Kapasitas pembengkakan swelling power dan solubilitas Wang et al., Karakteristik pasting RVA standar 2 Sineresis Wang et al., 2010 Karakteristik gel – analisis profil tekstur modifikasi dari Mishra dan Rai, Daya cerna pati modifikasi Muchtadi et al., 1992

77 Gambar 5.1 Perbedaan morfologi granula tapioka native kiri dengan hasil HMT kanan dilihat dengan mikroskop polarisasi pada pembesaran 1000 N = native, H = HMT; A = Thailand, B = Kasetsar, C = Pucuk biru, D = Faroka dan E = Adira 4 A-H B-H C-H D-H E-H E-N D-N C-N B-N A-N 78 Gambar 5.2 Difraktogram kristal tapioka sebelum native dan sesudah HMT 2006, yam Gunaratne dan Hoover, 2002 dan empat dari lima jenis legume Hoover dan Manuel, 1996. Menurut Gunaratne dan Hoover 2002, pergerakan doubel heliks selama HMT dapat merusak kristalit pati danatau mengakibatkan pengaturan ulang kris- talit. Dari penelitian ini terlihat bahwa penurunan kristalinitas tapioka pasca HMT sejalan dengan penurunan intensitas empat puncak utama dan pembentukan pun- cak yang baru Gambar 5.2. Puncak pada 5,2 Å mengalami penurunan terbesar, 79 puncak pada 4,9 – 5,0 Å mengalami sedikit penurunan intensitas sementara dua puncak lainnya mengalami penurunan dengan intensitas bervariasi Tabel 5.2. Tabel 5.2 Perubahan difraktogram difraksi sinar X tapioka karena HMT Varietas Tipe kristal Kristali- nitas Jarak - A Intensitas – CPS Thailand Native A 25,96 5,9 64 5,2 108 4,9 104 3,8 90 HMT A 22,01 5,9 60 5,2 92 4,9 101 3,8 84 HMT relatif 1 - 84,78 93,75 85,19 97,12 93,33 Kasetsar Native A 27,35 5,8 65 5,2 106 5,0 107 3,8 90 HMT A 24,82 5,9 64 5,2 95 4,9 109 3,8 88 HMT relatif - 90,75 98,46 89,62 101,87 97,78 Pucuk biru Native A 27,18 5,8 70 5,2 106 4,9 109 3,8 91 HMT A 24,9 5,8 71 5,2 98 4,9 111 3,8 87 HMT relatif - 91,61 101,43 92,45 101,83 95,60 Faroka Native A 26,76 5,8 67 5,2 103 5,0 113 3,8 92 HMT A 25,59 5,8 63 5,2 97 4,9 111 3,9 89 HMT relatif - 95,63 94,03 94,17 98,23 96,74 Adira 4 Native A 27,6 5,8 70 5,2 107 4,9 113 3,8 91 HMT A 22,8 5,8 65 5,2 100 5,0 108 3,8 88 HMT relatif - 82,61 92,86 93,46 95,58 96,70 1 HMT relatif adalah nilai rasio HMT terhadap native Pembentukan kristalit baru selama proses HMT dapat terjadi karena interak- si amilosa –amilosa AM-AM, interaksi amilosa–amilopektin AM-AMP dan in- teraksi amilosa – lemak AM–L Hoover dan Manuel, 1996. Pembukaan ikatan double heliks AMP menyebabkan rantai AMP dapat lebih bebas bergerak dan ber- interaksi dengan AM. Penggunaan suhu tinggi diduga juga memutus sebagian rantai amilopektin sehingga bisa saling berinteraksi membentuk kristalit baru. Menurut Lorenz et al. 1983, kristalit hasil interaksi AM-L ditunjukkan oleh keberadaan puncak difraksi pada sudut 2Ɵ = 20° d 4,37Å. Sedikit peningkatan intensitas puncak pada 20° ini mengindikasikan pembentukan kompleks AM-L selama HMT Khunae et al., 2007. Sedikit peningkatan intensitas puncak pada jarak 4,37Å 2Ɵ = 20° setelah HMT telah dilaporkan pada pati jagung dan beras, keduanya dalam bentuk waxy dan normal Jiranuntakul et al., 2011. Ketiga interaksi ini mungkin terjadi selama proses HMT tapioka. Dugaan ini didasarkan pada: 1. peningkatan intensitas puncak non utama; pembentukan kristal baru 80 dengan jarak yang lebih rapat; dan penguatan puncak pada jarak d = 4,24 - 4,5 Å Tabel 5.3. Pengaturan kembali struktur semi kristalin dengan penurunan intensitas empat puncak utama dan pembentukan kristalit baru dalam ukuran kecil selama proses HMT tidak mendifraksikan sinar X sekuat kristalit yang ada pada bentuk native nya. Menurunnya intensitas daerah kristalit menyebabkan kristalinitas menurun. Selama proses HMT, proses destruksi sekaligus pembentukan kembali kristalit berlangsung secara bersamaan dan terjadi karena adanya pergerakan rantai-rantai amilopektin yang membentuk ikatan doubel heliks. Menurut Jiranuntakul et al. 2011, perubahan struktur kristalin setelah HMT akan sangat tergantung pada karakteristik amilopektin struktur dan pengaturan molekuler. Penelitian Jiranuntakul et al. 2011 mengindikasikan adanya kecenderungan amilosa di dalam pati normal untuk menfasilitasi destruksi dan pengaturan kembali rantai-rantai cabang amilopektin. Akan tetapi, penelitian ini tidak menemukan korelasi antara keberadaan komponen kimia termasuk amilosa dan lemak terhadap besarnya perubahan kristalinitas pati karena HMT Tabel 5.4. Karakteristik fisik granula tapioka native terlihat memberi pengaruh cukup besar terhadap penurunan kristalinitas selama HMT. Penurunan kristalinitas yang lebih besar cenderung terjadi pada granula dengan ukuran kecil, kapasitas pembengkakan danatau solubilitas yang besar Tabel 5.4. Hal ini menjelaskan mengapa kristalinitas relatif tapioka adira-4 dan thailand lebih kecil dari tiga yang lain. Hal ini diduga terkait dengan seberapa luas daerah interior granula yang dapat diganggu. Kapasitas Pembengkakan Swelling Power, SP dan Solubilitas Proses HMT menyebabkan penurunan kapasitas pembengkakan SP tapioka dan memberi pengaruh berbeda pada solubilitas pati Gambar 5.3. Pasca HMT, tapioka thailand dan adira 4 mengalami penurunan SP yang lebih besar dibandingkan tiga varietas lainnya. Thailand dan adira 4 mengalami penurunan solubilitas pasca HMT, sementara tiga tapioka yang lain mengalami peningkatan solubilitas. 81 Tabel 5.3 Perubahan puncak difraksi tapioka setelah HMT Thailand Native HMT No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps 1 11,08 7,98 5 1 11,48 7,70 3 2 13,29 6,66 6 2 13,52 6,54 5 3 13,71 6,45 10 4 15,06 5,88 64 3 15,18 5,83 60 5 17,18 5,16 108 4 17,02 5,21 92 6 18,08 4,90 104 5 17,90 4,95 101 7 20,10 4,42 31 6 19,94 4,45 35 8 23,18 3,83 90 7 23,15 3,84 84 9 24,21 3,67 42 8 24,05 3,70 43 10 26,31 3,38 10 9 26,56 3,35 9 11 26,84 3,32 4 12 27,08 3,29 3 13 28,85 3,09 5 10 29,06 3,07 3 14 30,06 2,97 11 11 30,44 2,93 12 15 30,92 2,89 11 16 31,93 2,80 9 12 31,90 2,80 4 13 32,36 2,76 5 17 33,41 2,68 10 14 33,48 2,67 10 18 34,15 2,62 7 Kasetsar Native HMT No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps 1 11,24 7,87 5 2 12,61 7,01 3 3 14,21 6,23 20 1 13,89 6,37 9 4 15,22 5,82 65 2 14,98 5,91 64 5 17,12 5,18 106 3 17,02 5,21 95 6 17,84 4,97 107 4 18,00 4,92 109 7 19,72 4,50 31 5 20,02 4,43 35 6 20,93 4,24 24 8 23,18 3,83 90 7 23,15 3,84 88 8 24,35 3,65 31 9 25,33 3,51 11 9 25,23 3,53 11 10 26,32 3,38 10 10 26,47 3,36 12 11 26,74 3,33 7 11 28,96 3,08 5 12 30,50 2,93 13 12 30,13 2,96 9 10 13 31,01 2,88 9 13 32,23 2,78 7 14 32,34 2,77 6 14 33,04 2,71 13 15 33,08 2,71 6 15 33,76 2,65 16 33,74 2,65 5 17 34,47 2,60 3 82 Tabel 5.3 Perubahan puncak difraksi tapioka setelah HMT lanjutan Pucuk biru Native HMT No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps 1 6,65 13,27 3 2 7,69 11,49 3 1 9,57 9,24 3 3 9,90 8,93 3 2 11,42 7,74 6 4 11,59 7,63 5 3 13,39 6,61 6 5 13,69 6,46 7 4 15,22 5,82 70 6 15,28 5,79 71 5 17,22 5,15 106 7 17,14 5,17 98 6 17,98 4,93 109 8 18,00 4,92 111 9 18,84 4,71 52 7 19,84 4,47 30 10 19,92 4,45 30 8 20,95 4,24 24 9 22,09 4,02 38 10 23,20 3,83 91 11 23,25 3,82 87 12 24,55 3,62 30 11 26,30 3,39 9 13 26,10 3,41 7 14 26,55 3,35 14 12 29,02 3,07 7 15 28,94 3,08 7 13 30,70 2,91 12 16 30,38 2,94 10 17 31,20 2,86 8 14 32,35 2,77 11 18 32,39 2,76 7 15 33,46 2,68 12 19 33,66 2,66 10 16 34,30 2,61 8 20 34,32 2,61 5 Faroka Native HMT No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps 1 11,38 7,77 5 1 11,44 7,73 4 2 13,81 6,41 8 2 13,01 6,80 3 3 13,91 6,36 8 3 15,23 5,81 67 4 15,22 5,82 63 4 17,10 5,18 103 5 17,10 5,18 97 5 17,82 4,97 113 6 18,06 4,91 111 6 19,86 4,47 33 7 20,04 4,43 32 7 20,85 4,26 25 8 20,93 4,24 23 9 22,93 3,88 89 8 23,22 3,83 92 10 23,77 3,74 57 9 24,37 3,65 40 11 25,07 3,55 16 10 26,48 3,36 17 12 26,34 3,38 14 11 29,05 3,07 7 13 28,68 3,11 3 12 30,68 2,91 12 14 30,27 2,95 12 13 31,40 2,85 9 15 31,00 2,88 4 16 31,18 2,87 5 14 32,47 2,76 10 17 32,16 2,78 5 15 33,10 2,70 8 18 32,92 2,72 6 16 33,26 2,69 6 17 33,95 2,64 10 19 34,04 2,63 4 18 34,61 2,59 5 83 Tabel 5.3 Perubahan puncak difraksi tapioka setelah HMT lanjutan Adira Native HMT No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps No puncak Sudut 2Ɵ d Å Intensitas puncak cps 1 10,24 8,63 4 2 11,63 7,61 6 1 11,13 7,94 6 2 12,50 7,07 4 3 13,01 6,80 6 3 13,37 6,62 7 4 13,47 6,57 8 4 15,19 5,83 70 5 15,18 5,83 65 5 17,08 5,19 107 6 17,14 5,17 100 6 18,06 4,91 113 7 17,90 4,95 108 7 20,02 4,43 32 8 19,98 4,44 35 9 20,95 4,24 27 8 23,24 3,82 91 10 23,16 3,84 88 9 24,71 3,60 28 10 26,43 3,37 18 11 26,40 3,37 11 11 27,88 3,20 3 12 28,72 3,11 6 12 28,85 3,09 5 13 29,70 3,01 6 14 30,41 2,94 16 13 30,37 2,94 7 14 31,07 2,88 6 15 32,13 2,78 9 15 32,28 2,77 7 16 32,88 2,72 9 16 33,67 2,66 8 17 33,96 2,64 10 18 34,57 2,59 5 Tabel 5.4 Korelasi kristalinitas relatif HMT terhadap native 1 dengan beberapa parameter fisiko-kimia tapioka native Abu Lemak Protein Amilosa Amilo- pektin Kristalini- tas native Uk. granula SP native Solub. native Pearson Corr. -0,087 -0,504 -0,042 -0,469 -0,599 0,006 0,628 -0,771 -0,898 Sig. 1- tailed 0,445 0,193 0,473 0,213 0,143 0,496 0,128 0,064 0,019 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah 1 Kristalinitas relatif adalah rasio antara kristalinitas HMT terhadap native Penurunan SP karena HMT juga dilaporkan pada pati ubi jalar Collado dan Corke, 1999, gandum, oat, lentil dan kentang Hoover et al., 1999, jagung Pukkahuta et al., 2008, kacang-kacangan Güzel dan Sayar, 2010, true yam, taro, tapioka, cocoyam dan kentang Gunaratne dan Hoover, 2002, sorghum putih Olayinka et al., 2008, tapioka, pati ubi jalar dan pati garut Jyothi, 2010. HMT menyebabkan penurunan solubilitas pati kacang-kacangan Güzet dan Sayar, 2010, true yam, taro, tapioka, cocoyam dan kentang Gunaratne dan Hoover, 84 2002, menyebabkan penurunan danatau peningkatan solubilitas pati jagung Pukkahutta et al., 2008 serta peningkatan solubilitas pada tapioka, pati ubi jalar dan pati garut Jyothi et al., 2010 dan pati sorgum merah Adebowale et al., 2005. Gambar 5.3 Kapasitas pembengkakan SP, gambar atas dan solubilitas gambar bawah tapioka sebelum dan sesudah HMT 85 Interaksi antar rantai pati di daerah amorfous dan kristalin, kadar fosfat, dan pembentukan komplek amilosa-lemak diduga menyebabkan variasi dari ka- rakteristik SP dan solubilitas pasca HMT Gunaratne dan Hoover 2002. Menurut Shieldneck and Smith 1971 yang disitasi oleh Adebowale et al. 2005, pening- katan kondisi basah di dalam granula selama proses HMT meningkatkan solubi- litas rantai pati. Terjadinya peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin interaksi matriks kristalin dengan amorfous menye- babkan terjadinya penurunan SP dan solubilitas granula Gunaratne dan Hoover, 2002; Olayinka et al., 2008. Pembentukan ikatan amilosa-amilosa yang sangat kuat selama proses HMT akan menyebabkan penurunan solubilitas secara signi- fikan. Sementara itu, terjadinya peningkatan solubilitas diduga disebabkan oleh terjadinya peningkatan fraksi linier berberat molekul rendah dengan gugus OH yang menfasilitasi solubilitas di dalam air panas Güzet dan Sayar, 2010. Pada sorgum merah, peningkatan kadar air proses HMT menyebabkan solubilitas pati modifikasinya disuhu tinggi lebih besar dari pati nativenya Adebowale et al., 2005. Menurut Chung et al. 2008, kadar amilosa dan proporsi amilopektin rantai panjang pati jagung yang lebih rendah dari pati pea dan lentil menyebabkan intensitas penurunan SP-nya pasca HMT tidak sebesar yang terjadi pada pea dan lentil. SP dan solubilitas relatif tapioka HMT rasio SP atau solubilitas HMT terhadap native-nya cenderung berkorelasi negatif dengan kadar amilosa dan lemak Tabel 5.5. Artinya, peningkatan kadar amilosa danatau lemak tapioka cenderung menyebabkan penurunan SP danatau solubilitas yang lebih besar. Nilai signifikansi dari korelasi Pearson menunjukkan bahwa SP cenderung lebih dipengaruhi oleh kadar amilosa sementara solubilitas dipengaruhi oleh kadar lemak. Pembentukan kompleks antara amilosa-lemak pada kadar amilosa dan lemak yang cukup, diduga menyebabkan turunnya SP dan solubilitas pasca HMT. Sementara itu, keberadaan amilosa tanpa jumlah lemak yang memadai menye- babkan kompleks amilosa-lemak tidak terbentuk dan pada kadar amilosa yang lebih rendah akan memicu peningkatan solubilitas. Tingkat kristalinitas tapioka native tidak menentukan seberapa besar terjadi- nya penurunan SP dan solubilitas. Tetapi, seberapa besar perubahan kristalinitas 86 Tabel 5.5 Korelasi SP dan solubilitas relatif 1 tapioka HMT dengan beberapa parameter kimiafisik tapioka native Abu Lemak Protein Amilosa Amilo- pektin Uk. granula SP native Solub. native Kristalinitas native Kristalinitas relatif SP relatif Pearson Corr. -0,349 -0,647 -0,197 -0,732 -0,602 0,560 -0,950 -0,892 0,385 0,877 Sig. 1-tailed 0,282 0,119 0,376 0,080 0,142 0,163 0,007 0,021 0,261 0,026 Solub relatif Pearson Corr -0,371 -0,715 -0,065 -0,673 -0,515 0,657 -0,964 -0,928 0,372 0,903 Sig. 1-tailed 0,269 0,087 0,459 0,107 0,187 0,114 0,004 0,011 0,269 0,018 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah 1 Nilai relatif adalah rasio nilai HMT terhadap nilai native 87 yang terjadi selama HMT akan menentukan terhadap besarnya perubahan SP dan solubilitas. Analisis korelasi Tabel 5.5 menunjukkan korelasi positif antara SP dan solubilitas relatif dengan kristalinitas relatif. Artinya, penurunan kristalinitas yang besar seperti terjadi pada Adira 4 dan Thailand akan menyebabkan penu- runan SP dan solubilitas yang lebih besar. Dari sini dapat dilihat bahwa proses HMT merusak struktur kristalin menurunkan kristalinitas pati HMT. Penurunan SP dan solubilitas selama HMT karena itu lebih disebabkan oleh pembentukan ikatan-ikatan baru di daerah amorfis, termasuk interaksi amilosa dan lemak. Proses terjadi lebih intensif jika tapioka native memiliki ukuran granula yang kecil dengan SP dan solubilitas yang besar Tabel 5.5. Struktur kristalin dari granula berukuran kecil dengan SP dan solubilitas yang besar, akan lebih mudah diganggu ditembus oleh air dan menyebabkan peningkatan intensitas interaksi rantai pati amilosa-amilopektin, amilosa-amilosa, amilosa-lemak. Semua kondisi itu menyebabkan penurunan kristalinitas tetapi meningkatkan kekuatan struktur daerah amorfos yang menyebabkan penurunan SP dan solubi- litas. Sineresis Pada Satu Kali Siklus Pembekuan-Pencairan