4
berada dalam kondisi vakum yang berperan untuk menghasilkan sinar-X.
Ketika filamen-filamen yang berada di dalam X-ray tube dihubungkan dengan
power supply
bertegangan tinggi, maka akan mengeluarkan elektron-elektron di
sekitar permukaannya. Elektron yang dipancarkan dengan tegangan tinggi
akan menumbuk target Cu, Mo, W, dan Mn.
[22]
Energi kinetik elektron yang menumbuk target berubah menjadi
sinar-X. Sinar-X yang dihasilkan akan melewati
collimating slits
yang mengarah ke sample holder yang di
dalamnya telah dimasukkan sampel yang akan dianalisa. Ketika detektor
diputar, maka intensitas dari sinar-X pantul akan direkam. Detektor akan
merekam dan memproses hasil difraksi dan mengubahnya menjadi pola difraksi
yang
dapat dilihat
pada layar
komputer.
[23]
Data yang diperoleh dari karakterisasi XRD menggambarkan
grafik antara sudut hamburan βθ dengan intensitas. Peristiwa difraksi
akan terjadi apabila memenuhi hukum Bragg sehingga akan membentuk
interferensi konstruktif dan suatu puncak. Seperti yang terlihat pada
Gambar 3.
Gambar 3 Skema difraksi sinar-X
berdasarkan hukum Bragg n λ = 2 d sin θ ………………..1
Ket : n = orde pembiasan bilangan bulat, 1,2,3.......
d = jarak antar bidang m θ = sudut difraksi
o
= panjang gelombang radiasi nm
2.6 Scanning Electron Microscopy
SEM
Scanning electron microscopy SEM digunakan untuk mengamati
morfologi suatu sampel. Prinsip kerja SEM mirip dengan mikroskop optik,
namun memiliki
perangkat yang
berbeda. Prinsipnya adalah difraksi pada
sudut yang sangat kecil. Elektron dapat dihamburkan
oleh sampel
yang bermuatan. Sampel yang tidak memiliki
muatan maka dilapisi emas sebagai bahan konduktor yang biasa digunakan.
Cara terbentuknya gambar pada SEM
pertama berkas
elektron disejajarkan dan difokuskan oleh magnet
yang didesain khusus yang berfungsi sebagai lensa. Spesimen sasaran sangat
tipis sehingga berkas yang dihantarkan tidak diperlambat atau dihamburkan
terlalu
banyak. Bayangan
akhir diproyeksikan ke dalam layar pendar
atau film. Berbagai distorsi terjadi akibat masalah pemfokusan dengan lensa
magnetik membatasi resolusi hingga sepersepuluh nanometer.
[3]
2.7 Fourier Transform InfraRed
FTIR
Fourier transform
infrared
FTIR merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis
ikatan kimia dalam senyawa kalsium fosfat, tetapi tidak dapat digunakan
untuk
menentukan unsur-unsur
penyusunnya. Pada sebuah spektroskopi infra merah, radiasi infra merah akan
dilewati oleh sebuah sampel. Sebagian dari infra merah tersebut akan diserap
absorbs
dan sebagian lagi akan dipancarkanditeruskan
transmitted oleh sampel. Sampel akan menyerap
infra merah jika ada kesesuaian antara frekuensi radiasi infra merah dengan
frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan momen dipol selama
bervibrasi.
[24]
FTIR memanfaatkan energi vibrasi gugus fungsi penyusun senyawa
kalisum fosfat, yaitu gugus PO
4
, gugus CO
3
, dan gugus OH. Gugus PO
4
memiliki 4 mode vibrasi, yaitu:
AB+BC = mutiples nλ
5
Vibrasi stretching ν
1
, dengan bilangan gelombang sekitar 956 cm
- 1
. Pita absorpsi ν
1
ini dapat dilihat pada bilangan gelombang 960 cm
-1
.
Vibrasi bending ν
2
, dengan bilangan gelombang sekitar 363
cm
-1
.
Vibrasi asimetri stretching ν
3
, dengan bilangan gelombang sekitar
1040 sampai 1090 cm
-1
. Pita absorpsi
ν
3
ini mempunyai dua puncak maksimum. yaitu pada
bilangan gelombang 1090 cm
-1
dan 1030 cm
-1
.
Vibrasi antisimetri bending ν
4
, dengan bilangan gelombang sekitar
575 sampai 610 cm
-1
. Bentuk pita
ν
3
dan ν
4
yang tidak simetri membuktikan bahwa senyawa
kalsium fosfat tidak semuanya dalam bentuk amorf. Spektrum senyawa
kalsium fosfat juga dapat dilihat pada pita
ν
4
, yang terbelah dengan bilangan gelombang maksimum 562 cm
-1
dan 602 cm
-1
. Pita absorpsi OH
-
dapat juga terlihat dalam spektrum kalsium fosfat,
yaitu pada bilangan gelombang sekitar 3576 cm
-1
dan 632 cm
-1
. Pita absorpsi CO
3
karbonat terlihat pada bilangan gelombang 1545 cm
-1
, 1450 cm
-1
, dan 890 cm
-1
. Kristal apatit tipe B mempunyai daerah bilangan gelombang
sekitar 1465 cm
-1
, 1412 cm
-1
, dan 873 cm
-1
.
[25]
BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu