Sejarah Konflik Aceh Provinsi Aceh

26 Tengah, memiliki kemiripan dengan etnik Melayu yang hidup di nusantara maupun di semenanjung Melayu lainnya. Dalam tarik Aceh disebutkan bahwa Aceh termasuk dalam lingkungan rumpun Melayu yaitu bangsa-bangsa Mante Bante, Lanun, Sakai Djakun, Semang orang laut, Senui dan lain-lain yang berasal dari Negeri Perak dan Pahang di Tanah Semenanjung Malaka. Suku bangsa yang beragam ini, direkatkan melalui osmosis ke-Aceh-an. Dalam perkembangannya suku bangsa ini telah mengalami perubahan-perubahan komposisi etnik, khususnya etnik Aceh yang hidup di daerah pesisir atau wilayah Aceh atas seperti Pidie, Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur. Ketiga, dari sistem kekuasaannya sangat dipengaruhi oleh norma-norma, nilai-nilai dan adat istiadat dalam kaidah Islam, karena itu pemimpin agama merupakan salah satu simbol utama dan konfigurasi sosial budaya Aceh. Unsur adat dan agama merupakan dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidup masyarakat Aceh 29 Dari segi bahasa, bahasa Aceh tergolong rumpun Austronesian Malayo Polynesian yang dialektika lokalnya sangat bervariasi berbeda-beda, yang mirip dengan bahasa Chamic yang juga tergolong pada rumpun Austronesian . 30 Aceh adalah wilayah yang unik dari segi budaya dan kultur, khususnya budaya yang resisten terhadap segala upaya yang ingin mendominasi apalagi .

