Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik Pada Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS PELAYANAN PUBLIK PADA BAGIAN BINA SOSIAL SETDAKO LHOKSEUMAWE

TESIS

Oleh T.MANSUR 067024045/SP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ABSTRAK

Sebagaian besar instansi-instansi pemerintah atau organisasi penyelenggara negara lainnya yang memberikan pelayanan publik, kondisi pelayanannya terkesan kurang memperoleh perhatian yang serius, antara lain ditandai oleh proses pelayanan yang cenderung berbelit-belit dan memakan waktu yang lama. Dalam hubungannya dengan hal tersebut peranan Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan observasi, ditemui beberapa fenomena pelayanan masyarakat di kantor tersebut, sebagai berikut (1) Masih adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dalam pengurusan layanan di Bagian Bina Sosial, (2) Adanya beberapa oknum pegawai keamanan yang tidak ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, hal utama yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah adalah berbagai hal yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pegawai pemerintah sebagai abdi masyarakat. Perumusan Masalah Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan tentang: (1). Bagaimana kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial ?, (2). Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial?

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian survey dengan pendekatan kuantitatif. Responden yang dijadikan sampel sebanyak 80 (delapan puluh) orang yang terdiri atas masyarakat yang mengurus sesuatu jenis pelayanan di Kantor Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe 57 orang dan 23 orang pegawai kantor. Teknik analisa data menghitung korelasi serta pengujian korelasi dengan metode Spearman

rho, yaitu: Organisasi terhadap kualitas pelayanan, kepemimpinan terhadap kualitas

pelayanan, Kemampuan dan keterampilan terhadap kualitas pelayanan, penghargaan dan pengakuan terhadap kualitas pelayanan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh tingkat hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan sebagai berikut organisasi, kemampuan dan keterampilan, penghargaan dan pengakuan, kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan. Dari kesemua faktor yang berhubungan tersebut faktor kemampuan dan keterampilan memiliki tingkat signifikansi yang sangat nyata atau sangat signifikan terhadap kualitas pelayanan masyarakat. Perbaikan dari faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan terutama peningkatan dan penyempurnaan pada aspek: kemampuan dan keterampilan, kepemimpinan, penghargaan dan pengakuan, serta faktor organisasi akan secara linear cenderung menaikkan kualitas pelayanan masyarakat. Faktor-faktor yang menjadi prioritas utama dan harus dilaksanakan sesuai dengan persepsi masyarakat yaitu kesopanan aparat kecamatan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan terhadap masyarakat, melakukan komunikasi yang efektif dengan masyarakat pengguna layanan, ketepatan waktu penyelesaian layanan, dan sarana dan prasarana yang mendukung.


(3)

ABSTRACT

Several government which give public service, condition of the service of impressing less obtain; get serious attention, for example marked by service process which tend to circumvent. In the relation with the mentioned role of Bagian Bina

Sosial Lhokseumawe City as executor of governance in district storey level have

fundamental duty carry out service to society. Bagian Bina Sosial Lhokseumawe City pursuant to observation, met some phenomenon’s service of society in Bagian Bina

Sosial Lhokseumawe City as follows: (1) There is still expense which must be

released by society in management of service in district, office, (2) Existence of some officers of inhospitable security in giving service to society. With condition like this, especial matter requiring attention of local government is to matters giving prima service to society is materialization of obligation of governmental officers as serving society. Formulation of this Problem Research are answer some questions: (1). How quality service of society in Bagian Bina Sosial Lhokseumawe City?, (2). What are factors that influences the quality of service of society in Bagian Bina Sosial.

This research is used survey with quantitative approach. Respondent taken as sample counted 80 people which consist of society managing something service type in Bagian Bina Sosial Lhokseumawe City 57 people and 28 officer. Technique analyses data calculate correlation and also examination of correlation with method of Spearman rho, there are: organization to service quality, leadership to service quality, ability and skill to service quality, confession and appreciation to service quality.

Research result indicate that to be obtained by district level relation between factors influencing the quality of service as follows organization, skill and ability, confession and appreciation, leadership to service quality. From all the corresponding factors of ability factor and skill have district level of significance very to quality service of society. Repair of factors influencing the quality of service especially completion and improvement at aspect: skill and ability, leadership, confession and appreciation, and also organizational factor will by linear tend to boost up the quality of service of society. Factors becoming especial priority and have to be executed as according to perception of society that is districts government officer courtesy in executing activity of service to society, conducting effective communications with society consumer of service, accuracy of time is solving of service, and facilities and basic facilities supporting.


(4)

K A T A P E N G A N T A R

Alhamdulillah disampaikan kepada Allah SWT, atas kehendak-Nya dan izin-Nya penelitian yang berjudul: "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Publik pada Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe", dapat diselesaikan. Salawat dan

salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang membawa pencerahan kehidupan

bagi umat manusia.

Penelitian ini merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Inti bahasan penelitian ini adalah mengkaji tentang pelayanan publik khususnya pada bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe. Atas rampungnya penelitian ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang turut serta memberikan andil dan dukungan.

1. Pertama sekali ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat ibu Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Atas dedikasi beliau, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

2. Ucapan terima kasih selanjutnya penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Ketua Program Studi Pembangunan Univesitas Sumatera Utara.


(5)

3. Ucapan terima kasih tidak luput disampaikan kepada kedua pembimbing tesis ini, Drs. Humaizi, M.Si. (Pembimbing I) dan Drs. Sudirman, MSP (Pembimbing II). 4. Terima kasih khusus penulis sampaikan kepada ayahanda (Alm. T. Kasim) dan

ibunda (Cut Keumalawiyah) atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan, begitu juga saudara-saudara penulis. Mereka semua tidak pernah bosan memberikan dorongan semangat sekaligus mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU.

5. Istri tercinta Umaidah. S.Pd. terima kasih yang tidak terhingga dan cinta yang tulus penulis hadiahkan kepadanya , Kaulah sumber kekuatan, inspirasi dan semangat juangku

6. Anak –anak tercinta dan terkasih : Cut Chairunnisa. T. Alfian Pase, dan T. Rifki Dhulul Fata” kalianlah tempatku bersandar dari segala pergulatan hidup ini dan kalian pula asaku di depan.

7. Teman-teman di jurusan Studi Pembangunan satu angkatan, teman-teman sejawat di Kantor Walikota Lhokseumawe yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas dorongan dan semangat untuk terus belajar, bekerja dan berprestasi.

8. Terima kasih yang sebesar-besar Seluruh Staff dan Pegawai Magister Studi Pembangunan yang telah banyak merepotkan penulis selama menjadi mahasiswa hingga selesai.


(6)

Penelitian ini masih membutuhkan kritik dan saran yang berharga dari semua kalangan. Akhirnya, dengan senantiasa mengharap ridha dan rahmat Allah swt, semoga penelitian ini membawa berkah bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin

ya rabbal ‘alamin.

Medan, Juli 2008 Penulis,

T. Mansur 067024045/SP.


(7)

RIWAYAT HIDUP

I

. DATA PRIBADI

1. Nama : T. Mansur

2. Tempat/ Tgl Lahir : Bantayan, 1961

3. Alamat :Jl. Pandan No. 34 Uteun Bae

Lhokseumawe

4. Nama Istri : Umaidah, S.Pd

5. Nama Anak : 1. Cut Chairunnisa.

2. T. Alfian Pase 3. T. Rifki Dhulul Fata

II

. DATA PENDIDIKAN

1. SD NEGERI NO.1 PANTON LABU : TAMAT TAHUN 1973

2. SMP NEGERI NO.1 PANTON LABU : TAMAT TAHUN 1977

3. SMEA NEGERI LANGSA : TAMAT TAHUN 1981

4. STAI MALIKUSSALEH : TAMAT TAHUN 2000

5. MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN


(8)

III. DATA PENGALAMAN KERJA

1. 1984 – 2004 PEGAWAI Di BKKBN KAB. ACEH UTARA.

2.

2004,-SEKARANG KASUBAG AGAMA, PENDIDIKAN DAN

KEBUDAYAAN BAGIAN KESRA KANTOT WALIKOTA LHOKSEUMAWE.


(9)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP ……… vi

DAFTAR ISI ……….……….. viii

DAFTAR TABEL ………... xi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ... ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan Kajian ………..……… 4

1.4. Manfaat Kajian ………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...………. 6

2.1. Pelayanan Publik ... 6

2.2. Prinsip Pelayanan Publik ... 12

2.3. Konsep dan Teori Kualitas Pelayanan ... 13

2.3.1 Konsep Kualitas Pelayanan ... 13

2.3.2 Teori Kualitas Pelayanan ... 19

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan ... 20


(10)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 30

3.1. Bentuk Penelitian ……… 30

3.2. Populasi dan Sampel ………... 30

3.3. Teknik Pengumpulan Data ……….. 32

3.4 Definisi Konsep ……….. 33

3.5. Definisi Operasional ……… 34

3.6 Teknik Analisis Data ………... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ….……….. 37

4.1. Gambaran Umum Kota Lhoseumawe ………. 37

4.2. Visi dan Misi Pemeringtah Kota Lhokseumawe ……. 46

4.3. Profile Bagian Bina Sosial Stdako Lhokseumawe ….. 47

4.4. Hasil Penelitian ………... 55

4.5. Distribusi Frekwensi Kualitas Pelayanan Masyarakat di Bagian Bina sosial pemerintah Kota Lhokseumawe... 58

4.6. Distribusi Frekwensi dan Presentasi Kualitas Pelayanan ……… 71

4.7. Analisis Kolerasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan terhadap Kualitas Pelayanan ... 87

4.7.1. Analisis Korelasi Faktor Organisasi terhadap Pelayanan ………... 87

4.7.2. Analisis Korelasi Pengaruh Faktor Kepemimpinan terhadap Kualitas Pelayanan 90 4.8. Pengaruh Faktor Kemampuan dan Keterampilan terhadap Kualitas Pelayanan ………... 92


