Internet: Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta)

Usman Aji, Sutiono, 2000, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta. Usman, Rachmadi, 2000, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta, Djambatan.

B. Undang-Undang:

Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 8 Tahun 36PMK.0102008 Tentang Besar Santunan Dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2012 Tentang Sumber Daya Manusia Di Bidang Transportasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Perusahaan Umum PERUM DAMRI R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang KUHPerdata, Jakarta, Pradyna Paramita. Shofie, Yusuf, 2003, Penyelsaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

C. Internet:

http:cherylcarissa.blogspot.co.id201504,resume-hukumpengangkutanhtmlm=1 diakses 4 Juni 2016, pukul 12.00. http:damri.co.idprodukangkutan-bandara diakses 18 Mei 2016 pukul.22.00. http:damri.co.id20160511tentang-perusahaansejarah, diakses 25 Agustus 2016, pukul 22.10. http:www.jasaraharja.co.id, di akses tanggal 16 Juli 2016, pukul. 17.00. http:nandarfiles.blogspot.co.id201201perum-damri.html?m=1, diakses pada tanggal 3 Agustus 2016, pukul 12.26 https:www.slideshare.netmobileFairNurfachrizihukum-pengangkutan, diakses pada tanggal 9 Juli 2016, pukul.20.43. Universitas Sumatera Utara Sri Ambarwati, “Realisasi Tanggung Jawab Perdata Pengangkut Udara Terhadap Penumpang Penerbangan Domestik Pada PT. Garuda Indonesia persero, Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008, diakses pada tanggal 9 Juli, Pukul 22.10. Wawancara: Wawancara dengan Bpk Andi Yuneska, selaku ASM.Perencanaan dan PJPERUM DAMRI kantor cabang Angkutan Bandara Soekarno-Hatta Jakarta Timur. Universitas Sumatera Utara BAB III TANGGUNG JAWAB PERUM DAMRI SEBAGAI ANGKUTAN BANDARA DENGAN PENUMPANG BUS A. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Di Bidang Angkutan Tanggungjawab dalam kamus bahasa Indonesia didefinisikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. 22 Di dalam istilah Belanda disebutkan Verantwoordelijkatau bertanggungjawab yaitu wajib mengadakan pertanggungjawaban, serta memikul tanggungjawab atas kemungkinan terjadinya kerugian. 23 1. Based on faultprinsip tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan Dalam ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan, dikenal dengan adanya prinsip-prinsip tanggungjawab di bidang angkutan.Prinsip-prinsip tanggungjawab ini berkaitan dengan tanggungjawab pengangkut untuk membayar gantikerugian kepada pengguna jasa. Beberapa prinsip tanggungjawab tersebut adalah: Prinsip Based on Fault atau prinsip tanggungjawab berdasar atas kesalahan diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal ini dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum onrechtmatigedaad. Titik tolak pengertian perbuatanmelawan hukum adalah Pasal 1365 22 Ilham, Kamus Bahasa Indonesia,Mitra Jaya Publisher, Surabaya, 2010, hal 414. 23 Imam Radjo Mulano, Penjelasan Istilah-istilahHukum Belanda-Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.211. Universitas Sumatera Utara KUHPerdata tersebut, sebagaimana diberi penafsiran dalam putusan Hoge Raad Mahkamah Agung Belanda tanggal 31 Januari 1919, yang diikuti juga oleh pengadilan di Indonesia. Menurut Yurisprudensi, suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang: a. Melanggar hak orang lain; b. Bertentangan dengan kewajiban hukum yang berbuat; c. Bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat tentang diri, barang orang lain atau d. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik. Tafsiran ini sangat luas, sehingga dalam bidang angkutan, pelanggaran lalu lintas oleh pengangkut atau oleh pegawainya juga termasuk dalam perbuatan melawan hukum, namun selama perbuatan itu tidak langsung mengenai kewajibannya terhadap pengguna jasa angkutan, merupakan tanggungjawab sendiri dari pengangkut, tetapi perbutan tersebut harus diperhitungkan apabila karena perbuatan tersebut pihak pengguna jasa angkutan mengalami kerugian dan akan mempunyai akibat terhadap masalah tanggungjawab pengangkut terhadap pengguna jasa angkutan. Akibat terpenting yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah tanggungjawab pihak yang melakukan perbuatan hukum, berupa kewajibannya membayar ganti kerugian. Dapat dikemukakan bahwa tanggungjawab menurut pasal tersebut adalah tanggungjawab berdasarkan atas kesalahan yang harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut ganti kerugian. Selain itu menurut Pasal 1366 KUHPerdata, tanggungjawab seseorang bisa juga diakibatkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Universitas Sumatera Utara Pada prinsip ini jelas bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, artinya pihak yang dirugikan yang harus membuktikan bahwa kerugiannya diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1865 KUHPerdata: “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri atau membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Dan prinsip based on fault ini tidak didasarkan pada perjanjian, tetapi dengan perbuatan melawan hukum tersebut juga menimbulkan perikatan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1353 KUHPerdata. 