Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Kejahatan Genosida Aborigin di Australia
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Ali, Mahrus, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013
Ashar, Nimas Masrullail Miftahuddini, Hukum Internasional Tentang Genosida
Dalam Perspektif Fikih Dauliy, Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam
Volume 4, Nomor 1, April 2014; Issn 2089-0109
Baderin, Mashood A., Hukum Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010
Baehr, Peter R., Hak-hak Manusia dalam Politik Luar Negeri, Edisi Pertama, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998
Bahar, Saafroedin, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Cetakan pertama, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002
Chrisbiantoro, Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-Kasus Pelanggaran
HAM dan Pelanggaran HAM yang Beratdi Indonesia, Penerbit Kontras,
Jakarta, 2014
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek Dalam
Pergaulan Internasional, PT. Pustaka Utama Grafika, Jakarta, 1994
Diantha, I Made Pasek, Hukum Pidana Internasional dalam Dinamika
Pengadilan Pidana Internasional, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta,
2014
Eguren, Enrique dan Marie Caraj, Manual Perlindungan Terbaru bagi Pembela
Hak Asasi Manusia, Edisi Ketiga, Versi Bahasa Indonesia terbit di
Brussels, Penerbit Protection International, 2008
Faridy, MS., Pendidikan Kewarganegaraan 1, Penerbit Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2009
Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Amissco, cet.ke-1, 2000
Hardjono, Ratih, Suku Putihnya Asia Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992
(2)
Hasbullah, M. Afif, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia :
Upaya Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis, Penerbit Universitas
Islam Darul Ulum (UNISDA) dan Pustaka Pelajar, Lamongan, 2005
Heru Cahyono, Kejahatan Perang yang Diatur Dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1,
Howard, Rhoda E., HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya. (Penerjemah: N. Katjasungkana). Penerbit Grafiti, Jakarta, 2001
Juliantara, Dadang, Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat Hak/asasi
Manusia, Cetakan Kedua, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta,
1999
Komnas HAM & Insist, Pendidikan Hak Asasi Manusia : Panduan Untuk
Fasilitator, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia & Insist, Yogyakarta,
2000
Komnas HAM, Potret Buram HAM Indonesia, Penerbit Pusdokinfo Komnas HAM, Jakarta, 200
Nickel, James W., Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta, 1996
Muhtaj, Majda El, Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005
Napang, Marthen, Sejarah Kejahatan HAM Internasional, Penerbit Yusticia Press, Makassar, 2013
Nuraini, Atikah, et.al, Hukum Pidana Internasional Dan Perempuan, Sebuah
Resource Book Untuk Praktisi, Penerbit Komnas Perempuan, Jakarta,
2013
Rohayani, Ida, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) : Generasi
Muda Indonesia Membangun Negeri, Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta,
2013
Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional
Kontemporer, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2016
Setiardjo, A. Gunawan, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993
(3)
Siboro, J., Sejarah Australia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1989
Simon, Menegal ICC Mahkamah Pidana International, Penerbit Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009 Siswanto, Arie, Hukum Internasional, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2015
Smith, Rhona K.M., at.al, Hukum Hak Asasi Manusia, Cetakan Pertama, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, 2008
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat. Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2004
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2009
Supriyadi, Dedi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2013
Susanti, Aviantina, Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat Terhadap
Kejahatan Genosida Suku Aborigin Di Australia Berdasarkan Hukum Internasional, Jurnal Ilmiah Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan,
2014
Tim Kontras, Panduan Untuk Pekerja HAM : Pemantauan dan Investigasi Hak
Asasi Manusia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
dan Indonesia Australia Legal Development Facility, Jakarta, 2009
Turangan, Doortje D., Tindakan Kejahatan Genosida dalam Ketentuan Hukum
Internasional dan Hukum Nasional, Karya Ilmiah, Kementerian
Pendidikan Nasional, Manado, 2011
Wahjoe, Oentoeng, Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana
Internasional dan Proses Penegakannya). Jakarta: Penerbit Erlangga,
2010
Wijayanti, Asri & Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Lubuk Agung, Bandung, 2011
(4)
Eddy utomo, Kewarganegaraan, melalui konvensiinternasionaltentangham. html, diakses tanggal 29 Juli 2016
diakseskan tanggal 25 Juli 2016
diakses tanggal 26 Juli 2016
tanggal 28 Juli 2016
diakses tanggal 27 Juli 2016
diakses tanggal 28 Juli 2016
tanggal 31 Juli 2016
2016
tanggal 4 Agustus 2016
diakses tanggal 5 Agustus 2016
(5)
Agustus 2016
Agustus 2016
Jarji Zaidan, Kejahatan Genosida, melalui
Ricobain, Pembantaian atau Genosida Terbesar Dalam Sejarah,
http:www.ricostrada.com/sejara/pembantaian-atau-Genosida-terbesar-dalam-sejarah, diakses 1 Agustus 2016
Wikipedia, Rome Statute of The International Criminal Court, http://en.wikipedia.org/wiki/Rome-Statute-of-The-International-Criminal-Court, diakses 1 Agustus 2016
(6)
BAB III
BENTUK KEJAHATAN GENOSIDA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Perkembangan Kejahatan Genosida
Istilah genosida terbentuk dari dua kata yaitu “geno” dan “cidium”. Kata “geno” yang berasal dari bahasa Yunai mengandung arti “ras”, sedangkan kata “cidium” yang diambil dari bahasa latin memiliki makna “membunuh”. Meskipun sekilas istilah genosida tampak sebagai istilah arkaik, istilah ini pada kenyataannya belum dipergunakan secara luas sebelum Perang Dunia II.85
Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap sa
memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum bukunya ini diambil darγένος genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan
Genosida merupakan satu dari empat dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusia Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa
85
Adam Jones dalam Arie Siswanto, Hukum Internasional, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2015, hal 27
(7)
kelompok etnis, kelomp mengakibatkan penderitaa kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain. Ada pula istilah genosida pembunuhan kelompok atau suku, mengubah atau menghancurka
menghancurk86
Pengertian Genosida dalam ilmu sosiologi termasuk sebagai bagian pola hubungan antar kelompok. Kontak antar dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi (perpaduan budaya), dominasi (satu ras menguasai ras yang lain), paternalism (dominasi ras pendatang), atau integrasi (pengakuan perbedaan). Genosida secara umum didefinisikan sebagai sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan Kejahatan genosida mulai dikenal sejak tahun 1944. Terminologi genosida pertama kali diperkenalkan oleh seorang pengacara berkebangsaan Polandia bernama Raphael Lemkin. Genosida digunakan untuk mendeskripsikan sebuah pembantaian sistematik terhadap suatu golongan etnis ataupun agama. Genosida berasal dari penggabungan kata Genos (ras) dari bahasa Yunani dan Cidium (membunuh) dari bahasa Latin.
86
(8)
oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serika. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos (ras, bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.87
Pada awalnya, genosida dianggap sebagai salah satu bentuk khusus kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi akhirnya kekhususannya menghasilkan sebuah perjanjian internasional (Konvensi Genosida) yang sekarang telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Yang membeda kan genosida dari kejahatan-kejahatan berat lainnya adalah niat untuk memusnahkan (sebagian atau seluruhnya) kelompok ras, agama, nasional atau etnis. Yang membedakan kejahatan genosida adalah dolus specialis atau sebuah niat khusus untuk memusnahkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, sebuah kelompok tertentu. Niat khusus ini yang menaikkan status kejahatan dari sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi kejahatan genosida. Tanpa niat ini maka tidak ada genosida. Istilah genosida, namun mencantumkan pembasmian (extermination) sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan persekusi yang didasari atas alasan rasial atau agama sebagai perbuatanperbuatan kejahatan. Pemusnahan oleh rezim Nazi diadili di Pengadilan Nuremberg sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Istilah ‘genosida’ dicetuskan pertama kali pada tahun 1944 oleh
87
Jarji Zaidan, Kejahatan Genosida, melalui
(9)
Raphael Lempkin, seorang pemikir Polandia dalam sebuah buku tentang kejahatan Nazi. Ia kemudian menjadi motor di belakang terbentuknya sebuah perjanjian internasional untuk menentang kejahatan ini.
PBB akhirnya mengeluarkan sebuah perjanjian sebagai usaha untuk mencegah dan menghukum kejahatan ini. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, dicetuskan pada tanggal 9 Desember 1948, menyatakan bahwa genosida adalah sebuah kejahatan internasional, yang wajib dicegah dan pelakunya wajib dihukum. Pengadilan bagi pelaku genosida dapat dilakukan di Negara di mana genosida itu terjadi, atau dalam sebuah pengadilan internasional! Jadi disinilah pertama kali konsep sebuah pengadilan pidana internasional terbentuk. (Dibutuhkan waktu 50 tahun dan ratusan ribu korban kezaliman dan peperangan, sampai akhirnya sebuah kesepakatan tentang mahkamah pidana terbentuk di Roma pada tahun 1998).