II.1.2 Sejarah Konflik Aceh

29 Moch. Nurhasyim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 55-56. 30 Anthony Reid dalam ibid. hal. 56. Universitas Sumatera Utara 27 “menjajah” wilayah yang dikenal serambi mekkah tersebut 31 Sejak awal, ada banyak perdebatan mengenai posisi Aceh di dalam NKRI. Sebagian mengatakan bahwa keberadaan itu adalah tidak sah dan mengingkari kehendak orang Aceh bahkan sejarah Aceh yang memang merupakan satu identitas politik tersendiri, sementara identitas Indonesia adalah – meminjam Tiro – suatu identitas buatan yang datang belakangan dan rapuh. Karenanya, keduanya tidak mungkin diperbandingkan, apalagi disandingkan. Kelompok pemikiran ini tentu bahkan menganggap penggabungan Aceh ke dalam Indonesia sebagai suatu pilihan politik pencaplokan . Oleh karena itu pula, berbicara mengenai provinsi paling ujung barat di Sumatera ini, tidaklah terlepas dengan konflik yang melandanya sejak zaman DITII dan kemudian berlanjut konflik Aceh yang menandai munculnya Gerakan Aceh Merdeka GAM mulai tahun 1974 sampai dengan tahun 2005. 32 Menurut perspektif yang lain, bergabungnya Aceh dalam NKRI pada awal kemerdekaan Indonesia di dasari pada faktor kesamaan nasib dan kondisi yaitu sama-sama berjuang melawan penjajahan Belanda, Jepang, Portugis, dll. Selain itu juga seluruh ulama di Aceh pada saat itu mendukung bergabungnya Aceh di . Kemudian dalam catatan sejarah lain juga menyatakan bahwa daerah-daerah yang dikategorikan wilayah Indonesia adalah wilayah-wilayah di Hindia Belanda yang pernah dijajah oleh Belanda. Sedangkan Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak pernah bisa diajajah oleh Belanda. Sehingga Aceh dianggap daerah yang bisa menentukan nasib sendiri, bukan “dicaplok” menjadi wilayah Indonesia. 31 Ibid, hal. 54. 32 Ahmad Taufan Damanik, Hasan Tiro: Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis, 2011, Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung FES dan Acheh Feature Institute AFI, hal. 15. Universitas Sumatera Utara 28 dalam NKRI. Salah satu ulama yang cukup terkenal dan menjadi penghubung komunikasi antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat adalah Tgk. Daud Beureueh. Bentuk dari dukungan itu diberikan Aceh antara lain dengan menyumbangkan sebuah pesawat untuk negara Indonesia. Sumbangan pesawat ini bersumber dari kumpulan dana masyarakat Aceh. Pesawat ini dikenal dengan sebutan RI 001, yang kemudian menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.sejak saat itu, Aceh disebut daerah modal. Artinya, Aceh menjadi salah satu daerah utama penopang terbentuknya Negara Indonesia. Namun, dukungan ini bukan tanpa syarat. Soekarno, presiden pertama sekaligus proklamator Indonesia, dalam kunjungan ke Banda Aceh tahun 1947 untuk mendapatkan dukungan mempertahankan kemerdekaan diminta oleh tokoh-tokoh Aceh menandatangani perjanjian untuk menegakkan syariat Islam sebagai syarat dukungan yang akan diberikan oleh rakyat Aceh 33 . Sembari menangis terisak-isak, Soekarno bersumpah akan memenuhi syarat yang dimintakan meski tetap menolak memberikan janji tertulis 34 Ironisnya lagi, setelah kejadian itu, Aceh berada dalam kondisi yang terbiarkan. Pada tahun 1949, keluar ketetapan pembentukan provinsi Aceh yang dituangkan dalam peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8DesWKPM Tahun 1949 yang ditandatangani oleh wakil perdana menteri Syarifuddin Prawira negara . 35 33 Ibid, hal 18. 34 El Ibrahimy dalam Ibid, hal 18. 35 M Nur El Ibrahimy dalam Adam Mukhlis Arifin, Demokrasi Aceh Mengubur Ideologi, 2011, Jakarta: The Gayo Institute TGI, hal 10-11. . Tidak Universitas Sumatera Utara 29 berselang lama kemudian keluar pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, yang ditandatangani oleh Mr. Assaat sebagai pemangku jabatan presiden dan Mr. Soesanto sebagai menteri dalam negeri yang isinya menyatakan bahwa Provinsi Aceh dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara 36 GAM diproklamirkan pada 4 Desember 1976, di sebuah Camp kedua yang bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Kabupaten Aceh Pidie. Dalam perkembangannya, gerakan perlawanan ini memperluas jaringannya hingga ke seluruh Aceh dalam rangka menuntut kemerdekaan Aceh dari . Setelah sekian lama merasa dikhianati oleh Presiden Soekarno, akhirnya Tgk. Daud Beureueh memutuskan untuk bergabung dengan gerakan DITII Darul IslamTentara Islam Indonesia, yang sebelumnya sudah ada di wilayah lain di Indonesia. Gerakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo ini lahir di Jawa Barat, dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Gerakan DITII di Aceh ini kemudian menjadi benih-benih munculnya Gerakan Aceh Merdeka yang dipelopori oleh Tgk Hasan Muhammad di Tiro. Berbeda dengan DITII yang masih mengikatkan diri dalam bingkai Republik Indonesia, gerakan Hasan Tiro mencoba mengubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Dia meletakkan persoalan kedaulatan Aceh sebagai sumber perjuangan gerakannya. Bagi Hasan Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan Indonesia dan tak pernah secara sah diserahkan kepada Hindia Belanda Indonesia. 36 Ibid, Hal 11. Universitas Sumatera Utara 30 pemerintah Indonesia. Hingga pada akhirnya terjadi musibah gempa dan tsunami di Aceh, menggugah hati nurani pihak yang bertikai yakni GAM-RI untuk mengakhiri konflik yang terjadi selama puluhan tahun di Aceh, dengan ditandai oleh lahirnya perjanjian MoU Helsinki. Butir-butir perjanjian dalam MoU Helsinki ini dituangkan dalam bentuk undang-undang RI No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

II.2 Proses Terbentuknya UU Pemerintahan Aceh