2. Presumption of liability prinsip pengangkut selalu bertanggungjawab Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggungjawab”, tanpa ada keharusan bagi pihak yang dirugikan untuk membuktikan bahwa ada perbuatan melawan hukum dari pihak pengangkut atau tidak. Prinsip ini didasarkan pada perjanjian pengangkutan, akan tetapi pengangkutdapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya, apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa: a. Kerugian yang disebabkan oleh malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya atau berada di luar kekuasaannya; b. Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian; c. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya; d. Kerugian ditimbulkan oleh kelalaian atau kesalahan dari penumpangsendiri atau karena, cacat, sifat atau mutu barang yang diangkut. PERUM DAMRI unit angkutan khusus bandara Soekarno-Hatta selalu bertanggungjawab atas kecelakaan yang diakibatkan oleh pengemudi selama penumpang memilki karcis sebagai bukti sebagai penumpang bus DAMRI yang menjadi bukti perjanjian antara penumpang dengan bus DAMRI, bahwa selama di Universitas Sumatera Utara dalam bus hingga sampai tujuan penumpang merupakan tanggungjawab bus DAMRI. Setiap penumpang telah diasuransikan dengan asuransi Jasa Raharja, bila terjadi kecelakaan maka santunan dari pihak jasa raharja maksimal sebesar sepuluh juta rupiah Rp.10.000.000,00 dan bila penumpang sampai meninggal sebesar dua puluh lima juta Rp.25.000.000,00. Tanggungjawab juga dilakukan oleh pengemudi terhadap penumpang yang diangkutnya tersebut yaitu berupa santunan sebesar 50 dengan didahulukan oleh pihak perusahaan dan selebihnya akan ditangani oleh pihak PERUM DAMRI. Dimana satu bus DAMRI angkutan khusus bandara Soekarno-Hatta di tanggungjawabi oleh 2 pengemudi secara shiftbergantian. 24 Jika tanggungjawab pengangkut bukan atas perbuatan melawan hukum delictual liability, maka kemungkinan yang lain hanyalah bahwa tanggungjawab pengangkut berdasarkan suatu kontrak atau perjanjian contractual liability, yaitu Praduga bahwa pengangkut selalu bertanggungjawab tidak sama dengan praduga bahwa pengangkut bersalah, karena justru unsur kesalahan inilah yang tidak menentukan dalam hal ada atau tidaknya tanggungjawab pengangkut. Menurut prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggungjawab”, pengangkut bertanggungjawab dengan tidak mempersoalkan, apakah pengangkut bersalah atau tidak, atau dengan kata lain, unsur kesalahan tidak menentukan ada atau tidaknya tanggungjawab pengangkut. Dengan demikian, maka dasar dari prinsip ini sudah pasti bukanlah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan pengangkut, sehingga harus dicari dasar lain. 24 Hasil wawancara tanggal 25 Juli 2016 dengan narasumber Bpk Andi Yuneska, selaku ASM.Perencanaan dan PJ PERUM DAMRI kantor cabang Angkutan BandaraSoekarno Hatta Jakarta Timur. Universitas Sumatera Utara tanggungjawab pengangkut yang mengadakan perjanjian dengan pengguna jasa, bila perjanjian tersebut tidak dipenuhi, kurang dipenuhi atau terlambat dipenuhi. Adapun alasan-alasan untuk mempergunakan prinsip praduga bahwa pengangkut selalu dianggap bertanggungjawab dan beban pembuktian diletakkan pada pengangkut didasarkan pada teori-teori: 1. Pengangkut dalam menjalankan usahanya dapat menimbulkan bahaya terhadap pihak lain; 2. Pengangkut harus memikul risiko untuk usaha-usaha yang dijalankannya; 3. Dipergunakan alat angkut, sehingga segala kerugian yang disebabkan oleh alat angkut harus ditanggung oleh pengangkut. Dengan demikian dalam prinsip ini, adanya tanggungjawab pengangkut, tidak tergantung pada adanya kesalahan dari pengangkut, karena justru apabila ada kesalahan pada pengangkut, maka prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggungjawab” tidak berlaku lagi dan unsur kesalahan ini harus dibuktikan oleh pihak yang dirugikan, dengan kata lain tanggungjawab pengangkut tidak merupakan praduga presumed lagi. Hal ini tentunya dapat merubah tanggungjawab pengangkut berdasarkan kontrak atau perjanjian menjadi tanggungjawab berdasarkan atas kesalahan atau perbuatan melawan hukum. Antara prinsip based on fault dengan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggungjawab” tersebut mempunyai perbedaan yang sangat mendasar, yaitu, prinsip based on fault tidak didasarkan pada adanya suatu kontrak atau perjanjian dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah pihak pengguna jasa angkutan, sedangkan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggungjawab” selalu didasarkan pada adanya suatu kontrak atau perjanjian dan beban pembuktiannya terletak pada pengangkut. 