Konvensi ini juga mengkriminalisasi konspirasi untuk melakukan genosida, langsung dan hasutan publik untuk melakukan genosida, percobaan genosida, dan keterlibatan dalam genosida. Negara-negara penanda tangan dapat meminta wewenang Dewan Keamanan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan genosida yang terjadi di negara lain. Karena kebanyakan negara telah meratifikasi Konvensi ini, dan hukumnya telah diterapkan di pengadilan internasional dan domestik, maka Konvensi Genosida sudah dianggap menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional.88
88
(10)
B. Macam dan Bentuk Kejahatan dalam Hukum Internasional
Menurut Statuta Roma tahun 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, kejahatan yang yang termasuk dalam lingkup kejahatan Internasional ada 4 (empat) macam dan bentuk yaitu :
1. Kejahatan Genosida (genocide)
Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama.89 Perbuatan Genosida yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan pemusnahannya, mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.90
a. membunuh anggota kelompok
Kejahatan genosida tertera dalam Pasal 6 Statuta Roma yang rumusannya bersumber pada ketentuan Pasal II Konvensi genosida PBB tahun 1948. Pasal 6 memberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida. Kejahatan genosida adalah tindakan dengan maksud atau by intent untuk memusnahkan/merusak seluruh atau sebagian kelompok kebangsaan, etnis, rasa atau keagamaan. Tindakan itu ada lima macam yakni :
89
Simon, Op.Cit, hal 7 90
(11)
b. menyebabkan kerusakan serius terhadap badan dan jiwa anggota-anggota kelompok
c. dengan sengaja menyengsarakan kondisi kehidupan kelompok dengan perhitungan agar timbul kerusakan fisik seluruh atau sebagian
d. memberi perlakuan dengan maksud mencegah kelahiran di lingkunga kelompok
e. memindahkan dengan paksa anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lainya.91
Bentuk kejahatan yang dilakukannya pun sangat keji, seperti: a. membunuh anggota kelompok
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya
d. melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok
e. memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain f. membunuh peradaban dengan cara melarang penggunaan bahasa dari
suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.92
2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity)
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” sering kali disalahpahami tidak jarang istilah itu dipakai sebagai sebuah ungkapan umum untuk menggambarkan suatu tindakan yang dirasa menyebabkan terjadinya penderitaan terhadap seorang manusia. Dalam hukum pidana internasional,
91 I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal 159
92
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana
(12)
istilah “kesejahatan terhadap kemanusiaan” sudah bekembang sedemikian rupa sebagai sebuah konsep dengan pemahaman yang lebih spesifik.93
Kejahatan kemanusiaan adalah tiap-tiap tindakan yang merupakan serangan yang dilakukan secara meluas atau secara sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil dengan kesadaran pengetahuan (kesengajaan) pelaku serangan. Kejahatan atas kemanusiaan berisikan rumusan tentang pembunuhan (murder), penghancuran secara total (extermination), perbudakan (enslavement), deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa (deportation
or forcible transfer of population) dan pemenjaraan atau tindakan
penghapusan secara kejam kebebasan fisik yang bertentangan dengan aturan dasar hukum international (imprisonment or other severe deprivation of
physical, in violation of fundamental rules of international law), penyiksaan
(torture), perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa, dihamili secara paksa, sterilisasi secara paksa atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang setara, persekusi terhadap suatu kelompok atau pengelompokan yang teridentifikasi atas dasar pandangan politik, ras, kebangsaan, etnis, budayak keagamaan dan gender, penghilangan orang-orang dengan paksa (enforced
disappearance of person), kejahatan apartheid (the crime apartheid) dan
tindakan-tindakan lain yang karakternya sama yakni tidak berperikemanusiaan dengan maksud untuk menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam atau kerusakan serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.94
93
Arie Siswanto, Op.Cit, hal 85 94
(13)
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penghamilan paksa, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, persekusi terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, budaya, agama, jender, atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal dilarang dalam Hukum Internasional, penghilangan orang secara paksa, kejahatan apartheid. Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang setara, yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik seseorang.95
Bentuk kejahatan ini digambarkan sebagai tindakan yang sangat keji pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis.96
4. Kejahatan Perang (War Crimes)
Perang tampaknya sudah menjadi kata yang umum dan lazim dipergunakan secara luas dalam berbagai konteks situasi. Namun, sebagai sebuah terma
95
Atikah Nuraini, et.al, Op.Cit, hal 12 96
(14)
hokum internasional, ada pemahaman yang spesifik tentang perang. Meski begitu, sampai saat imi tidak ada definisi spesifik tentang perang yang diberikan oleh norma hukum internasional. Dengan demikian, sejauh ini definisi tentang perang lebih banyak bersumber dari pendapat-pendapatan akademisi dengan mempertimbangkan praktik negara-negara.97
Kejahatan perang mencakup pelanggaran berat atas Konvensi Geneva tahun 1949 dan pelanggaran serius lain terhadap undang-undang perang, dilakukan baik dalam skala besar internasional maupun konflik bersenjata internal. Adanya konflik internal sesuai dengan hukum adat internasional dan mencerminkan realitas bahwa dalam 50 tahun terakhir, pelanggaran paling serius terhadap hak asasi manusia tidak terjadi dalam konflik internasional tetapi dalam konflik bersenjata internal.98 Kejahatan perang tidak mempunyai unsur subjektif (mens rea) yang rigid berupa unsur dengan maksud. Kejahatan perang dapat terjadi tanpa dengan maksud atau tanpa dihendaki oleh atasan.99 Bentuk Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang. Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang. Perlakuan semena-mena
97 Yoram Disntein dalam Arie Siswanto, Op.Cit, hal 146 98
Simon, Op.Cit, hal 8 99
(15)
terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang.100
Istilah agresi merupakan salah satu istilah yang kontroversial, memiliki nuansa politik yang kental, memunculkan banyak penafsiran serta sulit disepakati. Itulah yang menjadi sebab sampai sekarang konsep dan definisi kejahatan agresi (crime of aggression) juga belum bisa dirumuskan secara operasional di dalam Statuta Roma.
5. Kejahatan Agresi (Crimes of aggression)
101
Kejahatan agresi adalah rencana, persiapan, inisatif atau pelaksanaan suatu tindakan agresi yang dilakukan oleh orangyang berposisi sebagai pemegang kontrol yang efektif terhadap atau pengarah tindakan politis dan militer satu Negara dengan sifat dan skalanya, yang nyata-nyata dapt dilihat sebagai piagam PBB.102
Bentuk kejahatan Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Perilaku yang secara tidak sengaja menyebabkan bahaya atau sakit bukan merupakan agresi. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi.103
Kejahatan Agresi sangat terkait dengan perang atau konflik bersenjata internasional bahkan merupakan bagian awal dari perang itu sendiri maka segala kejahatan kemanusiaan yang berat yang terkait dengan kejahatan agresi dapat terhisap kedalam yurisdiksi ICC tentang kejahatan perang. Kejahatan
100 Oentoeng Wahjoe, Op.Cit, hal 76 101 Arie Siswanto, Op.Cit, hal 227 102
I Made Pasek Diantha, Op.Cit, hal 184 103
(16)
perang dapat dimulai dari kejahatan agresi, atau kejahatan agresi dapat berlanjut menjadi kejahatan perang. Tetapi kedua jenis kejahatan ini dapat dibedakan dan diatur sendiri-sendiri karena memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai gambaran kedepan, maka sebaiknya dikemukakan beberapa konsepsi dan kaidah hokum internasional tentang agresi yang sesungguhnya telah lama dikenal dalam literatur hokum internasional.104
C. Konvensi Genosida 1948 dan Statuta Roma 1998
Istilah ‘Genocide’, yang diambil dari kata ‘genos’ yang dalam bahasa Yunani berarti ras (race), bangsa (nation) atau suku, dan dari bahasa Latin ‘cide’ yang berarti membunuh. Dalam definisinya Genosida adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan.
Konvensi genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide 1948) adalah salah satu konvensi hak asasi manusia
internasional yang tertua; yang lahir bahkan sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Salah satu agenda transisional adalah pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Ratifikasi konvensi genosida dipercaya sebagai langkah yang sangat penting bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia.105
104 Marthen Napang, Sejarah Kejahatan HAM Internasional, Penerbit Yusticia Press, Makassar, 2013, hal 171
105
Rencana Aksi Nasional HAM yang telah berulang kali dirubah juga pernah mengagendakan untuk meratifikasi konvensi tersebut.
(17)
Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara asal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Rejim hukum HAM internasional karenanya juga mengakui dan melindungi hak-hak fundamental individu dari hukum negara dan kekuasaan kedaulatan negara. Perlakuan buruk negara terhadap warga negaranya merupakan ancaman bagi negara lain dan karenanya perbuatan itu dapat diuji oleh masyarakat internasional. Perjanjian internasional menjadi sumber utama dari sistem perlindungan hak asasi manusia. Perjanjian-perjanjian internasional mendapat bobot yang besar dalam sistem perlindungan hak asasi manusia.106 Sistem perlindungan yang tumbuh pesat sejak PD II ini bukan sebuah kebetulan, melainkan merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang, dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”.107
106 Chaloka Beyani, “The Legal Premises for the International Protection of Human Rights” di Guy S. Goodwin-Gill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in
Honour of Ian Brownlie. hal. 21-35
107
Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Penebalan oleh penulis. Basic Documents in
International Law (4th Ed.), Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3
Pendasaran ini kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal 55 dan 56 Piagam PBB yang menjadi landasan utama bagi perumusan standar hak asasi manusia dan sistem pemantauan perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Oleh karena itu, hukum hak asasi manusia menjadi standar internasional
(18)
yang mengatur perilaku negara terhadap warga negaranya/penduduk yang ada di dalamnya.
