PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerusakan pada jaringan tubuh manusia dapat disebabkan oleh banyak
hal. Salah satu diantaranya adalah kecelakaan
yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari seperti, kecela-
kaan kerja, kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan
lainnya yang
kerap menimbulkan luka dan hilangnya
beberapa serpihan tulang. Berdasarkan laporan statistik Murugan dan
Ramakrishna, 2005, setiap tahunnya kasus patah tulang yang terjadi di USA
sekitar 6,3 juta dan sekitar 550.000 kasus membutuhkan grafting tulang.
[1]
Untuk mengatasi berbagai kerusakan tulang tersebut, maka dikembangkan
teknologi biomaterial sejak tahun 1788.
[2]
Biomaterial merupakan bahan inert
yang diimplantasikan ke dalam jaringan hidup sebagai pengganti fungsi
dari jaringan hidup dan organ.
[3]
Biomaterial yang diimplantasikan ke dalam tulang harus bersifat biokom-
patibel atau sesuai dengan jaringan keras dalam
komposisi dan
morfologi, bioaktif, osteokonduktif, tidak beracun,
dan tidak korosif. Saat ini biomaterial yang paling banyak digunakan untuk
pengganti atau grafting pencangkokan tulang adalah hidroksiapatit HAp
dengan rumus kimia Ca
10
PO
4 6
OH
2
dan trikalsium fosfat TKF yang memiliki rumus kimia Ca
3
PO
4 2
. HAp memiliki biokompatibilitas yang baik
terhadap kontak langsung dengan tulang. HAp merupakan senyawa mineral apatit
yang memiliki sifat fase paling stabil, tidak korosi, tidak beracun, dan
bioaktif.
[4]
Namun, HAp memiliki tingkat kelarutan yang lama sehingga
memperlambat proses perbaikan tulang. Menurut penelitian Dewi, HAp memiliki
tingkat kelarutan yang lebih lama dibandingkan
TKF dan
apatit karbonat.
[5]
Oleh karena itu, dikembang- kanlah biomaterial HAp berpori.
Pori memiliki pengaruh lang- sung dalam perbaikan tulang. Pori dari
HAp tersebut berfungsi agar sel dari jaringan tulang masuk melalui pori dan
berinteraksi dengan HAp sehingga memiliki ikatan yang kuat dengan
jaringan tulang.
[6]
Umumnya, ukuran pori
minimal untuk
mendukung pertumbuhan tulang yang baik adalah
100 - 135 µm.
[7]
HAp berpori diperoleh dengan penambahan porogen. Pada penelitian
ini digunakan lilin lebah yang dihasilkan dari sarang lebah madu sebagai
porogennya. Penggunaan lilin lebah diharapkan dapat menghasilkan HAp
berpori yang biokompatibel. Sintesis HAp dapat dilakukan dengan beberapa
metode
yaitu metode
presipitasi, hidrolisis, dan metode sol gel.
[8]
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode sol gel. Proses sol gel diawali dengan
pembentukan koloid yang memiliki padatan tersuspensi di dalam larutan-
nya. Sol ini kemudian akan mengalami perubahan fase menjadi gel, yaitu koloid
yang memiliki fraksi solid yang lebih besar daripada sol. Gel ini kemudian
akan mengalami kekakuan dan dapat dipanaskan
untuk membentuk
keramik.
[9]
Selanjutnya dilakukan
pencirian dengan X-ray diffraction XRD, scanning electron microscopy
SEM, dan Fourier transform infrared FTIR.
1.2 Tujuan
1.
Membuat senyawa HAp berpori dengan kalsium dari cangkang
kerang darah Anadara granosa Linn. dan porogen lilin lebah
menggunakan metode sol gel
2.
Menganalisis HAp berpori yang dihasilkan
dengan perangkat
analisis X-ray diffraction XRD, scanning
electron micro
scopy SEM, dan Fourier transform
infrared FTIR.
1.3 Perumusan Masalah
1. Apakah cangkang kerang darah
Anadara granosa Linn. dan lilin
lebah dapat menghasilkan HAp
2
berpori dengan
menggunakan metode sol gel?
2. Bagaimana struktur dan komposisi
HAp berpori yang dihasilkan?
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Senyawa Kalsium Fosfat
Senyawa kalsium fosfat adalah komponen utama mineral penyusun
tulang. Senyawa kalsium fosfat tersebut merupakan material anorganik yang
banyak digunakan untuk implant tulang karena memiliki sifat bioaktif dan
biokompatibel.
[10]
Senyawa kalsium fosfat yang dihasilkan bisa dalam fase
kristal dan bisa juga dalam fase amorf. Trikalsium fosfat Ca
3
PO
4 2
dan hidroksiapatit Ca
10
PO
4 6
OH
2
merupa- kan senyawa kalsium fosfat yang sering
digunakan untuk grafting tulang pada saat ini. Bentuk kalsium fosfat yang
paling stabil adalah hidroksiapatit HAp.
[11]
Senyawa kalsium fosfat dapat disintesis dengan berbagai cara. Salah
satu diantaranya dengan menggunakan metode sol gel. Lapisan senyawa apatit
yang dihasilkan dengan metode sol gel dapat diperoleh dalam bentuk kristal
atau amorf.
[12]
Sol merupakan dispersi partikel padat atau polimer dalam suatu
larutan dengan tingkat stabilitas tertentu. Tahap berikutnya adalah gel. Gel
merupakan proses polimerisasi sol dengan tingkat kekentalan tertentu.
Tahap akhir adalah pengeringan gel. Tahap ini merupakan tahap yang paling
penting karena dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fase atau struktur
kimia yang kompleks, sehingga dapat membentuk material dengan kerapatan
yang tinggi dan dapat menentukan produk material dalam bentuk serbuk,
serat, lapisan tipis maupun padat.
[13]
Gel ini kemudian akan mengalami kekakuan
dan dapat dipanaskan untuk membentuk keramik.
[9]
Metode sol gel akan menghasilkan campuran dengan
kemurnian dan homogenitas lebih tinggi.
[14]
2.2 Hidroksiapatit Berpori