(11)

4.9. Analisis Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Kualitas Pelayanan terhadap Kualitas Pelayanan …… 97

BAB V PENUTUP ……… 99

5.1. Kesimpulan ……….. 99

5.2. Saran ……… 100


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Populasi dan Sampel ... 33

2 Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe... 43

3 Jumlah Penduduk dan Konsentrasi Penduduk Per Kecamatan dalam Kota Lhokseumawe... 44

4 Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Lhokseumawe... 45

5 Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe... 45

6 Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe... 46

7 Rincian Tugas pada Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe... 50

8 Peralatan pada Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe... 52

9 Daftar Tabel Pegawai Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe. 53 10 Jumlah Pengguna Layanan di Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe... 55

11 Jenis Kelamin Responden………. 56

12 Klasifikasi Umur Responden……… 56

13 Klasifikasi Pekerjaan Responden……….. 57

14 Klasifikasi Pendidikan Responden 57 15 Statistik Distribusi Frekuensi Sub Variabel Organisasi... 58

16 Pembagian Tugas/Pekerjaan Berdasarkan pada Kemampuan Kerja. 59 17 Kejelasan Pedoman Kerja sebagai Acuan Pelaksanaan Pekerjaan... 60


(13)

18 Tingkat Kejelasan Pembagian Pekerjaan………. 61

19 Statistik Distribusi Frekuensi Sub Variabel Kepemimpinan... 61

20 Keterlibatan Pimpinan dalam Memberikan Dukungan terhadap Peningkatan Kualitas Pelayanan... 62

21 Pimpinan Mempunyai Kemampuan dalam Melakukan Perbaikan dan Mengupayakan Inovasi yang Baru... 63

22 Pimpinan Mempunyai Komitmen yang Tinggi untuk Terciptanya Budaya Kualitas Pelayanan yang Baik... 64

23 Statistik Distribusi Frekuensi Sub Variabel Kemampuan dan Keterampilan... 64

24 Pemberian Kesempatan untuk Mengembangkan Kecakapan Kerja.. 65

25 Pekerjaan Dapat Diselesaikan Dalam Waktu yang Relatip Singkat.. 66

26 Pekerjaan yang Dikerjakan Sesuai dengan Keahlian ... 67

27 Statistik Distribusi Frekuensi Sub Variabel Penghargaan dan Pengakuan ... 67

28 Pemberian Penghargaan Kepada yang Berjasa/Berprestasi ... 68

29 Adanya Motivasi yang Baik dalam Melaksanakan Pekerjaan ... 69

30 Keterlibatan dalam Proses Pengambilan Keputusan yang Berhubungan dengan Tugas ………... 70

31 Lokasi Bagian Bina Sosial ……… 72

32 Fasilitas Ruangan ……….. 73

33 Kebersihan Lingkungan Ruangan……….. 74

34 Penampilan Pegawai ……… 75


(14)

36 Kecepatan Pelayanan ……… 76

37 Realisasi Janji ………... 77

38 Keakuratan Pelayanan ……….. 78

39 Transparansi Biaya ………... 78

40 Ketanggapan Pegawai ……….. 79

41 Bantuan Pegawai pada Bagian Bina Sosial ………... 80

42 Keberadaan Unsur Pimpinan ……… 80

43 Kesopanan Pegawai ……….. 81

44 Kemampuan Pegawai ………... 82

45 Keramahan Pegawai ………. 83

46 Pengetahuan Pegawai ………... 83

47 Kepercayaan Terhadap Pegawai ………... 84

48 Pemahaman Kebutuhan Pelayanan ………... 85

49 Kemudahan Menemui Pegawai ……… 86

50 Tanggapan Terhadap Keluhan ……….. 87

51 Interpretasi Koefisien Korelasi ………. 88

52 Korelasi Faktor Organisasi dengan Kualitas Pelayanan ... 89

53 Korelasi Faktor Kepemimpinan dengan Kualitas Pelayanan ……... 91

54 Korelasi Faktor Kemampuan & Keterampilan dengan Kualitas Pelayanan ………. 93

55 Korelasi Faktor Penghargaan dan Pengakuan dengan Kualitas Pelayanan ………... 95


(15)

56 Korelasi Faktor Penghargaan dan Pengakuan dengan Kualitas Pelayanan ………... 97


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Masalah utama yang dihadapi dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah oleh administrasi publik pada abad ke-21 ini adalah semakin terbatasnya sumber data yang dipakai untuk keperluan melayani kebutuhan masyarakat tersebut. Masyarakat tidak hanya menuntut pelayanan publik yang lebih efisien dan memuaskan, tetapi juga menginginkan prilaku administrasi publik yang lebih responsive dan mencerminkan kepatutan (fairness), keseimbangan, etika dan kearifan (good judgment) (Kasim, 2002:6).

Otonomi daerah telah membawa implikasi pada terjadinya demokratisasi, termasuk juga dalam hal pelayanan publik yang dilaksanakan. Masyarakat mulai kritis dan bias menentukan jenis pelayanan bagaimanakah yang masyarakat kehendaki. Masyarakat yang sedang tumbuh ke arah masyarakat madani (civil

society) menuntut adanya peran birokrasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap

penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan secara lebih luas dan berimbang.

Peningkatan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan publik (public service) yang efektif, efisien serta memuaskan dari pegawai pemerintah sebagai pelayan publik semakin populer. Hal ini terkait dengan perkembangan kebutuhan, keinginan


(17)

dan harapan masyarakat yang terus bertambah dan kian mutakhir. Masyarakat sebagai subjek layanan tidak suka lagi dengan pelayanan yang berbelit-belit, lama dan beresiko akibat rantai birokrasi yang panjang. Masyarakat menghendaki kesegaran pelayanan, sekaligus mampu memahami kebutuhan dan keinginan yang terpenuhi dalam waktu yang relatif singkat. Keinginan-keinginan tersebut perlu direspon dan dipenuhi oleh instansi yang bergerak dalam bidang jasa, apabila aktivitasnya ingin memiliki citra yang baik, untuk itu pihak manajemen perlu mengevaluasi kembali aspek pelayanan yang selama ini diberikan telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang dilayani, atau justru sebaliknya masih terdapat kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Terjadinya kesenjangan menunjukkan adanya kualitas pelayanan yang kurang prima, sehingga berpotensi menurunkan kinerja instansi secara keseluruhan.

Pegawai pemerintah daerah hendaknya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan jasa. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, pegawai pemerintah daerah harus dapat menindaklanjuti dalam penyelenggaraan pelayanan umum atau pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan fungsi masing-masing unsur pelayanan.

Dalam konteks pelayanan, pentingnya lima dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu: tangibles, reliability, assurance responsiveness, and empathy. Tangibles


(18)

meliputi fasilitas fisik perlengkapan pegawai dan sarana komunikasi. Reliability, yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Asuransi mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Responsivness yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Emphaty meliputi kemudahan dalam hubungan, komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

a) Sebagian besar instansi-instansi pemerintah atau organisasi penyelenggara negara lainnya yang memberikan pelayanan publik, kondisi pelayanannya terkesan kurang memperoleh perhatian yang serius, antara lain ditandai oleh proses pelayanan yang cenderung berbelit-belit dan memakan waktu yang lama. Dalam hubungannya dengan hal tersebut peranan pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe sebagai pelaksana pemerintahan daerah mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Menyelenggarakan pelayanan pemerintahan

b) Menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat

c) Memantau dan mengendalikan program kerja sampai ke kelurahan d) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan kepala daerah


(19)

Berdasarkan observasi, ditemui beberapa fenomena pelayanan masyarakat di kantor Bagian Bina Sosial sebagai berikut: (1) Membutuhkan waktu yang agak lama oleh masyarakat dalam pengurusan layanan, (2) Adanya beberapa oknum pegawai keamanan yang tidak ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, hal utama yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah adalah berbagai hal yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pegawai pemerintah sebagai abdi masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang yang diungkapkan tadi, maka permasalahan yang muncul dapat diindentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial ?

1.3. Tujuan Kajian

Mengacu pada pokok permasalahan di atas tujuan kajian ini adalah:

1. Mengindentifikasi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial Kota Lhokseumawe.

2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial Kota Lhokseumawe.


(20)

1.4. Manfaat Kajian

Manfaat yang didapat dari kajian ini adalah:

1. Secara Akademis, diharapkan hasil kajian ini dapat berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu administrasi pelayanan publik. 2. Secara Praktis, sebagai proses untuk kelanjutan penulisan tesis dan bagi

pemerintah daerah ditekankan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhoseumawe


(21)

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pelayanan Publik

Kegiatan pelayanan umum merupakan perwujudan dan penjabaran dari tugas dan fungsi pegawai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Pegawai pemerintah ditempatkan untuk menjalankan fungsi di samping abdi negara, juga sebagai abdi masyarakat (public

servant). Oleh karena itu, untuk mewujudkan tugas dan fungsi tersebut, maka

dijabarkan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat oleh unit-unit pelayanan. Penyelenggaraan dimaksud baik meliputi kegiatan mengatur, membina, dan mendorong maupun dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingan segala aspek kegiatan masyarakat terutama partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Pelayanan umum timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan organisasi. Pelayanan umum adalah “kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan faktor material melalui system, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya” (Moenir, 2002:26-27).


(23)

Menurut Kotler (1997:227) pelayanan adalah sebagai berikut:

A service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and doses not result in the ownership for of anything. Its production may or may not be tied to physical product.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa pengertian pelayanan yaitu suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki serta pelanggan dapat lebih berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa atau pelayanan. Dengan demikian hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pegawai pemerintah sebagai abdi masyarakat. Selain itu hal penting yang sering dijadikan argument perlunya otonomi daerah adalah bahwa dimensi pelayanan publik yang semakin terdesentralisasi pada tingkat lokal. Hal ini sejalan dengan fungsi pokok pemerintah daerah (local government) John Stewart dan Michael Clarke (dalam Skelcher, 1992:3) yaitu: 1). Fungsi pelayanan masyarakat (public service function) yang terdiri atas 1.1. pelayanan lingkungan (environment

service), 1.2. pelayanan personal (personal service). 2). Fungsi pelaksanaan

pembangunan (development function), 3). Fungsi perlindungan (protective function). Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut pegawai pemerintah daerah harus dapat menindaklanjuti atau menjabarkan dalam penyelenggaraan pelayanan umum/pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan fungsi masing-masing unit layanan.


(24)

Skelcher (1992:4) mengungkapkan tujuh prinsip dalam pelayanan kepada masyarakat, yaitu: (1). Standard, yaitu adanya kejelasan secara eksplisit mengenai tingkat pelayanan di dalamnya termasuk pegawai dalam melayani masyarakat; (2).

Openness, yaitu menjelaskan bagaimana pelayanan masyarakat dilaksanakan, berapa

biayanya, dan apakah suatu pelayanan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan; (3). Information, yaitu informasi yang menyeluruh dan mudah dimengerti tentang suatu pelayanan; (4). Choice, yaitu memberikan konsultasi dan pilihan kepada masyarakat sepanjang diperlukan; (5). Non discrimination, yaitu pelayanan diberikan tanpa membedakan ras dan jenis kelamin; (6). Accessibility, pemberian pelayanan harus mampu menyenangkan pelanggan atau memberikan kepuasan kepada pelanggan; (7). Redress, adanya sistem publikasi yang baik dan prosedur penyampaian komplain yang mudah.

Keberhasilan dalam melaksanakan prinsip dari hakekat pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada proses pelayanan publik yang dijalankan. Proses pelayanan publik pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Oleh karena itu, untuk melihat kualitas pelayanan publik yang dimaksud perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yaitu: aspek proses internal organisasi (pelayan); serta aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap Skelcher (1992:10) membagi pelanggan dalam pelayanan publik menjadi dua bagian, yaitu pelanggan


(25)

internal dan eksternal. Dan perhatian pelayanan sering difokuskan pada pelanggan eksternal, yaitu masyarakat sebagai stakeholder.

Dalam membangun kualitas sebuah layanan tidak hanya dilakukan oleh pelanggan eksternal saja, tetapi juga ditentukan oleh pelanggan internal. Dikatakan oleh Skelcher (1992:12) bahwa: “increasingly local authorities are organized in them

of internal clients or purchasers and contractors or providers”. Sementara itu,

Moenir (2002:49) membedakan pelayanan menjadi 2 macam, yaitu pelayanan ke dalam (pelayanan kepada manajemen) dan pelayanan ke luar. Pelayanan ke dalam sifatnya menunjang pelaksanaan kegiatan, pemenuhan kebutuhan organisasi di bidang produksi, pengadaan, penyimpangan, pemeliharaan, pembinaan tenaga kerja, data informasi dan komunikasi, pembinaan system, prosedur dan metode (SPM) dan ketatausahaan pada umumnya.

Pelayanan organisasi ke luar dilakukan oleh organisasi lini (operating units), sedangkan pelayanan ke dalam dilakukan oleh organisasi staf (servicing units) sebagai pendukung terhadap unit organisasi lini agar pelaksanaan tugas pokoknya (operasionalnya) berjalan dengan baik. Menurut Yamit, fungsi pelayanan ke dalam atau ke luar terkait dengan jenis pelanggan dan terdapat tiga macam, yaitu: (1). Pelanggan internal (internal costumer) yaitu setiap yang ikut menangani proses pembuatan maupun penyediaan produk di dalam perusahaan atau organisasi; (2) Pelanggan sebagai perantara untuk mendistribusikan produk kepada pihak pelanggan


(26)

eksternal; (3). Pelanggan eksternal (external costumer) adalah pemakai akhir, yang sering disebut sebagai pelanggan yang nyata (Yamit, 2001:77).

Dengan demikian pelayanan ke dalam berfungsi untuk melayani pelanggan internal, sedangkan pelayanan keluar untuk melayani pelanggan eksternal. Dengan begitu, maka upaya perbaikan pelayanan di sektor publik menjadi mengemuka dengan adanya “Reinventing Government” seperti yang ditulis Osborne dan Gaebler (1992) yang mengemukakan 10 asas dalam menata ulang pemerintahan, yaitu: (1). Pemerintahan yang berkualitas: mengarahkan ketimbang mengayuh; (2). Pemerintah milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani; (3). Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan; (4). Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan; (5). Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan; (6), Pemerintah berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi; (7). Pemerintah wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan; (8). Pemerintah antisipatip: mencegah daripada mengobati; (9). Pemerintah desentralisasi: memberikan kewenangan; (10). Pemerintah berorientasi pasar.

Sebagai upaya perbaikan organisasi dimulai dari orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut. Terdapat beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh pegawai birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu: (a). Prinsip aksestabilitas, di mana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur


(27)

pelayanan); (b). Prinsip kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan terhadap ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut; (c). Prinsip teknikalitas, yaitu bawa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh pegawai yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketetapan dan kemantapan system, prosedur dan instrument pelayanan; (d). Prinsip profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas; (e) Prinsip akuntabilitas, yaitu bahwa proses produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena pegawai pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Di samping pengertian di atas IAN dalam Widodo (2001 :271) disebutkan bahwa pelayanan publik diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat dan di Daerah di Lingkungan BUMN, BUMD dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.


(28)

2.2. Prinsip Pelayanan Publik

Dari tahun ke tahun untuk membenahi pelayanan publik terus dilakukan. Pembuatan kebijakan pemerintah dilaksanakan dengan selalu berprinsip pada kepuasan publik untuk memberikan pelayanan yang baik kepada publik perlu perlu diterangkan prinsip-prinsip pelayanan publik yaitu; kesederhanaan, kejelasan, kepastian , keterbukaan, efesien, keadilan, dan ketetapan waktu. Prinsip pelayanan ini merupakan indikator untuk menilai baik tidaknya pelayanan aparatur terhadap publik. Menurut Islamy (2002 :4) mengemukakan bahwa, pemberian pelayanan harus

berdasarkan pada beberapa prinsip pelayanan Prima sebagai berikut :

1. Appropriateness, yaitu setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang

disediakan pemerintah harus relevan dan signifikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.

2. Accesssibility, yaitu setiap jenis, produk , proses dan mutu pelayanan yang

disediakan pemerintah harus dapat diakses sedekat dan sebanyak mungkin oleh pengguna pelayanan.

3. Continuity, yaitu setiap jenis, produk , proses dan mutu pelayanan yang

disediakan pemerintah harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan.

4. Technicality, yaitu setiap jenis, produk , proses dan mutu pelayanan yang

disediakan pemerintah harus ditanggani oleh petugas yang benar-benar memiliki kecakapan teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan,


(29)

ketepatan, dan kemantapan aturan, sistem, prosuder dan instrumen pelayanan yang baku.

Begitu pentingnya profesional pelayanan publik, pemerintah telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan No. 81 Tahun 1993 Tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pelayanan.

2.3. Konsep dan Teori Kualitas Pelayanan 2.3.1. Konsep Kualitas Pelayanan

Kualitas memiliki beberapa definisi dan menurut Gaspersz (1997:5) pengertian kualitas secara konvensional menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy to use), estetika (esthetics) dan sebagainya. Sedangkan definisi strategik dari kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).

Menurut Feigenbaum (1991:7) kualitas adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk dikatakan berkualitas apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya kepada konsumen yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen atas suatu produk. Sedangkan menurut Goestch dan Davis (dalam Tjiptono, 2002:51) kualitas merupakan “suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.


(30)

Dalam ISO 8402 (Quality Vocabulary), kualitas didefinisikan sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan atau ditetapkan, kualitas seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Pengertian produk yang dapat berbentuk (tangible) atau kombinasi keduanya. Tiga kategori produk yang dapat didefinisikan di sini, yaitu:

1. Barang (goods) misalnya: mobil, telepon, dan lain-lain.

2. Perangkat lunak (software), misalnya: program computer, laporan keuangan, prosedur, instruksi dalam sistem keuangan ISO 9000 dan lain-lain.

3. Jasa (service), misalnya: pendidikan, perbankan dan lain-lain.

Dalam bisnis jasa, pelayanan merupakan aspek yang sangat penting dan menentukan kualitas jasa yang dihasilkan. Untuk bisa tampil dalam suasana yang kompetitif, organisasi harus berusaha meningkatkan kualitas pelayanannya sebagai strategi untuk memenangkan persaingan. Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler, 1994). Dengan demikian produk-produk didesain, diproduksi serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Karena kualitas mengacu kepada sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, selain diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar.


(31)

Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami pula melalui “consumer

behaviour” (prilaku konsumen) yaitu suatu prilaku yang dimainkan oleh konsumen

dalam mencari, membeli, menggunakan dan mengevaluasi suatu produk pelayanan yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhannya (Schiffman-Kanuk, 1997:7). Keputusan-keputusan konsumen untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi suatu barang/jasa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah persepsinya terhadap kualitas pelayanan. Pernyataan ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara “kepuasan konsumen” dengan “kualitas pelayanan”.

Lebih lanjut Triguno (1997:76) mengartikan kualitas sebagai berikut, yaitu: “Standar yang harus dicapai oleh seseorang/kelompok/lembaga/organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat.”

Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. Menurut Triguno (1997:78) pelayanan terbaik yaitu “melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong serta professional dan mampu. Menurut Wyckof (dalam Tjiptono, 2002:58) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu: “tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.” Ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik


(32)

dan memuaskan, sebaiknya bila jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.

Sedangkan menurut Zeithaml et.all (dalam Tjiptono, 2002:69) ada sepuluh dimensi yang saling melengkapi dan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas pelayanan. Kesepuluh dimensi tersebut meliputi: (1). Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal saat pertama (right the first time). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati, (2). Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan; (3). Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu; (4). Acces, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan yang mudah dihubungi, dan lain-lain; (5). Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para

contact personnel (seperti resepsionis, operator telepon dan lain-lain). (6). Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang

dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan; (7).

Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama


(33)

interaksi dengan pelanggan; (8). Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (physical safety), keamanan finansial (financial security), dan kerahasiaan (confidentiality); (9).

Understanding/knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan

pelanggan; (10). Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bias berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik dari jasa (misalnya kartu kredit plastik).

Metode pengukuran kualitas pelayanan dengan menggunakan sepuluh dimensi tersebut di atas, dikenal dengan nama Metode SERVQUAL (Service

Quality). Dalam perkembangannya, dari sepuluh dimensi yang ada dapat dirangkum

menjadi hanya lima dimensi pokok. Kelima dimensi pokok tersebut menurut Parasuraman, et all (dalam Tjiptono, 2002:70) meliputi: (1). Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi; (2). Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan; (3). Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap; (4). Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, dari bahaya, resiko atau keragu-raguan; (5). Empati (emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Pakar lainnya, Gronroos (dalam Tjiptono, 2002:72-73) menyatakan bahwa ada tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas jasa, yaitu outcome-related,


(34)

process-related, dan image-related criteria. Ketiga kiriteria tersebut masih dapat dijabarkan

menjadi enam unsure, yaitu: (1). Profesionalism dan Skills, kriteria ini merupakan

outcome-related criteria, di mana pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa (service provider), karyawan, system operasional, dan sumbangan fisik, memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara professional: (2). Attitudes and Behavioral, kriteria ini adalah

process-related criteria, pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan (contact personel) menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam

memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati; (3). Accessibility and

flecsibility, kriteria ini termasuk dalam proses process-related criteria. Pelanggan

merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan, dan system operasionalnya, dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa, sehingga pelanggan dapat melakukan dengan mudah. Selain itu, juga dirancang dengan maksud agar dapat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan; (4). Reliability and

Trustworhtiness, kriteria ini termasuk dalam process-related criteria. Pelanggan

memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya; (5). Recovery, termasuk dalam process-related criteria. Pelanggan memahami bahwa bila ada kesalahan atau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat; (6). Reputation and credibility, kriteria ini merupakan process-related criteria.


(35)

Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbangan yang sesuai dengan pengorbanannya.

2.3.2. Teori Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan yang dikemukakan oleh Christopher Lovelock (2004:76) dalam bukunya “Product Plus”. Apa yang dikemukakan merupakan suatu gagasan menarik tentang bagaimana suatu produk bila ditambah dengan pelayanan (service) akan menghasilkan suatu kekuatan yang memberikan manfaat pada organisasi dalam meraih keuntungan bahkan untuk menghadapi persaingan. Ada 8 suplemen pelayanan yang dapat dijelaskan sebagai berikut. (1). Information yaitu proses suatu pelayanan yang berkualitas dimulai dari produk dan jasa yang diperlukan oleh pelanggan. Penyediaan saluran informasi yang langsung memberikan kemudahan dalam rangka menjawab keinginan pelanggan tersebut, adalah penting. (2). Consultation, setelah memperoleh informasi yang diinginkan, pelanggan memerlukan konsultasi baik menyangkut masalah teknis, administrasi, biaya. Untuk itu, suatu organisasi harus menyiapkan sarananya menyangkut materi konsultasi, tempat konsultasi, karyawan/petugas yang melayani, dan waktu untuk konsultasi secara cuma-cuma. (3).

Ordertaking, penilaian pelanggan pada tiik ini adalah ditekankan pada kualitas

pelayanan yang mengacu pada kemudahan pengisian aplikasi maupun administrasi yang tidak berbelit-belit, fleksibel, biaya murah, dan syarat-syarat yang ringan. (4).

Hospitality, pelanggan yang berurusan secara langsung akan memberikan penilaian


(36)

fasilitas lain yang memadai. (5). Caretaking, variasi latar belakang pelanggan yang berbeda-beda akan menuntut pelayanan yang berbeda-beda pula. (6). Exception, beberapa pelanggan kadang-kadang menginginkan pengecualian kualitas pelayanan. (7). Billing, titik rawan berada pada administrasi pembayaran. Artinya, pelayanan harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pembayaran, baik menyangkut daftar isian formulir transaksi, mekanisme pembayaran hingga keakuratan perhitungan tagihan. (8). Payment, pada ujung pelayanan harus disediakan fasilitas pembayaran berdasarkan pada keinginan pelanggan, seperti transfer bank,

credit card, debet langsung pada rekening pelanggan.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan

Pelayanan umum kepada masyarakat akan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, apabila faktor-faktor pendukungnya cukup memadai serta dapat difungsikan secara berhasil guna dan berdaya guna. Menurut Moenir (2002:88) terdapat beberapa faktor yang mendukung berjalannya suatu pelayanan dengan baik, yaitu: (1). Faktor kesadaran para pejabat dan petugas yang berkecimpung dalam pelayanan umum; (2). Faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan; (3). Faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan; (4). Faktor organisasi yang merupakan alat serta system yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan; (5). Faktor keterampilan petugas; (6). Faktor sarana dalam pelaksanaan tugas pelayanan. Keenam faktor tersebut mempunyai peranan yang berbeda tetapi saling


(37)

mempengaruhi dan secara bersama-sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan secara optimal baik berupa pelayanan verbal, pelayanan tulisan atau pelayanan dalam bentuk gerakan/tindakan dengan atau tanpa tulisan.

Terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi. Ketujuh faktor tersebut meliputi: nilai dan budaya (values and culture); proses kerja dan sistem bisnis (work process and business system); kapasitas individu dan tim (individual and

job design); penghargaan dan pengakuan (reward and recognition); serta proses

manajemen dan system (management process and system).

Wolkins (dalam Tjiptono 2002: 75-76) mengemukakan 6 faktor dalam melaksanakan penyempurnaan kualitas secara berkesinambungan. Keenam faktor tersebut meliputi: kepemimpinan, pendidikan, perencanaan, review, komunikasi serta penghargaan dan pengakuan. Dari beberapa penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu: 1. Organisasi

Organisasi pelayanan pada dasarnya tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya, tetapi ada perbedaan sedikit dalam penerapannya, karena sasaran pelayanan ditujukan secara khusus kepada manusia yang mempunyai watak dan kehendak multi kompleks. Organisasi pelayanan yang dimaksud di sini adalah mengorganisir fungsi pelayanan baik dalam bentuk struktur maupun mekanismenya yang akan berperan dalam kualitas dan kelancaran pelayanan. Organisasi adalah mekanisme maka perlu adanya sarana pendukung untuk memperlancar mekanisme


(38)

itu. Sarana pendukung tersebut yaitu system, prosedur, dan metode. “organization is

a mechanism or structure that enables living to work effectively together” (Allen

dalam Moenir 2002:98)

Sistem, prosedur, dan methode. System sebagai susunan atau rakitan atas sesuatu yang penting dan saling berhubungan serta saling tergantung sehingga membentuk kesatuan yang rumit namun utuh. Faktor organisasi sebagai suatu system merupakan alat yang efektif dalam usaha pencapaian tujuan, dalam hal ini pelayanan yang baik dan memuaskan. Agar organisasi sebagai sistem dapat berjalan perlu ada pembagian dalam hal organnya maupun tugas pekerjaannya sampai pada jenis pekerjaan yang paling kecil (Moenir, 2002:125). Penerapan system kualitas yang berfokus pada pelanggan akan berhasil apabila terlebih dahulu dipahami hambatan-hambatan yang dihadapi. Salah satunya adalah ketidakpedulian aparatur pemerintah dalam penerapan sistem kualitas yang berfokus pada pelanggan. Selain hal itu, ketidakberdayaan pegawai dalam penerapan sistem kualitas yang mengarah pada kepuasan total pelanggan.

Dengan demikian, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka pemberdayaan terhadap para pelaku birokrasi ke arah penciptaan profesionalisme pegawai menjadi sangat menentukan. Sejalan dengan itu, Pamudji (1994:20) mengemukakan bahwa “profesionalisme pegawai bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan pelayanan publik, karena masih ada alternatif lain, misalnya


(39)

dengan menciptakan system dan prosedur kerja yang efisien tetapi adanya pegawai yang profesional tidak dapat dihindari oleh pemerintah yang bertanggung jawab.

Prosedur bisa diterjemahkan sebagai tata cara yang berlaku dalam organisasi. Kedudukannya demikian penting sebab sah atau tidaknya perbuatan orang dalam organisasi ditentukan oleh tingkah lakunya berdasar prosedur. Prosedur bersifat mengatur perbuatan baik ke dalam (intern) maupun ke luar (ekstern), maka harus diketahui dan dipahami oleh orang yang berkepentingan, baik pegawai maupun pihak-pihak di luar organisasi.

2. Kepemimpinan

Dalam kaitannya dengan manajemen pelayanan yang berkualitas, Goetsch dan Davis (1994:192) memberikan definisi bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi. Sedangkan Gibson et all. (2001:364) memberikan definisi bahwa kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kompetisi individu-individu lainnya dalam suatu kelompok. Dari definisi tentang kepemimpinan di atas konsep dasarnya berkaitan dengan penerapannya dalam manajeman pelayanan yang berkualitas, yaitu membangkitkan motivasi atau semangat orang lain dengan jalan memberikan inspirasi atau mengilhami.