25 3. Presumption of non liabilityprinsip pengangkut selalu tidak bertanggungjawab Prinsip ini merupakan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu tidak bertanggungjawab”, untuk barang bawaan yang berada di dalam pengawasan penumpang sendiri, contohnya adalah bagasi tangan, dan beban pembuktian adanya tanggungjawab pengangkut terletak pada penumpang dan tanggungjawab ini baru ada, apabila ada kesalahan dari pengangkut. Prinsip didasarkan pada 25 Siti Nurbaiti, Op.Cit., hal 26-30. Universitas Sumatera Utara perjanjian pengangkutan. Dengan adanya prinsip ini, maka ada kemungkinan tidak ada satu pihakpun yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai kerugian terhadap barang bawaan yang berada dalam pengawasan penumpang sendiri, yaitu apabila penumpang membuktikan bahwa ia telah mengambil tindakan seperlunya untuk menjaga barang tersebut, sedangkan pengangkut juga telah membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat mencegah timbulnya kerugian.Dengan demikian, maka penumpang sendirilah yang harus memikul kerugiannya. Kemungkinan tersebut, terlepas dari hal apakah kerugian terhadap barang bawaan yang berada dalam pengawasan penumpang sendiri ditimbulkan oleh penumpang lain. Jika terjadi hal yang demikian, memang pengangkut tidak bertanggungjawab, akan tetapi penumpang tersebut, dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum. Kekhususan dari prinsip presumption of non liability ini adalah ditujukan khusus pada barang bawaan yang berada dalam pengawasan penumpang sendiri, yang didasarkan pada perjanjian, dimana beban pembuktian ada pada penumpang, karena barang sepenuhnya berada dalam pengawasan penumpang sendiri dan berarti menjadi tanggungjawab penumpang sendiri. Hal ini berbeda dengan prinsip presumption of liability, dimana beban pembuktian ada pada pengangkut, karena barang termasuk penumpang berada sepenuhnya dalam pengawasan pengangkut. Prinsip presumption of non liability mempunyai persamaan dengan prinsip based on fault, yang pihak yang harus membuktikan adalah pihak penumpang atau pihak ketiga, sebagai pihak yang dirugikan, tetapi juga mempunyai Universitas Sumatera Utara perbedaan, yaitu pada prinsip based on fault tidak didasarkan pada perjanjian, sedangkan pada presumption of non liability, didasarkan pada perjanjian. Prinsip bahwa pengangkut tidak bertanggungjawab pada dasarnya dapat digambarkan sebagai berikut: a. Dapat diterapkan dalam keadaan netral atau normal atau tidak terdapat hal-hal yang istimewa sehingga dalam hal yang demikian tidak ada persoalan beban pembuktian; b. Pengangkut tidak bertanggungjawab dalam hal-hal yang sama seperti pada pengangkutan penumpang dan barang, yaitu apabila pengangkut dapat membuktikan: 1. Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah timbulnya kerugian; 2. Ia tidak mungkin mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah timbulnya kerugian; 3. Adanya kesalahan penumpang sendiri atau penumpang lain. c. Pengangkut bertanggungjawab jika penumpang dapat membuktikanadanya perbuatan sengaja atau kesalahan berat dari pengangkut; d. Pengangkut bertanggungjawab jika penumpang dapat membuktikan apabila penumpang telah mengambil semua tindakan yang perlu, tetapi ada kelalaian dari pengangkut. 4. Absolute atau strict liability prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip ini mengandung pengertian, bahwa secara yuridis, salah atau tidak salah, pengangkut harus bertanggungjawab, dengan tidak ada beban pembuktian. Hal ini berarti, pihak pengangkut selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada atau tidak adanya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, atau prinsip Universitas Sumatera Utara tanggungjawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahakan apakah pada kenyatannya ada atau tidak ada. Tentang prinsip absolute liability ada yang membedakan dengan strict liability, tetapi ada juga yang menyamakannya. Pendapat yang menyamakan antara prinsip absolute dengan strict liability adalah Mieke Komar. Ia mengutip pendapat dari Goldie, yang diambil dari doktrin yang berasal dari hukum Anglo Saxon yang dikenal sejak kasus Ryland vs Flecther: “The doctrine of strict or absolute liability has evolved in modern times on certain kinds of situation where injury has been caused by an activity that is not wrongful but gives rise to liability even in the absence of an allegation of negligence of fault…”. Berdasarkan prinsip tersebut, tergugat dalam hal ini pihak pengangkutharus membayar seluruh kerugian yang telah disebabkan oleh tindakannya, terlepas dari salah satu atau tidaknya pihak tegugat. Namun dalam strict liability, selalu disertai dengan pembatasan jumlah ganti rugi , selain itu dalam prinsip ini tidak dipermasalahkan adanya unsur kesalahan, kesengajaan atau kelalaian, asal ada cukup pembuktian tentang terjadinya kerugian akibat perbuatan tergugat. Pendapat yang membedakan antara absolute dengan strict liability,diantaranya adalah Komar Kantaatmadja dan E. Saefullah. Komar Kantaatmadja mengemukakan bahwa prinsip absolute liability, selain tidak perlu mempersoalkan ada atau tidaknya kesalahan, juga dalam ganti rugi tidak ada pembatasan atau ada kemungkinan diwajibkan untuk membayar seluruh kerugian yang diderita tergugat, sedangkan dalam prinsip strict liability ada proses pembuktian, sehingga luas lingkup ganti kerugiannya menjadi terbatas. Sedangkan menurut pendapat E. Saefullah, perbedaan antara absolute liability dengan strict liability terletak pada ada atau tidaknya hubungan kausalitas. Pada strict liability harus ada hubungan kausalitas antara orang-orang yang benar-benar bertanggungjawab dengan kerugian dan tetap diakuinya semua hal dapat Universitas Sumatera Utara membebaskan tanggungjawab pengangkut, kecuali hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah absence of fault, karena kesalahan tidak lagi diperlukan, sedangkan absolute liability akan timbul kapan saja. Keadaan yang membuktikan tanggungjawab tersebut tanpa mempersalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. Dengan demikian, dalam absolute liability tidak diperlukan hubungan kausalitas dan hal-hal yang membebaskan dari tanggungjawab hanya yang dapat dinyatakan secara tegas dalam perundang- undangan. Selanjutnya E.Saefullah menyimpulkan bahwa tidak ada ukuran pasti di dalam membedakan istilah absolute liability dengan strict liability, namun ada indikasi yang diterima umum bahwa pada strict liability, pihak yang bertanggungjawab dapat membebaskan diri berdasarkan semua alasan yang sudah umum dikenal conventional defense, sedangkan pada absolute liability alasan- alasan umum pembebasan tersebut tidak berlaku, kecuali secara khusus dinyatakan dalam instrumen-instrumen tertentu konvensi, undang-undang, dan sebagainya, dan tanggungjawab akan timbul begitu kerugian terjadi tanpa mempersoalkan siapa penyebabnya dan bagaimana terjadinya. Demikian dalam penggunaan istilah ini ternyata tidak dapat dibedakan secara tegas karena yang menjadi ukuran utama dari prinsip tanggungjawab mutlak absolute-strict liability adalah tanggungjawab yang tidak mempersoalkan ada atau tidak adanya kesalahan. Untuk tercapainya penerapan prinsip tanggungjawab mutlak tersebut, perlu memperhatikan batas-batas yang dapat dipergunakan untuk alasan pembebasan tanggungjawab pengangkut. Secara logis dan wajar, pembatasan itu harus diberi Universitas Sumatera Utara kriteria, misalnya dengan menentukan hanya hal-hal yang sudah diketahui oleh umum atau sudah lazim tidak perlu dibuktikan. Sebagai contoh kebijakan pemerintah misalnya. Sebab tujuan utama dianutnya prinsip tanggungjawab mutlak adalah untuk memudahkan penyelsaian klaim ganti rugi dengan sejauh mungkin menghindari proses pengadilan. 5. Limitation of liability prinsip pembatasan tanggungjawab Prinsip iniberhubungan dengan semua prinsip tanggungjawabyang telah dikemukakan, yaitu baik based on fault, presumption of liability, presumption of non liability, maupun absolute liability. Pembatasan tanggung jawab pengangkut, pada dasarnya merupakan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang harus dijabarkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang angkutan.Alasan digunakannya prinsip ini adalah: a. Kegiatan pengangkutan, risiko terbesar ada pada pengangkut, maka sudah sepantasnya risiko itu dibatasi, walaupun mungkin dipandang dari sudut moral, pembatasan tanggungjawab dalam hal seorang penumpang menderita luka-luka atau meninggal adalah tidak pantas, akan tetapi prinsip pembatasan tanggungjawab ini sebagai suatu prinsip harus tetap ada, dan ketidakpantasan penggunaannya dalam praktek, dapat dihindarkan apabila terdapat alsan- alasan yang kuat, menurut kebijakan hakim-hakim yang dapat menyelesaikan perkaranya; b. Agar pengangkut tidak boleh mengadakan syarat-syarat perjanjian pengangkutan yang meniadakan tanggungjawabnya; c. Adanya limit-limit tertentu sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan- tuntutan ganti rugi dengan secepat-cepatnya dan semudah-mudahnya tanpa harus meminta perantara hakim lagi. Setidak-tidaknya pencantuman limit ganti rugi dalam peraturan perundang-undangan di bidang angkutan akan memberikan pedoman atau patokan yang jelas, baik bagi pengangkut maupun pihak yang menuntut ganti rugi, mengenai ganti rugi yang harus dibayarkan. Prinsip pembatasan tanggungjawab ini ada yang bersifat breakable limit dan unbreakable limit. Breakable limit, artinya dapat dilampaui dan tidak dapat bersifat mutlak, dimana ganti rugi yang dibayarkan diberikan oleh pengangkut masih dapat dimungkinkan untuk dibayarkan melebihi jumlah yang dinyatakan, Universitas Sumatera Utara yaitu dalam hal kerugian disebabkan oleh adanya perbuatan sengaja willfull misconduct atau kelalaian berat gross negligence dari pengangkut. Sedangkan unbreakable limit, artinya tidak dapat dilampauidengan alasan apapun. Hal ini berarti tanggungjawab pengangkut dengan ganti rugi yang harus dibayarkan tidak boleh melebihi jumlah yang dinyatakan. 26

B. Hak Dan Kewajiban PERUM DAMRI Sebagai Pengangkut

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kualitas Pelayanan, Harga Dan Lokasi Terhadap Kepuasan Pengguna Jasa Damri Di Bandara Soekarno-Hatta

10 64 164

EVALUASI KEPUASAN PENUMPANG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN JASA ANGKUTAN UMUM BUS DAMRI ROYAL EVALUASI KEPUASAN PENUMPANG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN JASA ANGKUTAN UMUM BUS DAMRI ROYAL TRAYEK SINTANG-PONTIANAK.

0 3 14

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN BUS PERUM DAMRI CABANG PADANG TERHADAP PENUMPANG DALAM PELAKSANAAN PENGANGKUTAN UMUM.

0 0 10

Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta)

0 0 10

Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta)

0 0 1

Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta)

0 1 13

Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta)

0 0 16

Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta) Chapter III V

0 0 52

Tanggung Jawa Bperum Damri Sebagai Angkutan Bandara Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Bus (Studi Pada Perum Damri Kantor Cabang Angkutan Bandara Soekarno- Hatta)

0 0 3

KUALITAS PELAYANAN TRANSPORTASI PUBLIK (Studi Deskriptif tentang Kualitas Pelayanan Jasa Angkutan Umum Perum Damri Unit Angkutan Bus Khusus Gresik-Bandara Juanda)

0 0 9