Dua kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)108 dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)109 yang bersama DUHAM merupakan
International Bills of Rights.110 Pengadilan Nuremburg dan perumusan ’undang-undang dasar hak asasi manusia’ ini hingga berlakunya Konvensi Genosida juga merupakan wujud awal dari gagasan melindungi hak asasi manusia dari kebijakan yang dapat mengancam (keamanan) dunia.111
Pada tanggal 9 Desember 1948, masih dalam bayang-bayang Holocaust dan berkat upaya tak kenal lelah Lemkin, PBB menyetujui Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genosida. Konvensi ini menetapkan "genocide" (genosida) sebagai kejahatan internasional, yang akan dicegah dan dihukum oleh negara-negara penandatangannya. Meski banyak kasus kekerasan terhadap kelompok yang terjadi sepanjang sejarah, perkembangan legal dan internasional istilah ini terkonsentrasi pada dua periode sejarah utama: waktu mulai dimunculkannya istilah itu hingga diterimanya sebagai hukum internasional (1944-1948), dan waktu diaktifkannya istilah itu yang ditandai dengan digelarnya
108
UNGA Res.2200 A (XXI). International Covenant on Civil and Political Rights 109 UNGA Res. 2200 A (XX), 993 UNTS 3. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
110
Perlu dikemukakan bahwa pembentukan kedua konvensi itu lebih merupakan kecelakaan sejarah karena pada awalnya direncanakan untuk membentuk 1 kovenan hak asasi manusia. Pandangan kontemporer melihat kesalingterikatan dan saling tergantungnya ke dua jenis hak asasi sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Wina dan Program Aksi 1997. Bandingkan Craven M. “The International Convention on Economic, Social, Cultural Rights’ di Raija H. dan Markku S. (ed.) “An Introduction to the International of Human Rights: a Textbook” hal. 21 (1997)
111 Antonio Pradjasto H, Konvensi Genosida : Melindungi Hak Asasi Manusia – Memerangi Impunitas, Seminar Di Komnas Ham Pada Tanggal Sebagai Upaya Komnas Ham Dalam Mencari Masukan-Masukan Perlunya ratifikasi Konvensi Genosida
(19)
pengadilan penjahat internasional untuk menuntut kejahatan genosida (1991-1998). Mencegah genosida, sebagai amanat utama lainnya dari konvensi ini, tetap menjadi tantangan yang terus dihadapi banyak negara dan individu.112
1. Anggota kelompok itu dibunuhkan
Konvensi atas cegahan dan hukuman kejahatan genosida ditegaskan bahwa Pasal I Kelompok yang menutup perjanjian ini memperkuat bahwa genosida yang dilakukan pada waktu perang atau pada waktu aman pun itu jadi kejahatan menurut hukuman antara negara yang akan dicegahkan dan dihukumkan mereka. Sedangkan Pasal II: Menurut konvensi ini, yang masuk hal genosida ini perbuatan yang dilakukan dengan maksud orang bangsa, sekaum, seras atau se-agama apakah semuanya atau hanya bagian mereka saja pun akan dibinasakan, yaitu perbuatan seperti yang ikut:
2. Anggota kelompok itu dikenakan kerugian badan atau jiwa yang berat.
3. Kelompok itu dikenakan kehidupan dengan maksud mereka dibinasakan apakah semuanya atau hanya bagian mereka saja pun
4. Dijatuhkan tindakan dengan maksud kelahirhan anak kelompok itu akan dihalangi.
5. Anak kelompok itu diculik supaya dibesarkan oleh kelompok lain. Kemudian Pasal III: Perbuatan yang akan dihukumkan:
1. Genosida.
2. Besekongkol genosida.
3. Dihasutkan genosida dengan jelas di hadapan masyarakat.
112
31 Juli 2016
(20)
4. Diusahakan genosida.
5. Diikuti dengan orang lain dengan maksud genosida dilakukan.
Konvensi Genosida yang disepakati pada tahun 1948 hingga sekarang merupakan dokumen komprehensif tentang genosida yang pernah ditandatangani Negara-negara. Konvensi genosida 1948 ini memiliki peran yang penting, mengingat berbagai instrument hukum yang melandasi pendirian berbagai peraian ad hoc pada masa berikutnya. Secara substansialm definisi “genosida” yang dimuat dalam Konvensi Genosida 1948 belakangan diadopsi oleh Statuta ICTY, ICTR dan Statuta Roma 1948. Selain memuat norma-norma tentang genosida, konvensi ini sekaligus juga memuat kerangka kerjasama di antara Negara-negara dalam kaitannya dengan upaya mencegah dan menindak kejahatan genosida. Konvensi yang diterima oleh Negara-negara melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.260 (III) A pada tanggal 9 Desember 1948 ini mulai berlaku efektif pada tanggal 12 Januari 1951.113
Dalam pasal 6 Konvensi Genosida 1948 yang mengatur kemungkinan adanya suatu tribunal nasional dan tribunal pidana internasional untuk mengadili kejahatan genosida adalah selaras dengan pasal 1 dan bagian pertimbangan Statuta Roma 1998 tentang prinsip komplementari ICC sebagai peradilan pidana internasional terhadap peradilan pidana nasional suatu negara dalam mengadili kejahatan genosida. Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu konvensi yang secara tegas menginginkan pembentukan suatu peradilan pidana internasional selain peradilan pidana nasional untuk mengadili kejahatan
113
(21)
kemanusiaan khususnya genosida. Majelis Umum PBB mendukung prinsip-prinsip Nuremberg sehingga berupaya merumuskan tugas-tugas suatu Dewan Kriminal Internasional. Defenisi dari tugas dewan ini diprakarsai melalui Resolusi 260 B (III) yang disahkan oleh MU PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Dalam Resolusi itu Majelis Umum meminta komisi hukum internasional untuk: Mempelajari keinginan dan kemungkinan pendirian suatu organ pengadilan internasional untuk mengadili orang-orang yang dituduh mengadakan pemusnahan suatu suku atau suku bangsa atau melakukan tindakan kriminal lainnya dimana kepada orang tersebut diberikan hak hukum yang diatur dalam konvensi-konvensi internasional.114
1. Penegasan genosida sebagai sebuah kejahatan internasional
Secara ringkas, pokok-pokok pengaturan yang ada di dalam Konvensi Genosida 1948 dapat dikemukakan sebagai berikut:
Penegasan ini dimuat secara eksplisit di dalam Pasal 1 Konvensi, yang menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan di masa perang maupun damai, adalah kejahatan yang diatur oleh hokum internasional dan Negara-negara wajib mencegah serta menghukum pelakunya.
2. Definisi genosida
Definisi genosida diformulasikan di dalam Pasal II Konvensi. 3. Perluasan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidanakan
Selain genosida, Konvensi juga menyatakan perbuatan-perbuatan terkait yang dapat dijatuhi pidana, yakni (a) persekongkolan untuk melakukan genosida (b)
114
(22)
penghasutan untuk melakukan genosida secara langsung dan umum (c) percobaan melakukan genosida (d) penyertaan dalam genosida.
4. Tanggungjawab pidana secara individual
Pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal
responsibility) adalah prinsip yang menghendaki agar pelaku kejahatan
internasional memikul sendiri tanggungjawab pidananya sebagai seorang individu, terlepas dari status dan jabatannya dalam pemerintahan. Dengan kata lain, status seorang pelaku sebagai pejabat public atau bahkan sebagai penguasa sekalipun, tidak bisa dijadikan defense untuk menghindari tanggungjawab pidana individualnya. Prinsip yang juga dapat ditemukan di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Numberg ini ditegaskan kembali dalam Pasal IV Konvensi.
5. Kewajiban membuat undang-undang nasional yang mengatur genosida
Konvensi Genosida 1948 bagaimanapun adalah sebuah konvensi yag implementasinya sangat tergantung pada negara-negara yang menjadi pihaknya. Untuk itu, Pasal V Konvensi menghendaki agar negara-negara anggota Konvensi untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional untuk memastikan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi pada lingkup nasional, khususnya untuk mengancamkan pidana bagi pelaku genosida. 6. Forum dan jurisdiksi
Konvensi menegaskan bahwa pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku genosida adalah pengadilan yang berkompeten dari Negara di mana genosida terjadi. Namun, Konvensi juga membuka peluang bagi
(23)
pengadilan yang bersifat internasional untuk menerapkan jurisdiksinya atas dasar persetujuan Negara-negara pihak dari Konvensi. Ketentuan ini termuat di dalam Pasal VI Konvensi.
7. Penegasan bahwa genosida bukan kejahatan politik
Pasal VII Konvensi memuat ketentuan yang menegaskan bahwa genosida tidak dikategorikan sebagai kejahatan politik, khususnya dalam konteks ekstradisi. Penegasan ini menjadi penting, karena di dalam hokum internasional yang menyangkut ekstradisi dikenal ada prinsip bahwa seorang pelaku kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan (non-exradition of
political offenders).
Berdasarkan prinsip ini ketika seorang pelaku kejahatan politik (misalnya maker), di suatu Negara melarikan diri ke Negara lain, ia semestinya dilindungi di Negara di mana ia berada. Pada prinsipnya permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Negara perminta (requesting state) tidak akan dikabulkan oleh Negara yang diminta (requested state), yang mungkin bahkan akan memberikan suaka politik (political asylum) bagi pelarian politik itu.
Berkaitan dengan itu, penegasan bahwa genosida bukanlah kejahatan politik tentu saja dimaksudkan untuk mencegah supaya terhadap seorang pelaku genosida tidak ada satu negarapun yang akan hendak menerapkan jurisdiksi untuk mengadili dan mulai menghukum dia. Gagasan ini sejalan dengan prinsip lain yang mulai berkembang dalam hokum internasional tentang kejahatan-kejahatan serius, yakni prinsip “out punier, out dedere”, yang menghendaki agar seorang pelaku kejahatan serius dihukum oleh Negara
(24)
dimana si pelaku berada atau diserahkan kepada negaralain yang memiliki jurisdiksi menerapkan hukumnya
8. Kemungkinan keterlibatan PBB dalam pencegahan dan penindakan
Pasal VIII mengatur bahwa suatu Negara dapat meminta supaya organ-organ PBB yang berkompeten mengambil tindakan sesuai dengan Piagam PBB dalam kerangka pencegahan dan penindakan genoida. Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, Pasal ini sesungguhnya merupakan jalan masuk bagi Dewan Keamanan PBB untuk berperan aktif dalam pencegahan dan penindakan terhadap genosida. Ketentuan ini dapat dikaitkan dengan Bab VII Piagam PBB yang membuka peluang bagi intervensi Dewan Keamanan ketika dinilai ada kondisi yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.115
1. Membunuh anggota kelompok,
Pengejewantahan pertama dari landasan ini adalah DUHAM yang norma-norma di dalamnya kemudian dielaborasi dalam kovenan atau konvensi-konvensi hak asasi manusia. Secara khusus adalah Genosida diatur di dalam Statuta Roma bersamaan dengan peraturan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dalam pasal 6 Statuta Roma disebutkan bahwa genosida merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok, seperti:
2. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok,
115
(25)
3. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik keseluruhan atau sebagian,
4. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam suatu kelompok,
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lainnya.116
Dilihat dari pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 6, maka unsur-unsur kejahatan genosida secara umum adalah:
1. Korban berasal dari bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu,
2. Pelaku berniat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tertentu.
Selanjutnya, bila melihat dari setiap kata dalam pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 6, maka dapat diketahui adanya beberapa unsur khusus di dalamnya. Unsur-unsur khusus tersebut yakni:
1. Melakukan pembunuhan terhadap anggota kelompok.‛
Unsur yang dapat diambil dari kalimat ini yakni; pelaku membunuh satu orang atau lebih dengan niat menyebabkan kematian.
2. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat.‛
Unsur yang dapat diambil dari kalimat ini yakni; pelaku menyebabkan luka fisik yang tampak pada anggota tubuh dan juga luka mental yang serius terhadap satu orang atau lebih. ICTR (International Criminal Tribunal for
Rwanda) menjelaskan bahwa penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental
116
(26)
tidak perlu bersifat permanen dengan tujuan agar ancaman ketika interogasi juga masuk dalam unsur ini.
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik.‛
Unsurnya yakni; pelaku menibulkan kondisi kehidupan terhadap satu orang atau lebih dan kondisi tersebut dapat diperhitungkan akan mendatangkan kehancuran fisik terhadap kelompok tersebut, seluruhnya atau sebagian. Segala jenis tindakan yang mengakibatkan meninggalnya orang secara perlahan juga dapat dikategorikan dalam hal ini. Contoh dari unsur ini adalah perkosaan, membuat penduduk kelaparan, kurangnya fasilitas tempat berteduh yang layak, dipaksa melakukan pekerjaan berat baik fisik maupun mental, mengurangi pelayanan kesehatan sampai di bawah minimum, dan pengusiran paksa.
4. Mencegah kelahiran.
Unsur yang didapat dari kalimat ini adalah pelaku memaksakan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran tersebut. Tindakan-tindakan tersebut mencakup tindakan: sterilisasi, aborsi paksa, pemisahan pria dan wanita, dan menghambat perkawinan.
5. Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain. Unsur yang didapat dari pengertian ini adalah; pelaku memindahkan secara paksa satu atau lebih anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain. Anak-anak yang dimaksud di sini adalah korban yang berusia di bawa 18 tahun dan pelaku mengetahui bahwa korban berusia di bawah 18 tahun. Pemindahan
(27)
anak-anak secara paksa tersebut dapat berakibat serius terhadap masa depan dan kelangsungan terhadap suatu kelompok. ICTR menjelaskan bahwa tindakan ini juga mencakup tindakan ancaman atau trauma yang dapat mengarah pada pemindahan anak-anak secara paksa.117
Ada beberapa kejadian yang ditetapkan dunia sebagai kasus genosida, dimulai dari pembunuhan massal pertama yang dilakukan oleh bangsa Yahudi terhadap penduduk Kanaan pada milenium pertama sebelum masehi, kemudian diikuti oleh pembantaian-pembantaian lainnya yang kemudian ditetapkan oleh dunia sebagai genosida. Genosida terbesar yang pernah dicatat oleh sejarah dunia adalah pada masa pemerintahan Kolonial Raja Leopold II dari Belgia, ia adalah penguasa yang menerapkan sistem kerja paksa, pembunuhan massal dan penyiksaan. Perkiraan jumlah korban sekitar 30 juta, mulai dari tahun 1885 hingga abad ke-20. Populasi Kongo menurun dari sekitar 30 juta hingga di bawah 9 juta selama waktu dari kejaman tersebut.
118
117 Rudi M. Rizki, Unsur-Unsur Genosida, (Yogyakarta, 2005). 118 Ricobain, Pembantaian atau Genosida Terbesar Dalam Sejarah,
http:www.ricostrada.com/sejara/pembantaian-atau-Genosida-terbesar-dalam-sejarah, diakses 1 Agustus 2016.
Dalam pasal 6 Statuta Roma disebutkan bahwa genosida berarti suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok dengan beberapa kualifikasi dan unsur-unsurnya. Bila dilihat dari Fikih Jinayah, maka beberapa poin di atas dapat disamakan artinya dengan pembunuhan dan penganiayaan.
(28)
Untuk menyelesaikan kasus genosida, pada tanggal 9 Desember 1948, PBB membuat ketentuan hukum tentang genosida yang pertama, yakni‚
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
(Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida), ditandatangani oleh 45 negara dan terdapat 85 ratifikiasi serta penambahan. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1961.119
Konvensi ini terdiri dari 19 pasal dan khusus membahas masalah genosida. Kemudian, pada 17 Juli 1998, dibuat peraturan baru tentang genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma merupakan hasil dari beberapa upaya untuk menciptakan sebuah pengadilan internasional. Statuta Roma dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum perang dan membatasi penggunaan senjata berteknologi maju yang terjadi pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan teradap kemanusiaan. Dengan adanya Statuta Roma, para pelaku tindak kejahatan teradap umat manusia tidak dieksekusi di kotak umum atau dikirim ke perkemahan penyiksaan, namun mereka diperlakukan sebagai penjahat dengan sidang reguler, hak untuk membela diri dan praduga tak bersalah.120
119 Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, hal 39
120 Wikipedia, Rome Statute of The International Criminal Court, http://en.wikipedia.org/wiki/Rome-Statute-of-The-International-Criminal-Court, diakses 1 Agustus 2016.
Statuta Roma mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli tahun 2002 dan menjadi dasar dibentuknya Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) pada tahun 2002. Pengadilan Kriminal Internasional merupakan sebuah ‚tribunal‛ permanen untuk menuntut individual yang melanggar pada ketentuan Statuta Roma untuk
(29)
membantu sistem yudisional nasional yang telah ada. Oleh karena Statuta Roma menjadi dasar berdirinya International Criminal Court, maka seluruh kejahatan yang diatur di dalam Statuta Roma akan diadili di Pengadilan tersebut. Yuridiksi ICC terbatas pada 4 hal; wilayah, waktu, materi perkara, dan perseorangan atau
person. ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara pihak
dalam Statuta Roma, namun ICC juga dapat menjalankan kewenangannya di negara bukan pihak asalkan ada perjanjian.
Sedangkan sanksinya diatur dalam pasal 77 Statuta Roma yang berbunyi: 1. Subject to article 110, the Court may impose one of the following penalties on
a person convicted of a crime referred to in article 5 of this Statute:
a) Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years; or
b) A term of life imprisonment when justified by the extreme gravity of the crime and the individual circumstances of the convicted person.
2. In addition to imprisonment, the Court may order:
a) A fine under the criteria provided for in the Rules of Procedure and Evidence;
b) A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona fide third parties.121
121
(30)
Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengadilan dapat menjatuhkan salah satu dari hukuman berikut pada para pelaku kejahatan yang tercantum dalam pasal 5 Statuta Roma. Opsi dari hukuman tersebut yakni:
1. Pemenjaraan untuk jangka waktu tertentu dan tidak boleh lebih dari 30 tahun, atau
2. Hukuman penjara seumur hidup dilihat dari besarnya kejahatan yang telah dilakukannya dan juga keadaan dari tiap individu terpidana.
3. Selain hukuman penjara, pengadilan juga dapat memberikan hukuman berupa: 4. Denda, berdasarkan kriteria yang diatur dalam peraturan prosedur dan bukti, 5. Disitanya dana, properti, juga aset yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dari kejahatan tersebut, tanpa mengurangi hak-hak negara pihak perjanjian yang menjadi korban dalam kejahatan tersebut.
Dilihat dari pelaku tindak kejahatan internasional, Statuta Roma memberikan peraturan berupa pertanggungjawaban secara individual, sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 25. Selanjutnya, pada pasal 26 disebutkan bahwa pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili anak berusia di bawah 18 tahun ketika anak tersebut diduga melakukan tindak kejahatan. Selanjutnya, di dalam pasal 27 disebutkan bahwa Statuta Roma berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan atau bangsa dari pelaku yang diduga melakukan tindak kejahatan tersebut. Berdasarkan 3 pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertanggungjawaban perbuatan pidana dilakukan secara individu dan dihukum sesuai dengan gravitasi atau kadar perbuatannya, sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara atau pemimpin
(31)
negara, tidak mempengaruhi tanggung jawab dan eksistensi dari negara tersebut di dalam hukum Internasional atau sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan genosida disesuaikan dengan tuntutan jaksa. Ketentuan ini tercantum di dalam Aturan Prosedur dan Bukti yang berbunyi: Orders of forfeiture
1) In accordance with article 76, paragraphs 2 and 3, and rules 63, sub-rule 1, and 143, at any hearing to consider an order of forfeiture, Chamber shall hear evidence as to the identification and location of specific proceeds, property or assets which have been derived directly or indirectly from the crime.
2) If before or during the hearing, a Chamber becomes aware of any bona fide third party who appears to have an interest in relevant proceeds, property or assets, it shall give notice to that third party.
3) The Prosecutor, the convicted person and any bona fide third party with an interest in the relevant proceeds, property or assets may submit evidence relevant to the issue.
4) After considering any evidence submitted, a Chamber may issue an order of forfeiture in relation to specific proceeds, property or assets if it is satisfied that these have been derived directly or indirectly from the crime.
Aturan tersebut menjelaskan bahwa hakim menjatuhi hukuman berdasarkan bukti. Itikad baik juga mempengaruhi besarnya sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan. Dilihat dari definisi genosida yang tercantum di dalam Statuta Roma, maka genosida merupakan tindak kejahatan yang mana berakibat hilangnya hak-hak dan kebebasan rakyat dalam suatu negara.