Perbaikan pelayanan publik di Indonesia sangat tergantung dengan peran pemimpin instansi pemerintah (top down approach). Organisasi-organisasi yang


(40)

memiliki pemimpin yang kredibel berintegritas tinggi dan memiliki visi masa depan dapat menjadi panutan dan innovator bagi reformasi pelayanan publik. Sementara itu, Joseph M. Juran (dalam Tjiptono, 2003:160) menyatakan bahwa kepemimpinan yang mengarah pada kualitas meliputi tiga fungsi manajerial yaitu perencanaan, pengendalian, dan perbaikan kualitas. Strategi kualitas perusahaan harus merupakan inisiatif dan komitmen dari manajemen puncak. Manajemen puncak harus memimpin perusahaan untuk meningkatkan kinerja kualitasnya. Tanpa adanya kepemimpinan dari manajemen puncak, maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap perusahaan.

Dalam perspektif manajemen kualitas pelayanan terpadu, kepemimpinan didasarkan pada filosofi bahwa perbaikan metode dan proses kerja secara berkesinambungan akan dapat memperbaiki kualitas. Kepemimpinan seperti itu, akan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut (Ross, 1994:34): (1). Visible,

committed, dan knowledgeable yaitu kepemimpinan yang baik mengembangkan

fokus pada aspek kualitas, melibatkan setiap orang dalam pendidikan dan pelatihan. Selain itu, juga mengembangkan hubungan rutin dengan para karyawan, pelanggan dan pemasok; (2). Semangat misionaris, yaitu pemimpin yang baik berusaha mempromosikan aspek kualitas di luar organisasi, baik melalui pemasok, distributor, maupun pelanggan; (3). Target yang agresif, yaitu kepemimpinan yang baik mengarah pada perbaikan yang bersifat incremental, tidak sekedar perbaikan proses, tetapi juga mengupayakan proses-proses yang berbeda; (4). Strong driver di mana


(41)

tujuan yang ingin dicapai dalam aktivitas perbaikan ditetapkan dengan jelas dalam ukuran kepuasan pelanggan dan kualitas; (5). Komunikasi nilai-nilai, di mana kepemimpinan yang baik melakukan perubahan budaya ke arah budaya kualitas efektif. Hal ini dilakukan dengan menyusun suatu system komunikasi yang jelas dan konsisten melalui kebijakan tertulis, misi, pedoman, dan pernyataan lainnya mengenai nilai-nilai kualitas; (6). Organisasi, yaitu di mana struktur yang dimiliki adalah struktur flat (flat structure) yang memungkinkan adanya wewenang yang lebih besar bagi tingkat yang lebih rendah. Setiap karyawan diberdayakan dan dilibatkan dalam tim-tim perbaikan antar departemen; (7). Kontak dengan pelanggan di mana para pelanggan memiliki akses untuk menghubungi manajer puncak dan para manejer senior perusahaan.

3. Kemampuan dan Keterampilan

Dalam bidang pelayanan yang menonjol dan paling cepat dirasakan oleh orang-orang yang menerima layanan adalah keterampilan pelaksananya. Mereka inilah yang membawa “bendera” terhadap kesan atas baik-buruknya layanan. Dengan keterampilan dan kemampuan yang memadai maka pelaksanaan tugas/pekerjaan dapat dilakukan dengan baik, cepat, dan memenuhi keinginan semua pihak, baik manajemen itu sendiri maupun masyarakat.

Salah satu unsur yang paling fundamental dari manajemen pelayanan yang berkualitas adalah pengembangan pegawai secara terus menerus melalui pendidikan dan pelatihan.


(42)

Silalahi menyatakan “dalam pekerjaan keterampilan dapat dipelajari dengan latihan, maka karyawan setengah terampil mempunyai kemungkinan besar dapat melakukan pekerjaan itu dengan sangat memuaskan setelah suatu masa latihan” (1987:41)

Filipo dalam Hasibuan mendefinisikan pendidikan dan pelatihan sebagai berikut: “pendidikan adalah berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh. Sedangkan pelatihan adalah suatu usaha peningkatan pengetahuan dan keahlian seorang karyawan untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu” (2002:69).

Pendidikan dan pelatihan memiliki tujuan yang sama yaitu pemahaman secara implicit. Melalui pemahaman, karyawan dimungkinkan untuk menjadi seorang innovator, pengambil inisiatif, serta menjadikannya efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaan.

4. Penghargaan dan Pengakuan

Penghargaan dan pengakuan merupakan aspek yang penting dalam implementasi strategi kualitas. Setiap karyawan yang berprestasi baik perlu diberi penghargaan dan prestasinya tersebut diakui. Dengan demikian dapat meningkatkan motivasi, moral kerja, rasa bangga dan rasa kepemilikan setiap orang dalam organisasi yang akhirnya dapat memberikan kontribusi yang besar bagi instansi dan pelanggan yang dilayani.


(43)

Untuk memberikan kepuasan kepada pegawai terhadap keberhasilan kinerja yang telah dicapai adalah dengan memberikan kompensasi. Menurut Mangkunegara (2004:84) bahwa kompensasi yang diberikan kepada pegawai sangat berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja, dan motivasi kerja serta hasil kerja. Riset mengenai prilaku individu dalam organisasi menunjukkan bahwa imbalan merupakan suatu faktor yang terpenting bagi orang. Karena yang terpenting bagi kebanyakan orang, maka masalah imbalan mengandung kekuatan mempengaruhi perilaku keanggotaan mereka dan prestasi mereka.

Menurut Kasim (1993:27) bahwa peningkatan prestasi kerja juga dipengaruhi oleh teori-teori motivasi yang menjurus kepada pemuasan kebutuhan dan faktor-faktor lain yang berhubungan. Hal ini mengasumsikan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang mampu memotivasi anggota-anggota organisasi melalui berbagai cara seperti pemenuhan kebutuhan mereka terhadap uang, status, keberhasilan, dan kondisi kerja. Sumberdaya manusia merupakan asset organisasi yang paling vital, sebagai pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir suatu produk/jasa. Salah satu konsep untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah pemberdayaan sumber daya manusia (empowerment).

Menurut Tjiptono (2002:128) pemberdayaan dapat diartikan sebagai pelibatan karyawan yang benar-benar berarti (signifikan) sedangkan menurut Robbins&Decenzo pemberdayaan adalah meningkatkan kewenangan dan kebebasan para pekerja untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, pemberdayaan tidak


(44)

hanya memiliki masukan, tetapi juga memperhatikan, mempertimbangkan, dan menindaklanjuti masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak.

2.4. Kepuasan Pengguna Jasa

Kepuasan pelanggan merupakan hasil yang dirasakan oleh pembeli yang mengalami kinerja sebuah perusahaan yang sesuai dengan harapannya. Pengguna jasa (pelanggan) cenderung merasa puas apabila harapan pelanggan terpenuhi, dan merasa amat senang apabila harapan mereka terlampaui. Pelanggan yang puas cenderung tetap loyal lebih lama, membeli lebih banyak, kurang peka terhadap perubahan harga, dan pembicaraannya menguntungkan perusahaan.

Menurut Yoeti (2003:36), kepuasan pelanggan banyak ditentukan oleh kualitas performa pelayanan di lapangan. Bila pelayanan (service) tidak sama sekali atau tidak sesuai dengan harapan (expectation) pelanggan, maka di mata pelanggan pelayanan yang diberikan dinilai jelek. Harapan pelanggan memiliki peranan yang besar sebagai standar perbandingan dalam evaluasi suatu kualitas maupun kepuasan. Menurut Zeithaml, et all (1990:37) faktor-faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan adalah: (1). Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth

communication), merupakan pernyataan (secara personal atau non personal) yang

disampaikan oleh orang lain selain organisasi (service provider) kepada pelanggan.

Word of mouth ini biasanya cepat diterima pelanggan karena menyampaikan adalah


(45)

media. Di samping word of mouth juga cepat diterima sebagai referensi karena pelanggan jasa biasanya sulit mengevaluasi jasa yang belum dibelinya atau belum dirasakan sendiri; (2). Keinginan Pribadi dan Pelanggan (personal needs), kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraannya sangat menentukan harapannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik, social, dan psikologis; (3). Pengalaman masa lalu (past experience), meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui pelanggan. Harapan pelanggan ini dari waktu ke waktu berkembang seiring dengan semakin banyaknya informasi (non experimental information) yang diterima pelanggan serta semakin bertambahnya pengalaman pelanggan. (4). Komunikasi External (external communication), pemberi layanan juga memainkan peranan penting dalam membentuk harapan pelanggan.


(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian survey, yaitu suatu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1985:1). Penelitian dilakukan terhadap masyarakat sebagai penerima layanan untuk mengukur kualitas pelayanan pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe serta. Untuk mengetahui faktor-faktor dalam memberikan pelayanan pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang dianalisis adalah data dari kuesioner yang diisi oleh masyarakat sebagai penerima layanan pada Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe. Kualitas layanan hanya dilihat berdasarkan persepsi masyarakat dan persepsi pegawai. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif karena data yang diperoleh akan diuraikan dengan menggunakan tabel tunggal dan beberapa tabel silang kemudian akan dideskripsikan.

3.2. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah masyarakat yang mengurus sesuatu jenis pelayanan pada Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe


(47)

dan pegawai pemerintah sebagai pemberi layanan pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe. Untuk menjaring pendapat pegawai dan masyarakat yang sesungguhnya terhadap kualitas pelayanan masyarakat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe menggunakan sampel. Objek yang akan diteliti hanya sebagian dari populasi, maka dalam penelitian ini digunakan sampel. Arikunto (1998:17) mengemukakan sample adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk menjaring pendapat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode sample judgement/purposive, berdasarkan pertimbangan, yaitu memilih anggota populasi yang diperhitungkan dapat memberikan informasi akurat sehubungan dengan tujuan penelitan, dalam hal ini pegawai bagian Bina Sosial yang berjumlah 23 orang.

