses HMT Karakterisasi sifat fisikokimia tapioka dari lima varietas ubi kayu

8 mengidentifikasi faktor kritis pada pati native yang berperan dalam perubahan sifat fisikokimia dan fungsional tapioka selama proses HMT. Parameter yang diamati adalah bentuk granula, kristalinitas, kapasitas pengembangan dan solu- bilitas, sineresis, karakteristik pasting dan tekstur serta daya cerna pati gelati- nisasi.

4. Pengaruh proses HMT pada karakteristik morfologi dan kristalinitas

tapioka Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan kadar air pada karakteristik morfologi dan kristalinitas tapioka HMT yang dihasilkan. Proses HMT dilakukan pada kombinasi dua suhu 110 dan 120°C dan dua kadar air 18 dan 20 selama 240 menit 4 jam menggunakan tapioka dari varietas faroka. Pengamatan dilakukan terhadap morfologi dan kristalinitas granula pati.

5. Analisis kinetika termal tapioka HMT

Tahap ini bertujuan untuk membuat model kinetika termal dari beberapa sifat fisikokimia tapioka varietas faroka selama HMT untuk mengetahui laju peru- bahannya sebagai fungsi dari suhu dan waktu proses pada dua tingkat kadar air yang berbeda. Persamaan Arrhenius digunakan untuk melihat sensitifitas peru- bahan sifat tersebut terhadap suhu proses. Penelitian dilakukan pada dua tingkat kadar air 18 dan 20, empat suhu proses 100, 110, 115 dan 120°C dan enam waktu proses 0, 30 -kecuali untuk suhu 100°C, 60, 120, 180, 240 dan 300 menit – hanya untuk suhu 100°C. Sifat yang diamati adalah kapasitas pembengkakan dan solubilitas, karakteristik pasting dan tekstur. 9 TINJAUAN PUSTAKA UBI KAYU Ubi kayu Manihot esculenta Crantz merupakan tanaman tropis, tetapi dapat beradaptasi dan tumbuh baik di daerah sub tropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut iklim dan kondisi tanah spesifik untuk pertumbuhannya. Tanaman ubi kayu memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kondisi stress lingkungan dan dapat tumbuh pada lahan marjinal yang kering dengan kondisi tanah asam, tanpa pemupukan dan kondisi curah hujan yang bervariasi kurang dari 600 mmtahun sampai lebih dari 1000 mmtahun. Karena budidayanya yang tidak banyak membutuhkan input produksi pertanian inilah, maka ubi kayu biasa ditanam oleh petani kecil dengan sumber daya terbatas El-Sharkawy, 2004. Pemanenan umbi dilakukan setelah tanaman berumur 7 – 24 bulan. Perbedaan umur panen disebabkan oleh perbedaan kultivar, tujuan penggunaan dan kondisi pertumbuhan El-Sharkawy, 2004. Untuk tujuan ekstraksi pati, umbi dipanen ketika berumur 10 – 12 bulan Sriroth et al., 2000. Keragaman varietas ubi kayu di Indonesia cukup tinggi. Bank Gen BB- Biogen Bogor mencatat sebanyak 600 aksesi plasma nutfah, 452 diantaranya ada dalam data base BB-Biogen, 2010. Kondisi ini menyebabkan beragamnya varietas ubi kayu di lapangan. Di daerah tropis dan subtropis, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras dan jagung. Secara umum, ubi kayu segar mengandung air sekitar 60, pati sebesar 25-35 dengan kandungan protein, mineral, serat, kalsium dan fosfat dalam jumlah kecil Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008. Menurut Yeoh dan Truong 1996 yang disitasi oleh El- Sharkawy 2004, kandungan pati ubi kayu dapat mencapai lebih dari 80 bahan keringnya sementara kandungan protein hanya berkisar antara 5 sampai 19 gkg bahan kering berdasarkan analisis Kjeldahl dengan faktor konversi 2.49 – 3.67. Hal ini menyebabkan konsumsi ubi kayu harus dilengkapi dengan makanan lain sebagai sumber protein dan komponen gizi lainnya. Umbi ubi kayu bersifat mudah rusak sehingga harus diolah segera setelah dipanen. Di tingkat industri, pengolahan ubi kayu terutama untuk produksi pati