Peran Pemerintah Daerah Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Pasca Tsunami Di Kecamatan Baitussalam Tahun 2008

(1)

PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN

MANGROVE PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN

BAITUSSALAM TAHUN 2008

TESIS

Oleh

BAHAGIA

067004005/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN

MANGROVE PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN

BAITUSSALAM TAHUN 2008

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BAHAGIA

067004005/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN MANGROVE PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN BAITUSSALAM TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Bahagia Nomor Pokok : 067004005

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc) Ketua

(Dr. Delvian, SP, M.Si) Anggota

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 14 Oktober 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc Anggota : 1. Dr. Delvian, SP, M.Si

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si 3. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove pascatsunami di Kecamatan Baitussalam. Penelitian dilakukan melalui perangkat kuisioner dan observasi lapangan.

Diperoleh data masyarakat pada Kecamatan Baitusalam, bahwa peranan pemerintah pada program rehabilitasi hutan mangrove sebagai upaya penanggulangan bencana alam gempa dan tsunami yang lebih besar didukung oleh lembaga donor yang mengalokasikan dana di wilayah penelitian. Partisipasi masyarakat pada Kecamatan Baitussalam dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami sangat tinggi dengan adanya trauma mendalam pada bencana alam gempa dan tsunami yang menimpa wilayah penelitian.

Dari perhitungan analisis regresi, adanya hubungan sosial ekonomi dan pemahaman terhadap partisipasi masyarakat yang signifikan. Perolehan nilai R2 sebesar 0.34, artinya korelasi kedua variabel (sosio ekonomi dan pemahaman) memiliki korelasi yang rendah terhadap besarnya partisipasi masyarakat. Hal ini mengisyaratkan bahwa besarnya tingkat partisipasi masyarakat untuk program rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam disebabkan oleh kebutuhan yang mendasar terhadap penanggulangan kerusakan hutan mangrove akibat bencana alam gempa dan tsunami.

Kata Kunci: Peran Pemerintah, Partisipasi Masyarakat, Rehabilitasi Hutan Mangrove, Pasca Tsunami.


(6)

ABSTRACT

This research is intented to know the region of government act and the participation of society in rehabilitation mangrove forest pasca tsunami at Baitussalam Subdistrict. Research is done by set of quistioner and field of observation.

Society data is gotten at Baitusalam Subdistrict the government act at the rehabilitation mangrove forest program as prevention effort of earthquake disaster and tsunami is more carried on by the donor institute which allocates the fund in research area. The society participation at Baitussalam Subdistrict in doing the activity of rehabilitation mangrove forest pasca tsunami is high with deeply traumatic at the earthquake disaster and tsunami with befell in research area.

From the analisis regression has relationship social economic and understanding to society participation which significant. The value gotten R2 = 0.34, its means the second correlation variable (sosio economy and understanding) have a low correlation to the big of society participation. In the case to sign the higher level of society participation is caused the need of basic as the prevention effort of earthquake and tsunami.

Keywords: The Government Act, Participation of Society, Rehabilitation of Mangrove Forest Rehabilitation, Pasca Tsunami.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar sebagai wilayah pesisir yang telah dilaksanakannya program rehabilitasi hutan mangrove.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Program S2 PSL yang membimbing dan memberikan motivasi selama penulis menyelesaikan perkuliahan.

2. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan dan penyempurnaan tesis.

3. Dr. Delvian, SP, M.Si, selaku Pembimbing Kedua yang membimbing penulis dalam penyempurnaan tesis.

4. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Pembimbing Ketiga yang membimbing penulis dalam penyempurnaan tesis dan selalu memberikan motivasi untuk penyelesaian perkuliahan.

5. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku Dosen Penguji yang memberikan masukan kepada penulis untuk perbaikan tesis dan selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian perkuliahan.


(8)

6. Prof. Dr. Ramli, MS, selaku Dosen Penguji yang memberikan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan tesis.

7. Orangtuaku Alm. Idris dan Ibunda Almh. Maimunnah yang telah membimbing dan membesarkan penulis.

8. Mertuaku Alm. Abdurrahman dan Almh Halimah yang telah memberikan do’a yang tulus kepada penulis.

9. Istriku tercinta Nurfaridah, SP serta ananda tersayang Arinal Rifki, Arissa Sabilla, Arreza Giffari dan Adinda Sabrina yang dengan sabar memberi dorongan dan doa yang dipanjatkan kehadirat Allah SWT serta mendampingi selama pendidikan demi keberhasilan penulis.

10.Kakanda Darma, Rohanna, Amir S. Sos, Jamilah, Lukman, SE serta ipar dan keponakan-keponakan yang telah mendorong dan mendoakan penulis dalam penyelesaian studi.

11.Drh. Asnawi M. Yusuf, sebagai Ketua STPP NAD yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana USU. 12.Kepala Dinas Kehutanan Tk. II Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

13.Camat Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 14.Kepala Desa se Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

15.Ketua kelompok tani mangrove di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


(9)

16.Rekan-rekan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan angkatan 2006.

Medan, Oktober 2009

Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

BAHAGIA, lahir di Juli Bireun, pada tanggal 8 Januari 1966 anak ke 6 (enam) dari 6 (enam) bersaudara, putra dari Alm Idris dan Almh Maimunnah. Pada tahun 1996 Penulis menikah dengan Nurfaridah, SP dan dikaruniai 4 (empat) orang anak yaitu 2 orang putra dan 2 orang putri yang bernama Arinal Rifki, Arissa Sabilla, Arreza Giffari dan Adinda Sabrina, saat ini bertempat tinggal di Kompleks STPP Aceh Jl. Banda Aceh – Medan KM &70 Saree Aceh Besar.

Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Negeri tamat Juli tahun 1980, tahun 1984 tamat SMP Juli, tahun 1987 tamat SMA Negeri 1 Bireun. Penulis menamatkan studi di Perguruan Tinggi UNIMA Fakultas Pertanian pada tahun 1995 dan tahun 2006 mengikuti S-2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Universitas Sumatera Utara.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1.Manfaat Umum ... 5

1.4.2.Manfaat Khusus ... 5

1.5 Keaslian Penelitian ... 6

1.6 Kerangka Berpikir ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Peran Pemerintah Daerah... 11

2.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat ... 13

2.2.1. Pentingnya Partisipasi ... 16

2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ... 17

2.3. Hutan Mangrove ... 19

2.3.1. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove ... 22

2.3.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 23

2.4. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Hutan Mangrove di Aceh ... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 28

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.2. Populasi dan Sampel ... 28

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4. Instrumen Penelitian ... 32

3.5. Definisi Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 33


(12)

BAB IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN... 36

4.1. Kondisi Geografis ... 36

4.2. Penduduk ... 38

4.3. Penggunaan Lahan ... 41

4.4. Pendidikan ... 42

4.5. Sarana Kesehatan ... 43

4.6. Keadaan Iklim ... 44

4.7. Hidrologi ... 46

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 47

5.1. Hutan Mangrove ... 47

5.1.1. Kondisi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam . 47 5.1.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Baitussalam 49 5.2. Peran Pemerintah dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 50

5.2.1. Peran Pemerintah Sebagai Fasilitator Kepada NGO .... 51

5.2.2. Peran Pemerintah dalam Pemetaan Lokasi Penanaman 53 5.2.3. Peran Pemerintah dalam Pendanaan ... 54

5.2.4. Peran Pemerintah dalam Penyuluhan ... 59

5.2.5. Peran Pemerintah dalam Kegiatan Monitoring, Control dan Evaluation ... 61

5.3. Karakteristik Responden Penelitian ... 64

5.3.1. Data Pribadi Responden ... 64

5.3.2. Sosio Ekonomi ... 66

5.3.3. Pemahaman Responden terhadap Rehabilitasi Hutan Mangrove ... ... 73

5.3.4. Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 79

5.5. Evaluasi Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Baitussalam ... 98

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 106

6.1. Kesimpulan ... 106

6.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Penelitian Terdahulu ... 6

2.1. Kecamatan-kecamatan yang Telah Dilakukan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kabupaten Aceh Besar ... 27

3.1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi ... 29

3.2. Jumlah Sampel Penelitian ... 31

3.3. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase ... 35

4.1. Luas Desa Dirinci Menurut Mukim di Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 36

4.2. Geografis Desa/Kelurahan dan Tinggi di Atas Permukaan Laut Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 37

4.3. Jumlah Penduduk dan Rata-Rata Penduduk Per Rumah Tangga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 38

4.4. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa Berdasarkan Luas Wilayah Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 39

4.5. Perkembangan Penduduk Dirinci Menurut Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2004-2007 ... 40

4.6. Jenis Penggunaan Lahan ... 41

4.7. Jumlah Keluarga Menurut Status Pendidikan Kepala Keluarga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 42

4.8. Jumlah Sarana Kesehatan di Masing-Masing Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 43

4.9. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Kecamatan Baitussalam ... 44

4.10. Rata-Rata Kecepatan Angin di Wilayah Pesisir Kecamatan Baitussalam ... 45

5.1. Lembaga Pendukung Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam ... 52

5.2. Distribusi Responden Menurut Umur ... 65

5.3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 66

5.4. Distribusi Responden Menurut Pendidikan ... 67


(14)

5.6. Distribusi Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga ... 69 5.7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 71 5.8. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendapatan ... 72 5.9. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Fungsi dan Manfaat

Hutan Mangrove ... 73 5.10. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Kerusakan

Ekosistem Hutan Mangrove ... 74 5.11. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Penyebab Terjadinya

Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove ... 75 5.12. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Kerusakan

Ekosistem Hutan Mangrove Sebelum Tsunami ... 76 5.13. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Program

Rehabilitasi Hutan Mangrove yang Dicanangkan Pemerintah ... 76 5.14. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Daerah

Pelaksanakan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 77 5.15. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Pelaksanaan Survei

Lokasi ... 78 5.16. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Lembaga Non

Pemerintah yang Membantu Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove 79 5.17. Distribusi Responden Menurut Aktivitas yang Pernah Dilakukan

di Wilayah Penelitian ... 80 5.18. Distribusi Responden Menurut Dasar Kegiatan Dilakukan ... 80 5.19. Distribusi Responden Menurut Harapan pada Kondisi Pengelolaan

Kawasan Hutan Mangrove ... 82 5.20. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 83 5.21. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan dalam Penyusunan

Rancangan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 84 5.22. Distribusi Responden Menurut Peranan Penyusunan Rancangan

Anggaran Biaya Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 85 5.23. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan Survey

Lokasi Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 86 5.24. Distribusi Responden Menurut Peranan Keterlibatan dalam


(15)

5.25. Distribusi Responden Menurut Peranan Pelepasan Kepemilikan

Lahan Menjadi Lokasi Penanaman Mangrove ... 88 5.26. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Memberikan

Dukungan terhadap LSM atau Lembaga Donor pada Kegiatan

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 89 5.27. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan

Penyuluhan dan Sosialisasi Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi

Hutan Mangrove ... 90 5.28. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan Sosial dan

Gotong Royong Menunjang Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi

Hutan Mangrove ... 91 5.29. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Menanam Mangrove

atas Swadaya Sendiri ... 92 5.30. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan

Monitoring, Control dan Evaluation pada Pelaksanaan Program

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 93 5.31. Distribusi Responden Menurut Pelaksanaan Musyawarah

Berdasarkan Hasil Kegiatan Monitoring, Control dan Evaluation .. 94 5.32. Distribusi Responden Menurut Peranan Kegiatan Pemeliharaan

Hutan Mangrove yang Direhabilitasi ... 96 5.33. Distribusi Responden Menurut Respon terhadap Pemeliharaan

Hutan Mangrove di Daerah yang Sudah Direhabilitasi ... 97 5.34. Ringkasan Hasil Perhitungan Korelasi Antarvariabel ... 103 5.35. Ringkasan Hasil Perhitungan Korelasi Analisis Regresi Prediksi

Partisipasi Masyarakat dari Sosial Ekonomi dan Pemahaman

Pelaksanaan Rehabilitasi Mangrove ... 104 5.36. Tingkat Partisipasi Masyarakat ... 105


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1.1. Kerangka Berpikir ... 10 2.1. Enam Tipe Komunitas Mangrove ... 20


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Wawancara untuk Pemerintah Daerah ... 115

2. Kuisioner untuk Masyarakat ... 117

3. Rekapitulasi Hasil Angket Penelitian ... 124

4. Peta Lokasi Penelitian ... 128

5. Foto Lokasi Penelitian ... 130


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan mangrove juga dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Anonimous, 2005).

Luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu, berdasarkan kondisi diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44.73 %) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87.50 %) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002).

Kerusakan hutan mangrove di antaranya disebabkan oleh tekanan dan pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, akibatnya hutan mangrove dengan cepat menipis dan rusak. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan


(19)

eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perikanan yang memberikan kontribusi terbesar bagi kerusakan hutan mangrove dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

Menurut Kusmana (1994), ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu: (1) Pencemaran, yang meliputi pencemaran minyak dan pencemaran logam berat, (2) Konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan, meliputi: budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik, produksi garam, perkotaan, pertambangan dan penggalian pasir, (3) Penebangan yang berlebihan.

Aksesibilitas ke lahan mangrove yang mudah dengan tersedianya prasarana dan sarana transportasi telah meningkatkan tekanan terhadap konversi hutan mangrove. Rencana pengelolaan yang tidak jelas seperti kebijakan pengelolaan yang tumpang tindih dan konflik kepentingan antar instansi sering membuat hutan mangrove terbengkalai. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang tidak jelas (sanksinya) juga turut mempercepat kerusakan hutan mangrove. Peraturan silvikultur pohon induk atau tebang jalur, dalam prakteknya dilakukan tebang habis dan kewajiban penanaman setelah penebangan kebanyakan tidak dilaksanakan, merupakan sebagian dari ketiadaan penegakan hukum tersebut. Kurangnya kesadaran pada masyarakat (lokal), pengelola dan pembuat kebijakan dalam menjalankan perannya juga merupakan penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove (Anonimous, 2005).