Sineresis atau keluarnya air yang pada awalnya terperangkap di dalam sistim gel, bisa terjadi akibat proses retrogradasi yang berlangsung secara inten- sif. Pengukuran sineresis setelah satu kali siklus pembekuan bertujuan untuk mengestimasi stabilitas gel selama penyimpanan beku. Jumlah air yang keluar merupakan akibat dari terjadinya peningkatan ikatan hidrogen antar dan inter mo- lekuler akibat terjadinya agregasi retrogradation selama penyimpanan beku. Proses HMT tapioka meningkatkan kecenderungan retrogradasi dan meng- akibatkan terjadinya sineresis pada lima tapioka yang diteliti Gambar 5.4. Gel tapioka tidak mengalami sineresis pasca satu siklus pembekuan-pencairan. Sementara itu, gel tapioka HMT menunjukkan perilaku sineresis 9,17 – 17,06. Tapioka pucuk biru menunjukkan kondisi sineresis yang tertinggi Gambar 5.4. Hoover et al. 1994 disitasi oleh Gunaratne dan Corke 2007 menyebutkan bahwa penghambatan pembengkakan pati oleh proses HMT meningkatkan peluang terjadinya agregasi amilosa di dalam matriks gel. Dari Gambar 5.4 juga 88 terlihat bahwa tapioka pucuk biru mengalami peningkatan solubilitas pasca HMT. SP yang rendah dengan solubilitas yang tinggi menyebabkan banyaknya amilosa terlarut yang kemudian berperan dalam proses agregasi. Sementara itu, peningkatan sineresis pada tapioka thailand dan adira 4 diduga disebabkan karena penurunan SP yang cukup besar. Akibatnya, walaupun terjadi penurunan solubilitas tetapi dengan mengecilnya ukuran pembengkakan granula maka kondisi yang terjadi masih cukup mendukung terjadinya agregasi yang cukup intensif. Gambar 5.4 SP dan solubilitas relatif serta sineresis tapioka karena HMT Karakteristik Pasting Tapioka native memiliki profil pasting tipe A, dicirikan oleh viskositas puncak yang tinggi diikuti dengan penurunan viskositas secara cepat ketika proses pemanasan dilanjutkan dan viskositas balik yang rendah pada saat penurunan suhu. Pada tapioka HMT, kurva bergeser ke arah kanan yang menginformasikan terjadinya peningkatan suhu pasting dan suhu puncak. Bentuk yang lebih landai 89 dengan viskositas puncak yang lebih rendah dan mengindikasikan pergeseran profil pasting ke arah tipe B Gambar 5.5. Analisis profil amilograf Tabel 5.6 menunjukkan penurunan yang tajam pada viskositas puncak, viskositas breakdown relatif VBD-R serta peningkatan suhu pasting dan suhu puncak pasca HMT. Kondisi ini mengindikasikan meningkatnya ketahanan granula terhadap proses pemanasan. Viskositas balik ta- pioka HMT lebih rendah dari VB native. Tapi, karena viskositas panas yang berbeda, maka kecenderungan retrogradasi dilihat dari nilai VB relatif VB-R. Terlihat bahwa HMT meningkatkan VB-R yang berarti meningkatkan kecende- rungan retrogradasi tapioka. Pengaruh varietas terhadap perubahan parameter pasting selama HMT dia- mati dengan melihat nilai intensitas perubahan suatu parameter yang terjadi sete- lah HMT dibandingkan dengan nilai native Tabel 5.6. Terlihat bahwa perbedaan varietas menyebabkan perbedaan intensitas perubahan suatu parameter pasting yang mengindikasikan bahwa varietas mempengaruhi perubahan yang terjadi sela- ma HMT. Perubahan sifat-sifat pasting pati yang diberi perlakuan HMT disebabkan oleh terjadinya interaksi di antara rantai-rantai pati di daerah amorfous dan perubahan kristalinitas selama proses HMT Watcharatewinkul et al., 2009. Selama HMT, keberadaan air akan menyebabkan terjadinya pembengkakan di daerah amorfous sehingga mobilitas rantai pati amilosa di dalamnya meningkat dan menfasilitasi pembentukan atau pengaturan double heliks. Peningkatan suhu pasting, penurunan viskositas puncak, viskositas panas dan viskositas balik adalah akibat langsung dari reorganisasi yang terjadi didalam granula. Pengkayaan kristalinitas di daerah amorfous danatau kristalin setelah proses HMT akan membatasi pembengkakan pati dan disintegrasi struktur yang berkontribusi langsung pada viskositas pasta Lawal dan Adebowale, 2005. Gambar 5.5 dan Tabel 5.6 menunjukkan bahwa pengaruh HMT terhadap perubahan karakteristik pasting pada tapioka Thailand relatif berbeda dibanding- kan empat tapioka yang lain. Perbedaan intensitas perubahan parameter pasting pasca HMT dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik fisikokimia tapioka native. Analisis korelasi Tabel 5.7 menunjukkan bahwa tingkat kristalinitas, kadar ami- 90 Gambar 5.5 Amilograf pasting tapioka dari 5 varietas ubi kayu sebelum dan setelah HMT 91 Tabel 5.6 Karakteristik parameter pasting tapioka native, HMT dan intensitas perubahan parameter HMT terhadap native Native HMT Intensitas perubahan 1 V. Puncak Thailand 6.335 ± 25,46 b 2.759,5 ± 48,79 e -56,44 ± 0,64 d Kasetsar 6.244 ± 171,12 b 1.485,5 ± 4,95 b -76,20 ± 0,71 b Pucuk biru 6.115,5 ± 53,03 ab 1.808 ± 7,07 d -70,44 ± 0,35 c Faroka 6.744 ± 0,0 c 1.672 ± 21,21 c -75,21 ± 0,28 b Adira 4 5.895,5 ± 17,68 a 1.148 ± 7,07 a -80,53 ± 0,07 a VBD-R 2 Thailand 65,90 ± 1,0 a 56,40 ± 1,41 ab -14,39 ± 3,44 b Kasetsar 74,90 ± 0,1 c 56,20 ± 1,27 a -24,97 ± 1,56 a Pucuk biru 72,45 ± 0,6 b 60,55 ± 1,2 bc -16,42 ± 2,40 b Faroka 75,10 ± 0,0 c 59,20 ± 0,71 abc -21,18 ± 0,94 ab Adira 4 72,95 ± 0,4 bc 61,40 ± 0,14 c -15,83 ± 0,21 b VB-R 3 Thailand 37,80 ± 2,31 a 84,23 ± 5,54 a 122,83 ± 1,06 b Kasetsar 67,34 ± 1,9 b 88,92 ± 3,67 a 32,17 ± 9,19 a Pucuk biru 59,44 ± 2,91 b 80,81 ± 2,86 a 36,23 ± 11,53 a Faroka 65,75 ± 0,0 b 89,18 ± 2,79 a 35,64 ± 4,24 a Adira 4 63,25 ± 2,8 b 88,04 ± 0,52 a 39,32 ± 5,37 a T pasting Thailand 67,30 ± 0,0 a 74,93 ± 0,04 a 11,33 ± 0,05 b Kasetsar 71,05 ± 0,28 b 77,90 ± 0,35 d 9,64 ± 0,93 ab Pucuk biru 70,48 ± 0,04 b 76,13 ± 0,04 b 8,02 ± 0,00 a Faroka 70,45 ± 0,0 b 76,93 ± 0,04 c 9,20 ± 0,05 a Adira 4 71,05 ± 0,28 b 77,73 ± 0,04 d 9,40 ± 0,39 a T puncak Thailand 79,22 ± 0,0 ab 81,62 ± 0,0 ab 3,03 ± 0,00 a Kasetsar 79,40 ± 0,25 b 82,19 ± 0,3 b 3,51 ± 0,04 ab Pucuk biru 78,59 ± 0,3 ab 81,20 ± 0,0 a 3,33 ± 0,39 ab Faroka 78,38 ± 0,0 a 81,20 ± 0,0 a 3,60 ± 0,00 ab Adira 4 79,01 ± 0,3 ab 82,19 ± 0,3 b 4,03 ± 0,02 b Huruf berbeda pada kolom yang sama dari setiap parameter menunjukkan perbedaan nyata pada α = 0,05 1 Intensitas perubahan = 100 x nilai HMT – nilai nativenilai native 2 VBD-R = persentase VBDV.puncak; 3 VB-R = persentase VBV.panas losa, lemak, abu, ukuran granula dan SP dari tapioka native berkorelasi danatau cenderung mempengaruhi intensitas perubahan parameter pasting pasca HMT yang mengindikasikan adanya perbedaan intensitas perubahan selama HMT. Peningkatan kristalinitas tapioka native menyebabkan pengaturan ulang di daerah kristalin dan amorfis menjadi lebih intensif. Amilosa dan lemak yang ting- gi diduga akan meningkatkan pembentukan kompleks amilosa-lemak, amilosa- amilosa danatau amilosa-lemak sehingga terjadi peningkatan kekuatan di daerah amorfis. SP native yang besar memungkinkan lebih banyak daerah granula yang bisa dipengaruhi dan menghasilkan pengaturan ulang yang lebih baik pasca HMT. Kadar abu yang tinggi diduga meningkatkan pembukaan double heliks teta- pi memperlambat pengaturan ulang karena adanya gaya tolak-menolak antara mu- atan sejenis. Kondisi ini menyebabkan pengaturan ulang rantai pati tidak serapat 92 Tabel 5.7 Korelasi nilai intensitas perubahan absolut parameter pasting setelah HMT dengan beberapa sifat kimia tapioka native Intensitas dari Abu Lemak Protein Amilosa Amilo- pektin Uk. granula SP native Solub native Kristalinitas native SP relatif 1 Solub relatif Penurunan V puncak Pearson Corr. -0,968 -0,743 -0,145 -0,798 -0,180 0,013 -0,588 -0,100 0,911 0,412 0,415 Sig. 1-tailed 0,003 0,075 0,408 0,053 0,386 0,491 0,148 0,436 0,016 0,245 0,243 Penurunan VBD-R Pearson Corr. -0,549 -0,877 0,588 -0,237 0,123 0,794 -0,673 -0,639 0,349 0,522 0,633 Sig. 1-tailed 0,169 0,025 0,149 0,350 0,422 0,054 0,107 0,123 0,283 0,183 0,126 Peningkatan VB-R Pearson Corr. 0,877 0,846 0,169 0,899 0,351 -0,276 0,862 0,471 -0,869 -0,742 -0,739 Sig. 1-tailed 0,025 0,035 0,393 0,019 0,281 0,326 0,030 0,211 0,028 0,076 0,077 Peningkatan T pasting Pearson Corr. 0,552 0,547 0,494 0,921 0,601 -0,152 0,834 0,540 -0,690 -0,840 -0,776 Sig. 1-tailed 0,167 0,170 0,199 0,013 0,142 0,404 0,040 0,174 0,099 0,037 0,062 Peningkatan T puncak Pearson Corr. -0,855 -0,429 -0,285 -0,657 -0,126 -0,367 -0,220 0,305 0,802 -0,220 0,039 Sig. 1-tailed 0,032 0,235 0,321 0,114 0,420 0,272 0,361 0,309 0,051 0,361 0,475 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah 1 Nilai relatif adalah rasio antara nilai HMT terhadap nilai native 93 yang kadar abunya rendah. Ukuran granula yang besar juga menghasilkan penga- turan ulang yang lebih longgar dibandingkan granula berukuran kecil, terkait de- ngan besarnya daerah yang harus dipengaruhi selama proses. Suhu pasting tapioka HMT lebih tinggi dari bentuk nativenya. Penetrasi air ke dalam granula menyebabkan granula membengkak dan viskositas naik. Dae- rah amorfis yang strukturnya tidak serapat daerah kristalin menjadi bagian perta- ma yang ditembus air. Peningkatan suhu pasting setelah HMT mengindikasikan terjadinya penguatan integritas struktur di daerah amorfous. Peningkatan amilosa dan SP tapioka native berkorelasi positif dengan peningkatan suhu pasting Tabel 5.7. Peningkatan amilosa menyebabkan interaksi amilosa dengan amilosa, ami- lopektin dan lemak akan lebih intensif sehingga struktur daerah amorfis menjadi lebih kompak. Penguatan ikatan intragranular menyebabkan kebutuhan panas un- tuk merusak struktur pati agar pembentukan pasta bisa berlangsung menjadi me- ningkat Adebowale et al., 2009. Sedikit peningkatan suhu puncak teramati pada tapioka HMT. Karena suhu puncak terkait dengan kondisi kesetimbangan antara granula yang mengembang utuh dan yang pecah, maka peningkatan suhu puncak mengindikasikan terjadinya peningkatan kekuatan danatau keteraturan struktur granula pasca HMT. Pening- katan suhu puncak cenderung berbanding lurus dengan kristalinitas tapioka native tetapi berbanding terbalik dengan kadar abu Tabel 5.7. Muatan negatif dari komponen mineral abu diduga akan menjauhkan jarak antar rantai pati selama proses HMT. Akibatnya, rantai amilopektin yang telah terbuka doubel heliksnya secara fisik akan terhambat interaksinya. Kondisi ini akan menurunkan intensitas interaksi antar rantai pati dibandingkan dengan yang kandungan abunya rendah. Kecenderungan peningkatan suhu puncak dengan naiknya kristalinitas pati native mengindikasikan bahwa proses interaksi tidak hanya terjadi di bagian amorfous tetapi juga di bagian kristalin yang melibatkan interaksi antar rantai samping amilopektin. Penurunan viskositas puncak pasca HMT akan meningkat jika granula native memiliki kadar abu, amilosa dan lemak rendah dengan kristalinitas yang tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penurunan viskositas puncak akan lebih dipengaruhi oleh peningkatan keteraturan di daerah kristalit. 94 Peningkatan VB-R pasca HMT akan lebih besar pada tapioka native dengan kadar abu, lemak, amilosa dan SP yang tinggi dengan kristalinitas yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan VB-R akan lebih tinggi jika keter- aturan daerah amorfis meningkat. Peningkatan VB-R juga sejalan dengan penu- runan SP dan solubilitas Tabel 5.7. Peningkatan kekuatan daerah amorfis dan penurunan SP dan solubilitas yang besar setelah HMT akan mempertahankan ukuran granula tidak membesar secara drastis selama pemanasan sehingga ami- losa yang lisis akan lebih mudah berinteraksi selama proses pendinginan. VBD-R turun pasca HMT. Viskositas breakdown mengukur kemudahan ter- jadinya disintegrasi dari granula pati yang membengkak, dan menjadi indikasi da- ri tingkat keteraturan di dalam granula Adebowale et al., 2009. Penurunan vis- kositas breakdown pasca HMT mengindikasikan bahwa pati menjadi lebih stabil selama proses pemanasan dan pengadukan Adebowale et al., 2005; Olayinka et al ., 2008 dan Watcharatewinkul et al., 2009. Penurunan VBD-R akan meningkat jika kadar lemak rendah, mengindikasikan bahwa kekuatan ikatan kompleks ami- losa-lemak terhadap pemanasan tidak sebesar ikatan amilosa-amilosa atau ami- losa-amilopektin. Penurunan VBD-R juga cenderung terjadi jika pati native me- miliki ukuran granula yang besar dengan SP dan solubilitas yang rendah. Tekstur Gel pati adalah sistim padat-cair yang terbentuk karena proses retrogradasi selama proses pendinginan pasta pati. Molekul amilosa bebas membentuk ikatan hidrogen tidak saja dengan sesama amilosa tetapi juga dengan percabangan amilopektin yang menjulur dari granula yang membengkak, memerangkap cairan dan menyebabkan terbentuknya gel yang kuat selama pendinginan Collado dan Corke, 1999. Proses HMT menyebabkan perubahan pada karakteristik tekstur gel yang dihasilkan Gambar 5.6. Atribut yang sangat terpengaruh oleh proses HMT adalah kekerasan dan kelengketan yang meningkat pasca HMT. Sifat kepaduan dan elastisitas gel tapioka sedikit menurun pasca HMT Tabel 5.8. Hasil ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Jyothi et al. 2010 yang mengatakan bahwa HMT meningkatkan kekerasan gel tapioka, tetapi menurunkan kekerasan dari gel 95 pati ubi jalar dan garut; meningkatkan kelengketan dan menurunkan elastisitas dari gel tapioka, ubi jalar dan garut modifikasi. Peningkatan kekerasan dan kelengketan gel pada pati ubi jalar modifikasi HMT juga dilaporkan oleh Collado dan Corke 1999. Gambar 5.6 Diagram analisis profil tekstur gel tapioka dari lima varietas ubi kayu biru: pati native, merah: pati HMT Perubahan parameter tekstur terjadi dalam intensitas yang bervariasi. Guna- ratne dan Corke 2007 dari berbagai sumber menyebutkan bahwa variasi sifat tekstur tergantung pada konsentrasi amilosa dan karakteristik matriks gel amilosa, kekakuan dari partikel pati yang membengkak, fraksi volume dari granula yang 96 membengkak dan interaksi antara pati yang membengkak dengan matriks amilosa karena ini akan mempengaruhi tingkat pembengkakan dan kelarutan. Tabel 5.8 Atribut tekstur dari tapioka native dan tapioka HMT Native HMT Intensitas perubahan Kekerasan Thailand 162,48 ± 2,86 a 448,28 ± 6,28 c 175,99 ± 8,72 c Kasetsar 227,74 ± 24,69 ab 428,17 ± 18,59 bc 89,56 ± 28,71 b Pucuk biru 226,2 ± 3,53 ab 226,77 ± 11,95 a 0,23 ± 3,72 a Faroka 254,15 ± 35,96 b 382,16 ± 10,86 b 51,59 ± 17,18 ab Adira 4 196,43 ± 9,87 ab 507,05 ± 7,36 d 158,37 ± 9,23 c Kepaduan Thailand 0,66 ± 0 a 0,67 ± 0,04 a 1,38 ± 6,64 a Kasetsar 0,68 ± 0 a 0,6 ± 0,02 a -12,48 ± 2,65 a Pucuk biru 0,66 ± 0,02 a 0,65 ± 0 a -2,74 ± 2,78 a Faroka 0,69 ± 0 a 0,61 ± 0,01 a -10,49 ± 2,81 a Adira 4 0,67 ± 0 a 0,59 ± 0,03 a -11,75 ± 4,58 a Kelengketan Thailand 19,66 ± 11,53 a 76,58 ± 2,82 ab 375,56 ± 293,24 a Kasetsar 66,73 ± 15,48 b 94,98 ± 3,25 c 46,86 ± 38,95 a Pucuk biru 42,42 ± 1,36 ab 65,77 ± 0,41 a 55,12 ± 4,02 a Faroka 65,97 ± 8,86 b 72,21 ± 6,25 ab 9,82 ± 5,26 a Adira 4 51,57 ± 2,95 ab 85,98 ± 1,49 bc 67,09 ± 12,47 a Elastisitas Thailand 0,97 ± 0,01 a 0,96 ± 0,01 b -1,12 ± 2,02 a Kasetsar 0,89 ± 0,04 a 0,93 ± 0,01 b 5,12 ± 5,23 a Pucuk biru 0,94 ± 0 a 0,9 ± 0,01 a -5,15 ± ,70 a Faroka 0,91 ± 0,03 a 0,93 ± 0,01 b 2,61 ± 1,55 a Adira 4 0,91 ± 0,01 a 0,93 ± 0 b 2,60 ± 1,05 a Perubahan yang terjadi selama proses HMT memberikan pengaruh berbeda pada karakteristik tekstur gel tapioka HMT. Tingkat kristalinitas, kadar amilosa, lemak dan abu serta kapasitas pembengkakan dan solubilitas tapioka native adalah faktor-faktor yang berperan dalam perbedaan intensitas perubahan atribut tekstur Tabel 5.9. Peningkatan kapasitas pembengkakan SP dan solubilitas native ter- utama berperan pada perubahan yang menyebabkan meningkatnya kekerasan gel yang dibuat dari tapioka HMT. Peningkatan SP native juga mengintensifkan per- ubahan yang meningkatkan kelengketan granula. Sementara itu, pada kisaran ami- losa yang diamati, perbedaan kadar amilosa dan tingkat kristalinitas berpengaruh pada peningkatan kelengketan tekstur gel. Kadar abu selain mempengaruhi ke- lengketan, juga berpengaruh pada perubahan sifat kepaduan gel. Peningkatan kekerasan yang lebih intensif terjadi jika pati native memiliki kapasitas pembengkakan dan solubilitas yang lebih besar. Diduga bahwa dengan SP dan solubilitas yang lebih tinggi, maka proses destruksi dan pengaturan kem- 97 bali struktur granula pati berlangsung dengan lebih intensif, termasuk juga memi- cu rusaknya sebagian struktur kristalin dan putusnya sebagian amilosa berantai pendek yang lebih mudah lisis dan mengalami retrogradasi. Pengaturan yang lebih intensif menyebabkan penurunan SP dan solubilitas pasca HMT lebih besar. Selama pendinginan pasta, ukuran granula yang kecil akan menyebabkan proses retrogradasi berlangsung lebih intensif sehingga kekerasan meningkat. Peningkatan kelengketan akan terjadi jika keteraturan di daerah amorfis meningkat. Peningkatan daerah amorfis akan lebih besar jika kadar abu, lemak, amilosa dan SP pati native meningkat. Tabel 5.9 Korelasi nilai intensitas perubahan parameter tekstur setelah HMT dengan beberapa sifat fisikokimia tapioka native Abu Lemak Ami- losa Amilo- pektin Kristalini tas native SP native Solub native Kekerasan Pearson corr. 0,211 0,555 0,631 0,556 -0,292 0.907 0.916 Sig.1-tailed 0,366 0,166 0,127 0,165 0,317 0,017 0,014 Kepaduan Pearson corr. 0.841 0,620 0,674 0,232 -0,686 0,420 0,006 Sig.1-tailed 0,037 0,132 0,106 0,354 0,100 0,241 0,496 Keleng- ketan Pearson corr. 0.815 0.823 0.903 0,455 -0,770 0.868 0,522 Sig.1-tailed 0,046 0,043 0,018 0,220 0,064 0,028 0,183 Elastisitas Pearson corr. -0,595 -0,570 -0,044 0,337 0,326 -0,126 0,047 Sig.1-tailed 0,145 0,158 0,472 0,290 0,296 0,420 0,470 . Korelasi signifikan pada α 0,05 1-arah; . Korelasi signifikan pada α 0,01 1-arah Daya Cerna Pati Gelatinisasi Daya cerna pati gelatinisasi dari lima tapioka yang diamati berkisar dari 81,99 Kasetsar sampai 92,32 Adira 4. Proses HMT pada kadar air 20, suhu 110°C selama 4 jam menyebabkan penurunan daya cerna pati gelatinisasi. Tampak adanya perbedaan penurunan daya cerna pati gelatinisasi pasca HMT pada varietas berbeda Gambar 5.7. Penurunan daya cerna pati masak setelah proses HMT juga telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Menurut Güzet dan Sayar 2008, HMT menyebabkan penurunan daya cerna pati gelatinisasi beberapa pati legume relatif terhadap pati native nya terjadi peningkatan slowly digestible starch, SDS danatau resistant starch , RS serta penurunan rapidly digestible starch, RDS sementara Chung et al . 2008 melaporkan penurunan RDS dan SDS serta peningkatan RS pada pati lentil, pea dan jagung yang diberi perlakuan HMT. 98 Gambar 5.7 Daya cerna tapioka masak atas: DC tapioka native dan HMT; bawah: persentase DC tapioka HMT relatif terhadap native Penurunan RDS dan peningkatan SDS dan RS pati setelah HMT mengin- dikasikan bahwa beberapa interaksi yang terbentuk selama proses HMT mungkin tetap bertahan setelah proses gelatinisasi sehingga menghambat akses antara enzim dan pati. Pada proses HMT dapat terjadi rekristalisasi karena interaksi amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin dan amilopektin-amilopektin. Menurut Chung et al. 2008, interaksi amilosa-amilosa berperan lebih besar dalam penu- runan daya cerna penurunan RDS dan peningkatan RS karena ikatan ini 99 membutuhkan suhu tinggi untuk merusaknya. Rantai amilosa dan amilopektin yang lebih panjang juga menyebabkan pembentukan ikatan yang lebih kuat. Mengutip beberapa sitasi, Güzet dan Sayar 2008 menyebutkan bahwa struktur kristal dan sifat permukaan granula juga bisa mempengaruhi daya cerna pati pasca HMT. SIMPULAN Tapioka dari lima varietas ubi kayu Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka dan Adira-4 menunjukkan efek yang relatif mirip terhadap proses HMT yang dilakukan selama 4 jam pada kadar air 20 dan suhu 110°C. Dalam semua pati teramati bahwa sebagian dari pati yang di HMT kehilangan sifat birefringence di bagian tengah granulanya. Walaupun menyebabkan penurunan kristalinitas dan intensitas dari empat puncak utama pada semua tapioka yang diamati, HMT diduga menyebabkan peningkatan struktur internal di dalam granula pati terutama di daerah amorfis. Kapasitas pembengkakan menurun setelah modifikasi. Pengaruh berbeda terlihat pada solubilitas. Tapioka Thailand dan Adira 4 mengalami penurunan solubilitas sementara tiga tapioka lainnya mengalami peningkatan solubilitas. Stabilitas gel tapioka selama penyimpanan beku menurun dengan perlakuan HMT. Gel dari tapioka HMT mengalami sineresis pada satu siklus pembekuan – pencairan. Sineresis tidak dijumpai pada gel yang berasal dari tapioka native. HMT meningkatkan ketahanan pati terhadap panas. Analisis RVA tapioka native dan tapioka HMT menunjukkan bahwa tapioka HMT memiliki suhu pasting dan suhu puncak yang lebih tinggi dengan penurunan yang tajam pada viskositas puncak, penurunan viskositas BD relatif terhadap viskositas puncak dan peningkatan viskositas balik relatif terhadap viskositas panas. Analisis profil tekstur menunjukkan bahwa tapioka HMT menghasilkan gel dengan kekerasan dan kelengketan yang lebih tinggi dengan sifat kepaduan yang sedikit lebih renah dari tapioka native sementara sifat elastisitas gel relatif tetap. Proses HMT juga menyebabkan penurunan daya cerna tapioka gelatinisasi. Hasil ini mengindikasikan potensi pembentukan RS pada proses HMT tapioka. Analisis korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa besarnya intensitas perubahan yang 100 terjadi selama proses HMT dipengaruhi oleh ukuran granula, kadar amilosa, abu dan lemak, serta tingkat kristalinitas maupun kapasitas pembengkakan dan solubilitas dari tapioka native. DAFTAR PUSTAKA Abraham TE. 1993. Stabilization of paste viscosity of cassava starch by heat moisture treatment. StarchStärke 454:131 –135 Adebowale KO, Lawal OS. 2003. Microstructure, physicochemical properties and retrogradation behaviour of mucuna bean Mucuna pruriens starch on heat moisture treatments. Food Hydrocolloids 17 3: 265-272 Adebowale KO, Henle T, Schwarzenbolz U, Doert T. 2009. Modification and properties of African yam bean Sphenostylis stenocarpa Hochst Ex. A. Rich harms starch I: heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocolloids 23:1947 –1957 Adebowale KO, Olu-Owolabi BI, Olayinka OO, Lawal OS. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch. African Journal of Biotechnology 49:928 –933 Adebowalea KO, Afolabi TA, Olu-Owolabi BI. 2005. Hydrothermal treatments of Finger millet Eleusine coracana starch. Food Hydrocolloids 19:974 – 983 Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and Pasting Properties of Rice Starch Heat-Moisture Treated at the Melting Temperature Tm. StarchStärke 54: 401 –409 Becker A, Hill SE, Mitchell JR. 2001. Relevance of amylose-lipid complexes to the behaviour of thermally processed starches. StarchStärke 53:121 –130 Chung H-J, Liu Q, Hoover R. 2008. Impact of annealing and heat-moisture treatment on rapidly digestible, slowly digestible and resistant starch levels in native and gelatinized corn, pea and lentil starches. Carbohydrate Polymers 75Issue 3:436 –447 Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 3 p. 339- 346 Franco, CML, Ciacco CF, Tavares DQ. 1995. Effect of the heat-moisture treatment on the enzymatic susceptibility of corn starch granules. StarchStärke 47 6 223-228 Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat –moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers 494: 425 –437 Gunaratne A, Corke H. 2007. Effect of hydroxypropylation and alkaline treatment in hydroxypropylation on some structural and physicochemical 101 properties of heat-moisture treated wheat, potato and waxy maize starches. Carbohydrate Polymers 68:305 –313 Güzel D, Sayar S. 2010. Digestion profiles and some physicochemical properties of native and modified borlotti bean, chickpea and white kidney bean starches. Food Research International 43:2132 –2137 Hoover R, Manuel H. 1996. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starches. Food Research International 298:731 –750 Jiranuntakul W, Puttanlek C, Rungsardthong V, Puncha-arnon S, Uttapap D. 2011. Microstructural and physicochemical properties of heat-moisture treated waxy and normal starches. Journal of Food Engineering 104: 246 –258 Jyothi AN, Sajeev MS, Sreekumar JN. 2010. Hydrothermal modifications of tropical tuber starches. 1. Effect of heat-moisture treatment on the physicochemical, rheological and gelatinization characteristics. StarchStärke 62:28 –40 Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic Observation and X-Ray Diffractiometry of heatmoisture-treated strach granules. StarchStärke 46 12 463-469 Khunae P, Tran T, Sirivongpaisal P. 2007. Effect of heat-moisture treatment on structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. StarchStärke 59: 593-599. Lawal OS, Adebowale KO. 2005. An assessment of changes in thermal and physico-chemical parameters of jack bean Canavalia ensiformis starch following hydrothermal modifications. Eur Food Res Technol 221: 631 – 638 Lim S-T, Chang E-H, Chung H-J. 2001. Thermal transition characteristics of heat –moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46 2: 107-115 Lorenz K, Kulp K. 1982. Physico-chemical properties of defatted heat-moistured treated starches. StarchStärke 4:123 –129 Lorenz K, Collins F, Kulp K. 1983. Physico-chemical properties of defatted heat-moisture treated starches. StarchStarke 35 4 123 –129 Mishra S, Rai T. 2006. Morphology and functional properties of corn, potato and tapioca starches. Food hydrocolloids 205: 557-566 Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Petunjuk Laboratorium Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Olayinka OO, Adebowale KO, Olu-Owolabi BI. 2008. Effect of heat-moisture treatment on physicochemical properties of white sorghum starch. Food Hydrocolloids 22: 225 –230 102 Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural Transformation of Sago Starch by Heat-Moisture and Osmotic-Pressure Treatment. Starch-stärke 59 12: 624-631. Pukkahuta C, Shobsngob S, Varavinit S. 2007. Effect of osmotic pressure on starch: new method of physical modification of starch. StarchStärke 58:78-90 Pukkahuta C, Suwannawat B, Shobsngob S, Varavinit S. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat –moisture treated corn starch. Carbohydrate Polymers 72:527– 536 Sriroth K, Piyachomkwan K, Wanlapatit S, Oates CG. 2000. Cassava starch technology: the Thai experience. StarchStärke 52: 439-449 Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An x-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymer 64: 364-375. Wang L, Xie B, Shi J, Xue S, Deng Q, Wei Y, Tian B. 2010. Physicochemical properties and structure of starches from Chinese rice cultivars. Food Hydrocolloids 24 Issues 2-3: 208-216 Watcharatewinkul Y, Puttanlek C, Rungsardthong V, Uttapap D. 2009. Pasting properties of a heat-moisture treated canna starch in relation to its structural characteristics. Carbohydrate Polymers 75:505 –511 Zavareze ER, Storck CR, Suita de Castro LA, Schirmer MA, Dias ARG. 2010. Effect of heat-moisture treatment on rice starch of varying amylose content. Food Chemistry 1212 358 –365 103 PENGARUH PROSES HMT TERHADAP KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN KRISTALINITAS TAPIOKA Effect of Heat-Moisture-Treatment on Morphology and Crystallinity of Tapioca ABSTRACT Tapioca starch was modified by heat moisture treatment HMT for 4 hours at 110 and 120°C, and moisture content at 18 and 20. The polarization cross at the center of HMT tapioca granules became unclear and it was seem like a hollow area. Some of HMT tapioca granules also showed holes at their surfaces. The starch exhibited the A-type cristallinity patern before and after treatment but the cristallinity decreased. The changes in morphology and crystallinity were influenced by temperature and moisture content of process. The changes took places more intensive at higher process temperatures and water content. Key words : tapioca, heat-moisture treatment, morphology, crystallinity PENDAHULUAN Variasi dari karakteristik fisikokimia pati modifikasi HMT dapat terjadi ka- rena perbedaan kondisi proses seperti kadar air Vermeylen et al., 2006; Ade- bowale 1 et al., 2005, suhu Adebowale dan Lawal, 2003; Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007 dan waktu proses Collado and Corke, 1999. Proses HMT pada suhu 100°C selama 16 jam pada berbagai kadar air ber- kisar antara 18 – 30 dilaporkan tidak mengubah bentuk dan ukuran granula pati beras Khunae et al., 2007; Franco et al., 1995, pati sorghum –finger millet Ade- bowale 2 et al., 