(32)
Apabila terjadi tindakan genosida dalam suatu negara atau suku atau bangsa tertentu, maka Kepala Negara wajib membela rakyatnya agar hak-hak rakyat dan kebebasan mereka tidak terenggut. Kepala Negara wajib memerintahkan rakyatnya untuk balas menyerang sebagai wujud atas pembelaan diri.
Selanjutnya, bila dianalisis dari ketentuan hukum yang mengatur genosida, Statuta Roma merupakan landasan hukum kedua setelah konvensi genosida yang mengatur tentang genosida. Perbedaannya adalah, di dalam konvensi genosida tidak diatur tentang sanksi yang harus diterima oleh pelaku tindak kejahatan genosida, konvensi genosida menyerahkan sepenuhnya kewenangan penyelesaian kasus tindak kejahatan genosida pada negara di wilayah tempat kejadian perkara, sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 6 Konvensi genosida. Sedangkan di dalam Statuta Roma, pihak negara yang mengikat perjanjian bila terjadi tindak kejahatan genosida di negaranya, maka tindakan tersebut dapat diselesaikan di Pengadilan Kriminal Internasional yang berpusat di Den Haag. Jaksa bisa menerima tuntutan itu dari korban tindak kejahatan genosida, atau mengajukan tuntutannya sendiri ke pengadilan, sebagaimana yang tertera di dalam pasal 15 Statuta Roma. Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) akan memeriksa perkara tersebut, dan bila tuntutan itu benar adanya, maka tersangka akan dikenakan sanksi yang tertera di dalam pasal 77 Statuta Roma berupa:
1. Pemenjaraan dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh lebih dari 30 tahun, atau
(33)
2. Hukuman penjara seumur hidup dilihat dari besarnya kejahatan yang telah dilakukannya dan juga keadaan dari tiap individu terpidana.
Selain itu, pengadilan juga dapat menjatuhkan hukuman berupa:
1. Denda berdasarkan kriteria yang diatur dalam peraturan prosedur dan bukti, yakni pada pasal 51,
2. Disitanya dana, properti, juga aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan tersebut, tanpa mengurangi hak-hak negara pihak perjanjian yang menjadi korban dalam kejahatan tersebut.
Seperti yang dicantumkan dalam pasal 25, pertanggungjawaban tindak pidana genosida adalah per-individu, meskipun tindakan itu dilakukan secara berkelompok. Di dalam pasal tersebut juga menjelaskan bahwa, pertanggungjawaban secara individual pelaku tindak kejahatan genosida tidak mempengaruhi tanggung jawab negara dalam hukum internasional. Jadi, negara tersangka tetap tidak berkurang eksistensinya di dunia internasional. Selanjutnya, di pasal 26 dan 27 disebutkan bahwa Statuta Roma berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan pelaku, kecuali anak berusia di bawah 18 tahun, karena pengadilan tidak mengadili anak berusia di bawah 18 tahun. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku berdasarkan tuntutan dari jaksa atau korban, sebagaimana yang tercantum dalam aturan nomor 147 Aturan Prosedur dan Bukti. Selama hukuman tersebut tidak di luar pasal 77 Statuta Roma. Dilihat dari pelaku tindakannya, maka sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan genosida adalah sebagai berikut:
(34)
1. Hukuman mati dengan syarat yang sudah ditentukan oleh agama Islam. Sanksi ini diperuntukkan bagi pelaku tindak kejahatan genosida yang berasal dari dalam negeri dan dianggap sebagai bugat, atau pemberontak.
2. Sistem perang dan damai ada pada kategori ini, yakni ketika pelaku tindak kejahatan genosida berasal dari luar negara.
a. Perang
Perang di sini dalam arti memberikan pembalasan kepada mereka sebagai bentuk pertahanan diri. Maka, orang yang mengadakan pelawanan untuk mempertahankan diri ini tidak bisa dijatuhi sanksi.
b. Damai
Yakni dengan cara melaporkannya ke pengadilan yang berwenang dan menghukumnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Bila melihat ketentuan hukum internasional yang mengatur pelaku tindak kejahatan genosida tersebut, ada kesamaan dengan ajaran Islam. Kesamaannya yakni, pelaku tindak kejahatan genosida sama-sama akan dijatuhi hukuman bila sudah cukup memiliki bukti. Namun, ketentuan hukum yang tercantum dalam hukum internasional tentang sanksi terhadap tindak pidana genosida belum cukup. Pengadilan Internasional yang merujuk kepada perjanjian hukum internasional berupa Statuta Roma memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang tercantum di dalamnya. Apabila dilihat dari segi tersangka, Pengadilan Internasional sudah cukup adil dan bijak memberikan sanksi kepada pelaku tindak kejahatan genosida dengan tidak memandang suku, bangsa, dan juga jabatannya. Semua diperlakukan
(35)
sama dan dihukum sesuai dengan tuntutan jaksa dan korban. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan hukum internasional Islam, maka hukuman penjara tidak sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak kejahatan genosida. Apa yang ada di dalam Statuta Roma merupakan pemecahan masalah yang berlaku untuk seluruh negara pihak di dunia. Meskipun sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan genosida tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, namun negara Islam yang menjadi pihak perjanjian tetap harus mematuhi perjanjian tersebut dan meyakini bahwa perjanjian tersebut dibuat demi kemaslahatan umat sedunia.122
1. Penegasan jurisdiksi materiae ICC atas genosida
Statuta Roma 1998 dilengkapi dengan dokumen lain, yaitu Elements of Crimes yang mendeskripsikan unsur-unsur masing-masing tindak pidana yang berada di bawah jurisdiksi materiae ICC.
Pokok-pokok mengaturan genosida di dalam Statuta Roma 1998, dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pasal 5 paragraf 1 Statuta Roma menegaskan bahwa kejahatan genosida (the
crime of genocide) merupakan salaha satu kejahatan terhadap mana ICC
memiliki jurisdiksi. Bersama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime
against humanity), kejahatan peran (war crime) dan kejahatan agresi (the crime of aggression), genosida dianggap sebagai “the most serious crimes of concern to the international community as a whole (kejahatan yang paling
serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan)”.
122 Nimas Masrullail Miftahuddini Ashar, Hukum Internasional Tentang Genosida
Dalam Perspektif Fikih Dauliy, Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 4, Nomor 1, April
(36)
2. Perumusan definisi genosida
Pasal 6 Statuta Roma memuat tentang rumusan perbuatan yang dikategorikan sebagai genosida. Sebagaimana telah dikemukakan, rumusan definisi genosida dalam Statuta Roma 1998 mengadopsi rumusan yang terdapat di dalam Konvensi Genosida 1948.
3. Tanggungjawab pidana secara individual
Gagasan pertanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Numberg juga disuarakan kembali secara tegas dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998. Paragraf 1 dari pasal tersebut menegaskan bahwa ICC memiliki jurisdiksi atas orang pribadi (natural person). Melengkapi paragraf 1, paragraph 2 menyatakan bahwa person who commits a crime within the jurisdiction of the courts shall
be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Satute (orang yang melakukan kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan harus
bertanggung jawab secara individu dan tanggung jawab untuk hukuman sesuai dengan Satute ini). Prinsip ini kemudian diperkuat di dalam Pasal 33 yang mengatur tentang tanggungjawab individual dalam hal seseorang melakukan tindakan yang dilarang karena instruksi dari pemerintah atau atasannya, baik sipil maupun militer.
Ada pembatasan terhadap prinsip ini. Sementara yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak dipidana kalau syarat-syarat berikut ini dipenuhi :
(37)
a) Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari pemerintah atau atasannya.
b) Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimanya tidak sah, dan
c) Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah. 4. Kriminalisasi
Sejalan dengan Statuta ICTY dan ICTR, bukan hanya pelaku genosida an sich yang diancam pidana, melainkan juga pelaku tindakan lain yang terkait dengan genosida. Secara lengkap, orang yang diancam pidana karena melakukan genosida meliputi: setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersama-sama atau yang menyuruhlakukan (Statuta Roma 1998), setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida (Statuta Roma 1998), setiap orang yang menolong, membantu dan menyediakan sarana sehingga terjadi genosida atau percobaan genosida (Statuta Roma 1998), setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara mendorong perbuatan melibatkan genosida atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida (Statuta Roma 1998), setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut lain untuk melakukan genosida (Statuta Roma 1998) dan setiap orang yang melakukan percobaan genosida.
(38)
5. Pidana
Sama seperti ketentuan di dalam Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 juga secara implisit mengesampingkan kemungkinan dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC. Pasal 77 Statuta Roma 1998 secara tegas bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku genosida dan kejahatan internasional lain dalam kerangka ICC, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.123
Statuta Roma 1998 telah berlaku efektif dan menunggu pembentukan ICC secara kelembagaan dengan segala kelengkapan organ-organnya yang terdiri dari: Dewan Pimpinan, Divisi Banding, Divisi Peradilan dan Divisi Pra-Peradilan, Kantor Penuntut dan Kantor Pencatat (sesuai pasal 34 Statuta). Organ-organ ini diisi oleh para hakim, panitera dan staff yang memiliki tugas dan wewenang yudisial: mengadili, dan non yudisial: administrasi menurut jabatannya masing-masing. Dalam pembukaan Statuta Roma 1998 atau Statuta ICC yang telah berlaku efektif tersebut diingatkan bahwa merupakan tugas dari setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap tanggungjawab untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan internasional ini. Selanjutnya ditekankan bahwa pengadilan pidana internasional yang dibentuk sesuai dengan statuta ini harus menjadi pelengkap (komplementeric) terhadap yurisdiksi pidana nasional. Hal yang sama juga ditegaskan dalam pasal 1 statuta, bahwa yurisdiksi ICC terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang serius yang
123
(39)
menjadi perhatian internasional akan menjadi pelengkap yurisdiksi hukum pidana nasional sesuai statuta ini.124
Disepakatinya Statuta Roma 1998 yang memuat pengaturan tentang kejahatan-kejahatan internasiuonal itu juga merupakan capaian yang amat penting, terutama kalau diingat bahwa Negara-negara memiliki perspektif yang berbeda tentang berbagao aspek yang hendak diletakkan di bawah pengaturan Statuta Roma 1998. Namun, pada akhirnya Statuta Roma 1998 dapat berlaku sebagai sebuah instrument hukum internasional yang cukup otoritatif.125
124
Marthen Napang, Op.Cit, hal 227-228 125
(40)
BAB IV
BENTUK PENYELESAIAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM
KEJAHATAN GENOSIDA SUKU ABORIGIN DI AUSTRALIA
A. Berbagai Kejahatan yang terjadi terhadap suku Aborigin di Australia
Australia merupakan satu-satunya negara yang mendiami keseluruhan wilayah benua. Berada di laut Pasifik yang berdekatan dengan Asia dan Kepulauan Pasifik di wilayah utara, Australia digambarkan sebagai pulau paling besar yang ada di dunia, sehingga negara Australia menempati posisi ke enam dalam deretan negara dengan daratan paling luas.126 Didasari oleh wilayah geografisnya, Australia dijuluki sebagai the lucky country. Hal ini dikarenakan oleh Australia memiliki cuaca tropis yang menjadi dambaan bagi orang-orang Eropa. Selain cuacanya yang baik, Australia juga menyimpan 10% kekayaan biodiversitas dunia dan sejumlah warisan dunia seperti The Great Barrier Reef. Secara historis, pada awalnya Australia hanya ditinggali oleh sekumpulan orang-orang Aborigin dan Torres Islander yang menjadi pribumi asli Australia. Hingga pada tahun 1788, Australia mulai didatangi penghuni tahanan Inggris yang menjadi akar bagi dibentuknya negara Australia. Kini, Australia telah berkembang dan digolongkan sebagai negara maju dengan kekuatan ekonomi yang mempuni. Dengan posisinya yang strategis tersebut, Australia telah memainkan peran yang penting dalam tatanan internasional.127
126 Australia Government. Australia in Brief. Department of Foreign Affair and Trade, edition 2011.
127
(41)
Australia, sebuah benua yang awalnya dihuni oleh suku aborigin ini ternyata menyimpan kisah pedih penjajahan hingga saat ini. Australia yang menjadi benua buangan tahanan Inggris ini memang telah menjadi persemakmuran Britania Raya dan berubah menjadi benua makmur dibawah ratu Inggris. Namun sejatinya benua Australia ini telah direbut dari suku asli yang berdiam 60 ribu tahun di benua kanguru ini. Suku Aborigin, suku asli Australia ini secara paksa tergeser dan menjadi budak selama bertahun-tahun.
Suku Aborigin merupakan suku asli atau pribumi di benua Australia, mereka telah ada di benua tersebut sejak ratusan ribuan tahun yang lalu. Ciri khas dari mereka hampir sama dengan orang-orang di Papua karena wilayah Papua dan Benua Australia merupakan wilayah yang satu akibat dari pergeseran kerak bumi sehingga wilayah tersebut sekarang terpisah. Yang menjadi perbedaan ciri khas suku Aborigin dan suku-suku lain disekitarnya ialah suku Aborigin mempunyai senjata berburu yang disebut dengan senjata Boomerang. senjata ini ketika digunakan untuk berburu saat dilempar jauh akan kembali lagi, senjata ini sering digunakan untuk berburu kanguuru, babi di hutan atau di padang savanah. selain senjata ini suku Aborigin juga masih tetap menggunakan senjata lainnya seperti senjata tombak dan busur panah. Pada saat musim dingin datang suku Aborigin menggunakan bahan pakaian yang terbuat dari kulit kanguruu dari hasil buruan mereka. Dalam kesehariannya suku aborigin tidak mengenal yang namanya bercocok tanam ataupun memelihara ternak, mereka lebih senang berburu di hutan dari pada melakukan hal itu, itulah sebabnya suku ini tidak pernah pergi jauh dari sumber air ataupun sungai. Dan tempat tinggal mereka masih bersifat sementara
(42)
atau mereka selalu berpindah-pindah dalam menetap. Rumah mereka terbuat dari ranting-ranting pohon dan dedaunan yang disusun dengan rapi.
Kata Aborigin memiliki arti ‘paling awal dikenal’. Mereka memiliki budaya, warisan, dan sejarah yang berbeda dari kelompok-kelompok lain di seluruh dunia. Bahasa asli suku Aborigin Australia diketahui tidak terkait dengan salah satu bahasa di bagian lain dunia. Saat ini, hanya ada kurang dari 200 bahasa asli Australia yang digunakan. Ahli bahasa mempelajari bahasa Australia sebagai Pama Nyungan dan non-Pama Nyungan. Bahasa Pama-Nyungan mayoritas terdiri dari keluarga bahasa terkait, sedangkan yang tidak berhubungan dipelajari ahli sebagai bahasa non-Pama Nyungan. Kelompok bahasa tersebut diyakini sebagai hasil dari kontak yang lama dan intim. Sebuah fitur umum dari bahasa adalah bahwa mereka menampilkan cara bicara khusus yang intim digunakan dan hanya digunakan di hadapan kerabat. Sempat terjadi diskriminasi dari orang-orang Eropa terhadap suku Aborigin, bahkan suku Aborigin kerapkali dianggap sebagai Fauna atau hewan, namun diskriminasi tersebut saat ini berangsur-angur melunak, dan salah satu strategi politik untuk permasalahan Aborigin adalah dengan proses Asimilasi antara orang kulit putih dan kulit hitam Suku Aborigin. Perkawinan campur ini banyak membuat anak-anak mereka menjadi tidak lagi berkulit hitam, bahkan untuk generasi-generasi berikutnya semakin putih sama dengan orang Eropa.
Diawal pendudukannya, Inggris melakukan pembantaian ditahun 1806. Ratusan penduduk pribumi ditembak dan dikeroyok hingga tewas. Tercatat dalam laporan surat kabar Independen tahun 1997, banyak terjadi kasus pemerkosaan yang akhirnya menularkan penyakit mematikan bagi suku Aborigin. Bangsa kulit
(43)
putih ingin menguasai daratan Australia dan menyingkirkan suku asli Australia. Mereka memecah konflik berdarah karna memperlakukan suku pribumi dengan buruk. Dalam arsip kolonial Australia telah dibenarkan dari tahun 1824 hingga 1908, setidaknya 10 ribu suku Aborigin tewas terbunuh. Arsip tersebut juga menyebutkan beberapa korban tewas karena menjadi ‘bahan mainan bangsa kulit putih’.128
Orang-orang asli Australia dikenali sebagai orang Aborigin. Mereka yang telah tinggal di benua tersebut selama beratus-ratus tahun telah mengalami penghapusan paling besar di dalam sejarah karena kedatangan orang-orang dari Eropa di negara tersebut. Orang-orang eropa ini melakukan pembantaian terhadap orang Aborigin, sejak pertama kali mereka menginjakkan kakinya di tanah asli milik leluhur suku Aborigin itu. Selain karena mengikuti ajaran Tuhannya, kebiadaban orang eropa terhadap orang Aborigin di Australia juga karena mereka orang-orang eropa pembunuh itu berpedoman pada Teori Evolusi (Darwinisme), ciptaan seorang yang bernama Charles Darwin. Pandangan ideologi Darwinisme tentang orang-orang Aborigin telah membentuk teori liar yang telah menyiksa mereka. Bangsa pribumi Australia, Aborigin ini telah dilihat sebagai satu spesies manusia yang tidak membangun oleh para pendukung teori evolusi dan telah dibunuh beramai-ramai.129
Suku Aborigin dicap sebagai suku barbar yang liar. Bahkan para antropolog Inggris abad lalu menggunakan kaum Aborigin sebagai bukti bahwa mereka ini merupakan “missing link” dalam teori evolusi Darwin. Jadi manusia
128
129
diakses tanggal 2 Agustus 2016
(44)
Aborigin merupakan jembatan antara manusia kera dengan manusia sekarang. Anggapan ini membuat efek yang sangat dahsyat bagi kelangsungan hidup bangsa Aborigin. Terbukti dengan adanya perburuan legal terhadap bangsa Aborigin.
Kawasan-kawasan Australia merupakan kawasan penempatan Aborigin telah dihapuskan dengan cara yang ganas dalam masa 50 tahun. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang Aborigin ini tidak hanya terhenti dengan pembunuhan beramai-ramai. Banyak di antara mereka yang dijadikan sebagai hewan-hewan eksperimen. Institut Smithsonia di Washington D.C. telah menyimpan 15.000 jasad orang bangsa ini yang masih utuh. 10.000 orang Abogin Australia telah dihantar dengan kapal laut ke Museum British dengan tujuan untuk memastikan apakah mereka benar-benar adalah "mata rantai yang hilang" (missing link sesuai teori Darwin. Museum-museum ini tidak hanya berminat dengan tulang-tulang mereka, tetapi dalam masa yang sama mereka juga menyimpan otak kepunyaan orang-orang Aborigin ini dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Aborigin ini juga dibunuh untuk digunakan sebagai spesimen.
