Konvensi Genosida 1948 dan Statuta Roma 1998

perang dapat dimulai dari kejahatan agresi, atau kejahatan agresi dapat berlanjut menjadi kejahatan perang. Tetapi kedua jenis kejahatan ini dapat dibedakan dan diatur sendiri-sendiri karena memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai gambaran kedepan, maka sebaiknya dikemukakan beberapa konsepsi dan kaidah hokum internasional tentang agresi yang sesungguhnya telah lama dikenal dalam literatur hokum internasional. 104

C. Konvensi Genosida 1948 dan Statuta Roma 1998

Istilah ‘Genocide’, yang diambil dari kata ‘genos’ yang dalam bahasa Yunani berarti ras race, bangsa nation atau suku, dan dari bahasa Latin ‘cide’ yang berarti membunuh. Dalam definisinya Genosida adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. Konvensi genosida Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948 adalah salah satu konvensi hak asasi manusia internasional yang tertua; yang lahir bahkan sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia DUHAM. Salah satu agenda transisional adalah pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Ratifikasi konvensi genosida dipercaya sebagai langkah yang sangat penting bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. 105 104 Marthen Napang, Sejarah Kejahatan HAM Internasional, Penerbit Yusticia Press, Makassar, 2013, hal 171 105 Rencana Aksi Nasional HAM yang telah berulang kali dirubah juga pernah mengagendakan untuk meratifikasi konvensi tersebut. Universitas Sumatera Utara Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara asal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Rejim hukum HAM internasional karenanya juga mengakui dan melindungi hak-hak fundamental individu dari hukum negara dan kekuasaan kedaulatan negara. Perlakuan buruk negara terhadap warga negaranya merupakan ancaman bagi negara lain dan karenanya perbuatan itu dapat diuji oleh masyarakat internasional. Perjanjian internasional menjadi sumber utama dari sistem perlindungan hak asasi manusia. Perjanjian-perjanjian internasional mendapat bobot yang besar dalam sistem perlindungan hak asasi manusia. 106 Sistem perlindungan yang tumbuh pesat sejak PD II ini bukan sebuah kebetulan, melainkan merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang, dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak- hak asasi fundamental”. 107 106 Chaloka Beyani, “The Legal Premises for the International Protection of Human Rights” di Guy S. Goodwin-Gill and S.Talmon ed. The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal. 21-35 107 Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Penebalan oleh penulis. Basic Documents in International Law 4th Ed., Ian Brownlie ed., 1995 hal. 3 Pendasaran ini kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal 55 dan 56 Piagam PBB yang menjadi landasan utama bagi perumusan standar hak asasi manusia dan sistem pemantauan perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Oleh karena itu, hukum hak asasi manusia menjadi standar internasional Universitas Sumatera Utara yang mengatur perilaku negara terhadap warga negaranyapenduduk yang ada di dalamnya. Dua kovenan Hak-hak Sipil dan Politik ICCPR 108 dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ICESCR 109 yang bersama DUHAM merupakan International Bills of Rights. 110 Pengadilan Nuremburg dan perumusan ’undang- undang dasar hak asasi manusia’ ini hingga berlakunya Konvensi Genosida juga merupakan wujud awal dari gagasan melindungi hak asasi manusia dari kebijakan yang dapat mengancam keamanan dunia. 111 Pada tanggal 9 Desember 1948, masih dalam bayang-bayang Holocaust dan berkat upaya tak kenal lelah Lemkin, PBB menyetujui Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genosida. Konvensi ini menetapkan genocide genosida sebagai kejahatan internasional, yang akan dicegah dan dihukum oleh negara-negara penandatangannya. Meski banyak kasus kekerasan terhadap kelompok yang terjadi sepanjang sejarah, perkembangan legal dan internasional istilah ini terkonsentrasi pada dua periode sejarah utama: waktu mulai dimunculkannya istilah itu hingga diterimanya sebagai hukum internasional 1944-1948, dan waktu diaktifkannya istilah itu yang ditandai dengan digelarnya 108 UNGA Res.2200 A XXI. International Covenant on Civil and Political Rights 109 UNGA Res. 2200 A XX, 993 UNTS 3. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 110 Perlu dikemukakan bahwa pembentukan kedua konvensi itu lebih merupakan kecelakaan sejarah karena pada awalnya direncanakan untuk membentuk 1 kovenan hak asasi manusia. Pandangan kontemporer melihat kesalingterikatan dan saling tergantungnya ke dua jenis hak asasi sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Wina dan Program Aksi 1997. Bandingkan Craven M. “The International Convention on Economic, Social, Cultural Rights’ di Raija H. dan Markku S. ed. “An Introduction to the International of Human Rights: a Textbook” hal. 21 1997 111 Antonio Pradjasto H, Konvensi Genosida : Melindungi Hak Asasi Manusia – Memerangi Impunitas, Seminar Di Komnas Ham Pada Tanggal Sebagai Upaya Komnas Ham Dalam Mencari Masukan-Masukan Perlunya ratifikasi Konvensi Genosida Universitas Sumatera Utara pengadilan penjahat internasional untuk menuntut kejahatan genosida 1991- 1998. Mencegah genosida, sebagai amanat utama lainnya dari konvensi ini, tetap menjadi tantangan yang terus dihadapi banyak negara dan individu. 112 1. Anggota kelompok itu dibunuhkan Konvensi atas cegahan dan hukuman kejahatan genosida ditegaskan bahwa Pasal I Kelompok yang menutup perjanjian ini memperkuat bahwa genosida yang dilakukan pada waktu perang atau pada waktu aman pun itu jadi kejahatan menurut hukuman antara negara yang akan dicegahkan dan dihukumkan mereka. Sedangkan Pasal II: Menurut konvensi ini, yang masuk hal genosida ini perbuatan yang dilakukan dengan maksud orang se-bangsa, sekaum, seras atau se- agama apakah semuanya atau hanya bagian mereka saja pun akan dibinasakan, yaitu perbuatan seperti yang ikut: 2. Anggota kelompok itu dikenakan kerugian badan atau jiwa yang berat. 3. Kelompok itu dikenakan kehidupan dengan maksud mereka dibinasakan apakah semuanya atau hanya bagian mereka saja pun 4. Dijatuhkan tindakan dengan maksud kelahirhan anak kelompok itu akan dihalangi. 5. Anak kelompok itu diculik supaya dibesarkan oleh kelompok lain. Kemudian Pasal III: Perbuatan yang akan dihukumkan: 1. Genosida. 2. Besekongkol genosida. 3. Dihasutkan genosida dengan jelas di hadapan masyarakat. 112 https:www.ushmm.orgwlcidarticle.php?ModuleId=10007865.html, diakses tanggal 31 Juli 2016 Universitas Sumatera Utara 4. Diusahakan genosida. 5. Diikuti dengan orang lain dengan maksud genosida dilakukan. Konvensi Genosida yang disepakati pada tahun 1948 hingga sekarang merupakan dokumen komprehensif tentang genosida yang pernah ditandatangani Negara-negara. Konvensi genosida 1948 ini memiliki peran yang penting, mengingat berbagai instrument hukum yang melandasi pendirian berbagai peraian ad hoc pada masa berikutnya. Secara substansialm definisi “genosida” yang dimuat dalam Konvensi Genosida 1948 belakangan diadopsi oleh Statuta ICTY, ICTR dan Statuta Roma 1948. Selain memuat norma-norma tentang genosida, konvensi ini sekaligus juga memuat kerangka kerjasama di antara Negara-negara dalam kaitannya dengan upaya mencegah dan menindak kejahatan genosida. Konvensi yang diterima oleh Negara-negara melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.260 III A pada tanggal 9 Desember 1948 ini mulai berlaku efektif pada tanggal 12 Januari 1951. 113 Dalam pasal 6 Konvensi Genosida 1948 yang mengatur kemungkinan adanya suatu tribunal nasional dan tribunal pidana internasional untuk mengadili kejahatan genosida adalah selaras dengan pasal 1 dan bagian pertimbangan Statuta Roma 1998 tentang prinsip komplementari ICC sebagai peradilan pidana internasional terhadap peradilan pidana nasional suatu negara dalam mengadili kejahatan genosida. Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu konvensi yang secara tegas menginginkan pembentukan suatu peradilan pidana internasional selain peradilan pidana nasional untuk mengadili kejahatan 113 Arie Siswanto, Op.Cit, hal 55 Universitas Sumatera Utara kemanusiaan khususnya genosida. Majelis Umum PBB mendukung prinsip- prinsip Nuremberg sehingga berupaya merumuskan tugas-tugas suatu Dewan Kriminal Internasional. Defenisi dari tugas dewan ini diprakarsai melalui Resolusi 260 B III yang disahkan oleh MU PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Dalam Resolusi itu Majelis Umum meminta komisi hukum internasional untuk: Mempelajari keinginan dan kemungkinan pendirian suatu organ pengadilan internasional untuk mengadili orang-orang yang dituduh mengadakan pemusnahan suatu suku atau suku bangsa atau melakukan tindakan kriminal lainnya dimana kepada orang tersebut diberikan hak hukum yang diatur dalam konvensi-konvensi internasional. 