2005, tapioka Abraham, 1993, African yam bean Adebowale 3 et al. , 2005, gandum, oat, lentil, kentang dan yam tetapi mengubah pengaturan granula oat dari bentuk agregat menjadi terpisah-pisah Hoover dan Vasanthan, 1994. Perubahan permukaan granula dilaporkan pada pati jagung dan kentang Pukkahuta et al., 2008; Pukkahuta et al., 2007 dan Kawabata et al., 1994 serta sebagian kecil pati ubi jalar dan jahe Vieira dan Sarmento, 2008. Beberapa penelitian melaporkan pembentukan rongga dan mengaburnya persilangan polarisasi dibagian tengah granula pati HMT Pukkahuta et al., 2007; 104 Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007, mengindikasikan struk- tur jaringan pusat relatif lemah. Kadar air pati, suhu dan waktu HMT mempe- ngaruhi morfologi pati termodifikasi. Pada kadar air tetap, peningkatan intensitas panas suhu dan waktu proses menyebabkan peningkatan ukuran rongga Pukka- huta et al., 2007. Pada waktu tetap dan kadar air ≥ 3 g s s s akan memperbesar rongga pada pati kentang HMT Vermeylen et al, 2006. HMT tidak mengubah kristal tipe A seperti dilaporkan pada pati jagung, ubi jalar, beras dan tapioka Kawabata et al., 1994; Pukkahuta et al., 2008; Franco et al ., 1995; Collado dan Cork, 1999; Gunaratne dan Hoover, 2002; Khunae et al., 2007. Pengaturan ulang double heliks karena HMT pada kadar air berbeda bisa meningkatkan atau menurunkan kristalinitas granula seperti dilaporkan pada pati jagung Franco et al., 1995. Penurunan kristalinitas relatif pati HMT dilaporkan pada kentang Vermeylen et al., 2006, tapioka dan yam Gunaratne dan Hoover, 2002. Interaksi kadar amilosa pati beras dan kadar air proses mempengaruhi kris- talinitas pati HMT secara berbeda. Pada amilosa rendah sampai sedang, pening- katan kadar air proses menurunkan kristalinitas relatif. Pada amilosa tinggi, pem- bentukan kristal V kompleks amilosa-lemak meningkat dengan naiknya kadar air. Pembentukan kompleks ini menggantikan hilangnya daerah kristalin pati alami, dan menjelaskan mengapa rasio kristalinitas pada pati beras beramilosa tinggi tidak berubah Khunae et al., 2007. Pengaruh suhu dan kadar air HMT pada kristalinitas pati kentang telah dila- porkan Vermeylen et al., 2006. Perubahan kristal tipe B menjadi A meningkat dengan naiknya suhu dan mencapai maksimal pada 130 o C. Kristalinitas total me- ningkat pada suhu 120 o C sementara penurunan kristalinitas total terjadi jika suhu proses ≤120 o C. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan kadar air pro- ses HMT terhadap perubahan morfologi dan kristalinitas granula tapioka. 105 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah tapioka dari ubi kayu varietas Faroka umur panen 15 bulan dan akuades. Pembuatan Tapioka HMT Proses HMT dilakukan menggunakan kadar air 18 dan 20 masing-masing pada dua tingkat suhu 110 dan 120°C selama 240 menit. Prosedur pembuatan tapioka HMT seperti dijelaskan di dalam bab Pengaruh Heat Moisture Treatment Terhadap Karakteristik Fisiko Kimia Tapioka pada sub-bab Bahan dan Metode. Morfologi Granula Tapioka Bentuk granula pati diamati dengan polarized light microscope Olympus Optical Co.Ltd, Japan yang dilengkapi kamera menggunakan modifikasi metode Becker et al. 2001. Metode analisis seperti pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka Dari Lima Varietas Ubi Kayu. Bentuk permukaan granula pati diamati menggunakan scanning electron microscope Zeiss tipe EVO 50. Sampel dilihat pada perbesaran 1000 dan 5000 kali. Struktur Kristal dan Kristalinitas Pati Struktur kristal dan kristalinitas diamati dari difraktogram sinar-X menggunakan difraktometer sinar-X X-ray diffractometer dengan metode Kawabata et al. 1994. Metode analisis seperti pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka Dari Lima Varietas Ubi Kayu. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Granula Proses HMT menyebabkan perubahan morfologi granula tapioka dan inten- sitasnya dipengaruhi oleh kondisi proses. Sebagian granula tapioka HMT 106 mengalami kehilangan birefringence di bagian tengah granula yang mengindikasi- kan hilangnya daerah kristalin pati. Pada lama waktu proses yang sama 4 jam, intensitas perubahan granula dipengaruhi oleh suhu dan kadar air. Perubahan akan meningkat ketika suhu danatau kadar air proses HMT dinaikkan Gambar 6.1. Perubahan terbesar terjadi pada tapioka yang diproses pada kadar air 20 dan suhu 120°C, dimana sebagian kecil granula kehilangan seluruh sifat birefringencenya. Gambar 6.1. Penampakan granula tapioka dilihat dengan mikroskop polarisasi 18, 110C, 240 mnt 18, 120C, 240 mnt 20, 110C, 240 mnt 20, 120C, 240 mnt native 107 Pengamatan dengan SEM Gambar 6.2 menunjukkan bahwa permukaan dari sebagian granula tapioka modifikasi membentuk cekungan seperti rongga. Intensitas perubahan meningkat dengan meningkatnya suhu danatau kadar air proses. Tapioka HMT yang diproses pada suhu 120°C dan kadar air 20 selama 4 jam bahkan menunjukkan perubahan bentuk granula menjadi tidak beraturan yang mengindikasikan terjadinya gelatinisasi parsial Gambar 6.3. Pukkahuta et al. 2007, Vermeylen et al. 2006 dan Shin et al. 2005, me- nyebutkan bahwa perubahan morfologi granula akibat proses HMT dipengaruhi oleh kadar air, suhu, waktu proses dan teknik yang digunakan. Pukkahuta et al. 2007 mengamati terjadinya pembentukan cekungan rongga di permukaan gra- nula yang mengalami proses termal lebih intensif. Sementara itu, Shin et al. 2005 mengamati terbentuknya cekungan di permukaan pati ubi jalar yang diberi perlakuan hidrotermal jika kadar air dinaikkan. Tapioka native Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 18 dan suhu 110°C Gambar 6.2 Permukaan granula tapioka HMT dari kombinasi dua kadar air dan 2 suhu proses selama 240 menit 108 Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 20 dan suhu 110°C Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 18 dan suhu 120°C Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 20 dan suhu 120°C Gambar 6.2 Permukaan granula tapioka HMT dari kombinasi dua kadar air dan 2 suhu proses selama 240 menit lanjutan Perubahan Kristalinitas Proses HMT tidak menyebabkan perubahan tipe kristalit tapioka tipe A tetapi menurunkan kristalinitas Gambar 6.4. Penurunan kristalinitas dipengaruhi 109 oleh kadar air dan suhu proses. Kadar air lebih berperan dalam proses penurunan kristalinitas Tabel 6.1. Penurunan kristalinitas karena peningkatan suhu proses pada kadar air 18 tidak terlalu besar. Tetapi, ketika kadar air dinaikkan menjadi 20, maka peningkatan suhu secara drastis menyebabkan penurunan kristalinitas. Lim et al. 2001 menyatakan bahwa aplikasi panas atau air yang berlebihan un- tuk proses HMT mereduksi kristalinitas dari pati jagung dan kentang. Gambar 6.3 Perubahan bentuk granula tapioka HMT yang diproses pada kadar air 20 dan suhu 120°C selama 240 menit Tabel 6.1 Pengaruh suhu dan kadar air proses HMT terhadap kristalinitas tapioka Perlakuan Kristalinitas Native 26,76 Modifikasi Kadar air 18 Suhu 110°C 25,36 Suhu 120°C 24,09 Kadar air 20 Suhu 110°C 25,59 Suhu 120°C 21,32 SIMPULAN Suhu dan kadar air proses HMT berpengaruh pada intensitas perubahan morfologi dan kristalinitas granula tapioka. Perubahan yang lebih intensif terjadi pada suhu 120°C. Pada suhu yang sama, intensitas perubahan akan meningkat jika kadar air proses dinaikkan dari 18 menjadi 20. Proses HMT yang dilakukan 110 Gambar 6.4 Difraktogram sinar X dari tapioka native dan tapioka HMT 111 dilakukan pada suhu 120°C dan kadar air 20 memicu terjadinya penurunan kristalinitas yang lebih besar, juga menyebabkan sebagian kecil granula pati kehilangan seluruh kemampuan birefringencenya dan mengalami perubahan bentuk granula yang mengindikasikan terjadinya gelatinisasi parsial. DAFTAR PUSTAKA Abraham TE. 1993. Stabilization of paste viscosity of cassava starch by heat moisture treatment. StarchStärke 454:131 –135 Adebowale KO, Lawal OS. 2003. Microstructure, physicochemical properties and retrogradation behaviour of mucuna bean Mucuna pruriens starch on heat moisture treatments. Food Hydrocolloids 17 3: 265-272 Adebowale 1 KO, Olu-Owolabi BI, Olayinka OO, Lawal OS. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch. African Journal of Biotechnology 49:928 –933 Adebowale 2 KO, Afolabi TA, Olu-Owolabi BI. 2005. Hydrothermal treatments of finger millet Eleusine coracana starch. Food Hydrocolloids 19 6: 974-983 Adebowale 3 KO, Henle T, Schwarzenbolz, Doert T. 2005. Modification and properties of African yam bean Sphenostylis stenocarpa Hochst. Ex A. Rich Harms starch: heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocolloids 23: 1947-1957 Becker A, Hill SE, Mitchell JR. 2001. Relevance of amylose-lipid complexes to the behaviour of thermally processed starches. StarchStärke 53:121 –130 Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 3 p. 339- 346 Franco, CML, Ciacco CF, Tavares DQ. 1995. Effect of the heat-moisture treatment on the enzymatic susceptibility of corn starch granules. StarchStärke 47 6 223-228 Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat –moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers 49 4: 425-437 Hoover R, Vasanthan T. 1994. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of cereal, legume and tuber starches. Carbohydrate Research 252: 33-53 Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic observation and X-ray diffractiometry of heatmoisture-treated strach granules. StarchStärke 46 12 463-469 112 Khunae P, Tran T, Sirivongpaisal P. 2007. Effect of heat-moisture treatment on structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. StarchStärke 59: 593-599. Lim S-T, Chang E-H, Chung H-J. 2001. Thermal transition characteristics of heat –moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46 2: 107-115 Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural Transformation of Sago Starch by Heat-Moisture and Osmotic-Pressure Treatment. Starch-stärke 59 12: 624-631. Pukkahuta C, Shobsngob S, Varavinit S. 2007. Effect of osmotic pressure on starch: new method of physical modification of starch. StarchStärke 58:78-90 Pukkahuta C, Suwannawat B, Shobsngob S, Varavinit S. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristic of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. Carbohydrate Polymer 72: 527 – 536. Shin SI, Kim HJ, Ha HJ, Lee SH, Moon TW. 2005. Effect of Hydrothermal Treatment on Formation and Structural Characteristics of Slowly Digestible Non-pasted Granular Sweet Potato Starch. StarchStärke 57: 421 –430 Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An x-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymer 64: 364-375. Vieira FC, Sarmento SBS. 2008. Heat-moisture treatment and enzymatic digestibility of peruvian carrot, sweet potato and ginger starches. StarchStärke 60: 223-232 113 KINETIKA BEBERAPA SIFAT FISIKOKIMIA TAPIOKA SELAMA PROSES HMT ABSTRACT Kinetic modeling and Arrhenius equation have been used to determine the rate of change of selected physicochemical characteristics of tapioca as a function of temperature and time of the heat moisture treatment at the two different water content 18 and 20. Changes in peak viscosity, breakdown viscosity and setback viscosity of tapioca pastes were best modelled and explained using first-order kinetics. Changes in pasting temperature and gel hardness were modelled using zero-order kinetics. The rate of change of hardness was found to be the most temperature-dependent. Temperature-dependent of the rate of gel hardness changes was increased with increasing water content. Key words : tapioca, heat-moisture treatment, kinetic modeling PENDAHULUAN Heat Moisture Treatment merupakan proses modifikasi fisik untuk mengubah karakteristik pati sehingga sesuai untuk suatu kegunaan tertentu. Variasi dari karakteristik fisikokimia pati modifikasi HMT dapat terjadi karena perbedaan kondisi proses seperti kadar air Vermeylen et al., 2006; Adebowale et al ., 2005, suhu Adebowale dan Lawal, 2003; Vermeylen et al., 2006; Pukka- huta dan Varavinit, 2007 dan waktu proses Collado and Corke, 1999. Pengaruh kondisi proses suhu, waktu dan kadar air terhadap karakteristik pati modifikasi telah banyak dilaporkan. Hasilnya sangat bervariasi dan tergan- tung pada karakteristik jenis pati Jyothi et al., 2010; Lim et al., 2001; Khunae et al ., 2007; Collado dan Corke, 1999; Anderson dan Guraya, 2006 maupun jenis peralatan yang digunakan Abraham, 1993. Perbedaan komposisi kimia pati maupun perbedaan kecepatan pindah panas diduga menyebabkan perbedaan proses interaksi yang terjadi di dalam granula pati selama proses HMT. Hal ini menyebabkan hasil penelitian HMT sulit dibandingkan satu dengan yang lain. Jyothi et al. 2010 mengembangkan model untuk memprediksi perubahan sifat-sifat fisikokimia pada penggunaan kondisi proses kadar air, suhu dan waktu yang diamati dengan pendekatan persamaan respon permukaan untuk tapioka, pati 114 ubi jalar dan pati garut. Penelitian dilakukan menggunakan oven, pada kadar air 15 – 25 dengan kisaran suhu 80 - 120°C dan waktu proses 6 – 14 jam. Akan tetapi, tidak dijumpai penelitian yang membahas perubahan suatu sifat fisikokimia sebagai fungsi dari waktu proses pada suatu suhu dan kadar air tertentu, dan bagaimana sensitifitas perubahan parameter tersebut terhadap waktu. Model kinetika dapat dipakai untuk menjelaskan laju perubahan suatu atribut mutu sebagai fungsi waktu pada suatu suhu tertentu Van Boekel, 2008; Van Boekel dan Tijskens, 2001. Persamaan Arrhenius digunakan untuk melihat sensitifitas perubahan sifat tersebut terhadap suhu proses. Nilai E a yang diperoleh merupakan rintangan energi yang harus dilewati oleh molekul bahan untuk me- mulai suatu reaksi perubahan variabel respon Van Boekel, 2008. Pendekatan menggunakan model kinetika disini merupakan pendekatan rekayasa karena lebih kearah pemodelan matematis guna memahami jalannya perubahan untuk tujuan rekayasa dan bukan untuk memahami mekanisme reaksi kinetikanya Van Boekel dan Tijskens, 2001. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kinetika termal beberapa sifat fisikokimia tapioka dari varietas faroka selama proses HMT pada dua tingkat kadar air sebagai fungsi dari suhu dan waktu. Proses dilakukan dengan menggu- nakan retort yang disainnya memungkinkan sampel mencapai suhu target dalam waktu singkat untuk meminimalkan pengaruh waktu tunda terhadap perubahan karakteristik granula. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui laju perubahan suatu sifat fisikokimia pati sebagai fungsi dari waktu pada suatu kondisi suhu dan kadar air proses HMT dan sensitifitas perubahannya terhadap suhu proses. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah tapioka dari ubi kayu varietas Faroka dengan umur panen 15 bulan. Bahan-bahan lainnya adalah akuades dan bahan- bahan kimia untuk keperluan analisis. 115 Pembuatan Tapioka HMT Proses HMT dilakukan menggunakan pati dengan kadar air 18 dan 20. Proses dilakukan pada 4 suhu 100, 110, 115 dan 120 o C selama 0, 60, 120, 180, 240 dan 300 menit untuk suhu 100°C dan 0, 30, 60, 120, 180 dan 240 menit untuk tiga suhu lainnya. Prosedur pembuatan tapioka HMT dapat dilihat dalam bab Pengaruh Heat Moisture Treatment Terhadap Karakteristik Fisiko Kimia Tapioka pada Sub-Bab Bahan Dan Metode. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tapioka HMT Analisis dilakukan terhadap kapasitas pembengkakan dan solubilitas, karak- teristik pasting dan karakteristik gel. Metode analisis dapat dilihat pada bab-bab sebelumnya. Analisis Kinetika Termal Data analisis yang diperoleh digunakan untuk memilih parameter fisik yang dapat dijelaskan sebagai fungsi waktu pada suatu kombinasi suhu dan kadar air proses HMT. Selanjutnya ditentukan persamaan kinetika yang tepat untuk men- jelaskan perubahan parameter tersebut sebagai fungsi dari waktu, pada suatu kom- binasi suhu dan kadar air Gambar 3. Gambar 7.1 Contoh kurva hubungan waktu proses dan respon pada suatu kombinasi suhu dan kadar air R esp on Waktu proses menit T 1 T 2 T 3 T 4 Model:  ordo = ?  k = ? 116 Model persamaan yang menjelaskan hubungan perubahan parameter respon dengan perubahan waktu pada suatu kombinasi suhu dan kadar air dibuat dalam orde 0, 1 dan 2 menggunakan persamaan berikut: -n -n n- kt untuk n ≠ 1 ............................................................. 1 e p -kt untuk n = 1 ............................................................. 2 dimana c o = nilai parameter awal, c = nilai parameter pada waktu t, k = konstanta laju reaksi dan n = orde reaksi. Untuk suatu tingkat kadar air, pemilihan model yang tepat untuk suatu variabel respon dilihat dari orde yang menghasilkan persamaan linier dengan r 2 terbesar untuk semua suhu yang diamati. Model dengan r 2 yang besar pada semua suhu pengamatan menunjukkan bahwa model itu bisa menjelaskan kinetika perubahan variabel respon oleh perubahan suhu dan waktu. Model ketergantungan kecepatan reaksi terhadap suhu dibuat dengan persa- maan Arrhenius yang menghubungkan konstanta kecepatan reaksi k dengan suhu mutlaknya T menggunakan persamaan berikut: ..................................................................................... 3 dimana T = suhu absolut K, k = konstanta kecepatan reaksi, Ea = energi aktivasi Jmol -1 dan R = konstanta gas 8.314 Jmol -1 K -1 . HASIL DAN PEMBAHASAN Tapioka mengalami perubahan karakteristik fisikokimia karena proses HMT. Intensitas perubahan sifat fisikokimia tersebut dipengaruhi oleh kadar air, suhu dan waktu proses. Perubahan nilai dari beberapa sifat fisikokimia pati selama HMT menghasilkan pola tertentu dan laju perubahannya dapat ditentukan menggunakan persamaan kinetika termal. Pada penelitian ini, untuk masing-masing tingkat kadar air, dibuat hubungan persamaan antara perubahan suatu parameter fisiko- kimia sebagai fungsi dari waktu, pada suatu kondisi suhu proses. Persamaan dibuat dalam bentuk ordo 0, 1 dan 2. Pemilihan suatu ordo dilakukan jika persamaan dengan ordo tersebut memberikan nilai r² yang besar pada semua suhu pengamatan. 117 Perubahan Kapasitas Pembengkakan dan Solubilitas HMT menyebabkan penurunan kapasitas pembengkakan swelling power, SP tapioka. Penurunan berlangsung cepat pada periode awal pemanasan dan melambat pada pemanasan lebih lanjut. Fase penurunan melambat tercapai lebih cepat pada suhu proses yang lebih tinggi. Proses berlangsung lebih cepat pada kadar air yang lebih tinggi Gambar 7.2. Gambar 7.2 Grafik perubahan kapasitas pembengkakan tapioka selama HMT atas: pada kadar air 18; bawah: pada kadar air 20 118 Penurunan solubilitas teramati pada tapioka HMT Gambar 7.3. Pada kadar air 18, tidak terlihat pola yang jelas dari hubungan antara lama waktu proses dengan perubahan solubilitas pada 4 suhu proses yang diamati. Pola yang lebih baik terlihat jika HMT dilakukan pada kadar air 20. Terlihat bahwa HMT akan menurunkan solubilitas pati, tetapi intensitas penurunan akan semakin menurun dengan meningkatnya waktu proses. Waktu proses yang lebih lama akan menyebabkan solubilitas menjadi lebih tinggi dari solubilitas pati native. Gambar 7.3 Grafik perubahan solubilitas tapioka selama proses HMT 119 Perubahan SP berkorelasi negatif dengan kadar air dan waktu proses, sementara solubilitas berkorelasi negatif dengan kadar air proses. Sementara itu, perubahan SP berkorelasi positif dengan perubahan solubilitas. Tidak ditemukan korelasi antara perubahan SP danatau solubilitas dengan suhu proses Tabel 7.1. Tabel 7.1 Korelasi kondisi proses dengan perubahan SP dan solubilitas tapioka Kadar air Suhu C Waktu mnt Kapasitas Pembengkakan Pearson Corr. -0,323 -0,122 -0,558 Sig. 2-tailed 0,025 0,410 0,000 Solubilitas Pearson Corr. -0,302 0,062 -0,060 Sig. 2-tailed 0,037 0,674 0,687 Perubahan SP dan solubilitas akibat HMT sebagai fungsi dari waktu proses tidak bisa dijelaskan dengan persamaan ordo 0, 1 ataupun 2. Analisis nilai r² untuk persamaan ordo 0, 1 dan 2 menunjukkan bahwa perubahan SP danatau solubilitas sebagai fungsi dari waktu pada semua suhu pengamatan rendah r² 0,5 sehingga parameter kapasitas pembengkakan dan solubilitas tidak bisa dijadikan sebagai indikator untuk menilai perubahan selama proses HMT. Perubahan Karakteristik Pasting Perubahan karakteristik pasting karena proses HMT ditampilkan pada Gambar 7.4 – 7.5. Suhu dan waktu tampak lebih berperan dalam perubahan pola karakteristik pasting tapioka selama HMT, dibandingkan dengan kadar air. Perubahan parameter pasting juga menunjukkan bahwa pengaruh suhu proses lebih dominan dalam mengubah nilai parameter pasting dibandingkan kadar air proses. Secara umum terlihat bahwa perubahan parameter pasting berlangsung lebih lambat jika proses HMT dilakukan pada suhu 100°C Gambar 7.6. Dari pene- litian ini dapat disimpulkan bahwa HMT pada kadar air 18 dan 20 tidak efektif mengubah karakteristik pasting jika dilakukan pada suhu 100°C. Perubahan akan berlangsung cepat jika proses dilakukan pada suhu diatas 100°C. Proses yang di- lakukan selama tiga jam akan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik pasting secara drastis, tetapi peningkatan waktu proses selanjutnya hanya menyebabkan sedikit perubahan dibandingkan dengan waktu proses tiga jam. 120 Gambar 7.4 Viskogram tapioka setelah HMT pada suhu 100°C pada kadar air proses 18 gambar atas dan 20 gambar bawah 121 Gambar 7.5 Viskogram tapioka setelah HMT pada suhu 120°C pada kadar air proses 18 gambar atas dan 20 gambar bawah 122 a. Perubahan viskositas puncak tapioka HMT b. Perubahan viskositas breakdown tapioka HMT c. Perubahan viskositas breakdown relatif tapioka HMT d. Perubahan viskositas balik tapioka HMT Gambar 7.6 Kurva perubahan parameter pasting pada kombinasi suhu dan waktu pada dua tingkat kadar air proses kiri: kadar air 18, kanan: kadar air 20 123 e. Perubahan viskositas balik relatif tapioka HMT f. Perubahan suhu pasting tapioka HMT g. Perubahan suhu puncak tapioka HMT Gambar 7.6 Kurva perubahan parameter pasting pada kombinasi suhu dan waktu pada dua tingkat kadar air proses kiri: kadar air 18, kanan: kadar air 20 lanjutan Peningkatan waktu proses juga beresiko menyebabkan terjadinya gelatinisasi parsial yang dapat menyebabkan perubahan karakteristik tidak saja disebabkan oleh HMT tetapi juga oleh gelatinisasi. Analisis korelasi antara parameter proses suhu, waktu dan kadar air de- ngan parameter pasting menunjukkan adanya korelasi antara suhu dan lamanya waktu proses dengan parameter pasting. Tidak dijumpai korelasi antara kadar air proses dengan parameter pasting tapioka HMT yang dihasilkan Tabel 7.2. 124 Tabel 7.2 Korelasi antara parameter proses HMT kadar air, suhu dan waktu dengan parameter pasting tapioka Kadar air Suhu Waktu menit VP Pearson Corr. -0,024 -0,420 -0,726 Sig. 2-tailed 0,871 0,003 0,000 VBD Pearson Corr. -0,020 -0,382 -0,730 Sig. 2-tailed 0,894 0,007 0,000 VBD relatif Pearson Corr. -0,011 -0,340 -0,661 Sig. 2-tailed 0,940 0,018 0,000 VB Pearson Corr. 0,062 -0,385 -0,694 Sig. 2-tailed 0,674 0,007 0,000 VB relatif Pearson Corr. 0,250 0,593 0,409 Sig. 2-tailed 0,087 0,000 0,004 T pasting Pearson Corr. 0,126 0,362 0,712 Sig. 2-tailed 0,393 0,011 0,000 T puncak Pearson Corr. 0,156 0,398 0,594 Sig. 2-tailed 0,289 0,005 0,000 Nilai r² persamaan kinetika ordo 0, 1 dan 2 dari parameter pasting sebagai fungsi dari waktu pada suatu tingkat suhu dan kadar air menunjukkan bahwa perubahan nilai parameter VP, VBD dan VB terhadap waktu proses dapat dijelaskan menggunakan persamaan kinetika ordo-1 dan perubahan suhu pasting terhadap waktu proses dapat dijelaskan menggunakan persamaan kinetika ordo-0 Tabel 7.3. Sementara itu, perubahan parameter VBD-R, VB-R dan suhu puncak sebagai fungsi dari waktu tidak bisa dijelaskan menggunakan persamaan kinetika ordo 0 – 2 karena sebagian besar nilai r² dari persamaannya lebih kecil dari 0,5. Viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas balik dan suhu pasting memiliki pola kinetika yang jelas untuk kisaran suhu yang diamati Gambar 7.7.a – 7.7.d. Pengaruh waktu terhadap perubahan parameter pasting pada suhu proses dapat diketahui dari nilai slope persamaan Tabel 7.4. Nilai slope merupakan konstanta laju perubahan k parameter yang diamati terhadap waktu proses. Nilai k yang lebih besar mengindikasikan bahwa perubahan parameter tersebut berlangsung lebih besar dengan meningkatnya waktu proses. 125 Tabel 7.3 Nilai r² dari persamaan ordo 0, 1 dan 2 dari perubahan parameter pasting sebagai fungsi dari waktu Parameter Suhu °C Kadar air 18 Kadar air 20 Ordo-0 Ordo-1 Ordo-2 Ordo-0 Ordo-1 Ordo-2 VP 100 0,988 0,996 0,981 0,968 0,985 0,986 110 0,885 0,984 0,992 0,871 0,983 0,991 115 0,863 0,996 0,953 0,836 0,975 0,975 120 0,662 0,990 0,784 0,599 0,975 0,931 VBD 100 0,909 0,972 0,994 0,874 0,947 0,986 110 0,748 0,948 0,997 0,755 0,958 0,994 115 0,743 0,985 0,943 0,732 0,957 0,968 120 0,515 0,986 0,763 0,492 0,964 0,925 VB 100 0,591 0,625 0,653 0,852 0,846 0,835 110 0,972 0,946 0,904 0,925 0,908 0,883 115 0,956 0,944 0,903 0,927 0,924 0,903 120 0,962 0,950 0,777 0,951 0,970 0,899 T pasting 100 0,762 0,753 0,743 0,450 0,441 0,433 110 0,551 0,533 0,514 0,596 0,574 0,551 115 0,750 0,733 0,715 0,725 0,704 0,682 120 0,787 0,762 0,737 0,666 0,636 0,605 Ket: dibuat dengan titik potong pada X = 0 Dari nilai k terlihat bahwa perubahan parameter pasting berjalan lambat pada suhu 100°C. Laju perubahan akan meningkat secara tajam dengan meningkatnya suhu proses HMT. Kadar air proses mempengaruhi perubahan viskositas puncak, viskositas breakdown dan suhu pasting. Pada suhu dibawah 120°C, peningkatan kadar air akan meningkatkan kecepatan perubahan viskositas puncak, viskositas breakdown dan suhu pasting. Akan tetapi, peningkatan kadar air pada suhu 120°C akan me- nurunkan laju perubahan tiga parameter ini. Sementara itu, laju perubahan visko- sitas balik relatif akan berlangsung lambat pada kadar air yang lebih tinggi. Perubahan Karakteristik Tekstur Perlakuan suhu, waktu dan kadar air proses menyebabkan terjadinya peru- bahan kurva analisis profil tekstur gel Gambar 7.8. Pada suhu proses 100°C, kekerasan dan kelengketan gel tapioka relatif tetap pada kisaran waktu proses 126 yang digunakan. Pada suhu proses diatas 100°C, kekerasan dan kelengketan gel meningkat dengan meningkatnya suhu, waktu dan kadar air proses Gambar 7.9. Sifat kepaduan dan elastisitas gel tapioka tidak dipengaruhi oleh waktu, pada suhu proses 100 – 115°C. tampaknya tidak mempengaruhi sifat kepaduan dan elastisitas gel tapioka. Perubahan sifat kepaduan dan elastisitas gel dengan meningkatnya waktu dan kadar air proses terjadi jika proses HMT tapioka dilakukan pada suhu 120°C Gambar7.8. Tabel 7.4 Nilai k dari model kinetika termal untuk beberapa parameter pasting Ordo reaksi Suhu °C Kadar air 18 20 k r² k r² Viskositas puncak HMT relatif terhadap native Ordo 1 100 -0,0020 0,996 -0,0022 0,985 110 -0,0054 0,984 -0,0057 0,983 115 -0,0074 0,996 -0,0076 0,975 120 -0,0122 0,990 -0,0118 0,975 Viskositas breakdown HMT relatif terhadap native Ordo 1 100 -0,0026 0,972 -0,0027 0,947 110 -0,0063 0,948 -0,0068 0,958 115 -0,0088 0,985 -0,0089 0,957 120 -0,0138 0,986 -0,0134 0,964 Viskositas balik HMT relatif terhadap native Ordo 1 100 -0,0008 0,625 -0,0007 0,846 110 -0,0027 0,946 -0,0021 0,908 115 -0,0042 0,944 -0,0037 0,924 120 -0,0076 0,950 -0,0064 0,970 Suhu pasting HMT relatif terhadap native Ordo 0 100 0,0140 0,762 0,0171 0,450 110 0,0262 0,551 0,0309 0,600 115 0,0287 0,750 0,0342 0,725 120 0,0408 0,787 0,0435 0,666 Ket: dibuat dengan titik potong pada X = 0 Analisis korelasi antara parameter kondisi proses suhu, waktu dan kadar air dengan parameter teksur menunjukkan bahwa karakteristik kekerasan dipengaruhi oleh kadar air, suhu dan waktu proses HMT Tabel 7.5. Peningkatan suhu danatau waktu proses menyebabkan peningkatan karakter kekerasan dan 127 kelengketan tetapi menurunkan karakter kepaduan. Perubahan kadar air hanya mempengaruhi karakter kekerasan, dengan korelasi positif. Parameter elastisitas tidak berkorelasi dengan perubahan suhu, waktu maupun kadar air proses. Gambar 7.7.a Kurva kinetika termal ordo 1 dari viskositas puncak tapioka HMT atas: pada kadar air 18, bawah: pada kadar air 20 128 Gambar 7.7.b Kurva kinetika termal ordo 1 dari viskositas breakdown tapioka HMT atas: pada kadar air 18, bawah: pada kadar air 20 129 Gambar 7.7.c Kurva kinetika termal ordo 1 dari viskositas balik tapioka HMT atas: pada kadar air 18, bawah: pada kadar air 20 130 Gambar 7.7.d Kurva kinetika termal ordo 0 dari suhu pasting tapioka HMT atas: pada kadar air 18, bawah: pada kadar air 20 Nilai r² persamaan kinetika ordo 0, 1 dan 2 dari parameter tekstur sebagai fungsi dari waktu pada suatu tingkat suhu dan kadar air menunjukkan bahwa hanya karakter kekerasan yang bisa dimodel sebagai fungsi dari waktu, pada kisaran suhu proses 110 – 120°C Tabel 7.6. Perubahan parameter kekerasan berlangsung mengikuti ordo 0 Gambar 7.10. Tiga parameter yang lain memiliki nilai r² 0,5 untuk sebagian besar suhu proses yang diamati. 