B. Pengaturan Hukum Nasional Australia Mengenai Kejahatan Genosida
Sejak tahun 1967 waktu suku Aborigin dan Torres Strait Islander menerima hak untuk memberikan suara pada semua pemilihan Commonwealth, State dan Territory, suku pribumi Australia telah berjuang banyak untuk mencapai keadilan dan persamaan hak. Kebijakan Pemerintah tentang penentuan kebulatan tekad sendiri telah mendorong keterlibatan suku pribumi dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Pada tahun 1991 Dewan
(45)
Rekonsiliasi Aborigin dibentuk untuk mempromosikan Rekonsiliasi antara suku pribumi Australia dengan penduduk Australia lainnya. Untuk Dewan ini, tujuan Rekonsiliasi adalah: persatuan negara Australia yang menghormati tanah air kita; menghargai warisan suku Aborigin dan Torres Strait Islander; dan memberi keadilan serta persamaan hak pada semua orang. Pada tahun 1966 Parlemen Australia membuat pernyataan komitmen tentang persamaan hak bagi semua orang Australia. Ini termasuk komitmen dalam proses rekonsiliasi dengan suku Aborigin dan Torres Strait Islander – khususnya dalam mengatasi kerugian sosial dan ekonomi mereka. Pada tahun 2000, pemerintah Australia dan semua pemerintah State dan Territory membuat komitmen untuk meneruskan dukungan mereka pada proses Rekonsiliasi dengan memperkecil kerugian yang dihadapi oleh suku pribumi Australia. Rekonsiliasi sekarang merupakan hal yang penting bagi masyarakat Australia. Ada banyak debat tentang apa arti rekonsiliasi, dan tentang bagaimana hal tersebut dapat dicapai di Australia. Proses menuju rekonsiliasi bukanlah suatu proses yang mudah, tapi Australia telah mengambil beberapa langkah penting dalam beberapa tahun terakhir ini. Pendidikan merupakan bagian penting dari proses ini.
Banyaknya kecaman dari berbagai pihak atas perlakuan pemerintah Australia terhadap suku aborigin, membuat pemerintah Australia membuka mata atas perlakuannya selama ini. Tetapi pemerintah tidak begitu saja mengakui perbuatannya kepada aborigin. Pada masa pemerintahan PM John Howard, ia menolak untuk meminta maaf kepada suku aborigin. Tetapi keadaan mulai berubah sejak perdana Menteri Australia, mencoba menyelesaikan masalah
(46)
tersebut dengan meminta maaf kepada suku aborigin. perdana Menteri Australia meminta maaf kepada suku Aborigin dan mencoba menghapuskan diskriminasi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Australia kepada suku aborgin. Tidak hanya itu, ia juga berusaha untuk menyamaratakan hak orang-orang aborigin, dengan masyarakat Australia lainnya.
Upaya pemerintah Australia untuk menangani masalah tersebut sudah mulai menunjukkan hasil pada masa pemerintahan. Perdana Menteri Australia permohonan maaf kepada suku Aborigin atas segala penderitaan yang mereka alami selama dua abad terakhir. Perdana Menteri Australia yang baru ingin agar warga keturunan Aborigin tidak lagi merasa sebagai warga kelas dua dan mengejar ketinggalan mereka dari warga Australia lainnya. Selain itu, pemerintah Australia juga memberikan ijin resmi untuk bekerja. Dan memeberikan pendidikan kepada anak aborigin, seperti pendidikan yang diterima warga Australia kulit putih. Serta membiarkan anak-anak aborigin untuk tinggal bersama keluarganya, dan saat ini di hampir seluruh universitas yang berada di Australia terdapat pusat aborigin. Karena masyarakat Australia modern, ingin memperbaiki sikap mereka yang selama ini tidak adil kepada suku aborigin dan melestarikan budaya dan kesenian aborigin agar tidak hilang.130
Sempat terjadi diskriminasi dari orang-orang Eropa terhadap suku Aborogin, bahkan suku Aborigin kerapkali dianggap sebagai Fauna/hewan, namun diskriminasi tersebut saat ini berangsur-angur melunak, dan salah satu strategi politik untuk permasalahan Aborigin adalah dengan proses Asimilasi
diakses tanggal 4 Agustus 2016
(47)
antara orang kulit putih dan kulit hitam Suku Aborigin. Perkawinan campur ini banyak membuat anak-anak mereka menjadi tidak lagi berkulit hitam, bahkan untuk generasi-generasi berikutnya semakin putih sama dengan orang Eropa.131
Perubahan lebih lanjut terjadi pada tahun 1967, ketika lebih dari 90 persen warga Australia memberi suara ya untuk membolehkan orang-orang Aborigin diperhitungkan dalam sensus. Referendum tersebut merupakan tonggak sejarah. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar rakyat Australia menginginkan kaum Pribumi diperhitungkan dan diberi hak-hak yang sama seperti orang lainnya. Terbukanya sikap Australia, dan protes keras rakyat Aborigin pada saat itu, telah menuntun jalan bagi kebijakan rakyat Aborigin untuk menentukan nasib sendiri pada tahun 1970-an. Pemerintah Australia akhirnya mengakui dan menyetujui bahwa Pribumi Australia harus mempunyai suara dalam
Dalam tahun 1940-an dan 1950-an kebijakan Pemerintah Australia terhadap rakyat Aborigin berganti menjadi kebijakan asimilasi. Hal ini berarti kaum Pribumi disuruh hidup sebagaimana bangsa non-pribumi hidup. Ini tidak berhasil karena rakyat Aborigin tidak ingin kehilangan budaya adat mereka. Dalam tahun 1960-an kebijakan ini berubah menjadi kebijakan integrasi. Kebanyakan pria di Australia memperoleh hak memberikan suara dalam tahun 1850-an, namun hak-hak memberikan suara di Commonwealth tidak disampaikan kepada semua kaum Pribumi Australia sampai tahun 1962. Dengan kebijakan integrasi, rakyat Aborigin diberi kebebasan warga negara tapi mereka masih diharapkan untuk menyesuaikan pada kebudayaan non-Primbumi Australia.
131
(48)
pengembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri.132 Pembantaian dasyat dimulai dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan kepada para keluarga aborigin. Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.34 Kebijakan yang ditujukan terhadap aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak dari ras ini yang diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian Institute di Washington D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari berbagai ras. Sejumlah 10.000 warga aborigin Australia dikirim melalui kapal ke Musium Inggris dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar mereka adalah "mata rantai yang hilang" dalam peralihan bentuk binatang ke bentuk manusia. Musium tidak hanya tertarik dengan tulang-belulang, pada saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin dan menjualnya dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin Australia dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan sebagaimana dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut.133
Tercatat pula kasus-kasus pemerkosaan wanita Aborigin yang berdampak pada penularan penyakit seksual. Jenis-jenis penyakit yang biasa diidap ras kulit putih, tapi mematikan bagi Aborigin seperti influenza, bisa memicu wabah. Kolonial Australia membenarkan sepanjang 1824 hingga 1908, setidaknya 10 ribu Aborigin tewas terbunuh. Itu di luar kematian wajar atau sebab-sebab lain. Arsip
132
Agustus 2016 133
tanggal 5 Agustus 2016
(49)
ini pun mencantumkan, beberapa korban tewas karena menjadi 'bahan mainan pria kulit putih. Dari semua kekejaman itu, yang paling parah adalah genosida kebudayaan sistematis pemerintah kulit putih Australia terhadap suku Aborigin pada awal abad 20. Untuk mengatasi 'ketertinggalan peradaban' warga pribumi, karena memilih hidup di alam bebas atau memakai busana seadanya, muncul kebijakan pembauran.
Kasus ini menggemparkan dunia internasional. Ratusan ribu anak Aborigin disebut 'generasi yang diculik'. Ratusan bersaksi di bawah sumpah, bahwa mereka justru diperkosa polisi maupun orang tua angkat yang baru, setelah diambil paksa dari rumahnya di pedalaman. cara pemerintah Australia 'memacu peradaban Aborigin' melanggar Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948, Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial 1965, dan Piagam PBB 1948. Selain menculik anak-anak Aborigin supaya lebih beradab, genosida pemerintah Australia dijalankan dengan melarang wanita dewasa Aborigin hamil. Bagi pria pribumi yang melawan asimilasi, maka polisi berhak memukulinya. Kasus-kasus pembunuhan aborigin dewasa karena menolak anaknya diambil pemerintah masih terjadi hingga 1970. Dampak dari rasisme merusak pendatang kulit putih di Australia, terlihat dari anjloknya populasi warga Aborigin. Pada 1788, diperkirakan populasi penduduk pribumi lebih dari 750 ribu. Pemerintah Australia baru sudi melibatkan Aborigin dalam sensus pada 1971. Pada sensus 1996, tercatat penduduk pribumi tinggal 1,97 persen dari total populasi Benua Kelima itu.134
(50)
Suku Aborigin merupakan penduduk pribumi Australia jauh sebelum bangsa kulit putih datang. Dalam hal berkomunikasi, Suku Aborigin menggunakan bahasa mereka sendiri. Kehidupan penduduk Aborigin didasarkan pada spritualitas budaya. Penduduk Aborigin sangat menjunjung tinggi tanah (bumi) karena merupakan dasar kesejahteraan penduduk Aborigin. Gaya hidup penduduk pribumi Australia ialah berburu dan mengumpulkan cara untuk hidup, sementara penduduk yang bermukim di pinggir pantai menangkap ikan dan mengumpulkan berbagai jenis kerang. Australia sebelum kedatangan bangsa kulit putih adalah wilayah yang sebagian besar sangat murni dimana masyarakat pribumi menghormati lingkungan sekitar mereka dan memastikan bahwa mereka tidak berlebihan dalam berburu dan mengumpulkan hewan dan tumbuhan. Namun hal tersebut berubah seiring datanganya imigran Eropa. Suku Aborigin benar-benar terpinggirkan akibat datanganya imigran Eropa ke Australia. Dari sisi masyarakat Aborigin sendiri sama sekali tidak senang atas kedatangan bangsa kulit putih ke tanah mereka, terutama ketika mereka sama sekali tidak siap dengan ke-modern-an yang dibawa oleh bangsa Eropa. Masyarakat Aborigin yang notabene sangat menjunjung tinggi tanah Australia sebagai anugerah menganggap kedatangan bangsa Eropa hanya akan merusak wilayah mereka. Sejak awal kedatangan bangsa Eropa, hubungan yang terjalin antara kaum Aborigin dengan bangsa Eropa tidak pernah berjalan dengan baik. Bahkan, keduanya saling berperang untuk memperebutkan wilayah Australia. Mereka yang notabene penduduk asli mendapatkan perlakuan tidak adil.
(51)
Berikut bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan orang kulit putih pada suku Aborigin :
1. Orang-orang kulit putih memperlakukan suku Aborigin seperti budak. Mereka dijadikan pembantu rumah tangga, pekerja pertania, dan penjaga pertanian. 2. Anak-anak Aborigin diambil secara paksa dari orang tuanya kemudian
ditampung di suatu tempat kemudian setelah besar dijadikan pembantu, untuk anak lak-laki dijadikan pegawai rendahan di peternakan.
3. Di Tasmania terjadi pembantaian terhadap suku Aborigin yang dikarenakan orang-orang kulit putih tidak suka terhadap pemberontakan yang sering dilakukan suku Aborigin.
4. Pemerintah menempatkan suku Aborigin di tempat terpencil dan mereka dipengaruhi kebudayaan barat agar mereka meninggalkan kebudayaan aslinya. 5. Kebebasan dan hak-hak orang-orang Aborigin tidak diakui. Bahkan mereka
yang tinggal sebagai pekerja di tempat orang kulit putih saja tidak bisa menggunakan fasilitas umum seperti telepon dan rumah sakit yang sering digunakan orang kulit putih.135
6. Tercatat pula kasus-kasus pemerkosaan wanita Aborigin yang berdampak pada penularan penyakit seksual.
7. Pada awalnya dalam konsitusi Australia tertulis bahwa masyarakat pribumi Australia, baik suku Aborigin maupun Kepulauan Selat Torres tidak terhitung dalam populasi Australia. Artinya, masyarakat pribumi Australia juga tidak memiliki hak sebagai warga negara Australia, seperti tidak ikut dalam proses
135
Siboro, J., Sejarah Australia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1989, hal 6
(52)
Pemilihan Umum. Namun diadakan referendum mengenai hal ini. Tapi, pada federasi, ditetapkan bahwa negara bagian dan negara teritori Australia punya kontrol dan tanggung jawab terhadap penduduk pribumi Australia. Hal ini bisa di lihat ketika New South Wales, salah satu negara bagian Australia mendirikan Badan Perlindungan Aborigin pada 1883 melalui pengenalan
Aborigines Protection Act 1909. Kemudian hal ini terus berlanjut diikuti oleh
negara bagian lainnya yang membuat perundang-undangan yang sama dalam usaha mereka untuk mengontrol penduduk Aborigin. Kontrol yang dilakukan ini yang niatnya untuk melindngi suku Aborigin tapi malah mengikis kebudayaan Aborigin.
Dengan tindakan-tindakan tersebut munculah berbagai dampak negatif mengenai kedatangan bangsa Eropa ke Australia, antara lain : datangnya para imigran membawa penyakit jenis baru yang belum ada sebelumnya. Pudarnya kebudayaan asli suku Aborigin akibat usaha-usaha pemusnahan yang dilakukan oleh bangsa pendatang, Suku Aborigin mulai kehilangan kebudayaan yang mereka miliki karena masuknya budaya Eropa. Para imigran membawa bahan makanan yang baru yaitu gandum dan gula hal ini membuat Suku Aborigin sulit beradaptasi dengan makanan baru tersebut sehingga kesehatan mereka cenderung menurun. Suku Aborigin tidak memperoleh pendidikan sehingga mereka sangat tertinggal dan tidak berkembang.136
Perundang-undangan yang ditetapkan di masing-masing negara bagian Australia pada saat itu bukannya melindungi penduduk Aborigin, baik sebagai
136
Ratih Hardjono. Suku Putihnya Asia Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 47
(1)
ABSTRAK Mery C. Sinaga 1
Kata kunci : HAM, Kejahatan Genosida, Aborigin Australia Chairul Bariah**
Makdin Munthe***
Hak Asasi Manusia dijamin oleh hukum internasional, namun bekerja untuk menjamin pengakuan atas pelanggaran HAM dan menangani kasus atas orang-orang yang hak asasinya telah dilanggar bisa menjadi kegiatan yang berbahaya di berbagai negara di dunia. Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama.
Penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Bahan atau data yang dicari berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Analisis Data yang digunakan secara kualitatif yaitu data yang bersifat deskriptif.
Hukum Internasional mengenai Kejahatan Hak Asasi Manusia telah memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum Internasional yang mandiri dalam tata hukum internasional. Individu dalam hukum Internasional hak asasi manusia, juga dapat membela hak-haknya secara langsung. Pengalaman pahit dan getir dari umat manusia dari perang dunia yang telah terjadi dua kali, dimana harkat dan martabat hak-hak asasi manusia terinjak-injak, timbul kesadaran umat manusia menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia ke dalam Piagam PBB yang sebagai realisasinya muncul kemudian The Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia). Hak asasi manusia dewasa ini tidak terlepas dengan diterimanya suatu prinsip bahwa negara (pemerintah) mempunyai kewajiban untuk menjamin dan memberikan perlindungan HAM tersebut selain merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional. Bentuk kesejahatan Genosida Menurut Hukum Internasional yaitu Kejahatan Genosida (genocide), Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity), Kejahatan Perang (War Crimes) dan Kejahatan Agresi (crimes of aggression) dikategorikan sebagai kejahatan internasional karena kejahatan-kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan yang paling serius, sehingga memerlukan langkah serius juga untuk mencegah dan menindak. Bentuk penyelesaian Hukum Internasional Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Kejahatan Genosida Suku Aborigin di Australia diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Kejahatan yang terjadi terhadap etnis Aborigin dapat diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional, karena kejahatan genosida Aborigin di Australia merupakan pelanggaran HAM berat.
1 Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Internasional USU **
(2)
Kata Pengantar
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh kudus, Bunda Maria, Santo Yosef, Santo Antonius, Para Rasul, Para Malaikat yang di Surga dan kepada Semua Orang Kudus yang selalu mendengarkan doa doa penulis, memberikan rahmatNya didalam segala hal, seperti yang tertulis di dalam Alkitab “Semuanya itu karena Allah adalah Kasih ( 1 Yohannes 4:8)”. Thank you Jesus for all the things you have given to me sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KEJAHATAN GENOSIDA SUKU ABORIGIN DI AUSTRALIA”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, pengarahan, dan doa dari berbagai pihak. Penulis ingin memberikan rasa terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak dan Mamak yang selalu mendoakan penulis, memberikan nasihat dan memberikan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, selain itu penulis dengan segala kerendahan hati, penulis ingin memberikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan dan dukungan yang telah di berikan sehingga skripsi ini karena itu dengan dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(3)
4. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Jelly Leviza S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum Selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing I penulis, yang telah memberikan bantuan dan ilmunya dalam skripsi ini 7. Bapak Makdin Munthe, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II
penulis yang telah sabar membimbing penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini
8. Bapak Edy Ikhsan, S.H., MA selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 9. Seluruh Dosen/ Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani perkuliahan
10.Seluruh tenaga administrasi dan pegawai yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
11.Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan teman teman ILSA
12.Kepada kakak kakak dan abang abang ku yang tercinta ( kak Nita, kak Erna, bang Cius, bang Hendra, kak Sri) terima kasih telah menjadi tempat curhat dan orang yang selalu membimbing ketika aku salah arah
13.To all my families who lived in Germany, kak July, my step brother Abangnda Stephen ( hey dude, are you still learn Bahasa?) kak Sri Sulastri Sinaga as my lovey sister. Vielen dank an euch alle!
14.Sahabat sahabatku Korinti Venesia Sembiring dan Marisa Hutabarat yang selalu sabar mengajari dan selalu mendengar keluh kesa semoga kita sukses kedepannya dan selalu keep in touch
15.Sahabat traveller penulis Putri Septika Silitonga, I think we need make a plan to travel to somewhere behind the rainbow
(4)
16.Sahabat sahabat selama di kampus Silvie Yoelanda, Ivo Eriska Ginting, Dara Qurratu Aini, Tiffany Putri, Verin Angeline, Putri Khairani dan Siti Fariza yang telah mau di repotkan oleh aku, yang selalu mendengar ocehan ku yang tidak jelas
17.Bapak Gembala Pendeta Yosman beserta Ibu Gembala yang selalu mendoakan saya agar Tuhan selalu menyertai pendidikan dan kehidupan saya, semoga Tuhan selalu memberkati Bapak sekeluarga
18.Seluruh teman teman Group A Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah melakukan aktivitas perkuliahan bersama sama
19.Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang positif bagi semua pihak termasuk penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dan rekan rekan yang hendak melakukan penelitian yang sejenis.
Medan, September 2016
Penulis
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 8
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II : TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAK ASASI MANUSIA ... 13
A. Pengertian dan Perkembagan Hak Asasi Manusia Internasional ... 13
B. Instrumen-Instrumen Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Internasional ... 32
C. Beberapa tentang Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional ... 44
BAB III : BENTUK KEJAHATAN GENOSIDA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 50
A. Perkembangan Kejahatan Genosida ... 50
B. Macam dan Bentuk Kejahatan dalam Hukum Internasional ... 54
(6)
BAB IV: BENTUK PENYELESAIAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM
KEJAHATAN GENOSIDA SUKU ABORIGIN DI
AUSTRALIA ... 84
A. Berbagai Kejahatan yang terjadi terhadap suku Aborigin di Australia ... 84
B. Pengaturan Hukum Nasional Australia Mengenai Kejahatan Genosida ... 88
C. Bentuk Penyelesaian Menurut Hukum Internasional Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Kejahatan Genosida Suku Aborigin Di Australia ... 100
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 106
A. Kesimpulan ... 106
B. Saran ... 107 DAFTAR PUSTAKA