114 1. Penegasan genosida sebagai sebuah kejahatan internasional Secara ringkas, pokok-pokok pengaturan yang ada di dalam Konvensi Genosida 1948 dapat dikemukakan sebagai berikut: Penegasan ini dimuat secara eksplisit di dalam Pasal 1 Konvensi, yang menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan di masa perang maupun damai, adalah kejahatan yang diatur oleh hokum internasional dan Negara-negara wajib mencegah serta menghukum pelakunya. 2. Definisi genosida Definisi genosida diformulasikan di dalam Pasal II Konvensi. 3. Perluasan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidanakan Selain genosida, Konvensi juga menyatakan perbuatan-perbuatan terkait yang dapat dijatuhi pidana, yakni a persekongkolan untuk melakukan genosida b 114 Marthen Napang, Op.Cit, hal 137 Universitas Sumatera Utara penghasutan untuk melakukan genosida secara langsung dan umum c percobaan melakukan genosida d penyertaan dalam genosida. 4. Tanggungjawab pidana secara individual Pertanggungjawaban pidana secara individual individual criminal responsibility adalah prinsip yang menghendaki agar pelaku kejahatan internasional memikul sendiri tanggungjawab pidananya sebagai seorang individu, terlepas dari status dan jabatannya dalam pemerintahan. Dengan kata lain, status seorang pelaku sebagai pejabat public atau bahkan sebagai penguasa sekalipun, tidak bisa dijadikan defense untuk menghindari tanggungjawab pidana individualnya. Prinsip yang juga dapat ditemukan di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Numberg ini ditegaskan kembali dalam Pasal IV Konvensi. 5. Kewajiban membuat undang-undang nasional yang mengatur genosida Konvensi Genosida 1948 bagaimanapun adalah sebuah konvensi yag implementasinya sangat tergantung pada negara-negara yang menjadi pihaknya. Untuk itu, Pasal V Konvensi menghendaki agar negara-negara anggota Konvensi untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional untuk memastikan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi pada lingkup nasional, khususnya untuk mengancamkan pidana bagi pelaku genosida. 6. Forum dan jurisdiksi Konvensi menegaskan bahwa pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku genosida adalah pengadilan yang berkompeten dari Negara di mana genosida terjadi. Namun, Konvensi juga membuka peluang bagi Universitas Sumatera Utara pengadilan yang bersifat internasional untuk menerapkan jurisdiksinya atas dasar persetujuan Negara-negara pihak dari Konvensi. Ketentuan ini termuat di dalam Pasal VI Konvensi. 7. Penegasan bahwa genosida bukan kejahatan politik Pasal VII Konvensi memuat ketentuan yang menegaskan bahwa genosida tidak dikategorikan sebagai kejahatan politik, khususnya dalam konteks ekstradisi. Penegasan ini menjadi penting, karena di dalam hokum internasional yang menyangkut ekstradisi dikenal ada prinsip bahwa seorang pelaku kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan non-exradition of political offenders. Berdasarkan prinsip ini ketika seorang pelaku kejahatan politik misalnya maker, di suatu Negara melarikan diri ke Negara lain, ia semestinya dilindungi di Negara di mana ia berada. Pada prinsipnya permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Negara perminta requesting state tidak akan dikabulkan oleh Negara yang diminta requested state, yang mungkin bahkan akan memberikan suaka politik political asylum bagi pelarian politik itu. Berkaitan dengan itu, penegasan bahwa genosida bukanlah kejahatan politik tentu saja dimaksudkan untuk mencegah supaya terhadap seorang pelaku genosida tidak ada satu negarapun yang akan hendak menerapkan jurisdiksi untuk mengadili dan mulai menghukum dia. Gagasan ini sejalan dengan prinsip lain yang mulai berkembang dalam hokum internasional tentang kejahatan-kejahatan serius, yakni prinsip “out punier, out dedere”, yang menghendaki agar seorang pelaku kejahatan serius dihukum oleh Negara Universitas Sumatera Utara dimana si pelaku berada atau diserahkan kepada negaralain yang memiliki jurisdiksi menerapkan hukumnya 8. Kemungkinan keterlibatan PBB dalam pencegahan dan penindakan Pasal VIII mengatur bahwa suatu Negara dapat meminta supaya organ-organ PBB yang berkompeten mengambil tindakan sesuai dengan Piagam PBB dalam kerangka pencegahan dan penindakan genoida. Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, Pasal ini sesungguhnya merupakan jalan masuk bagi Dewan Keamanan PBB untuk berperan aktif dalam pencegahan dan penindakan terhadap genosida. Ketentuan ini dapat dikaitkan dengan Bab VII Piagam PBB yang membuka peluang bagi intervensi Dewan Keamanan ketika dinilai ada kondisi yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. 115 1. Membunuh anggota kelompok, Pengejewantahan pertama dari landasan ini adalah DUHAM yang norma- norma di dalamnya kemudian dielaborasi dalam kovenan atau konvensi-konvensi hak asasi manusia. Secara khusus adalah Genosida diatur di dalam Statuta Roma bersamaan dengan peraturan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dalam pasal 6 Statuta Roma disebutkan bahwa genosida merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok, seperti: 2. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok, 115 Ibid., hal 56-58 Universitas Sumatera Utara 3. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik keseluruhan atau sebagian, 4. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam suatu kelompok, 5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lainnya. 116 Dilihat dari pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 6, maka unsur-unsur kejahatan genosida secara umum adalah: 1. Korban berasal dari bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu, 2. Pelaku berniat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tertentu. Selanjutnya, bila melihat dari setiap kata dalam pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 6, maka dapat diketahui adanya beberapa unsur khusus di dalamnya. Unsur-unsur khusus tersebut yakni: 1. Melakukan pembunuhan terhadap anggota kelompok. ‛ Unsur yang dapat diambil dari kalimat ini yakni; pelaku membunuh satu orang atau lebih dengan niat menyebabkan kematian. 2. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat. ‛ Unsur yang dapat diambil dari kalimat ini yakni; pelaku menyebabkan luka fisik yang tampak pada anggota tubuh dan juga luka mental yang serius terhadap satu orang atau lebih. ICTR International Criminal Tribunal for Rwanda menjelaskan bahwa penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental 116 Statuta Roma, Pasal 6 17 Juli 1998 Universitas Sumatera Utara tidak perlu bersifat permanen dengan tujuan agar ancaman ketika interogasi juga masuk dalam unsur ini. 3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik. ‛ Unsurnya yakni; pelaku menibulkan kondisi kehidupan terhadap satu orang atau lebih dan kondisi tersebut dapat diperhitungkan akan mendatangkan kehancuran fisik terhadap kelompok tersebut, seluruhnya atau sebagian. Segala jenis tindakan yang mengakibatkan meninggalnya orang secara perlahan juga dapat dikategorikan dalam hal ini. Contoh dari unsur ini adalah perkosaan, membuat penduduk kelaparan, kurangnya fasilitas tempat berteduh yang layak, dipaksa melakukan pekerjaan berat baik fisik maupun mental, mengurangi pelayanan kesehatan sampai di bawah minimum, dan pengusiran paksa. 4. Mencegah kelahiran. Unsur yang didapat dari kalimat ini adalah pelaku memaksakan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran tersebut. Tindakan-tindakan tersebut mencakup tindakan: sterilisasi, aborsi paksa, pemisahan pria dan wanita, dan menghambat perkawinan. 5. Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain. Unsur yang didapat dari pengertian ini adalah; pelaku memindahkan secara paksa satu atau lebih anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain. Anak- anak yang dimaksud di sini adalah korban yang berusia di bawa 18 tahun dan pelaku mengetahui bahwa korban berusia di bawah 18 tahun. Pemindahan Universitas Sumatera Utara anak-anak secara paksa tersebut dapat berakibat serius terhadap masa depan dan kelangsungan terhadap suatu kelompok. ICTR menjelaskan bahwa tindakan ini juga mencakup tindakan ancaman atau trauma yang dapat mengarah pada pemindahan anak-anak secara paksa. 117 Ada beberapa kejadian yang ditetapkan dunia sebagai kasus genosida, dimulai dari pembunuhan massal pertama yang dilakukan oleh bangsa Yahudi terhadap penduduk Kanaan pada milenium pertama sebelum masehi, kemudian diikuti oleh pembantaian-pembantaian lainnya yang kemudian ditetapkan oleh dunia sebagai genosida. Genosida terbesar yang pernah dicatat oleh sejarah dunia adalah pada masa pemerintahan Kolonial Raja Leopold II dari Belgia, ia adalah penguasa yang menerapkan sistem kerja paksa, pembunuhan massal dan penyiksaan. Perkiraan jumlah korban sekitar 30 juta, mulai dari tahun 1885 hingga abad ke-20. Populasi Kongo menurun dari sekitar 30 juta hingga di bawah 9 juta selama waktu dari kejaman tersebut. 118 117 Rudi M. Rizki, Unsur-Unsur Genosida, Yogyakarta, 2005. 118 Ricobain, Pembantaian atau Genosida Terbesar Dalam Sejarah, http:www.ricostrada.comsejarapembantaian-atau-Genosida-terbesar-dalam-sejarah, diakses 1 Agustus 2016. Dalam pasal 6 Statuta Roma disebutkan bahwa genosida berarti suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok dengan beberapa kualifikasi dan unsur-unsurnya. Bila dilihat dari Fikih Jinayah, maka beberapa poin di atas dapat disamakan artinya dengan pembunuhan dan penganiayaan. Universitas Sumatera Utara Untuk menyelesaikan kasus genosida, pada tanggal 9 Desember 1948, PBB membuat ketentuan hukum tentang genosida yang pertama, yakni‚ Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, ditandatangani oleh 45 negara dan terdapat 85 ratifikiasi serta penambahan. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1961. 119 Konvensi ini terdiri dari 19 pasal dan khusus membahas masalah genosida. Kemudian, pada 17 Juli 1998, dibuat peraturan baru tentang genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma merupakan hasil dari beberapa upaya untuk menciptakan sebuah pengadilan internasional. Statuta Roma dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum perang dan membatasi penggunaan senjata berteknologi maju yang terjadi pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan teradap kemanusiaan. Dengan adanya Statuta Roma, para pelaku tindak kejahatan teradap umat manusia tidak dieksekusi di kotak umum atau dikirim ke perkemahan penyiksaan, namun mereka diperlakukan sebagai penjahat dengan sidang reguler, hak untuk membela diri dan praduga tak bersalah. 120 119 Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, hal 39 120 Wikipedia, Rome Statute of The International Criminal Court, http:en.wikipedia.orgwikiRome-Statute-of-The-International-Criminal-Court, diakses 1 Agustus 2016. Statuta Roma mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli tahun 2002 dan menjadi dasar dibentuknya Pengadilan Kriminal Internasional International Criminal Court pada tahun 2002. Pengadilan Kriminal Internasional merupakan sebuah ‚tribunal ‛ permanen untuk menuntut individual yang melanggar pada ketentuan Statuta Roma untuk Universitas Sumatera Utara membantu sistem yudisional nasional yang telah ada. Oleh karena Statuta Roma menjadi dasar berdirinya International Criminal Court, maka seluruh kejahatan yang diatur di dalam Statuta Roma akan diadili di Pengadilan tersebut. Yuridiksi ICC terbatas pada 4 hal; wilayah, waktu, materi perkara, dan perseorangan atau person. ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara pihak dalam Statuta Roma, namun ICC juga dapat menjalankan kewenangannya di negara bukan pihak asalkan ada perjanjian. Sedangkan sanksinya diatur dalam pasal 77 Statuta Roma yang berbunyi: 1. Subject to article 110, the Court may impose one of the following penalties on a person convicted of a crime referred to in article 5 of this Statute: a Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years; or b A term of life imprisonment when justified by the extreme gravity of the crime and the individual circumstances of the convicted person. 2. In addition to imprisonment, the Court may order: a A fine under the criteria provided for in the Rules of Procedure and Evidence; b A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona fide third parties. 121 121 Statuta Roma, Pasal 77. Universitas Sumatera Utara Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengadilan dapat menjatuhkan salah satu dari hukuman berikut pada para pelaku kejahatan yang tercantum dalam pasal 5 Statuta Roma. Opsi dari hukuman tersebut yakni: 1. Pemenjaraan untuk jangka waktu tertentu dan tidak boleh lebih dari 30 tahun, atau 2. Hukuman penjara seumur hidup dilihat dari besarnya kejahatan yang telah dilakukannya dan juga keadaan dari tiap individu terpidana. 