131 Gambar 7.8 Perubahan profil tekstur gel tapioka karena proses HMT 132 Gambar 7.8 Perubahan profil tekstur gel tapioka karena proses HMT lanjutan 133 Gambar 7.9 Kurva perubahan parameter tekstur pada kombinasi suhu dan waktu pada dua tingkat kadar air proses 134 Tabel 7.5 Korelasi antara parameter proses HMT kadar air, suhu dan waktu de- ngan parameter tekstur gel tapioka Kadar air Suhu Waktu Kekerasan Pearson Cor. 0,311 0,483 0,404 Sig. 2-tailed 0,033 0,001 0,005 Kepaduan Pearson Cor. 0,079 -0,388 -0,448 Sig. 2-tailed 0,597 0,007 0,002 Kelengketan Pearson Cor. 0,092 0,568 0,420 Sig. 2-tailed 0,536 0,000 0,003 Elastisitas Pearson Cor. -0,019 0,213 0,267 Sig. 2-tailed 0,899 0,150 0,070 Tabel 7.6 Nilai r² dari persamaan ordo 0, 1 dan 2 dari perubahan parameter tekstur sebagai fungsi dari waktu Parameter Suhu °C Kadar air 18 Kadar air 20 Ordo-0 Ordo-1 Ordo-2 Ordo-0 Ordo-1 Ordo-2 Kekerasan 100 0,000 0,004 0,017 0,010 0,013 0,018 110 0,861 0,870 0,872 0,952 0,954 0,946 115 0,910 0,842 0,748 0,873 0,820 0,737 120 0,785 0,790 0,726 0,949 0,960 0,861 Ket: dibuat dengan titik potong pada X = 0 Pengaruh waktu terhadap perubahan parameter kekerasan dilihat dari konstanta laju perubahan nilai k yang merupakan slope persamaan kinetika yang sesuai Tabel 7.7. Laju peningkatan kekerasan sangat dipengaruhi oleh kadar air proses. Peningkatan laju peningkatan kekerasan tekstur dengan naiknya suhu akan berlangsung lebih cepat pada kadar air proses 20. Sensitifitas Parameter Pasting dan Tekstur Terhadap Perubahan Suhu Persamaan Arrhenius digunakan untuk menjelaskan pengaruh perubahan suhu terhadap perubahan laju kecepatan perubahan parameter pasting VP, VBD, VB dan suhu pasting dan kekerasan tekstur gel. Dari termodinamika, nilai energi aktivasi Ea yang diperoleh dari nilai slope = EaR menunjukkan besar energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi yang dari segi kinetika menjadi indikasi seberapa besar sensitifitas perubahan suatu parameter terhadap perubahan suhu. 135 Gambar 7.10 Kurva kinetika termal untuk parameter kekerasan gel Kurva dan persamaan Arrhenius untuk lima parameter yang diamati dapat dilihat pada Gambar 7.11 dan Tabel 7.8. Untuk empat parameter pasting yang diamati, tampak bahwa nilai Ea untuk parameter yang diamati pada kadar air 18 sedikit lebih tinggi dibandingkan kadar air 20 . Hal ini mengindikasikan bahwa 136 laju perubahan parameter pasting lebih terpengaruh oleh perubahan suhu jika kadar air proses 18. Sebaliknya, parameter kekerasan akan lebih sensitif terhadap perubahan suhu proses pada kadar air yang lebih besar. Tabel 7.7 Nilai k dari model kinetika termal untuk perubahan kekerasan gel Tabel 7.8 Persamaan Arrhenius dan nilai Ea dari parameter pasting dan tekstur Parameter K. air Persamaan Ea x10³ r² Viskositas puncak 18 ln k = -130381T + 28,758 108,4 0,995 20 ln k = -121521T + 26,485 101,0 0,994 Viskositas breakdown 18 ln k = -120881T + 26,462 100,5 0,998 20 ln k = -116051T + 25,228 96,5 0,993 Viskositas balik 18 ln k = -163231T + 36,646 135,7 0,998 20 ln k = -162061T + 36,17 134,7 0,999 T pasting 18 ln k = -7540,31T + 15,966 62,7 0,976 20 ln k = -6719,21T + 13,979 55,9 0,978 Kekerasan gel 18 ln k = -139881T + 35,788 116,3 0,763 20 ln k = -258011T + 66,948 214,5 0,992 Dari kurva pada Gambar 7.12 dan nilai Ea pada Tabel 7.8 diketahui bahwa laju perubahan parameter pasting akan lebih besar pada kadar air 18 dibandingkan kadar air 20 sementara laju perubahan tekstur kekerasan akan lebih besar pada kadar air 20. Laju perubahan kekerasan paling sensitif terhadap suhu, diikuti oleh viskositas balik. Laju perubahan suhu pasting paling tidak sensitif terhadap perubahan suhu, seementara itu, sensitifitas dari laju perubahan VP dan VBD terhadap perubahan suhu proses relatif mirip dan berada di antara VB dan suhu pasting. Ordo reaksi Suhu °C Kadar air 18 20 k r² k r² Ordo 0 110 0,4139 0,816 0,6894 0,952 115 1,0353 0,892 1,4339 0,798 120 1,0443 0,644 3,8319 0,945 137 Gambar 7.11 Kurva Arrhenius parameter pasting dan tekstur 138 Gambar 7.11 Kurva Arrhenius parameter pasting dan tekstur lanjutan SIMPULAN Parameter yang berkorelasi baik sebagai fungsi waktu pada suhu 100-120°C dan kadar air 18 dan 20 adalah viskositas puncak, viskositas breakdown, visko- sitas balik dan suhu pasting. Kekerasan gel berkorelasi baik sebagai fungsi suhu dan waktu pada kisaran suhu 110-120°C. Model kinetika ordo-1 dapat digunakan untuk memprediksi perubahan parameter viskositas puncak, viskositas breakdown dan viskositas balik sebagai fungsi waktu pada suatu suhu dan kadar air proses HMT, sementara model kinetika ordo-0 digunakan untuk memprediksi perubahan suhu pasting dan kekerasan gel. 139 Gambar 7.12 Kurva Arrhenius 4 parameter pasting pada masing-masing kadar air Pada kadar air 18 dan 20, proses HMT akan berlangsung efektif jika dilakukan pada suhu di atas 100°C. Sampai waktu proses tiga jam, peningkatan waktu proses akan meningkatkan intensitas perubahan viskositas pasting. Pening- katan waktu lebih lanjut hanya menyebabkan sedikit perubahan dibandingkan waktu proses selama tiga jam. Laju perubahan parameter pasting lebih sensitif terhadap suhu pada kadar air 18. Sebaliknya kekerasan tekstur lebih sensitif terhadap perubahan suhu pada kadar air 20. Dari lima parameter yang diamati, kekerasan adalah yang 140 paling sensitif terhadap suhu, diikuti oleh viskositas balik, sementara suhu pasting adalah yang paling tidak sensitif terhadap suhu. DAFTAR PUSTAKA Abraham TE. 1993. Stabilization of paste viscosity of cassava starch by heat moisture treatment. StarchStärke 454:131 –135 Adebowale KO, Lawal OS. 2003. Microstructure, physicochemical properties and retrogradation behaviour of mucuna bean Mucuna pruriens starch on heat moisture treatments. Food Hydrocolloids 17 3: 265-272 Adebowale KO, Olu-Owolabi BI, Olayinka OO, Lawal OS. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch. African Journal of Biotechnology 49:928 –933 Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and Pasting Properties of Rice Starch Heat-Moisture Treated at the Melting Temperature Tm. StarchStärke 54: 401 –409 Becker A, Hill SE, Mitchell JR. 2001. Relevance of amylose-lipid complexes to the behaviour of thermally processed starches. StarchStärke 53:121 –130 Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 3 p. 339- 346 Jyothi AN, Sajeev MS, Sreekumar JN. 2010. Hydrothermal modifications of tropical tuber starches. 1. Effect of heat-moisture treatment on the physicochemical, rheological and gelatinization characteristics. StarchStärke 62:28 –40 Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic observation and X-ray diffractiometry of heatmoisture-treated strach granules. StarchStärke 46 12 463-469 Khunae P, Tran T, Sirivongpaisal P. 2007. Effect of heat-moisture treatment on structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. StarchStärke 59: 593-599. Lim S-T, Chang E-H, Chung H-J. 2001. Thermal transition characteristics of heat –moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46 2: 107-115 Mishra S, Rai T. 2006. Morphology and functional properties of corn, potato and tapioca starches. Food hydrocolloids 205: 557-566 Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural transformation of sago starch by heat- moisture and osmotic-pressure treatment. Starch-stärke 59 12: 624-631. Pukkahuta C, Shobsngob S, Varavinit S. 2007. Effect of osmotic pressure on starch: new method of physical modification of starch. StarchStärke 58:78-90 141 Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An x-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymer 64: 364-375. Wang L, Xie B, Shi J, Xue S, Deng Q, Wei Y, Tian B. 2010. Physicochemical properties and structure of starches from Chinese rice cultivars. Food Hydrocolloids 24 Issues 2-3: 208-216 143 PEMBAHASAN UMUM Karakteristik pati HMT dipengaruhi oleh karakteristik proses dan bahan baku pati yang digunakan. Untuk mengetahui pengaruh dari proses HMT terhadap karakteristik tapioka HMT, maka telah dipelajari karakteristik fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan jika dibuat dari tapioka dengan kondisi fisikokimia yang berbeda atau jika dibuat dari kondisi proses yang berbeda. Kondisi fisikokimia tapioka yang berbeda diperoleh dengan menggunakan tapioka dari lima varietas yang berbeda. Disain Proses HMT Disain peralatan dan proses HMT yang dibuat pada tahap awal penelitian ini ditujukan agar penelitian ini benar-benar bisa digunakan untuk melihat pengaruh dari kondisi perlakuan terhadap karakteristik fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan. Untuk itu, kemungkinan bias yang terjadi karena ketidakseragaman panas atau perubahan kadar air selama proses HMT harus diminimalkan. Kondisi proses HMT diinginkan berlangsung ‘segera’ atau proses memiliki waktu tunda lag time yang singkat sehingga suhu proses dapat tercapai dengan cepat dan distribusi panas berlangsung secara merata. Pada kondisi demikian, proses dapat diasumsikan berlangsung secara isotermal. Disain juga diinginkan dapat memper- tahankan kadar air selama proses berlangsung sehingga perubahan karakteristik fisikokimia pati karena HMT terjadi pada kondisi kadar air yang sama. Penelitian ini mengembangkan peralatan dan disain proses HMT yang dapat diasumsikan berlangsung secara isotermal dan mempertahankan kadar air yang diinginkan selama proses berlangsung. HMT dilakukan dengan menggunakan retort. Wadah sampel terbuat dari pipa aluminium tipis tertututup rapat dengan diameter 12,7 mm, panjang 20 cm, tebal dinding 0,75 mm dan kapasitas satu tabung sampel sekitar 15 gram pati Gambar 3.2. Untuk proses pencampuran air dan pati, dilakukan dalam wadah tertutup yang dilengkapi pengaduk, sehingga tidak terjadi penurunan kadar air karena penguapan selama proses pencampuran. Diagram alir proses HMT yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.1. Proses pencampuran dan aging dilakukan untuk mendistribu- 144 sikan air secara homogen ke seluruh bagian sampel. Pencampuran dilakukan selama 15 menit sampai tidak lagi dijumpai bungkahan pati yang disebabkan oleh distribusi air yang tidak merata sementara aging dilakukan selama 2-3 jam di suhu ruang. Kedua proses ini harus dilakukan di ruangwadah tertutup untuk mencegah terjadinya penguapan air. Retort sudah dalam kondisi panas ketika sampel dimasukkan. Hal ini ditu- jukan untuk mempercepat peningkatan suhu sampel ke suhu proses yang diingin- kan. Proses HMT dilakukan dengan waktu venting selama 2 menit dan CUT 4 menit. Waktu proses dihitung setelah suhu retort mencapai suhu proses yang diinginkan. Setelah HMT selesai, proses pendinginan dilakukan dengan menu- runkan suhu retort dengan kecepatan sekitar 1°Cmenit dan tabung sampel dikelu- arkan setelah tekanan retort mencapai tekanan atmosfir. Pendinginan selanjutnya dilakukan di suhu ruang. Disain peralatan dan proses HMT seperti digunakan dalam penelitian ini mampu menghasilkan tapioka HMT sebagaimana diperlihatkan oleh perubahan morfologi dan profil pastingnya Gambar 3.6 – 3.7. Proses HMT berlangsung dengan waktu tunda yang singkat 2-4 menit dan perubahan kadar air yang minimal sekitar 1,58. Gambar 8.1. Diagram alir proses HMT yang dilakukan pada penelitian Tapioka Penyesuaian kadar air pencampuran Aging T ruang, 2-3 jam Pengisian ke tabung sampel Pemanasan retort Pengisian tabung sampel ke dlm retort HMT venting 2 menit; CUT 4 menit Pendinginan dan pengeluaran pati Pengeringan oven 40 °C Pengecilan ukuran 100 mesh Tapioka HMT Pengemasan dan penyim- panan beku 145 Karakteristik Tapioka Native Dari Lima Varietas Ubi Kayu Tapioka yang digunakan berasal dari lima varietas ubi kayu yaitu varietas Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka dan Adira-4. Kelima tapioka yang digunakan memiliki karakteristik fisikokimia berbeda sehingga dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh HMT terhadap tapioka dengan karakteristik fisiko- kimia yang berbeda. Karakteristik fisikokimia dari tapioka native yang digunakan dalam peneli- tian ini dirangkum dalam Tabel 8.1 Tapioka Thailand memiliki kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi dengan kristalinitas yang lebih rendah dibandingkan empat tapioka lainnya. Tapioka Kasetsar memiliki protein dalam jumlah sedikit lebih tinggi. Granula tapioka rata-rata berukuran sedang. Tapioka Kasetsar dido- minasi oleh granula berukuran sedang. Granula berukuran kecil lebih banyak dijumpai pada tapioka Adira-4. Granula dengan kapasitas pembengkakan swelling power, SP yang besar memiliki tingkat solubilitas yang tinggi. Tapioka Thailand dan Adira 4 memiliki SP dan solubilitas lebih tinggi dibandingkan dengan tapioka yang lain. Pengaruh Karakteristik Fisikokimia Tapioka Terhadap Karakteristik Fisi- kokimia Tapioka HMT Yang Dihasilkan Modifikasi pati dengan HMT dilaporkan dapat meningkatkan ketahanan pati terhadap panas, perlakuan mekanis dan pH asam Taggart, 2004. Pada modifikasi dengan HMT, pati dengan kadar air terbatas kurang dari 35 air, ww dipa- naskan pada kondisi di atas suhu transisi gelas tetapi masih di bawah suhu gelati- nisasinya selama periode waktu tertentu. HMT menyebabkan perubahan konfor- masi molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi Jacobs dan Delcour, 1998; Collado dan Corke, 1999; Stute, 1992 di dalam Zondag, 2003; Singh et al., 2005; Vermeylen et al., 2006; dan Pukkahuta dan Varavinit, 2007. Ratnayake dan Jackson 2006 menduga, energi yang diserap oleh granula tidak hanya membuka lipatan double heliks amilopektin, tetapi juga memfasilitasi pengaturan atau pembentukan ikatan-ikatan baru antar molekul pada suhu dibawah suhu gelatinisasi. Modifikasi berlangsung saat fase amorfis pati berada 146 Tabel 8.1 Karakteristik fisikokimia tapioka native Komponen Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4 