Untuk menjaring pendapat masyarakat yang sesungguhnya terhadap kualitas pelayanan masyarakat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe menggunakan sampel aksidental, berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang bertemu secara kebetulan dengan peneliti, dalam hal ini masyarakat yang mengurus sesuatu layanan pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe. Dari data yang ada pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe jumlah pengguna layanan tercatat 5.712 orang. Karena lebih dari 1.000 orang boleh lebih kecil dari


(48)

30% (Neuman, 2003:232). ). Atas dasar itu, peneliti mengambil sampel penelitian sebesar 10%. Jika dihitung dari total populasi yaitu 5.712 x 1% diperoleh nilai 57,12 dibulatkan menjadi 57 orang. Responden yang dijadikan sampel sebanyak 57 (lima puluh tujuh) orang yaitu masyarakat yang mengurus sesuatu jenis pelayanan pada bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Survey

Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik survey dengan cara menyebarkan kuesioner yang berisi pertanyaan yang akan menjabarkan indikator variabel yang diteliti. Kuesioner yang dibuat adalah kuesioner tertutup, kuesioner jenis ini terdiri atas pertanyaan dengan sejumlah jawaban tertentu sebagai pilihan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengolahan hasil kuesioner, dan bagi responden sendiri tidak banyak memerlukan waktu yang banyak dan tidak perlu menulis buah pikirannya. Kuesioner ini disebarkan ke seluruh sampel penelitian.


(49)

Tabel 1.Jumlah Populasi dan Sampel

No. Jenis Jumlah

1. Staf Bagian Bina Sosial 23

2. Masyarakat pengguna layanan 57

Jumlah 80

Sumber: data primer (diolah)

2. Teknik Wawancara

Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan masyarakat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe.

3. Teknik dokumentasi atau studi kepustakaan

Teknik dokumentasi diperoleh dari data yang telah tersusun dalam bentuk dokumen, arsip yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan sedangkan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari literature yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan masyarakat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota Lhokseumawe.

3.4. Definisi Konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Faktor Organisasi adalah mengorganisir fungsi pelayanan baik dalam bentuk struktur maupun mekanismenya yang akan berperan dalam kualitas dan kelancaran pelayanan.


(50)

2. Faktor Kepemimpinan berkaitan dengan penerapan dalam manajemen pelayanan yang berkualitas, yaitu membangkitkan motivasi atau semangat orang lain dengan jalan memberikan inspirasi atau mengilhami.

3. Faktor Kemampuan dan Keterampilan berkaitan dengan tugas/pekerjaan dapat dilakukan dengan baik, cepat, dan memenuhi keinginan semua pihak, baik manajemen itu sendiri maupun masyarakat.

4. Faktor Penghargaan dan Pengakuan berkaitan dengan peningkatan motivasi, moral kerja, rasa bangga dan rasa kepemilikan setiap orang dalam organisasi yang akhirnya dapat memberikan kontribusi yang besar bagi instansi dan pelanggan yang dilayani.

3.5. Definisi Operaisonal

1. Faktor Organisasi:

a) Pembagian tugas/kerja berdasarkan pada kemampuan kerja masing-masing

b) Kejelasan pedoman kerja sebagai acuan pelaksanaan pekerjaan c) Tingkat kejelasan pembagian kerja

2. Faktor Kepemimpinan

a) Keterlibatan pimpinan dalam memberikan dukungan terhadap peningkatan kualitas pelayanan


(51)

b) Pimpinan mempunyai kemampuan dalam melakukan perbaikan dan mengupayakan inovasi baru.

3. Faktor Kemampuan dan Keterampilan

a) Pemberian kesempatan untuk mengembangkan kecakapan kerja, seperti diikutsertakan dalam program pelatihan dan pendidikan, melanjutkan studi, dan lain-lain.

b) Pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. c) Pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan keahlian

4. Faktor Penghargaan dan Pengakuan

a) Bila ada yang berjasa/berprestasi maka akan diberikan penghargaan baik moral maupun material

b) Adanya motivasi yang baik dalam melaksanakan pekerjaan

c) Pelibatan dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan tugas.

3.6. Teknik Analisa Data

3.6.1. Menghitung distribusi frekuensi dan prosentase

Data yang telah dikumpulkan melalui kuesioner penelitian kemudian akan dihitung berdasarkan frekuensi dan presentase tiap instrumen variabel. Skor jawaban responden terhadap pernyataan yang diajukan melalui kuesioner dihitung berdasarkan skala ordinal likert antara 1 sampai dengan 5. Skor tertinggi untuk tiap pertanyaan


(52)

adalah 1. Di mana untuk menginterpretasikan hasil skor tiap variabel dihitung secara internal dengan rumus interval sebagai berikut:

5

Skor tertinggi – Skor terendah Interval =

3.6.2 Menghitung korelasi serta pengujian korelasi dengan metode Spearman rho, yaitu:

1. Organisasi terhadap kualitas pelayanan (x1ö y)

2. Kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan (x2ö y)

3. Kemampuan dan keterampilan terhadap kualitas pelayanan (x3ö y)


(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Kota Lhokseumawe

4.1.1. Sejarah Singkat Lahirnya Kota Lhokseumawe

Asal kata Lhokseumawe adalah "Lhok" dan "Seumawe". Lhok artinya dalam teluk, palung laut dan Seumawe artinya air yang berputar-putar atau pusat dan mata air pada laut sepanjang lepas Pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keterangan lain juga menyebutkan nama Lhokseumawe berasal dari nama seorang Teungku Yaitu Teungku Lhokseumawe, Yang dimakamkan di Kampong Uteun Bayi, merupakan kampung tertua di Kecamatan Banda Sakti. Sebelum abad ke-XX negeri ini diperintah oleh Uleebalang Kutablang.

Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang Aceh terhadap penjajah Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai, Lhokseumawe menjadi daerah takluknya dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur Van Lhokseumawe dengan Zelf

Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe dan tunduk dibawah aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Controleur atau wedana serta

Asisten Residen atau Bupati.

Pada dasa warsa kedua abad XX itu, diantara seluruh daratan Aceh, salah satu pulau kecil luas sekitar 2 Km2 yang dipisahkan sungai Krueng Cunda diisi dengan bangunan-bangunan pemerintah umum, militer dan perhubungan kereta api oleh


(54)

pemerintah Belanda pulau kecil dengan desa-desa Kampung Keude Aceh, Kampong Jawa, Kampung Kuta Blang, Kampung Mon Geudung, Kampung Tumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteun Bayi dan Kampung Ujong Blang, yang keseluruhan baru berpenduduk 5.500 jiwa, secara jamak disebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-kantor lembaga pemerintah.

Masa pendudukan Jepang, Zelf Bestuurder Lhokseumawe tidak lagi dipegang Maharaja, tetapi mulai tahun 1942 sampai dengan 1946 dipegang putranya Teuku Baharuddin.

Sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk secara sistematik sampai ke kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder Van Cunda. Penduduk di daratan ini semakin ramai berdatangan dari daerah sekitamya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Loksukon, Blang Jruen, Nisam dan Cunda serta Pidie.

Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Nomor 7 tahun 1956, terbentuk daerah otonom. Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Utara, dimana salah satu Kabupaten diantaranya adalah Aceh Utara dengan Ibukotanya Lhokseumawe. Dengan wedananya M. Hasan dan Bupati Aceh Utara saat itu Tgk. A. Wahab Dahlawy. Kemudian pada tahun 1964 dengan keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor 24/G.A/I964 tanggal 30 November 1964, ditetapkan bahwa kemudian Banda


(55)

Sakti dalam Kecamatan Muara Dua, dijadikan Kecamatan tersendiri dengan nama Kecamatan Banda Sakti. Nama Banda Sakti diberikan oleh Kolonel Habib Muhammad Syarif Danrem Lilawangsa waktu itu. Camat Banda Sakti yang pertama adalah M. Jamil Insya beliau adalah pensiunan ABRl. Asisten wedana atau camat M. Jamil Insya mengakhiri masa bakti tahun 1966 dan mulai tahun 1967 Camat Banda Sakti dijabat Bupati Aceh Utara Teuku Ramli Angkasah.

Selanjutnya berturut-turut mulai tanggal 04 Agustus 1967 sampai saat ini Camat Banda Sakti adalah :

1. Said Umar Muhammad 8. GhazaIi A Gani, BA

2. Alibasyah HS 9. Drs. Mahyiddin AR

3. Drs. Ramli A. Haitami 10. Drs. Jakfar M. Adam

4. Drs. M. Su 'ud 11. Drs. Rachmatsyah

5. Dra. Nurhayati A Y 12. Drs. H. ZuIkifli Yusuf

6. Drs. Zakaria 13. Bukhari, S.Sos., M.Si

7. A. Haris, S.Sos., M.si

Pemerintah di Daerah, berpeluang peningkatan status Lhokseumawe menjadi kota Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Administratif. Dengan Nota Dinas Bupati Kepala Daerah TK.lI Aceh Utara Nomor 125/50/80 tanggal 12 Mei 1980, Drs. H. Mahyiddin AR ditunjuk sebagai Ketua Tim perencanaan Kota Lhokseumawe menjadi Kota Administratif dibawah arahan Bupati Aceh Utara Kolonel H. Ali Basyah.


(56)

Pada tanggal 14 Agustus 1986 dengan peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1986 Pembentukan Kota Administratif (Kotit) Lhokseumawe ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam, pada tanggal 31 Aguntus 1987 dengan Walikota Perdananya Bapak Drs. H. Mahyiddin AR yang dilantik oleh Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA.