3. Selain hukuman penjara, pengadilan juga dapat memberikan hukuman berupa: 4. Denda, berdasarkan kriteria yang diatur dalam peraturan prosedur dan bukti, 5. Disitanya dana, properti, juga aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan tersebut, tanpa mengurangi hak-hak negara pihak perjanjian yang menjadi korban dalam kejahatan tersebut. Dilihat dari pelaku tindak kejahatan internasional, Statuta Roma memberikan peraturan berupa pertanggungjawaban secara individual, sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 25. Selanjutnya, pada pasal 26 disebutkan bahwa pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili anak berusia di bawah 18 tahun ketika anak tersebut diduga melakukan tindak kejahatan. Selanjutnya, di dalam pasal 27 disebutkan bahwa Statuta Roma berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan atau bangsa dari pelaku yang diduga melakukan tindak kejahatan tersebut. Berdasarkan 3 pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertanggungjawaban perbuatan pidana dilakukan secara individu dan dihukum sesuai dengan gravitasi atau kadar perbuatannya, sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara atau pemimpin Universitas Sumatera Utara negara, tidak mempengaruhi tanggung jawab dan eksistensi dari negara tersebut di dalam hukum Internasional atau sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan genosida disesuaikan dengan tuntutan jaksa. Ketentuan ini tercantum di dalam Aturan Prosedur dan Bukti yang berbunyi: Orders of forfeiture 1 In accordance with article 76, paragraphs 2 and 3, and rules 63, sub-rule 1, and 143, at any hearing to consider an order of forfeiture, Chamber shall hear evidence as to the identification and location of specific proceeds, property or assets which have been derived directly or indirectly from the crime. 2 If before or during the hearing, a Chamber becomes aware of any bona fide third party who appears to have an interest in relevant proceeds, property or assets, it shall give notice to that third party. 3 The Prosecutor, the convicted person and any bona fide third party with an interest in the relevant proceeds, property or assets may submit evidence relevant to the issue. 4 After considering any evidence submitted, a Chamber may issue an order of forfeiture in relation to specific proceeds, property or assets if it is satisfied that these have been derived directly or indirectly from the crime. Aturan tersebut menjelaskan bahwa hakim menjatuhi hukuman berdasarkan bukti. Itikad baik juga mempengaruhi besarnya sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan. Dilihat dari definisi genosida yang tercantum di dalam Statuta Roma, maka genosida merupakan tindak kejahatan yang mana berakibat hilangnya hak-hak dan kebebasan rakyat dalam suatu negara. Universitas Sumatera Utara Apabila terjadi tindakan genosida dalam suatu negara atau suku atau bangsa tertentu, maka Kepala Negara wajib membela rakyatnya agar hak-hak rakyat dan kebebasan mereka tidak terenggut. Kepala Negara wajib memerintahkan rakyatnya untuk balas menyerang sebagai wujud atas pembelaan diri. Selanjutnya, bila dianalisis dari ketentuan hukum yang mengatur genosida, Statuta Roma merupakan landasan hukum kedua setelah konvensi genosida yang mengatur tentang genosida. Perbedaannya adalah, di dalam konvensi genosida tidak diatur tentang sanksi yang harus diterima oleh pelaku tindak kejahatan genosida, konvensi genosida menyerahkan sepenuhnya kewenangan penyelesaian kasus tindak kejahatan genosida pada negara di wilayah tempat kejadian perkara, sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 6 Konvensi genosida. Sedangkan di dalam Statuta Roma, pihak negara yang mengikat perjanjian bila terjadi tindak kejahatan genosida di negaranya, maka tindakan tersebut dapat diselesaikan di Pengadilan Kriminal Internasional yang berpusat di Den Haag. Jaksa bisa menerima tuntutan itu dari korban tindak kejahatan genosida, atau mengajukan tuntutannya sendiri ke pengadilan, sebagaimana yang tertera di dalam pasal 15 Statuta Roma. Pengadilan Kriminal Internasional International Criminal Court akan memeriksa perkara tersebut, dan bila tuntutan itu benar adanya, maka tersangka akan dikenakan sanksi yang tertera di dalam pasal 77 Statuta Roma berupa: 1. Pemenjaraan dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh lebih dari 30 tahun, atau Universitas Sumatera Utara 2. Hukuman penjara seumur hidup dilihat dari besarnya kejahatan yang telah dilakukannya dan juga keadaan dari tiap individu terpidana. Selain itu, pengadilan juga dapat menjatuhkan hukuman berupa: 1. Denda berdasarkan kriteria yang diatur dalam peraturan prosedur dan bukti, yakni pada pasal 51, 2. Disitanya dana, properti, juga aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan tersebut, tanpa mengurangi hak-hak negara pihak perjanjian yang menjadi korban dalam kejahatan tersebut. Seperti yang dicantumkan dalam pasal 25, pertanggungjawaban tindak pidana genosida adalah per-individu, meskipun tindakan itu dilakukan secara berkelompok. Di dalam pasal tersebut juga menjelaskan bahwa, pertanggungjawaban secara individual pelaku tindak kejahatan genosida tidak mempengaruhi tanggung jawab negara dalam hukum internasional. Jadi, negara tersangka tetap tidak berkurang eksistensinya di dunia internasional. Selanjutnya, di pasal 26 dan 27 disebutkan bahwa Statuta Roma berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan pelaku, kecuali anak berusia di bawah 18 tahun, karena pengadilan tidak mengadili anak berusia di bawah 18 tahun. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku berdasarkan tuntutan dari jaksa atau korban, sebagaimana yang tercantum dalam aturan nomor 147 Aturan Prosedur dan Bukti. Selama hukuman tersebut tidak di luar pasal 77 Statuta Roma. Dilihat dari pelaku tindakannya, maka sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan genosida adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Hukuman mati dengan syarat yang sudah ditentukan oleh agama Islam. Sanksi ini diperuntukkan bagi pelaku tindak kejahatan genosida yang berasal dari dalam negeri dan dianggap sebagai bugat, atau pemberontak. 2. Sistem perang dan damai ada pada kategori ini, yakni ketika pelaku tindak kejahatan genosida berasal dari luar negara. a. Perang Perang di sini dalam arti memberikan pembalasan kepada mereka sebagai bentuk pertahanan diri. Maka, orang yang mengadakan pelawanan untuk mempertahankan diri ini tidak bisa dijatuhi sanksi. b. Damai Yakni dengan cara melaporkannya ke pengadilan yang berwenang dan menghukumnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Bila melihat ketentuan hukum internasional yang mengatur pelaku tindak kejahatan genosida tersebut, ada kesamaan dengan ajaran Islam. Kesamaannya yakni, pelaku tindak kejahatan genosida sama-sama akan dijatuhi hukuman bila sudah cukup memiliki bukti. Namun, ketentuan hukum yang tercantum dalam hukum internasional tentang sanksi terhadap tindak pidana genosida belum cukup. Pengadilan Internasional yang merujuk kepada perjanjian hukum internasional berupa Statuta Roma memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang tercantum di dalamnya. Apabila dilihat dari segi tersangka, Pengadilan Internasional sudah cukup adil dan bijak memberikan sanksi kepada pelaku tindak kejahatan genosida dengan tidak memandang suku, bangsa, dan juga jabatannya. Semua diperlakukan Universitas Sumatera Utara sama dan dihukum sesuai dengan tuntutan jaksa dan korban. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan hukum internasional Islam, maka hukuman penjara tidak sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak kejahatan genosida. Apa yang ada di dalam Statuta Roma merupakan pemecahan masalah yang berlaku untuk seluruh negara pihak di dunia. Meskipun sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan genosida tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, namun negara Islam yang menjadi pihak perjanjian tetap harus mematuhi perjanjian tersebut dan meyakini bahwa perjanjian tersebut dibuat demi kemaslahatan umat sedunia. 122 1. Penegasan jurisdiksi materiae ICC atas genosida Statuta Roma 1998 dilengkapi dengan dokumen lain, yaitu Elements of Crimes yang mendeskripsikan unsur-unsur masing-masing tindak pidana yang berada di bawah jurisdiksi materiae ICC. Pokok-pokok mengaturan genosida di dalam Statuta Roma 1998, dapat dikemukakan sebagai berikut: Pasal 5 paragraf 1 Statuta Roma menegaskan bahwa kejahatan genosida the crime of genocide merupakan salaha satu kejahatan terhadap mana ICC memiliki jurisdiksi. Bersama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan crime against humanity, kejahatan peran war crime dan kejahatan agresi the crime of aggression, genosida dianggap sebagai “the most serious crimes of concern to the international community as a whole kejahatan yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan”. 122 Nimas Masrullail Miftahuddini Ashar, Hukum Internasional Tentang Genosida Dalam Perspektif Fikih Dauliy, Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 4, Nomor 1, April 2014; Issn 2089-0109 Universitas Sumatera Utara 2. Perumusan definisi genosida Pasal 6 Statuta Roma memuat tentang rumusan perbuatan yang dikategorikan sebagai genosida. Sebagaimana telah dikemukakan, rumusan definisi genosida dalam Statuta Roma 1998 mengadopsi rumusan yang terdapat di dalam Konvensi Genosida 1948. 