80
kecamatan lain, tingkat kemiskinan desa pesisirnya lebih tinggi dari keseluruhan desa di kecamatan masing-masing.
Tabel 21 Status Desa Pesisir di Kecamatan Nusaniwe
No Nama
DesaKel. ASPEK USAHA
PERIKANAN ASPEK SARANA
PENDUKUNG ASPEK SOSIAL
BUDAYA TOTAL
STANDAR SKOR
TSS STATUS
TS
1
RS
1
SS
1
TS
2
RS
2
SS
2
TS
3
RS
3
SS
3
1 Amahusu
10 1,67
0,83 4
1,33 0,40
14 1,75
0,35 1,58
MANDIRI 2
Seilale 9
1,50 0,75
5 1,67
0,50 14
1,75 0,35
1,60 MANDIRI
3 Urimesing
Dusun Seri 10
1,67 0,83
4 1,33
0,40 15
1,88 0,38
1,61 MANDIRI
4 Silale
11 1,83
0,92 5
1,67 0,50
19 2,38
0,48 1,89
MANDIRI 5
Latuhalat 14
2,33 1,17
5 1,67
0,50 17
2,13 0,43
2,09 MANDIRI
6 Benteng
12 2,00
1,00 6
2,00 0,60
21 2,63
0,53 2,13
MANDIRI 7
Nusaniwe 12
2,00 1,00
7 2,33
0,70 18
2,25 0,45
2,15 MANDIRI
8 Waihaong
15 2,50
1,25 5
1,67 0,50
20 2,50
0,50 2,25
MANDIRI Rata-Rata
11,63 1,94
0,97 5,13
1,71 0,51
17,25 2,16
0,43 1,91
4.3 Status Desa Pesisir dan Tingkat Kemiskinan di Kota Ambon
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan nilai
pengeluaran minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari, dan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan
kesehatan BPS. Dalam konteks pengertian tersebut, penduduk miskin, terutama di desa pesisir Kota Ambon lebih tinggi dibanding dengan desa non-pesisir lihat tabel
1 di bab 1. Dari tabel 1 tersebut, tiga dari lima kecamatan di Kota Ambon, hampir seluruhnya desa pesisir dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari dua
kecamatan lain. Ketiga kecamatan dimaksud adalah Kecamatan Teluk Ambon Baguala yang seluruh desanya adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan
19,1, Kecamatan Teluk Ambon Dalam yang 87,5 adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 20,7, dan Kecamatan Leitimur Selatan yang 75,0 adalah
desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 22,8. Sementara desa pesisir di Kecamatan Nusaniwe sebanyak 61,5 dengan tingkat kemiskinan 13,5 lebih
rendah dari total kecamatan, dan Kecamatan Sirimau dengan hanya 28,6 desanya adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 11,7.
Dilain sisi, berdasarkan analisis status desa pesisir di Kota Ambon, menunjukan bahwa hampir seluruh desa pesisir relatif maju dari segi keberadaan
81
perikanan, yaitu berstatus Desa Mina Mandiri kecuali dua desa di Kecamatan Leitimur Selatan. Demikian juga dari segi tipe dan klasifikasi desa, seluruh desa dan
kelurahan di Kota Ambon berkategori Desa Swasembada BPS Kota Ambon, 2010. Desa Swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu
memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional.
Sepintas tergambar bahwa terjadi kontroversi antara penduduk yang miskin dengan desa nya yang maju. Hal ini wajar saja dan tidak ada yang salah, sebab
indikator pengklasifikasian status desa pesisir yang digunakan dalam penelitian ini, berbeda dengan indikator pengukuran kemiskinan. Indikator pengukuran status desa
pesisir yang digunakan dalam penelitian ini tidak menggunakan pendekatan pengeluaran penduduk seperti yang digunakan oleh BPS dalam pengukuran
kemiskinan, tetapi indikator pengukuran desa pesisir lebih menekankan kepada aspek fisik dan non-fisik bukan ekonomi. Namun demikian, jika indikator
pengukuran desa pesisir semakin baik atau semakin tinggi, akan berdampak terhadap pendapatan masyarakat pesisir, sehingga pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimal akan juga meningkat, yang pada giliran nya dapat mengurangi bahkan memperkecil atau menghilangkan angka kemiskinan di desa
pesisir. Sebagai ilustrasi atau contoh, jika semua aspek usaha perikanan, baik itu perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan metode
operasi berkembang dalam jumlah dan kualitasnya, sehingga jumlah pekerja di sektor perikanan meningkat di setiap desa, maka sekurang-kurangnya dapat
mengurangi pengangguran, dan pada akhirnya menambah penghasilan keluarga. Pada giliran nya, pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan minimal yang
menjadi indikator pengukuran kemiskinan, akan meningkat mendekati bahkan melewati garis kemiskinan.
Hasil penelitian ini juga memberi gambaran bahwa penduduk yang bekerja di sektor perikanan pada semua kecamatan di Kota Ambon lihat gambar grafik
pekerjaan penduduk pada bagian-bagian sebelumnya, tidak lebih dari 2, sedangkan 98 bekerja di sektor lain, serta rata-rata pengangguran sebesar 17,5
BPS Kota Ambon 2010. Dengan demikian, secara hipotetis dapat dikatakan bahwa penduduk yang bekerja di sektor perikanan di desa pesisir, relatif tidak
miskin. Hipotetis ini memang bertolak belakang dengan berbagai hasil kajian
82
empirik terhadap kemiskinan masyarakat pesisir atau nelayan di berbagai lokasi di Indonesia, seperti dikatakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kabarbisnis.com,
2011, maupun Utami 2010. Karena itu, diperlukan kajian empirik lain untuk menguji hipotesis ini, yaitu sebuah penelitian untuk menghitung rata-rata
pengeluaran nelayan per kapita per hari, apakah masih berada di bawah garis kemiskinan atau telah melewati garis kemiskinan.-
5 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP
Kelayakan usaha suatu investasi dapat ditentukan berdasarkan hasil analisis Benefit Cost Ratio BCR terhadap setiap jenis usaha perikanan tangkap yang
terdapat pada desa pesisir di lima kecamatan di Kota Ambon. BCR dapat menjadi alat analisis kelayakan usaha dengan lebih baik karena mempertimbangkan
perubahan yang dapat terjadi pada suku bunga Kapp, 1990. Disamping suku bunga, nilai BCR ini sangat tergantung jumlah biaya investasi yang dibutuhkan
untuk pengembangan usaha perikanan tangkap, kemudian biaya operasional untuk menjalankan operasi, kondisi penerimaan setiap kali trip operasi, serta keuntungan
yang bisa didapatkan setelah dikeluarkan biaya-biaya termasuk biaya tenaga kerja ABK yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam Bab 5 ini akan
dibahas secara berurutan hasil analisis biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, keuntungan, dan terakhir nilai BCR, sehingga ulasan kelayakan usaha
perikanan tangkap di Kota Ambon lebih detail dan komprehensif. Perhitungan besarnya biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, maupun
keuntungan laba operasi usaha perikanan tangkap di Kota Ambon yang menjadi obyek penelitian ini, menggunakan pendekatan rata-rata per jenis alat tangkap di
setiap desa dalam satu trip penangkapan, kemudian distandarkan menjadi setahun disetahunkan, sehingga diperoleh jumlah pendapatan dan biaya operasional serta
keuntungan atau laba operasi per tahun.
5.1 Biaya Investasi Usaha Perikanan Tangkap