Dengan peresmian dan pelantikan walikota secara dejuree dan defacto Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253.87 Km2 yang meliputi 101 Desa dan 6 Kelurahan yang tersebar di 5 (lima) Kecamatan, yaitu :

1. Kecamatan Banda Sakti 2. Kecamatan Muara Dua

3. Kecamatan Dewantara 4. Kecamatan Muara Batu

5. Kecamatan Blang Mangat.

Pada tanggal 31 Oktober 1992, Pejabat Walikota (Drs. Mahyiddin AR) meninggal dunia dan dilanjutkan oleh sekretaris Kotif sebagai pelaksana tugas H. Syuib Nursyah, SH. Kemudian pada tanggal 29 Juni 1994 jabatan Walikota definitif dijabat oleh Drs. Muhammad Usman dibawah Bupati Kepala Daerah TK.II Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE selanjutnya mulai tanggal 11 Juni 1996 dijabat oleh Drs. Rachmatsyah dibawah kepemimpinan Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE.

Sejak tahun 1988 Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE menggagas peningkatan status Kotif Lhokseumawe untuk menjadi Kotamadya, kemudian pada


(57)

tahun 2000 Bupati Aceh Utara Tarmizi A. Karim, merekomendasi peningkatan status itu bersama Pimpinan DPRD Aceh Utara yang diketuai H. Saifuddin Ilyas. Atas dukungan Gubernur Aceh mulai Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud pejabat Gubernur H. Ramli Ridwan, SH dan Gubernur Jr. H. Abdullah Puteh Msi serta penyampaian visi-misi Kota ke Departemen Dalam Negeri dan DPR-RI oleh Walikota Drs. H. Rachmatsyah, kemudian lahir UU Nomor 2 Tahun 2001, tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 juni 2001 yang di tandatangani Presiden RI H. Abdurrachman Wahid, yang wilayahnya mencakup 3 (tiga) kecamatan yaitu :

1. Kecamatan Banda Sakti 2. Kecamatan Muara Dua 3. Kecamatan Blang Mangat

Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2001 di Jakarta, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Hari Sabarno meresmikan Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe bersama 12 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, selanjutnya pada tangggal 02 November 2001 bertempat di Banda Aceh, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Utara Ir. H. Abdullah puteh melantik Drs. H. Rachmatsyah MM sebagai Pejabat Walikota Lhokseumawe Perdana yang sudah berakhir masa jabatannya pada akhir tahun 2004 dan yang menjabat sebagai Walikota sementara saat ini adalah Drs. Marzuki Mood. Amin, MM.

Pada tanggal 23 Desember 2001 Perangkat Pemko Lhokseumawe, meliputi Sekretariat Daerah, Bawasda, Bappeda, Dinas Pendapatan, Dinas Kesehatan, Dinas


(58)

Kimpraswil, Dinas PSDA dan Kelautan, Dinas P & K, Kantor Sanitasi Kebersihan dan Pertamanan Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, serta Kecamatan Blang Mangat, dibentuk dikukuhkan dan diisi jabatan strukturalnya, sehingga mulai tahun anggaran 2002 Daerah Otonom baru Kota Lhokseumawe telah ada dengan baik.

4.1.2. Letak Geografis Kota Lhoukseumawe

Kota Lhokseumawe menempati bagian tengah wilayah Kabupaten Aceh Utara, tepatnya pada posisi 04° 54' - 05° 18' Lintang Utara (LU) dan 96° 20' - 97° 21' Bujur Timur (BT). Secara geografis, Kota Lhokseumawe berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Syamtalira Bayu Kabupaten Aceh Utara.

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara.

Luas wilayah Kota Lhoseumawe ini mencapai 181,10 km2, terdiri dari 4 (Empat) kecamatan, yaitu kecamatan Banda Sakti, Muara Dua, Blang Mangat dan Muara Satu. Kecamatan Blang Mangat saat ini memiliki wilayah paling luas, yaitu


(59)

56,12 km2 (30,98 %), dari wilayah Kota Lhokseumawe, disusul Kecamatan Muara Dua 56,85 km2 (%) dan Muara satu sedangkan kecamatan Banda Sakti adalah wilayah yang terkecil, yaitu 1 1,28 km2 (6,22 %) dari luas wilayah Kota Lhokseumawe.

Luas wilayah Kota Lhokseumawe yang 18.108 Ha dimanfaatkan untuk berbagai keperluan atau kebutuhan masyarakat, yang sebagian besar adalah untuk kebutuhan permukiman, yaitu 8.491 Ha (46,90 %). Kebutuhan lahan yang menonjol adalah untuk usaha kebun campuran (4.590 Ha atau 25,35 %), disamping untuk kebutuhan persawahan seluas 1.679 Ha (9,27 %). Untuk kebutuhan perkebunan rakyat telah dimanfaatkan seluas 674 Ha (3,72 %), dan untuk lain-lainnya. Kendati demikian, terdapat seluas 948 Ha (5,24 %) yang masih berupa hutan belukar dan belum dimanfaatkan.

Wilayah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang meliputi 4 (empat) kecamatan yang terdiri dari 62 desa dan 6 kelurahan, adapun jumlah desa dan kelurahan pada setiap kecamatan adalah seperti terlihat pada tabel dibawah ini :

Tabel. 2. Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Jumlah Desa/Kelurahan No Kecamatan

Desa Kelurahan

1 Banda Sakti 13 5

2 Muara dua 17 -

3 Blang Mangat 22 -

4 Muara Satu 10 1

Jumlah 62 6


(60)

4.1.3. Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe

Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe hingga akhir tahun 2004, tidak kurang dari 152.091 jiwa, terdiri dari 74.519 laki-laki dan 77.572 perempuan. Dengan demikian, sex rasio penduduk kota ini 1,04 atau lebih banyak penduduk perempuan dibandingkan Jaki-laki. Konsentrasi penduduk lebih terpusat Kecamatan Banda Sakti. Penduduk di Kecamatan ini mencapai 19% (68.73 I) jiwa dari total penduduk yang Kota lokhseumawe. Sementara penduduk yang paling sedikit adalah di Kecamatan Blang Mangat yaitu hanya 17.857 jiwa (11,74%) sedangkan di kecamatan muara Dua dan Muara Satu penduduknya adalah 65.503 jiwa (keadaan tahun 2004).

Tabel 3. Jumlah Penduduk dan Konsentrasi Penduduk Per Kecamatan dalam Kota Lhokseumawe

No. Kecamatan Jumlah Penduduk Persen (%) Jumlah KK

1 Banda Sakti 78.319 49,78 15.839

2 Muara dua 65.249 41,47 13.354

3 Blang Mangat 13.770 8,75 3.313

Jumlah 157.338 100,00 32.506

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe, 2007.

4.1.4. Lembaga Pendidikan dan Sarana Prasarana Kota Lhokseumawe

Lembaga pendidikan di Kota Lhokseumawe yang tersebar di 4 (empat) kecamatan terdiri dari; TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs, SLTA/MA, Perguruan Tinggi, Akademi, Pondok Pasantren, Balai Pengajian dan kursus, jumlah lembaga pendidikan tersebut secara terinci dapat dilihat pada tabel :


(61)

Tabel. 4. Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Lhokseumawe Jumlah Lembaga (Unit)

No. Jenis Pendidikan

Negeri Swasta Jumlah

1 TK - 22 22

2 RA - 2 2

3 SD - 6 60

4 MI 5 1 6

5 SLTP 10 1 11

6 MTS 5 2 7

7 SMU 6 2 8

8 SMK 7 1 8

9 MA 1 3 4

10 Perguruan Tinggi 2 2 4

11 Akademi 1 4 5

12 Pondok Pesantren - 47 47

13 Balai Pengajian - 486 486

14 Kursus - 10 10

Sumber: BPS Lhokseumawe, 2007

Jumlah prasarana kesehatan yang tersedia di Kota Lhokseumawe terdiri dari ; 4 (empat) unit puskesmas induk, 9 (sembilan) unit puskesmas pembantu dan 3 (tiga) unit puskesmas keliling. Sementara untuk mendukung kelancaran transportasi darat wilayah Kota Lhokseumawe pada saat ini telah tersedia jalan dan jembatan yang baik, dengan keadaan sebagai berikut :

Tabel 5. Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Panjang (KM)

No Jenis Jalan

Aspal Homix Batu Tanah Jumlah

1 Jalan Negara 32,70 6,00 - 38

2 Jalan Propinsi 4,70 - - 4

3 Jalan Kabupaten 80,20 - 6,70 86

Jumlah 117,60 6,00 6,70 130,30


(62)

Tabel 6. Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Panjang (KM)

No Jenis Jalan

Beton Baja Kayu Jumlah

1 Jbt Negara 79 - - 79

2 Jbt Propinsi 60 6,00 - 120

3 Jbt Kabupaten 68 - - 68

4 Jbt Desa 55 - 6,70 61

Jumlah 263,15 60,00 6,70 329,85

Sumber: BPS Lhokseumawe, 2007.

Dari gambaran umum Kota Lhokseumawe di atas dapat dilihat berbagai keadaan dan kondisi Kota Lhokseumawe secara umum, dari letak geografis hingga pada sarana dan prasarana Kota Lhokseumawe. Namun dengan terjadinya gempa bumi yang kemudian disusul dengan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, membuat kondisi Kota Lhokseumawe sebahagian mengalami kerusakan/kehancuran, seperti sarana dan prasarana kota Lhokseumawe yang mencakup, infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, perumahan penduduk dan lain-lainnya.

4.2. Visi dan Misi Pemerintah Kota Lhoukseumawe 4.2.1. Visi

Bersama rakyat kita membangun dan mewujudkan Kota Lhokseumawe yang Islami, Makmur, Sejahtera dan "Beradat" (Bersih, Aman, Damai dan Tertib).