3. Tanggungjawab pidana secara individual Gagasan pertanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Numberg juga disuarakan kembali secara tegas dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998. Paragraf 1 dari pasal tersebut menegaskan bahwa ICC memiliki jurisdiksi atas orang pribadi natural person. Melengkapi paragraf 1, paragraph 2 menyatakan bahwa person who commits a crime within the jurisdiction of the courts shall be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Satute orang yang melakukan kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan harus bertanggung jawab secara individu dan tanggung jawab untuk hukuman sesuai dengan Satute ini. Prinsip ini kemudian diperkuat di dalam Pasal 33 yang mengatur tentang tanggungjawab individual dalam hal seseorang melakukan tindakan yang dilarang karena instruksi dari pemerintah atau atasannya, baik sipil maupun militer. Ada pembatasan terhadap prinsip ini. Sementara yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak dipidana kalau syarat-syarat berikut ini dipenuhi : Universitas Sumatera Utara a Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari pemerintah atau atasannya. b Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimanya tidak sah, dan c Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah. 4. Kriminalisasi Sejalan dengan Statuta ICTY dan ICTR, bukan hanya pelaku genosida an sich yang diancam pidana, melainkan juga pelaku tindakan lain yang terkait dengan genosida. Secara lengkap, orang yang diancam pidana karena melakukan genosida meliputi: setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersama-sama atau yang menyuruhlakukan Statuta Roma 1998, setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida Statuta Roma 1998, setiap orang yang menolong, membantu dan menyediakan sarana sehingga terjadi genosida atau percobaan genosida Statuta Roma 1998, setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara mendorong perbuatan melibatkan genosida atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida Statuta Roma 1998, setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut lain untuk melakukan genosida Statuta Roma 1998 dan setiap orang yang melakukan percobaan genosida. Universitas Sumatera Utara 5. Pidana Sama seperti ketentuan di dalam Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 juga secara implisit mengesampingkan kemungkinan dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC. Pasal 77 Statuta Roma 1998 secara tegas bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku genosida dan kejahatan internasional lain dalam kerangka ICC, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 123 Statuta Roma 1998 telah berlaku efektif dan menunggu pembentukan ICC secara kelembagaan dengan segala kelengkapan organ-organnya yang terdiri dari: Dewan Pimpinan, Divisi Banding, Divisi Peradilan dan Divisi Pra-Peradilan, Kantor Penuntut dan Kantor Pencatat sesuai pasal 34 Statuta. Organ-organ ini diisi oleh para hakim, panitera dan staff yang memiliki tugas dan wewenang yudisial: mengadili, dan non yudisial: administrasi menurut jabatannya masing- masing. Dalam pembukaan Statuta Roma 1998 atau Statuta ICC yang telah berlaku efektif tersebut diingatkan bahwa merupakan tugas dari setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap tanggungjawab untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan internasional ini. Selanjutnya ditekankan bahwa pengadilan pidana internasional yang dibentuk sesuai dengan statuta ini harus menjadi pelengkap komplementeric terhadap yurisdiksi pidana nasional. Hal yang sama juga ditegaskan dalam pasal 1 statuta, bahwa yurisdiksi ICC terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang serius yang 123 Arie Siswanto, Op.Cit, hal 62-64 Universitas Sumatera Utara menjadi perhatian internasional akan menjadi pelengkap yurisdiksi hukum pidana nasional sesuai statuta ini. 124 Disepakatinya Statuta Roma 1998 yang memuat pengaturan tentang kejahatan-kejahatan internasiuonal itu juga merupakan capaian yang amat penting, terutama kalau diingat bahwa Negara-negara memiliki perspektif yang berbeda tentang berbagao aspek yang hendak diletakkan di bawah pengaturan Statuta Roma 1998. Namun, pada akhirnya Statuta Roma 1998 dapat berlaku sebagai sebuah instrument hukum internasional yang cukup otoritatif. 125 124 Marthen Napang, Op.Cit , hal 227-228 125 Arie Siswanto, Op.Cit, hal 347 Universitas Sumatera Utara

BAB IV BENTUK PENYELESAIAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL