7 FAKTOR DETERMINAN PENGEMBANGAN KLUSTER DESA
7.1 Pola Penentuan Faktor Determinan Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa
Penentuan faktor determinan yang kontekstual untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon menerapkan pendekatan
model persamaan struktural structural equation modelSEM. Tahap pertama adalah memeriksa keabsahan ilmiah dari model yang dikembangkan dengan cara
melakukan validasi terhadap konsep teoritis. Tahap kedua adalah melakukan validasi statistik seperti yang disyaratkan oleh SEM. Tahap ketiga atau terakhir
adalah menghubungkan output analisis model dikaitkan dengan fakta empirik setiap desa di setiap kluster.
Bab ini akan menjelaskan validitas model dipandang dari konsep teroritis dan statistik untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota
Ambon. Pengembangan perikanan ini sangat memperhatikan kelayakan usaha yang diukur dengan menghitung benefit-cost-ratio BCR. Oleh karena itu, faktor-faktor
determinan yang diidentifikasi ini secara teoritis dan empirik berkaitan atau memiliki potensi untuk mempengaruhi nilai BCR.
7.1.1 Validasi model secara teoritis
Validasi teroritis merupakan kegiatan justifikasi terhadap konsep hubungan atau interaksi yang dikembangkan dalam model. Justifikasi ini sangat
memperhatikan teori yang berkembang dalam pustaka yang ada. Melalui validasi ini akan diketahui model yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada
model yang dikembangkan ini, variabel-variabel teknis usaha perikanan tangkap UPTZ1, yang terdiri dari armadakapal X11, alat tangkap X12, serta teknologi
dan metode operasi X13, merupakan hal yang sangat penting Ditjen Tangkap 2009. Menurut DKP 2004, pembangunan perikanan yang maju, membutuhkan
pilar-pilar pembangunan yang saling mendukung dan memberikan kontribusi yang maksimal sesuai fungsinya. Oleh karena itu, pemilihan armadakapal, alat tangkap,
serta teknologi dan metode operasi adalah dimensi konstruk variabel teknis UPT dalam mendukung pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa sudah
relevan.
Selain faktor perikanan itu sendiri, pengembangan perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh kondisi fisik desa Z20, kondisi sosial budaya Z3, dan ekologi
desa Z4. Oleh karena itu, ketiga komponen ini juga menjadi konstruk-konstruk dalam model pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota
Ambon. Informasi tentang konstruk ini terdokumentasi pada data BPS Kota Ambon 2010 yang mencakup kondisi geografi, demografi desa, potensi sumberdaya alam
desa, serta kondisi sarana dan prasarananya, sesuai dengan Kementerian Kelautan Perikanan 2010. Oleh karena itu, topografi dan demografi desa X21, potensi
sumberdaya alam desa X22, serta kondisi sarana dan prasarananya X23 sangat relevan untuk dipertimbangkan menjadi dimensi dari konstruk kondisi fisik desa.
Menurut Fauzi dan Anna 2005, pola hidup sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk mempengaruhi tingkat pengembangan ekonomi berbasis usaha perikanan.
Pola hidup seperti gotong royong dan makan ikan, dan nilai budaya yang mencintai pekerjaan di laut mempenagruhi motivasi masyarakat Maluku, termasuk Ambon,
untuk menjalankan usaha perikanan yang berbasis pada penangkapan ikan di laut Ralahalu, 2010. Oleh karena itu, kehidupan sosial X31seperti gotong-royong dan
makan ikan, tata nilai X32seperti nilai adat budaya dan agama, serta mobilitas penduduk X33 dari dan ke Pulau Ambon sangat relevan untuk dipertimbangkan
menjadi dimensi dari konstruk sosial budaya terkait, pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa.
Kondisi pemukiman X41, pencemaran lingkungan X42, dan ekosistem terumbu karang X43 menjadi dimensi dari konstruk ekologi desa Z4. Sain dan
Knecht 1998, menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan laut, harus memperhatikan faktor ekologi yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan
kehidupan kawasan tersebut, seperti kehidupan masyarakat lokal, ekosistem alam, dan trend perubahan lingkungan terutama pencemaran dan pola abrasi pantai, dan
siklus hidup yang terjadi di kawasan. Ruddle, et. al 1992 berpendapat behwa, kelangsungan ekosistem pesisir dan laut sangat dipengaruhi oleh kelangsungan
kehidupan ekosistem terumbu karang, dimana masyarakat lokal hidup di kawasan pesisir karena ada ikan yang bisa ditangkap, dan ikan tersebut umumnya
mempunyai habitat dan bersembiosis pada ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, pemukiman masyarakat lokal, pencemaran lingkungan, dan ekosistem terumbu
karang sangat relevan dipertimbangkan untuk dijadikan dimensi konstruk ekologi desa.
Dalam model ini, kostruk benefit-cost-ratio BCR usaha perikanan tangkap UPT menjadi konstruk utama sekaligus penanda dari keberhasilan pengembangan
kluster desa berbasis usaha perikanan tangkap. Hal ini relevan karena pengkluteran desa pesisir pada bab sebelumnya Bab 6 dilakukan berdasarkan hasil penilaian
BCR dari usaha perikanan tangkap pada setiap desa pesisir. Pada model yang dikembangkan, modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas
usaha dipilih sebagai dimensi dari konstruk BCR UPT tersebut. Klapwijk 1997 berpendapat bahwa, pengklusteran secara ekonomi termasuk berdasarkan BCR
UPT suatu usahawilayah pengelolaan, sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal, tingkat keuntungan yang bisa di dapat, dan kontinyuitas usaha ekonomi yang
dilakukan. Menurut Scott dan Garofoli 2007, pengembalian investasi menjadi pertimbangan tersendiri dalam pengklusteran usaha perikanan tangkap. Hal ini
disebabkan usaha perikanan dan usaha ekonomi lainnya, membutuhkan biaya investasi yang besar, karena ada kegiatan pengadaan armada dan alat tangkap yang
kebutuhan mencapai 75 – 90 dari modal awal. Oleh karena itu, cukup relevan bila dalam penelitian ini, modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan
kontinyuitas usaha dipertimbangkan untuk dijadikan dimensi dari konstruk BCR usaha perikanan tangkap UPT.
7.1.2 Validasi model secara statistik