4.2.2. Misi

1. Mengimplementasikan kebutuhan dasar masyarakat demi tercapainya


(63)

2. Mewujudkan pengembangan sektor-sektor ekonomi kerakyatan meliputi pertanian kelautan, perdagangan dan jasa.

3. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana sebagai penggerak

pembangunan.

4. Menciptakan nuansa Islami dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan berkarya.

5. Menjadikan atau merubah Kota Lhokseumawe sebagai Kota tujuan wisata yang Islami.

4.3. Profile Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe 4.3.1. Struktur Organisasi

Dalam Struktur Organisasi Pemerintah Kota Lhokseumawe Bagian Bina Sosial merupakan salah satu bagian dalam lingkup Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe. Hal ini di dasarkan pada Keputusan Walikota Nomor 27 Tahun 2002 tentang perubahan atas Keputusan Walikota sebelumnya Nomor 2 Tahun 2001 "Tentang Struktur Organisasi dan Tatakerja Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe".

Bagian Bina Sosial merupakan salah satu unit kerja pada Kantor Sekretariat Kota Lhokseumawe yang bertugas membantu walikota dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang membidangi masalah sosial yang mempunyai tugas untuk melayani dan memberikan pelayanan pada masyarakat. Adapun Pelayanan yang diberikan pada bagian Bina Sosial adalah sebagai berikut :


(64)

a. Memberikan bantuan untuk biaya rehap rumah kaum dhuafa.

b. Memberikan bantuan beasiswa untuk Mahasiswa yang kurang mampu

c. Memberikan bantuan honor/intensif untuk Guru Pesantren dan Balai Pengajian. (dipindahkan ke Dinas Syari'at Islam)

d. Memberikan bantuan Dana untuk Biaya Pembangunan fisik Pesantren dan Balai Pengajian.

e. Memberikan bantuan honor/intensif kepada Imam Mesjid dan meunasah, Bilal Mesjid dan Bilal meunasah. (dipindahkan ke Dinas Syari'at Islam)

f. Mengeluarkan Surat Rekomendasi untuk Pendirian Yayasan Yatim Piatu g. Mengeluarkan Surat Rekomendasi untuk Berobat ke rumah sakit bagi

masyarakat yang kurang mampu.

h. Memberikan bantuan Biaya untuk menanggulangi Korban Konflik.

Memberikan bantuan Biaya untuk kegiatan Olah raga.

i. Dan memberikan bantuan dana untuk segala kegiatan Kesejahteraan Sosial. Di samping itu Bagian Bina Sosial mempunyai peranan dalam memimpin. membina, dan mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan bagian yang merupakan sebagian dari tugas Pemerintah Daerah dalam bidang Kesejahteraan Sosial Masyarakat. Bagian Bina Sosial dikepalai oleh satu orang Kepala Bagian yang dibantu oleh tiga orang Kepala Sub. Bagian yang terdiri dari :

a. Kepala Sub. Bagian Pengembangan Agama Islam b. Kepala Sub. Bagian Pemuda dan Olah Raga


(1)

Dengan ketentuan apabila taraf nyata atau probabilitas atau nilai sig ≤ 0,05 maka Ho ditolak, jika taraf nyata atau probabilitas atau nilai sig > 0,05 maka Ho diterima.

Dari signifikansi terlihat bahwa pada angka sig (2 tailed) adalah 0,010 ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Artinya, terdapat hubungan linear nyata/signifikan pada α = 0,005 antara faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap kualitas pelayanan. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap kualitas pelayanan didapat +0,527. Dengan demikian arah korelasi positif, atau semakin besar perbaikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan maka kualitas pelayanan cenderung meningkat. Besar korelasi tersebut apabila dikonsultasikan pada pedoman interpretasi koefisien korelasi, berarti penghargaan dan pengakuan berkorelasi sedang terhadap kualitas pelayanan. Menurut Moenir (2000:123) pelayanan umum kepada masyarakat akan dapat terlaksana dengan baik dan memuaskan apabila didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan.


(2)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Penelitian analisis kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Kajian utama dalam penelitian ini adalah menitikberatkan kepada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe. Dalam menentukan hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat dengan kualitas pelayanan dilakukan analisis distribusi frekuensi dan analisis spearman’s rho. Berdasarkan uraian dan hasil analisis distribusi frekuensi serta hasil analisis korelasi spearman’s rho disimpulkan sebagai berikut:

1. Diperoleh tingkat hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan sebagai berikut: organisasi, kemampuan dan keterampilan, penghargaan dan pengakuan, kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan. Dari kesemua faktor yang berhubungan tersebut faktor kemampuan dan keterampilan memiliki tingkat signifikansi yang sangat nyata atau sangat signifikan terhadap kualitas pelayanan masyarakat.

2. Perbaikan dari faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan terutama peningkatan dan penyempurnaan pada aspek: kemampuan dan keterampilan,


(3)

kepemimpinan, penghargaan dan pengakuan, serta faktor organisasi akan secara linear cenderung menaikkan kualitas pelayanan masyarakat.

3. Faktor-faktor yang menjadi prioritas utama dan harus dilaksanakan sesuai dengan persepsi masyarakat yaitu kesopanan aparat bagian bina sosial dalam melaksanakan kegiatan pelayanan terhadap masyarakat, melakukan komunikasi yang efektif dengan masyarakat pengguna layanan, ketepatan waktu penyelesaian layanan, dan sarana dan prasarana yang mendukung.

5.2. Saran

Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial, disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu ditingkatkan kemampuan dan keterampilan pegawai bagian bina sosial dengan cara: pemberian kesempatan untuk mengembangkan kecakapan kerja seperti diikutsertakan dalam program pelatihan dan pendidikan, kursus singkat, melanjutkan studi, dan lain sebagainya. Agar pekerjaan yang diemban dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat dan pekerjaan tersebut dikerjakan sesuai dengan keahliannya.

2. Dari harapan masyarakat pengguna layanan hendaknya ditingkatkan kesopanan dan kepercayaan terhadap pegawai dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Terutama dalam hal:


(4)

a. Agar lebih memperhatikan waktu dalam proses pelayanan kepada masyarakat. b. Kiranya dapat ditanamkan sikap keikhlasan, kesungguhan, dan disiplin

kepada pegawai bagian bina sosial dalam menjalankan tugas sebagai pelayan public untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

c. hendaknya staf diberikan kesempatan yang lebih besar untuk dapat mengembangkan kecakapan kerja dalam mendukung pelaksanaan pelayanan masyarakat.

d. peningkatan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan kerja.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 1992, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rajawali Press

Feigenbaum, Armand V, 1991, Total Quality Control, Third Edition, Singapore: Mc Graw Hill Book.

Gaspersz, Vincent, (eds. Indonesia), 1997, Manajemen Kualitas: Penerapan Konsep-Konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Goetsch, D.L. and S. Davis, 1994, Introduction to Total Quality: Quality, Productiity, Competitiveness, Englewood, Cliffs, N.J.: Prentice Hall International, Inc. Hasibuan, Malayu, S.P., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT.

Gunung.

Kotler, Philip, 1994, Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control, 8th ed Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall International, Inc. ______, dan Gary Amstrong, Dasar-dasar Pemasaran, Edisi Bahasa Indonesia dari:

Principles of Marketing 7e, alih bahasa oleh Alexander Sindoro, 1998, Jakarta, Prenhallindo.

Lovelock, Christoper, 1994, Product Plus, How Product and Service Competitive Advantage, New York: Graw Hill, Inc.

Mangkunegara, Prabu, AA (1998), Prilaku Konsumen, Bandung: Eresco.

Moenir, H.A.S, 2002, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta, BUmi Aksara.

Nirwana, SK., Sitepu, 1994, Analisis Korelasi, Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistik, UNPAD Bandung.

Pamudji, S., 1994, Profesionalisme Pegawai Negara dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Publik, Widya Praja, IIP Depdagri. Proyek Kerjasama Indonesia-Institute for Civil Society (INCIS) Partnership for Government Reform Indonesia, 2005, Defisit Pelayanan Publik, Survey Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik di Jakarta. INCIS.


(6)

Ross, JE, 1994, Total Quality Management: Text Cases and Readings, 2nd ed. London: Kogan Page Limited.

Schiffman, Leon G, Kanuk, 1994, Cunsumer Behavior, Fifth Edition, New York, Prentice Hall.

Singarimbun, Masri, dan Sofyan Effendi, 1985, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES.

Skelcher, Chris, 1992, Managing for Service Quality, London: Longman Group, U.K.Lpd.

Tjiptono, Fandy, 2002, Manajemen Jasa, Yogyakarta: Penerbit Andi.

______, 2002, Prinsip-Prinsip Total Quality Service, Yogyakarta: Penerbit Andi. ______, Anastasia, 2003, Total Quality Management, Yogyakarta: Penerbit Andi. Triguno, 1997, Budaya Kerja Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untik

Meningkatkan Produktivitas Kerja, Jakarta, PT. Golden Terayon Press.

Yamit, Zulian, 1996, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi Pertama, Yogyakarta: Ekonisia.

Yoeti, Oka, A., 2003, Customer Service Cara Efektif Memuaskan Pelanggan, Jakarta-Pradnya Paramita.

Zeithaml, Valerie A., Parasuraman A., Berry Leonard L., 1990, Delivering Quality Service: Balancing Costumer Perceptions and Expectation, New York, The Free Press A Division of Macmillan, Inc.

Jurnal-Jurnal

Kasim, Azhar, Etika dalam Administrasi Publik: Salah Satu Strategi Utama untuk Memerangi KKN, Jurnal Bisnis dan Birokrasi, FISIP UI, Nomor. 02/Vol.X/Mei/2002, Jakarta.