Abu g100 g bk 0,19 d ± 0,000 0,12 a ± 0,001 0,15 c ± 0,000 0,14 b ± 0,000 0,11 a ± 0,001 Lemak g100 g bk 0,76 e ± 0,00 0,33 a ± 0,00 0,53 c ± 0,01 0,51 b ± 0,00 0,56 d ± 0,01 Protein g100 g bk 0,13 b ± 0,000 0,15 c ± 0,001 0,10 a ± 0,000 0,10 a ± 0,000 0,10 a ± 0,000 Amilosa g100 g bk 33,13 c ± 0,16 31,81 b ± 0,04 30,88 a ± 0,25 30,92 a ± 0,12 31,13 a ± 0,12 Amilopektin g100 g bk 50,42 a ± 0,51 50,80 a ± 1,28 49,28 a ± 0,85 48,85 a ± 1,35 50,06 a ± 1,66 Kristalinitas 25,96 27,35 27,18 26,76 27,60 Ukuran rata-rata granula µm 14,12 16,66 14,98 14,69 12,82 Distribusi ukuran granula Sangat kecil 5 10,92 5,13 10,50 10,27 9,80 Kecil 5-10 13,87 9,57 11,39 12,38 19,76 Sedang 10-25 73,34 85,28 76,24 76,01 70,44 Besar 5 1,86 1,00 1,88 1,35 0,00 Kap. Pembengkakan gg bk 15,01 ± 0,024 10,35 ± 0,667 10,12 ± 0,446 10, 92 ± 0,328 13,03 ± 0,275 Solubilitas 10,99 ± 0,703 5,30 ± 0,870 4,89 ± 0,360 6,03 ± 0,113 13,15 ± 0,914 Karakteristik pasting Viskositas puncak Cp 6335 6244 6115,5 6744 5895 Viskositas panas Cp 2161 1568 1683 1676 1595 Viskositas akhir Cp 2978,5 2623,5 2683,0 2778,0 2603,5 VBD-R 65,9 74,9 72,5 75,1 72,9 VB-R 37,8 67,3 59,4 65,8 63,3 Suhu pasting °C 67,3 71,1 70,5 70,5 71,1 Suhu puncak°C 79,2 79,4 78,6 78,4 79,0 Karakteristik tekstur Kekerasan g 162,48 227,74 226,20 254,15 196,43 Kelengketan g.s 19,66 66,73 42,42 65,97 51,57 Elastisitas 0,97 0,89 0,94 0,91 0,91 Kepaduan 0,66 0,68 0,66 0,69 0,67 147 Tabel 8.2 Karakteristik perubahan fisikokimia tapioka HMT terhadap native Komponen Tapioka data penelitian Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4 Kristalinitas relatif 1 84,78 90,75 91,61 95,63 82,61 SP relatif 66,99 90,05 100,67 96,16 74,18 Solubilitas relatif 69,82 164,62 183,47 176,12 90,19 Sineresis HMT 2 12,64 9,17 17,06 10,76 13,72 Intensitas perubahan 3 parameter pasting Penurunan viskositas puncak 56,44 76,20 70,44 75,21 80,53 Penurunan VBD-R 14,39 24,97 16,42 21,18 15,83 Peningkatan VB-R 122,83 32,17 36,23 35,64 39,32 Peningkatan suhu pasting 11,33 9,64 8,02 9,20 9,40 Peningkatan suhu puncak 3,03 3,51 3,33 3,60 4,03 Intensitas perubahan parameter tekstur Kekerasan 175,99 89,56 0,23 51,59 158,37 Kepaduan 1,38 -12,48 -2,74 -10,49 -11,75 Kelengketan 375,56 46,86 55,12 9,82 67,09 Elastisitas -1,12 5,12 -5,15 2,61 2,60 Daya cerna pati gelatinisasi relatif 85,10 69,05 55,58 80,73 92,51 1 Nilai relatif adalah persentase dari nilai HMT dibandingkan dengan nilai nativenya 2 Tapioka native tidak menunjukkan sineresis pada penyimpanan di freezer selama 22 jam 3 Intensitas perubahan adalah persentase dari besar nilai perubahan dibandingkan dengan nilai native 148 pada kondisi rubbery yang bersifat fluida, dimana mobilitas titik percabangan amilopektin meningkat dan mengakibatkan peningkatan interaksi di bagian kristalit Jacobs dan Delcour, 1998. HMT mengubah konformasi molekul pati dengan memperkuat interaksi molekuler di daerah kristalin dan daerah amorfous. Pengaturan ulang struktur molekuler disebabkan oleh penurunan stabilitas kristal rantai panjang, terbukanya sebagian double heliks; pembentukan ikatan intermolekuler pada double heliks amilopektin rantai pendek, antara amilosa dengan amilosa danatau amilopektin; dan pembentukan kompleks amilosa –lemak. Besar perubahan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh intensitas panas, kadar air, kadar amilosa, profil amilopektin, serta keberadaan lemak dan fosfat Kawabata et al., 1994; Jacoubs dan Delcour, 1998; Collado dan Corke, 1999; Stute, 1992 di dalam Zondag, 2003; Singh et al., 2005; Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007. Selama proses HMT, pati mengalami dua kondisi yang sangat berbeda: pemanasan pada suhu tinggi di atas suhu transisi gelasnya tetapi masih di bawah suhu gelatinisasinya dan proses pendinginan. Dari penelitian ini, diduga bahwa pemanasan dalam kondisi kadar air terbatas yang diberikan pada pati selama proses HMT menyebabkan bentuk kristal pati berubah menjadi rubbery. Kondisi ini menyebabkan mobilitas amilopektin meningkat dan double heliksnya terbuka. Pembukaan double heliks menyebabkan mobilitas amilopektin menjadi lebih tinggi. Selain itu, pemanasan juga menyebabkan peningkatan mobilitas amilosa. Setelah proses pemanasan selesai, selama proses pendinginan akan terjadi penga- turan ulang rantai pati yang melibatkan interaksi amilosa-amilosa, amilosa-amilo- pektin, amilosa-lemak dan amilopektin-amilopektin di daerah kristalit, amorfis maupun perbatasan antara amorfis dan kristalit. Karena daerah kristalit dibentuk oleh keteraturan molekuler amilopektin melalui ikatan double heliksnya, maka pembukaan double heliks amilopektin saat proses pemanasan menyebabkan terja- dinya penurunan kristalinitas. Sementara pengaturan ulang yang terjadi menye- babkan terjadinya penguatan struktur di daerah kristalit. Di daerah perbatasan dan daerah amorfis, pengaturan ulang diduga menyebabkan pembentukan daerah- daerah kristalit berukuran kecil yang meningkatkan kekuatan struktur Gambar 8.2. 149 Gambar 8.2. Usulan mekanisme perubahan granula tapioka selama proses HMT 150 Bagian tengah dari granula tapioka kehilangan pola birefringence setelah di HMT Gambar 6.1. Bagaimana intensitas perubahan birefringence dikaitkan de- ngan karakteristik fisikokimia tapioka nativenya tidak dilakukan dalam penelitian ini. Berapa besar perubahan dari parameter fisikokimia tapioka akibat proses HMT ditampilkan pada Tabel 8.2. Tampak adanya pengaruh dari perbedaan karakteristik fisikokimia tapioka awal terhadap besarnya perubahan yang terjadi. Perbedaan fisikokimia tapioka yang diduga akan mempengaruhi intensitas proses HMT yang terjadi adalah komposisi kimia, tingkat kristalinitas, ukuran granula, kapasitas pembengkakan swelling power, SP dan solubilitas. Kristalinitas Proses HMT tidak mengubah tipe kristalit tapioka, tetapi kristalinitasnya menurun. Proses HMT menyebabkan pergerakan amilopektin menjadi lebih aktif dan ikatan double heliks terbuka. Kondisi ini merusak struktur kristalit dan terjadinya pengaturan ulang molekuler melalui interaksi yang melibatkan amilosa, amilopektin dan lemak. Di daerah amorfis dan perbatasan antara daerah amorfis dengan daerah kristalit, pengaturan ulang akan menyebabkan terbentuknya daerah-daerah kristalit baru dalam ukuran kecil yang aan memperkuat struktur daerah amorfis dan daerah perbatasan. Sementara itu, pengaturan ulang yang terjadi di daerah kristalit walau membentuk daerah kristalit baru tetapi merusak puncak-puncak utama. Kerusakan kristalit dan pengaturan ulang dari konformasi pati menyebabkan tapioka HMT mendifraksikan sinar X lebih rendah dari nativenya sehingga kristalinitas turun. Penurunan kristalinitas terbesar ditunjukkan oleh tapioka Thailand dan kris- talinitas Adira 4 Tabel 8.2. Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan krista- linitas selama HMT tidak disebabkan oleh kuantitas kristalit tapioka native, tetapi dipengaruhi oleh karakteristik fisik pati native Tabel 4.4. Kristalinitas native ta- pioka Adira 4 terkecil diantara lima tapioka yang diamati. Penurunan kristalinitas cenderung meningkat kristalinitas HMT relatif terhadap nativenya menurun jika tapioka native memiliki ukuran granula yang kecil, SP yang tinggi danatau solu- bilitas yang tinggi. Hal ini diduga terkait dengan seberapa luas daerah interior granula yang dapat diganggu. 151 Kapasitas pembengkakan SP dan solubilitas Proses HMT menurunkan SP tapioka tetapi memberi pengaruh berbeda pada solubilitas: bisa menurunkan seperti ditunjukkan tapioka Thailand dan Adira 4 atau meningkatkan solubilitas seperti terjadi pada tiga tapioka lainnya Tabel 8.2. Peningkatan interaksi amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin dan amilosa-lemak selama proses HMT menyebabkan terjadinya penurunan SP dan solubilitas. Tetapi, kondisi basah dan pergerakan rantai pati yang lebih tinggi selama HMT diduga juga berperan dalam meningkatkan jumlah fraksi linier berukuran pendek, yang tidak berperan dalam pengaturan ulang molekuler. Keberadaannya karena itu akan memfasilitasi solubilitas dalam air panas meningkatkan solubilitas tapioka HMT. Penurunan SP dan solubilitas berlangsung intensif jika granula native beru- kuran kecil atau memiliki SP dan solubilitas tinggi Tabel 4.5. Kondisi fisik se- perti ini akan lebih mudah diganggu oleh proses HMT sehingga interaksi antar rantai menjadi lebih intensif. Kondisi ini menyebabkan kristalinitas relatif tapioka HMT menjadi rendah penurunan kristalinitas lebih besar, pengaturan daerah amorfis menjadi lebih rapat sehingga penurunan SP dan solubilitas menjadi lebih besar. Pada kondisi granula native berukuran besar atau memiliki SP dan solubili- tas yang rendah, maka pengaturan ulang tidak seintensif pada kondisi yang sebe- lumnya, dan menyebabkan peningkatan fraksi linier berukuran pendek menghasil- kan tapioka HMT dengan solubilitas yang lebih tinggi dan penurunan SP tidak ter- lalu besar jika dibandingkan dengan nativenya. Dari penelitian ini juga terlihat adanya kecenderungan penurunan SP dan solubilitas yang lebih tinggi jika amilosa dan lemak tapioka native lebih tinggi Tabel 4.5. Hal ini diduga terkait dengan pembentukan kompleks amilosa-amilo- sa dan amilosa-lemak yang lebih tinggi. Sineresis HMT meningkatkan kecenderungan retrogradasi pati, terlihat dari VB-R re- latif HMT yang lebih rendah Tabel 8.2. Akibatnya, sifat gel tapioka yang tadi- nya stabil selama penyimpanan tidak sineresis berubah menjadi tidak stabil ter- 152 jadi sineresis. Penurunan SP pasca HMT, baik dengan peningkatan atau penurun- an solubilitas diduga sebagai penyebab terjadinya sineresis gel tapioka HMT. Penurunan SP dan solubilitas pasca HMT seperti ditunjukkan oleh tapioka Adira dan Thailand mengindikasikan pembengkakan granula tapioka HMT sela- ma pemanasan lebih rendah dari tapioka native. Dengan ukuran granula yang le- bih kecil, maka proses agregasi amilosa pada saat pendinginan dan penyimpanan akan berlangsung lebih intensif sehingga berpotensi meningkatkan sineresis. Penurunan SP pasca HMT pada tapioka Kasetsar, Pucuk biru dan Faroka ti- dak terlalu besar, tetapi mereka menunjukkan peningkatan solubilitas dibanding- kan tapioka nativenya. Dengan solubilitas yang lebih tinggi, maka lisis amilosa selama proses pemanasan pati HMT menjadi lebih tinggi dari tapioka native. Kon- disi ini menyebabkan retrogradasi berlangsung lebih intensif dan menyebabkan sineresis. Karakteristik pasting HMT menggeser amilograf ke kanan, dengan bentuk yang lebih landai dan puncak yang lebih rendah Gambar 5.5. Profil ini menunjukkan bahwa tapioka HMT lebih tahan terhadap pemanasan dibandingkan dengan tapioka nativenya. Perubahan parameter pasting pasca HMT dapat dilihat pada Tabel 8.2. Tapioka mengalami penurunan viskositas puncak dan VBD-R dengan peningkat- an suhu pasting dan suhu puncak, mengindikasikan meningkatnya ketahanan terhadap panas. Sementara itu, penurunan VB-R mengindikasikan bahwa kecenderungan retrogradasi akan meningkat pasca HMT. Ukuran granula, SP, tingkat kristalinitas, kadar amilosa, lemak dan abu dari tapioka native mempengaruhi besarnya intensitas perubahan karakteristik pasting tapioka setelah HMT Tabel 5.7. Suhu puncak, viskositas puncak dan viskositas breakdown terutama dipengaruhi oleh kondisi daerah kristalit. Terjadinya kondisi-kondisi yang mempengaruhi daerah kristalit karena itu akan mengubah karakteristik suhu puncak, viskositas puncak dan viskositas breakdown agar bisa dibandingkan antar pati, maka dilihat dalam bentuk VBD-R. Sementara itu, perubahan suhu pasting lebih dipengaruhi oleh kondisi perubahan di daerah amorfis. 153 Ukuran granula yang lebih kecil danatau SP yang lebih besar memungkinkan lebih banyak daerah granula yang bisa dipengaruhi. Hal ini menyebabkan peningkatan keteraturan struktur daerah amorfis menjadi lebih besar dan menyebabkan peningkatan suhu pasting menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, peningkatan gangguan di daerah kristalit menyebabkan akan menyebabkan pengaturan ulang di daerah kristalit tidak terlalu baik, terutama jika tingkat kristalinitas rendah. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan suhu pasting menjadi tidak terlalu besar. Gangguan yang lebih intensif terhadap keteraturan di daerah kristalin ini juga bisa memicu meningkatnya fraksi linier rantai pendek yang menyebabkan lisis selama proses pemanasan menjadi lebih besar. Akibatnya, penurunan viskositas puncak, penurunan VBD-relatif menjadi tidak terlalu besar tetapi peningkatan VB-R menjadi lebih besar pasca HMT. Kristalinitas yang tinggi menyebabkan pengaturan yang lebih intensif di daerah kristalit. Walaupun demikian, juga akan mempengaruhi daerah amorfis terutama melalui pembentukan ikatan amilosa-amilopektin. Karena itu, peningkatan kristalinitas akan menyebabkan intensitas peningkatan suhu puncak menjadi lebih tinggi, tetapi hanya menyumbang sedikit pada peningkatan suhu pasting karena pengaturan lebih banyak dalam daerah kristalit. Peningkatan VB-R akan ditekan karena pemutusan rantai samping pembentukan fraksi linier diduga akan minimal. Kondisi ini juga menyebabkan penurunan viskositas puncak dan penurunan VBD-R menjadi lebih besar. Keberadaan amilosa dan lemak dalam jumlah besar berpeluang untuk meningkatkan keteraturan molekuler di daerah amorfis. Hal ini menyebabkan peningkatan suhu pasting menjadi lebih besar. Peningkatan jumlah amilosa danatau lemak akan menyebabkan intensitas pengaturan ulang lebih banyak di daerah amorfis, yang melibatkan interaksi antara amilosa, amilopektin dan lemak dan menyebabkan gangguan lebih besar pada daerah kristalin. Kondisi ini diduga juga akan meningkatkan jumlah fraksi linier berukuran pendek. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan gangguan di daerah kristalin akan menyebabkan penurunan viskositas puncak dan VBD-R menjadi tidak terlalu besar sementara peningkatan VB-R menjadi lebih besar. 154 Kadar abu yang besar akan meningkatkan jumlah muatan sejenis. Peningkatan muatan sejenis akan meningkatkan pembukaan double heliks tetapi memperlambat proses pengaturan ulang. Akibatnya, intensitas peningkatan suhu puncak menjadi lebih rendah, intensitas penurunan viskositas puncak dan VBD-R lebih rendah, sementara peningkatan VB-R menjadi tinggi. Karakteristik tekstur Gel pati terbentuk karena proses retrogradasi selama pendinginan pasta pati. Karakteristik gel yang paling terpengaruh oleh proses HMT adalah kekerasan dan kelengketan. Thailand dan adira 4 menunjukkan peningkatan kekerasan yang sangat tinggi sementara kekerasan gel dari tapioka pucuk biru HMT relatif tidak berbeda dengan tapioka nativenya. Kelengketan terbesar pasca HMT ditunjukkan oleh tapioka thailand sementara tapioka faroka menunjukkan peningkatan kelengketan yang rendah Tabel 8.2. SP dan solubilitas yang tinggi akan meningkatkan kekerasan dan kelengketan Tabel 5.9. Peningkatan SP dan solubilitas tapioka native menyebabkan intensitas pengaturan di daerah amorfis meningkat tetapi perpotensi untuk memutus rantai samping amilopektin berukuran pendek. Peningkatan pengaturan di daerah amorfis menyebabkan penurunan SP menjadi besar. Selama pemanasan, tapioka yang mengalami penurunan SP yang besar diduga akan memiliki ukuran pengembangan granula yang jauh lebih kecil dari nativenya sementara peningkatan keberadaan fraksi linier berukuran pendek menyebabkan lisis amilosa menjadi lebih besar. Kondisi ini menyebabkan proses agregasi amilosa yang terlarut di dalam pasta pati menjadi meningkat. Peningkatan kelengketan akan terjadi jika keteraturan di daerah amorfis meningkat dan hal ini akan tercapai dengan meningkatnya kadar abu, lemak, amilosa dan SP pati native. Daya cerna tapioka gelatinisasi Proses HMT menurunkan daya cerna tapioka gelatinisasi, mengindikasikan bahwa beberapa interaksi yang terbentuk selama proses HMT tetap bertahan setelah proses gelatinisasi sehingga menghambat akses antara enzim dan pati. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan penurunan daya cerna akan lebih besar jika proses pengaturan ulang terutama terjadi di daerah kristalin. 155 Pengaruh Proses HMT Terhadap Karakteristik Morfologi Dan Kristalinitas HMT yang dilakukan selama 240 menit pada kombinasi kadar air 18 dan 20 dengan suhu 110 dan 120°C menunjukkan adanya pengaruh dari kondisi proses pada intensitas perubahan morfologi dan kristalinitas granula. Sebagian granula mengalami kehilangan birefringence di bagian tengah granula. Peningkatan intensitas proses dengan meningkatkan suhu danatau kadar proses akan meningkatkan jumlah granula yang mengalami kehilangan birefringence parsial danatau luasan daerah yang kehilangan birefringence semakin meningkat. Kehilangan birefringence dibagian tengah granula yang merupakan daerah amorfis, mengindikasikan bahwa daerah amorfis adalah daerah pertama yang diganggu oleh proses HMT. Tipe kristalit tapioka tidak berubah selama HMT, tetapi kristalinitas menurun. Pada suhu 110°C, penurunan kristalinitas hanya sedikit, pada dua kadar air proses 18 dan 20. Penggunaan suhu tinggi dikombinasikan dengan kadar air proses akan menyebabkan penurunan kristalinitas menjadi lebih intensif. Penurunan kristalinitas yang cukup besar pada kombinasi suhu dan kadar air proses yang tinggi disebabkan oleh terjadinya gelatinisasi parsial Gambar 8.3. Gambar SEM 6.2-6.3 menunjukkan terjadinya perubahan bentuk tapioka yang diproses pada suhu 120°C kadar air 20 selama 240 menit, mengindikasin terjadinya gelatinisasi parsial Gambar 8.3 Perubahan kristalinitas tapioka pada berbagai kondisi proses HMT 156 Kinetika Termal Beberapa Parameter Fisikokimia Selama HMT Perubahan SP, solubilitas, parameter pasting dan parameter tekstur sebagai fungsi dari suhu dan waktu proses pada dua tingkat kadar air proses 18 dan 20 telah dipelajari. Diketahui bahwa perubahan SP berkorelasi negatif dengan kadar air dan waktu proses, sementara perubahan solubilitas berkorelasi negatif dengan kadar air proses. Tidak ditemukan korelasi antara perubahan SP dan solubilitas dengan suhu proses. Perubahan SP dan solubilitas sebagai fungsi dari waktu tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan model kinetika ordo 0 – 2. Perubahan parameter pasting VP, VBD, VB dan T pasting serta karakteristik kekerasan tekstur gel tapioka dipengaruhi oleh suhu, waktu dan kadar air proses HMT. Perubahan VP, VBD dan VB sebagai fungsi waktu pada suatu suhu proses berlangsung mengikuti persamaan kinetika ordo 1, sementara perubahan suhu pasting dan kekerasan berlangsung mengikuti ordo 0. Laju perubahan suatu parameter berlangsung lebih cepat jika suhu proses dinaikkan ke 120°C. Dengan persamaan Arrhenius diketahui bahwa laju peru- bahan tekstur paling sensitif terhadap perubahan suhu, diikuti oleh VB. Laju peru- bahan suhu pasting paling tidak sensitif terhadap perubahan suhu. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Pukkahuta et al 2007 dan Vermeylen et al 2006, yang menyebutkan bahwa perubahan morfo- logi granula akibat HMT dipengaruhi oleh kadar air, suhu dan waktu proses. 157 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbedaan varietas ubi kayu menghasilkan tapioka dengan karakteristik fisikokimia yang berbeda. Perbedaan kristalinitas, kadar amilosa, lemak dan abu serta perbedaan kapasitas pembengkakan mempengaruhi beberapa parameter pasting dan tekstur gel tapioka. Tapioka dari lima jenis ubi kayu Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka dan Adira menunjukkan efek yang relatif mirip terhadap proses HMT yang dilakukan selama 4 jam pada kadar air 20 dan suhu 110°C. setelah proses HMT, sebagian diantara granula tapioka kehilangan sifat birefringence di bagian tengah granula. HMT juga menyebabkan penurunan kristalinitas pati tetapi tidak merubah tipe kristalit. Kapasitas pembengkakan menurun setelah modifikasi. Pengaruh berbeda terlihat pada solubilitas beberapa mengalami penurunan solubilitas sementara yang lainnya mengalami peningkatan solubilitas. Stabilitas gel tapioka selama penyimpanan beku menjadi turun dengan perlakuan HMT, dan gel mengalami sineresis pada satu siklus pembekuan – pencairan. HMT meningkatkan ketahanan pati terhadap panas. Tapioka HMT memiliki suhu pasting dan suhu puncak yang lebih tinggi dengan penurunan yang tajam pada viskositas puncak, penurunan viskositas BD relatif terhadap viskositas puncak dan peningkatan viskositas balik relatif terhadap viskositas panas. Tapioka HMT menghasilkan gel dengan kekerasan dan kelengketan yang lebih tinggi dengan sifat kepaduan yang sedikit lebih renah dari tapioka native sementara sifat elastisitas gel relatif tetap. Proses HMT menyebabkan penurunan daya cerna pati masak tergelatinisasi tapioka. Penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme perubahan sifat fisikokimia karena HMT disebabkan oleh terjadinya mobilitas rantai pati akibat pemanasan dan pengaturan ulang rantai pati selama proses pendinginan setelah selesainya pemanasan. Kadar amilosa, abu, lemak, tingkat kristalinitas, ukuran granula, kapasitas pembengkakan dan solubilitas berpengaruh pada besarnya intensitas 158 perubahan yang terjadi selama proses HMT. Diduga bahwa sifat-sifat fisikokimia ini mempengaruhi interaksi pengaturan ulang selama HMT secara berbeda. Perubahan intensitas morfologi dan kristalinitas granula dipengaruhi oleh suhu dan kadar air. Intensitas perubahan terbesar pada waktu proses 4 jam terlihat pada proses yang dilakukan di suhu 120°C dan kadar air 20. Parameter yang berkorelasi baik sebagai fungsi waktu pada suhu dan kadar air tertentu adalah viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas balik, suhu pasting dan kekerasan gel. Perubahan VP, VBD dan VB berlangsung dengan mengikuti ordo 1 sementara perubahan suhu pasting dan kekerasan mengikuti ordo 0. Laju perubahan parameter pasting akan lebih sensitif terhadap suhu pada kadar air rendah, sebaliknya kekerasan tekstur akan lebih sensitif terhadap perubahan suhu pada kadar air tinggi. Dari lima parameter yang diamati, parameter kekerasan adalah yang paling sensitif terhadap suhu, diikuti oleh viskositas balik, sementara suhu pasting adalah yang paling tidak sensitif terhadap suhu. Saran Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tapioka dari lima varietas yang berbeda. Untuk mempertajam hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini, disarankan untuk menggunakan lebih banyak sampel tapioka dengan kisaran karakteristik fisikokimia yang lebih lebar. 159 DAFTAR PUSTAKA Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweet potato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 3 p. 339- 346 Jacobs H, Delcour JA. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch, with retention of the granular structure: a review. Journal of Agricultural and Food Chemistry 468: 2895 – 2905. Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic Observation and X-Ray Diffractiometry of heatmoisture-treated strach granules. StarchStärke 46 12 463-469 Pukkahuta C and Varavinit S. 2007. Structural transformation of sago starch by heat-moisture and osmotic-pressure treatment. Starch-stärke 59 12: 624- 631. Pukkahuta C, Shobsngob S, Varavinit S. 2007. Effect of osmotic pressure on starch: new method of physical modification of starch. StarchStärke 58: 78-90. Ratnayake WS, Jackson DS. 2006. Gelatinization and solubility of corn starch during heating in excess water: new insights. J. Agric. Food Chem. 54 10:3712-3716 Singh S, Raina CS, Bawa AS, Saxena DC. 2005. Effect of heat-moisture treatment and acid modification on rheological, textural and differential scanning calorimetry characteristics of sweetpotato starch. Journal of Food Science 70 6: E373 – E 378. Taggart P. 2004. Starch as an ingredient: manufacture and applications. Didalam Eliasson A-C Ed. Starch In Food: Structure, Function and Applications 1 st ed. Woodhead Publishing Limited. Cambridge. Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An x-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymer 64: 364-375. Zondag MD. 2003. Effect of microwave heat moisture and annealing treatments on buckwheat starch characteristics. Research Paper. University of Wisconsin. 161 Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air SNI 01-2891-1992 Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 130 ± 3°C selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Sekitar 1-2 g sampel tapioka ditimbang ke dalam sebuah cawan alumunium yang sudah diketahui bobotnya cawan harus dikeringkan dahulu dalam oven sebelum digunakan untuk penimbangan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105ºC selama 3 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang konstan ≤ 0.0005 g. Kadar air dalam g100 g bahan dihitung dengan rumus sebagai berikut: g 00 g 00 dimana w = bobot sampel awal g; w 1 = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan g; dan w 2 = bobot cawan kosong g.

b. Analisis kadar abu 923.03 AOAC 1998

Analisis kadar abu tapioka dilakukan dengan metode gravimetri. Cawan porselin kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator. Cawan porselin kering tersebut ditimbang dan dicatat bobotnya sebelum digunakan. Sebanyak 3,0 – 5,0 gram sampel tapioka ditimbang di dalam cawan porselin tersebut dan dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 550°C sampai proses pengabuan sempurna. Setelah pengabuan selesai, cawan contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi kembali hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar abu dalam g100 g bahan kering dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut: g 00 g 00 g 00 g g g 00 g 00 00 dimana a = bobot sampel awal g; dan b = bobot abu g 162

c. Analisis kadar protein 960.52 AOAC 1998

Analisis kadar protein tapioka dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sebanyak 100,0 – 250,0 mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan dengan 1,9 ± 0,1 g K 2 SO 4 , 40,0 ± 10 mg HgO, 2,0 ± 0,1 ml H 2 SO 4 pekat dan 2 – 3 butir batu didih. Sampel dipanaskan dengan kenaikan suhu secara bertahap sampai mendidih selama 1 – 1,5 jam sampai diperoleh cairan jernih. Setelah didinginkan, isi labu dipindahkan ke dalam labu destilasi dengan dibilas menggunakan 1 – 2,0 ml air destilata sebanyak 5 – 6 kali. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi kemudian ditambahkan dengan 8 – 10,0 ml larutan 60 NaOH – 5 Na 2 S 2 O 3 . Di tempat yang terpisah, 5,0 ml larutan H 3 BO 3 dan 2 – 4 tetes indikator merah metil – biru metil dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Labu erlenmeyer kemudian diletakkan dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di bawah larutan H 3 BO 3 . Proses destilasi dilakukan sampai diperoleh sekitar 15,0 ml destilat. Destilat yang diperoleh diencerkan sampai 50,0 ml dengan akuades, kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu . Volume larutan HCl 0,02 N terstandar yang digunakan untuk titrasi dicatat. Tahap yang sama dilakukan untuk larutan blanko sehingga diperoleh volume larutan HCl 0,02 N untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan kadar nitrogen N dalam g100 g bahan. Kadar protein dalam g100 g bahan kering dihitung menggunakan faktor koreksi 6,25 dengan rumus sebagai berikut: g 00 g 00 00 g 00 g g 00 g g 00 g g g 00 g 00 00 dimana V 1 = volume larutan HCl untuk sampel ml, V 2 = volume larutan HCl untuk blanko ml; N HCl = konsentrasi larutan HCl 0,02N; w = berat sampel mg. 163

d. Analisis kadar lemak SNI 01-2891-1992

Kadar lemak tapioka dianalisis dengan menggunakan metode soxhlet. Labu lemak dikeringkan di dalam oven suhu 105°C selama 15 menit, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebelum digunakan. Sebanyak 1 – 2 gram sampel tapioka dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Bagian atas selongsong kertas yang telah berisi sampel disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80°C selama ± 1 jam. Selongsong kertas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Lemak sampel diekstrak dengan heksana selama ± 6 jam. Heksana kemudian disuling sehingga diperoleh ekstrak lemak. Ekstrak lemak di dalam labu lemak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 12 jam. Labu berisi lemak sampel kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot tetap. Kadar lemak dalam g100 g bahan kering dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: g 00 g 00 g 00 g g g 00 g 00 – 00 dimana a = bobot labu lemak setelah proses ekstraksi g; b = bobot labu lemak sebelum proses ekstraksi g; dan c = bobot sampel g.