(20)

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, gelombang Tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 dengan ketinggian rata-rata 10 s/d 15 meter telah menghancurkan hutan mangrove dalam hitungan detik. Kerusakan hutan mangrove karena hantaman gelombang Tsunami terjadi hampir di seluruh pesisir barat dan sebagian pesisir timur Aceh (Wibisono, et al, 2006).

Berdasarkan kondisi hutan mangrove tersebut, perlu dilaksanakan suatu upaya rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah Daerah yang didukung dengan partisipasi masyarakat. Keberhasilan maupun kegagalan dalam rehabilitasi hutan mangrove tidak terlepas dari peran Pemerintah khususnya di daerah melalui instansi yang berwenang, lebih dominan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove.

Partisipasi masyarakat di sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya bagi kelestarian hutan mangrove. Partisipasi tersebut dapat secara individual maupun kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997) Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik terhadap perencanaan maupun tahap-tahap perencanaan dan penilaian.


(21)

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam sudah pernah dilaksanakan pada tahun 2005 setelah terjadi musibah Tsunami, banyak lembaga Pemerintah dan lembaga swasta (NGO/LSM) yang melaksanakan kegiatan tersebut. Salah satunya dilaksanakan di Kecamatan Baitussalam dengan luas 100 ha, kegiatan yang dilakukan berupa penanaman dan pengayaan di dalam kawasan pesisir dengan anakan bakau (Rhizophora spp.) setelah penanaman, dilanjutkan dengan tahap pemeliharaan. Demi keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove tersebut, maka peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat sangat diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan analisis terhadap peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove di sepanjang pesisir Kecamatan Baitussalam yang kondisinya rusak parah akibat hantaman gelombang Tsunami. Sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman bagi Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya mewujudkan tema Moratorium Logging di Aceh yaitu “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peran Pemerintah Daerah dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam?


(22)

2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui peran Pemerintah Daerah dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam.

2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Umum

Sebagai bahan masukan dan bahan kajian dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang rehabilitasi hutan mangrove.

1.4.2. Manfaat Khusus

i. Sebagai bahan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah, dan instansi terkait dalam mengambil kebijakan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam khususnya dan Indonesia pada umumnya.

ii. Memberi informasi dan wawasan pada masyarakat akan pentingnya eksistensi hutan mangrove dalam mengurangi dampak gelombang Tsunami.


(23)

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “Peran Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam Tahun 2008” belum pernah diteliti sehingga peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai perbandingan, peneliti mengutarakan beberapa penelitian yang berhubungan dengan peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove, terdapat pada Tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu

No Nama, Tahun, Judul Penelitian

Tujuan & Metode Penelitian Hasil yang Diperoleh

1. Martha Amba, 1998, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove

Tujuan Penelitian adalah 1. Mengetahui tingkat

partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove. 3. Hubungan antara

karakteristik individu (faktor internal) dengan tingkat partisipasi. 4. Hubungan antara

karakteristik di luar individu (faktor eksternal) dengan tingkat partisipasi. Metode yang digunakan adalah metode survei yang bersifat diskriptif

korelasional.

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam

pelestarian hutan mangrove tergolong dalam kategori tinggi.

2. Faktor internal mempunyai hubungan yang nyata dan sangat nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove. 3. Faktor eksternal mempunyai hubungan nyata dan sangat nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove.


(24)

No Nama, Tahun, Judul Penelitian

Tujuan & Metode Penelitian Hasil yang Diperoleh

2. Amrani S. Suhaeb, 2000, Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove di Teluk Kendari

Tujuan penelitiannya adalah 1. Mengidentifikasi

penyebab dari perambahan kawasan jalur hijau serta mengkaji persoalan/aspek dalam pengelolaan kawasan jalur hijau tersebut.

2. Mengidentifikasi berbagai kebijakan lembaga yang ada dalam pengelolaan hutan mangrove serta menganalisis skenario model pemanfaatan optimal yang mungkin dapat diterapkan pada masa depan dalam pengelolaan hutan mangrove di kawasan pesisir Teluk Kendari. 3. Menentukan kebijakan

yang dianggap penting dan strategis untuk

mendukung upaya pengelolaan yang optimal. 4. Menganalisis fungsi dan

kewenangan dari setiap lembaga yang terkait. Metode yang digunakan adalah analisa spasial, perencanaan ke depan, perencanaan balik, analisis konflik dan analisis fungsi dan wewenang.

1. Telah terjadi perubahan penggunaan lahan pada kawasan konservasi jalur hijau sebesar 83,8%. 2. Kegiatan pembukaan lahan

secara drastis diawali oleh kebijakan Pemerintah yang membangun infrastruktur jalan membelah kawasan tersebut sebagai jalan pintas penghubung bagi kota. 3. Penyimpangan penggunaan

peruntukan lahan telah berlangsung secara sistematis diakibatkan lemahnya fungsi koordinasi bersama dengan lemahnya penegakan hukum.

3. Su Ritohardoyo, 2002, Laporan Penelitian Partisipasi Masyarakat dalam Penghijauan

Tujuan laporan penelitian adalah mengkaji perbedaan antara kelompok dan antara wilayah mengenai:

1. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pelaksanaan dan manfaat penghijauan.

2. Tingkat persepsi masyarakat terhadap penghijauan dan program penghijauan.

3. Tingkat peran serta

1. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pelaksanaan dan manfaat penghijauan termasuk dalam kategori tinggi.

2. Tingkat persepsi masyarakat terhadap penghijauan dan program penghijauan termasuk kategori cukup tinggi.

3. Tingkat partisipasi masyarakat dalam penghijauan termasuk


(25)

No Nama, Tahun, Judul Penelitian

Tujuan & Metode Penelitian Hasil yang Diperoleh

masyarakat dalam penghijauan. 4. Pengaruh tingkat

pengetahuan dan tingkat persepsi masyarakat terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam penghijauan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif kuantitatif dengan tabulasi silang dan uji statistik.

kategori tinggi. 4. Tingkat partisipasi

masyarakat dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat.

4. Fitriadi, 2004, Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove (Kasus di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat)

Tujuan penelitian adalah 1. Mengetahui peran

Pemerintah dalam rehabilitasi hutan mangrove Tanjung Bila. 2. Mengetahui partisipasi

masyarakat dan faktor-faktor yang

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove Tanjung Bila. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode diskriptif kuantitatif dengan tabulasi frekuensi dan diskriptif kualitatif.

1. Peran Pemerintah dalam rehabilitasi hutan mangrove adalah rendah.

2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam

rehabilitasi hutan mangrove adalah rendah.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan, rendahnya tingkat

pendidikan, rendahnya pendapatan/penghasilan dan tidak adanya kesempatan untuk berpartisipasi.

1.6. Kerangka Berpikir

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).


(26)

Hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu jenis Rhizophora spp. Dengan demikian, pemberian istilah hutan bakau dinilai kurang tepat. Oleh sebab itu, ditetapkanlah istilah hutan mangrove sebagai nama baku untuk mangrove forest (Dahuri, 2003).

Dilaksanakannya rehabilitasi hutan mangrove disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Degradasi hutan mangrove, 2. Gempa bumi,

3. Pencemaran,

4. Konversi hutan mangrove,

5. Penebangan yang berlebihan dan lain-lain.

Oleh karena itu, peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat sangat diharapkan, dalam penelitian ini peran Pemerintah Daerah yang akan diteliti adalah:

1. Inventarisasi dan identifikasi lahan hutan mangrove, 2. Penyiapan dana rehabilitasi,

3. Melakukan penyuluhan.

4. Melakukan monitoring, controlling dan evaluating terhadap rehabilitasi hutan mangrove.

Sedangkan partisipasi masyarakat yang akan diteliti meliputi: 1. Mengizinkan lahannya untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. 2. Partisipasi dalam penanaman, pengayaan dan pemeliharaan.


(27)

4. Membentuk kelompok tani dan nelayan yang peduli terhadap kelestarian hutan mangrove.

Kesemuanya diharapkan dapat mencapai tujuan yaitu terciptanya ekosistem hutan yang lestari. Kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1, berikut ini.

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir

Partisipasi Masyarakat Peran Pemerintah Daerah

TSUNAMI

Kerusakan Hutan Mangrove

Rehabilitasi Hutan Mangrove

Terwujudnya Ekosistem Hutan Mangrove yang Lestari


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Pemerintah Daerah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “peran” berarti seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat, dan dalam kata jadinya (peranan) berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (Amba, 1998). Selanjutnya Amba (1998) Peranan adalah suatu konsep yang dipakai sosiologi untuk mengetahui pola tingkah laku yang teratur dan relatif bebas dari orang-orang tertentu yang kebetulan menduduki berbagai posisi dan menunjukkan tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan peranan yang dilakukannya.

Levinson dalam Soekanto (1981), menyatakan bahwa peranan mencakup paling sedikit 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Peranan adalah norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti menempatkan rangkaian peraturan yang mendukung seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan dapat juga dikatakan sebagai perilaku individu yang penting dalam struktur sosial.


(29)

Menurut Glasbergen dalam Baiquni (2002), kebijakan pembangunan dan lingkungan sering kali terjadi kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dan hasil yang terjadi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa persoalan fisik (obyek) semata tetapi ada dimensi kepentingan (subyek) yang perlu diperhitungkan.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Peranan Pemerintah Daerah dalam mendukung suatu kebijakan pembangunan bersifat partisipatif adalah sangat penting. Ini karena Pemerintah Daerah adalah instansi pemerintah yang paling mengenal potensi daerah dan juga mengenal kebutuhan rakyat setempat (Soetrisno, 1995).

Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, Pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilisator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana diharapkan mampu mengambil inisiatif (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002).

Mekanisme pengusulan dana reboisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (PP No. 35/2002) menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengusulkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kepada Pemerintah Daerah Provinsi. Kemudian Pemerintah Daerah Provinsi mengkoordinasikan pengusulan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dari Kabupaten /Kota kepada Menteri untuk mendapatkan alokasi dana reboisasi. Selanjutnya


(30)

Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa dana reboisasi digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU No. 33/2004), penggunaan dana reboisasi sebesar 40 % dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan reboisasi penghijauan dan sebesar 60 % dikelola oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (PP No. 104/2000), bahwa dana reboisasi sebesar 40 % dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (Kabupaten/ Kota), termasuk rehabilitasi hutan mangrove.

2.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat. Canter dalam Arimbi (1993), mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses di mana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Secara sederhana didefinisikannya sebagai feed forward

information (komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu

kebijakan) dan feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas kebijakan).

Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), di mana tujuan dimaksudkan adalah


(31)

dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia.

Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi adalah sangat menentukan dalam rangka keberhasilan mencapai tujuan pembangunan termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini senada dengan Tjokroamidjojo (1996), bahwa berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya. Tidak saja dari pengambilan kebijakan tertinggi, para perencana, pegawai pelaksana operasional, tetapi juga dari petani-petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, pengusaha, dan lain-lain, keterlibatan aktif ini disebut partisipasi.

Menurut Soetrisno (1995), partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah kerja sama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan membiayai pembangunan.

Cohen dan Uphoff dalam Sagrim (1997), menyatakan bahwa ada 9 (sembilan) tipe partisipasi yang dapat terjadi dalam pembangunan di daerah. Kesembilan tipe partisipasi itu adalah sebagai berikut:

a. Partisipasi tipe sukarela dengan inisiatif dari bawah.

b. Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya datang dari bawah.

c. Partisipasi desakan atau paksaan (enforced) dengan inisiatif dari bawah. d. Partisipasi sukarela (volutered) dengan inisiatif dari atas.


(32)

f. Partisipasi paksaan dengan inisiatif dari atas.

g. Partisipasi sukarela dengan inisiatif bersama (through shared initiative). h. Partisipasi imbalan dengan inisiatif bersama, dan

i. Partisipasi paksaan dengan inisiatif bersama (dari atas dan dari bawah).

Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 berbunyi: “setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:

i. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. ii. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.

iii. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.

iv. Memberikan saran dan pendapat, dan


(33)

Tjokroamidjojo (1996), mengemukakan 3 (tiga) bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:

1. Partisipasi dalam perencanaan,

2. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan, dan 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.

2.2.1. Pentingnya Partisipasi

Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo, 1989).

Partisipasi masyarakat memiliki arti yang penting dan strategis dalam perencanaan pembangunan. Menurut Soetrisno (1995), keterlibatan masyarakat menjadi penting, artinya dalam perencanaan pembangunan sebagai berikut:

1. Berupaya memadukan atau mengawinkan model top down dan bottom up agar program pembangunan tersebut dapat diterima sepenuh hati.

2. Memotivasi rakyat untuk menumbuhkan rasa meluhandarbeni terhadap hasil pembangunan. Kesadaran dalam berpartisipasi ini sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau pengelolaan hasil pembangunan.

Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat dapat dilihat: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program


(34)

pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Sentosa dalam Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai berikut:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif.

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran.

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan.

4. Enthousiasme atau spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain, dan

5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama. 2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan mempengaruhi besar kecilnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sastropoetro (1988), mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat:

1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri.


(35)

2. Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama.

3. Kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi, tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah pada timbulnya persepsi yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya di beberapa negara.

4. Tersedianya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan, dan

5. Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan.

Selain itu Tjokroamidjojo (1996), mengungkapkan faktor-faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam partisipasi masyarakat adalah:

a. Faktor kepemimpinan, dalam menggerakkan partisipasi sangat diperlukan adanya pimpinan dan kualitas.

b. Faktor komunikasi, gagasan-gagasan, ide, kebijaksanaan dan rencana-rencana baru akan mendapat dukungan bila diketahui dan dimengerti oleh masyarakat. c. Faktor pendidikan, dengan tingkat pendidikan yang memadai, individu/

masyarakat akan dapat memberikan partisipasi yang diharapkan.

Hubeis et al, (1990), mengatakan bahwa bentuk peran serta masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat, mencakup karakteristik sosial ekonomi, dan lingkungan budaya di mana masyarakat bertempat tinggal. Semua ini erat pula kaitannya dengan tipe dan jenis proyek pembangunan yang akan diintroduksikan kepada masyarakat.


(36)

2.3. Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia,

Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002).

Lugo dan Snedaker dalam Day, et al, (1989), mengklasifikasikan hutan mangrove menjadi 6 (enam) tipe komunitas hutan mangrove berdasarkan pada bentuk hutan dan kaitannya dengan proses geologi serta hidrologi di Florida, USA, yang


(37)

disajikan pada Gambar 2.1, yaitu 1) hutan delta (over wash forest); 2) hutan tepi pantai (fringe forest); 3) hutan tepi sungai (riverin forest); 4) hutan daratan (basin

forest); 5) hammock forest; dan 6) hutan semak (scrub forest). Namun

Soemodihardjo, et al, (1986) mengklasifikasikan hutan mangrove Indonesia menjadi 4 (empat) kelas, yaitu 1) delta, terbentuk di muara sungai yang berkisaran pasang surut rendah, 2) dataran lumpur, terletak di pinggiran pantai, 3) dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas permukaan air, dan 4) dataran pantai, habitat mangrove yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai.

Sumber: Lugo dan Snedaker dalam Day et.al, 1989 dan Tomascik et.al. 1997 dalam Dahuri, 2003.

Gambar 2.1. Enam Tipe Komunitas Mangrove

Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jening and Bird dalam Idawaty, 1999). Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2002), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk:


(38)

1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas:

a. Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya: Avecennia spp, Xylocarpus, dan Sonerratia spp) untuk mengambil oksigen dari udara. b. Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora

spp).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi:

a. Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. b. Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur

keseimbangan garam.

c. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan cara

mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sediment.

Kestabilan dan kelestarian ekosistem hutan mangrove sangat bergantung pada beberapa faktor lingkungan. Menurut Sukardjo (1993), menyatakan bahwa ada empat faktor yang dibutuhkan hutan mangrove yaitu temperatur, curah hujan, tinggi tempat, dan tanah. Selanjutnya Dahuri, (2003), menyatakan bahwa parameter lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah suplai air tawar, salinitas, pasokan nutrient dan stabilitas substrat.


(39)

Bengen (2002), menyatakan bahwa penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia:

1. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan subtrak agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguziera spp.

3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguziera spp, dan

4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypafrutican, dan beberapa spesies palem lainnya.

2.3.1. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove

Gelombang tsunami setinggi 10-15 m dengan kecepatan lebih dari 40 km perjam yang menghantam pesisir Aceh telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Kerusakan paling parah melanda sepanjang pesisir barat Aceh termasuk Kecamatan Baitussalam (Wibisono et al, 2006).

Wibisono et al, (2006) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem pesisir yang ditimbulkan oleh tsunami setidaknya terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:

(a). Mekanisme pertama yaitu energi gelombang tsunami secara langsung menghantam pesisir sehingga menghancurkan hutan mangrove, tegakan cemara, kebun kelapa dan berbagai vegetasi lainnya. Dalam hal ini, kerusakan sebagai


(40)

hantaman gelombang tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substaratnya.

(b). Mekanisme kedua yaitu genangan air laut yang terbawa oleh gelombang tsunami. Genangan air laut yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada dipesisir stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri.

2.3.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien perlu didahului survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan berdasarkan pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/1999) menyatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:

1. Reboisasi, 2. Penghijauan, 3. Pemeliharaan,


(41)

5. Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.

Model pengembangan rehabilitasi hutan mangrove disusun dengan pendekatan Participatory Rural Apprasial (PRA), pendekatan ini memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat sebagai pelaku pembangunan untuk berperan aktif dalam pembangunan. Proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi selalu melibatkan masyarakat (Rawana, 2002).

Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan kembali fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi masyarakat (Anonimous, 2005).

Rencana rehabilitasi disusun dengan mempertimbangkan zonasi kawasan, manfaat dan fungsi, serta aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam menyusun rencana rehabilitasi adalah pendekatan fisik, pendekatan biologi, dan pendekatan sosial. Pendekatan fisik dimaksudkan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasan mangrove dengan membangun bangunan fisik (alat pemecah ombak, cerucuk, dan


(42)

sebagainya) untuk mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai. Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif (penanaman pohon mangrove) untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya erosi. Sedangkan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai (Anonimous, 2005).

2.4. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Hutan Mangrove di Aceh

Gelombang Tsunami setinggi 10-15 m dengan kecepatan lebih dari 40 km/jam yang menghantam pesisir Aceh telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Kerusakan paling parah sepanjang pesisir barat Aceh (meliputi Aceh Barat dan Nagan Raya), Kabupaten Banda Aceh, Aceh Jaya dan Aceh Besar (Wibisono,

et al, 2006).

Dari analisis yang dilakukan LAPAN, dari 21 kabupaten/kota di Provinsi NAD sekurang-kurangnya 15 kabupaten/kota yang wilayahnya terpengaruh bencana gempa dan Tsunami. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa total luas wilayah yang terkena pengaruh seluas 649.582 ha, diantaranya sawah seluas 131.810 ha, rawa seluas 9448.5 ha dan hutan mangrove/pantai seluas 32.004 ha. (Wibisono, et al, 2006).

Kerusakan ekosistem pesisir yang ditimbulkan oleh Tsunami setidaknya terjadi melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu:


(43)

1. Energi gelombang Tsunami secara langsung menghantam pesisir sehingga menghancurkan hutan mangrove, tegakan cemara, kebun kelapa dan berbagai vegetasi lainnya. Dalam hal ini, kerusakan sebagai akibat hantaman gelombang Tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substratnya.

2. Genangan air laut yang terbawa oleh gelombang Tsunami. Genangan air laut yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada di pesisir menjadi stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri (Wibisono, et al, 2006).

Hampir seluruh formasi dan tipe vegetasi yang berada di pesisir Aceh mengalami kerusakan parah. Lebih dari 60.000 ha areal persawahan rusak total karena tergenang oleh air laut. Hingga saat ini, hanya 21,6 % dari total persawahan yang direhabilitasi, sementara sebagian besar sisanya dibiarkan dalam kondisi terlantar. Hutan mangrove, hutan pantai, pantai cemara, rawa dan tipe vegetasi lain di kawasan pesisir tidak luput dari kerusakan ini.

Selain karena hantaman gelombang Tsunami, kerusakan hutan mangrove juga dapat disebabkan oleh terangkatnya substrat sehingga hutan mangrove tidak


(44)

tergenangi lagi oleh pasang surut air laut. Fenomena ini banyak sekali di jumpai di Pulau Simeulue dan sebagian pesisir Pulau Nias (Wibisono, et al, 2006).

Kabupaten Aceh Besar memiliki kawasan hutan mangrove seluas 16.000 ha (Peta BP DAS, 2005) akan tetapi luas kawasan hutan mangrove yang telah dilakukan rehabilitasi di beberapa kecamatan pada Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Kecamatan-kecamatan yang Telah Dilakukan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kabupaten Aceh Besar

No. Kecamatan Luas (ha)

1. Baitussalam 303,00

2. Lhoong 179,51

3. Lhoknga 28,00

4. Leupung 53,00

5. Mesjid Raya 204,00

6. Peukan Bada 175,00

7. Pulo Aceh 100,00

Jumlah 1.042,51

Sumber: BPS, Kabupaten Aceh Besar dalam Angka, 2007

Berdasarkan Tabel 2.1 di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kabupaten Aceh Besar baru mencapai 15,35 %, di mana Kecamatan Baitussalam telah dilakukan rehabilitasi paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain di Kabupaten Aceh Besar, dikarenakan Kecamatan Baitussalam mengalami kerusakan hutan mangrove pasca tsunami yang paling parah.


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ditetapkan pada 4 (empat) Desa yang memiliki hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar yang memperoleh bantuan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui fasilitator pemerintah. Penetapan Kecamatan Baitussalam sebagai lokasi penelitian berdasarkan pada pertimbangan bahwa Kecamatan Baitussalam telah pernah dilakukan rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah Daerah dan LSM pasca tsunami, akan tetapi kondisinya pada saat sekarang ini sangat memprihatinkan. Adapun lokasi Desa di Kecamatan Baitussalam yang menjadi objek penelitian adalah: Desa Lam Ujong, Desa Lambada Lhok, Desa Cot paya dan Desa Kajhu.

Penelitian ini dilakukan mulai dari persiapan penelitian pada bulan Agustus s/d Nopember 2008 yang dilanjutkan dengan tahap pengerjaan tesis sampai bulan Mei 2009 sambil melengkapi data lapangan yang masih kurang untuk dijadikan bahan penulisan.

3.2. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini terbagi atas dua kelompok, kelompok pertama merupakan aparat pemerintahan yang terbagi atas seluruh Kepala Desa pada lokasi


(46)

penelitian dan aparat pemerintahan dari Kecamatan Baitussalam. Kelompok kedua adalah seluruh kepala keluarga di 4 (empat) desa yang memiliki pantai atau hutan mangrove pada Kecamatan Baitussalam, yaitu sebanyak 4.001 kepala keluarga, dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini:

Tabel 3.1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi Nama Desa Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Jumlah Kepala Keluarga (KK)

(1) (2) (3)

1. Lam Ujong 394 117

2. Lambada Lhok 760 309

3. Cot Paya 368 125

4. K a j h u 4.502 3.450

Jumlah 6.124 4.001

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah proportional

stratified random sampling. Jumlah sampel penelitian untuk kelompok pemerintahan

dengan menetapkan masing-masing kepala desa di desa penelitian sebanyak 4 orang dan 10 orang aparat pemerintahan yang dianggap proporsional sebagai sampel untuk pemerintahan. Untuk kelompok masyarakat ditentukan dengan menggunakan pendekatan statistik untuk tingkat kesalahan 10% dari populasi (Sarwono, 2006) dengan formula sebagai berikut:

1 ) ( N

N

n 2

 

d

Keterangan: n = sampel N = Populasi


(47)

d = derajat kebebasan (10% = 0,1) dengan perhitungan sampel sebagai berikut:

1 ) 1 , 0 ( 4001 4001 n 2  

n = 98

maka sampel setiap desa adalah: 1. Desa Lam Ujong

4001 98 117 1

n  X

n1 = 3

2. Desa Lambada Lhok

4001 98 309 2

n  X

n2 = 8

3. Desa Chot Paya

4001 98 125 3

n  X

n3 = 3

4. Desa Kajhu

4001 98 450 . 3 4

n  X


(48)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2. Jumlah Sampel Penelitian Nama Desa Jumlah Kepala Keluarga

(KK)

Jumlah Responden (KK)

(1) (2) (3)

1. Lam Ujong 117 3

2. Lambada Lhok 309 8

3. Cot Paya 125 3

4. K a j h u 3.450 84

Jumlah 4.001 98

3.3. Metode Pengumpulan Data 1. Observasi

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke lokasi penelitian dengan mengunjungi daerah-daerah menjadi obyek penelitian dan meninjau langsung kondisi alam serta melakukan pertemuan dengan masyarakat setempat. Observasi juga dilakukan secara langsung ke lokasi rehabilitasi hutan mangrove pada keempat Desa yang diteliti untuk mengetahui kondisi wilayah dengan melakukan dokumentasi lahan yang telah direhabilitasi.

2. Kuisioner

Untuk memudahkan perolehan data, selanjutnya disebarkan kuisioner atau angket kepada responden untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap program rehabilitasi hutan mangrove. Penyebaran kuisioner akan dilakukan secara langsung kepada masyarakat dengan menentukan secara langsung responden yang akan diteliti.


(49)

3. Wawancara

Selain observasi dan kuisioner, dilakukan wawancara mendalam (depth

interview) yang dilakukan dengan cara bertatap muka langsung dengan pemerintah

daerah setempat.

3.4. Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan data penelitian, peneliti menggunakan instrumen yang ditujukan kepada responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok pertama dilakukan kepada aparat pemerintah dengan menggunakan teknik wawancara. Untuk memperkuat data penelitian yang dilakukan pemerintah, maka isi dari wawancara yang dilakukan menyangkut peranan pemerintah terhadap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Instrumen kedua digunakan kepada responden yang terdiri masyarakat melalui pengisian kuisioner yang diberikan kepada responden. Adapun isi dari kuisioner yang diberikan kepada responden terdiri dari 3 bagian, yaitu sosial ekonomi, pemahaman dan partisipasi responden. Tiap butir instrumen disediakan lima alternatif jawaban dengan membuat simbol angka pada pilihan jawaban responden bersifat positif memiliki urutan skor a = 1, b = 2, c = 3, d = 4 dan e =5.

Selanjutnya pilihan jawaban pada sosial ekonomi, pemahaman responden dan partisipasi masyarakat mengisyaratkan nilai skor a = dinyatakan sangat tidak baik, skor b = tidak baik, c = cukup, d = baik dan e = sangat baik. Selanjutnya untuk


(50)

menilai partisipasi masyarakat. Penilaian ini digunakan untuk melihat bagaimana besar kecilnya ukuran baik tidaknya ketiga varibel tersebut.

3.5. Definisi Operasionalisasi Variabel Penelitian

Adapun definisi operasionalisasi variabel penelitian pada penelitian ini terdiri dari:

a. Peran adalah tingkah laku yang penting dalam struktur sosial atau tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa.

b. Pemerintah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah sebagai badan eksekutif daerah.

c. Partisipasi adalah peran serta atau keterlibatan individu ataupun kelompok. d. Masyarakat adalah kumpulan orang atau penduduk yang mendiami suatu

wilayah.

e. Rehabilitasi adalah usaha untuk memperbaiki kembali suatu kondisi ke arah yang lebih baik.

f. Hutan mangrove adalah sekumpulan tumbuhan yang hidup disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut.

Untuk mengetahui peran pemerintah daerah wawancara dengan memberikan pertanyaan yang menyangkut terhadap: (a) peran sebagai fasilitator lembaga donor untuk mendukung program rehabilitasi hutan mangrove, (b) peranan untuk persiapan rehabilitasi dengan pelaksanaan pemetaan lokasi penanaman, (c) peran dalam perencanaan dan pengelolaan dana rehabilitasi hutan mangove, (d) peran dalam


(51)

pelaksanaan penyuluhan dan (e) peran dalam kegiatan monitoring, control dan

evaluation.

Pada penelitian ini, partisipasi masyarakat dikaitkan dengan sosial ekonomi dan pemahaman masyarakat mengenai program rehabilitasi hutan mangrove. Penelitian ini menjelaskan adanya hubungan partisipasi dengan sosial ekonomi dan pemahaman tersebut. Penelitian yang dilakukan untuk melihat partisipasi masyarakat dalam bentuk angket atau kuisioner yang berisikan: (a) kegiatan yang pernah dilakukan menyangkut program rehabilitasi hutan mangrove, (b) harapan terhadap pengelolaan hutan mangrove, (c) keikutsertaan dalam kegiatan rehabiltiasi hutan mangrove, (d) peranan dalam perencanaan program rehabilitasi hutan mangove, (e) partisipasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan mangove, (f) partisipasi pada monitoring, control dan evaluation dan (g) partisipasi pada pemeliharaan hutan mangrove.

Definisi rehabilitasi hutan mangrove adalah kegiatan pembibitan dan penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan setelah terjadinya gempa dan tsunami di wilayah Kecamatan Baitussalam.

3.6. Analisa Data

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik dari suatu populasi atau daerah tertentu secara nyata dan tepat.


(52)

Untuk melihat besarnya hubungan sosial ekonomi dan pemahaman masyarakat terhadap partisipasi masyarakat melalui analisis regresi ganda (Sugiyono, 2001). Sedangkan analisa data juga dilakukan melalui analisis persentase. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase Skor Muatan Validitas Konstruk

< 20 Sangat rendah

21 – 40 Rendah

40 – 60 Cukup

60 – 80 Baik


(53)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Kecamatan Baitussalam merupakan salah satu kecamatan yang terdapat pada Kabupaten Aceh Besar Provinsi NAD. Ibukota Kecamatan Baitussalam adalah Lambada Lhok, dengan luas kecamatan 36,52 Km2. Kecamatan Baitussalam terdiri dari 2 (dua) kemukiman dan 13 (tiga belas) desa.

Tabel 4.1. Luas Desa Dirinci Menurut Mukim di Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Mukim Nama Desa Luas Desa (Km2)

(1) (2) (3)

Silang Cadek

01.Blang Krueng 02.Baet 03.Cadek 04.Kajhu 1,80 2,34 1,00 6,00

Jumlah 11,14

Klieng

01.Miruek Lam Reudeup 02.Cot Paya

03.Klieng Cot Aron 04.Lambada Lhok 05.Klieng Meuria 06.Lam Asan 07.Lampineung 08.L a b u i 09.Lam Ujong

3,34 1,90 1,80 2,12 1,50 1,76 1,56 5,00 6,40

Jumlah 25,38

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

Secara administrasi pemerintahan Kecamatan Baitussalam memiliki wilayah berbatasan dengan:


(54)

Sebelah Utara : Kecamatan Mesjid Raya Sebelah Selatan : Kecamatan Darussalam

Sebelah Barat : Kota Banda Aceh & Selat Malaka Sebelah Timur : Kecamatan Darussalam

Tabel 4.2. Geografis Desa/Kelurahan dan Tinggi di Atas Permukaan Laut Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Geografis Letak di atas Permukaan Laut Nama Desa

Pantai Bukan Pantai <500 m 500-700 m >700 m

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Lam Ujong - - -

2. Lima a b u i - √ √ - -

3. Lam Asan - √ √ - -

4. Lampineung - √ √ - -

5. Klieng Meuria - √ √ - -

6. Miruek Lam Reudeup - √ √ - -

7. Klieng Cot Aron - √ √ - -

8. Lambada Lhok - - -

9. Cot Paya - - -

10. K a j h u - - -

11.Blang Krueng - √ √ - -

12.B a e t √ - √ - -

13.C a d e k √ - √ - -

Jumlah 6 7 13 0 0

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

Berdasarkan data BPS 2007, secara geografis Desa Lam Ujong, Desa Lambada Lhok, Desa Cot Paya dan Desa Kajhu merupakan daerah pantai dengan ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut (Tabel 4.2).


(55)

4.2. Penduduk

Jumlah penduduk, kepala keluarga dan rata-rata penduduk per kepala keluarga dirinci per desa dalam Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk dan Rata-Rata Penduduk Per Rumah Tangga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Nama desa

Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Jumlah Kepala Keluarga (Jiwa)

Rata-rata Jumlah Penduduk/ Rumah Tangga

(Jiwa/RT)

(1) (2) (3) (4)

5. Lam Ujong 394 117 3,37

6. L a b u i 383 132 2,90

7. Lam Asan 420 110 3,82

8. Lampineung 411 135 3,04

9. Klieng Meuria 447 151 2,96

10. Miruek Lam Reudeup 1.039 232 4,48

11. Klieng Cot Aron 615 282 2,18

12. Lambada Lhok 760 309 2,46

13. Cot Paya 368 125 2,94

14. K a j h u 4.502 3.450 1,3

15. Blang Krueng 1.585 435 3,64

16. B a e t 1.338 548 2,44

17. C a d e k 356 132 2,7

Jumlah 12.618 6.158 2,05

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

Berdasarkan hasil Tabel 4.3 bahwa jumlah penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga terbanyak terdapat pada Desa Kajhu, tetapi memiliki rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga memiliki jumlah pembanding yang paling kecil dari lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada Desa Kajhu terdapat banyak anggota keluarga dari Kepala Keluarga yang ada menjadi korban tsunami, sehingga cenderung anggota keluarga


(56)

dari keluarga yang ditinggal menjadi kepala keluarga bahkan dalam satu keluarga terdapat hanya 1 (satu) anggota keluarga di dalamnya yang sekaligus menjadi kepala keluarga.

Sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci per desa berdasarkan luas wilayah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa Berdasarkan Luas Wilayah Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Nama Desa Luas Desa (Km2)

Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

(1) (2) (3) (4)

1. Lam Ujong 6,40 394 61,56

2. L a b u i 5,00 383 76,6

3. Lam Asan 1,76 420 238,64

4. Lampineung 1,56 411 263,46

5. Klieng Meuria 1,50 447 298

6. Miruek Lam Reudeup 3,34 1.039 311,08

7. Klieng Cot Aron 1,80 615 341,67

8. Lambada Lhok 2,12 760 358,49

9. Cot Paya 1,90 368 193,68

10. K a j h u 6,00 4.502 750,33

11.Blang Krueng 1,80 1.585 880,56

12.B a e t 2,34 1.338 571,79

13.C a d e k 1,00 356 356

Jumlah 36,52 12.618 345,51

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk yang paling tinggi setiap Km2 adalah Kecamatan Blang Krueng sedangkan pada daerah penelitian jumlah penduduk yang terpadat terdapat di Desa Kajhu.


(57)

Tabel 4.5. Perkembangan Penduduk Dirinci Menurut Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2004-2007

Jumlah Penduduk Nama Desa

2004 2005 2006 2007

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Lam Ujong 357 411 479 394

2. L a b u i 368 501 515 383

3. Lam Asan 336 345 345 420

4. Lampineung 251 409 573 411

5. Klieng Meuria 348 562 562 447

6. Miruek Lam Reudeup 851 1.035 1035 1.039

7. Klieng Cot Aron 595 653 653 615

8. Lambada Lhok 389 645 670 760

9. Cot Paya 230 374 535 368

10. K a j h u 2.687 3.311 4265 4.502

11.Blang Krueng 871 1.425 1425 1.585

12.B a e t 1.160 1.326 1326 1.338

13.C a d e k 463 468 468 356

Jumlah 8.906 11.465 12.851 12.618

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

Perkembangan jumlah penduduk per desa dalam Kecamatan Baitussalam dari tahun 2004 s/d 2007 pada Tabel 4.5 diperoleh data bahwa pada tahun 2007 terdapat rata-rata penurunan angka jumlah penduduk dari tahun 2006. Berdasarkan perolehan hasil di lapangan, bahwa penurunan ini disebabkan adanya migrasi penduduk keluar daerah lainnya seperti ke Ibukota Provinsi untuk mencari pekerjaan baru oleh karena telah berkembangnya kembali Ibukota Provinsi hasil rekonstruksi fisik dari berbagai bantuan pemerintah pusat dan Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional dan Nasional sehingga membuka lapangan kerja baru.


(58)

4.3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada masyarakat di Kecamatan Baitussalam lebih banyak diperuntukkan untuk ladang masyarakat, selanjutnya diperuntukkan untuk perkebunan seperti kopi, kelapa dan lain sebagainya. Untuk penggunaan lahan di Kecamatan Baitussalam dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6. Jenis Penggunaan Lahan

Jenis Penggunaan Lahan (Ha)

Nama Desa

Sawah Ladang Perkebunan

Perumahan /Pemukima

n

Lainnya Luas Desa (Ha)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Lam Ujong 30 305 40 6,78 258,22 640

2. L a b u i 10 138 22 52,4 277,6 500

3. Lam Asan 3,2 5 11,8 4,7 151,3 176

4. Lampineung 2 5 2,1 8,5 138,4 156

5. Klieng

Meuria 2 3 5 13,72 126,28 150

6. Miruek Lam

Reudeup 10,7 42 108 22,78 150,52 334

7. Klieng Cot

Aron 14,8 4 4,8 29,92 126,48 180

8. Lambada

Lhok 3 90 25 77 17 212

9. Cot Paya 1,5 5 1,5 17 165 190

10. K a j h u 123 85 154 92,14 145,86 600 11. Blang

Krueng 74 13 54 38,7 0,3 180

12. B a e t 5 52 96 56 25 234

13. C a d e k 0 23 12,5 45 19,5 100

Jumlah 279,2 770 536,7 464,64 1601,46 3.652

Sumber: Diolah (Perencanaan Desa – USAID, Keuchik Desa, Pemerintahan dan PPL Kecamatan Baitussalam)


(59)

Berdasarkan perolehan data pada Tabel 4.6 Luas desa paling luas terdapat pada Desa Lam Ujong dengan luas Desa 640 Ha, sedangkan luasan kedua terdapat pada Desa Kajhu dengan luas 600 Ha. Peruntukan terluas pada Desa Lam Ujong untuk kegiatan persawahan sedangkan pada Desa Kajhu diperuntukkan untuk perkebunan.

4.4. Pendidikan

Pendidikan kepala keluarga pada Kecamatan Baitussalam tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:

Tabel 4.7. Jumlah Keluarga Menurut Status Pendidikan Kepala Keluarga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Status Pendidikan Kepala Keluarga Nama Desa Tidak

Sekolah

Tamat SD –

SLTP

Tamat SLTA ke atas

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Lam Ujong 37 55 25 117

2. L a b u i 16 69 47 132

3. Lam Asan 19 57 34 110

4. Lampineung 13 56 66 135

5. Klieng Meuria 11 96 44 151

6. Miruek Lam Reudeup 59 139 34 232

7. Klieng Cot Aron 9 82 191 282

8. Lambada Lhok 25 223 61 309

9. Cot Paya - 26 99 125

10. K a j h u 72 1619 1759 3450

11. Blang Krueng 131 162 142 435

12. B a e t 5 187 356 548

13. C a d e k 2 44 86 132

Jumlah 399 2815 2944 6158


(60)

Pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang mengenyam sekolah lebih tinggi dibandingkan kepala keluarga yang tidak sekolah. Pada Desa Cot Paya yang merupakan salah satu daerah penelitian, kepala keluarganya tidak ada yang tidak sekolah dan memiliki pendidikan tamatan SMA keatas lebih tinggi jumlahnya dibandingkan tamatan SD-SMP.

4.5. Sarana Kesehatan

Tingkat produktivitas penduduk selain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki, juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan. Banyaknya sarana kesehatan pada Kecamatan Baitussalam tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut: Tabel 4.8. Jumlah Sarana Kesehatan di Masing-masing Desa dalam Kecamatan

Baitussalam Tahun 2007

Nama Desa Poliklinik Puskesmas *Pustu RS

Bersalin Polindes Pos KB

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Lam Ujong - - - - 1 -

2. L a b u i - - - -

3. Lam Asan - - - - 1 -

4. Lampineung - - - -

5. Klieng Meuria - - 1 - 1 -

6. Miruek Lam Reudeup - - - -

7. Klieng Cot Aron - - - - 1 -

8. Lambada Lhok - 1 - - - -

9. Cot Paya - - - - - -

10. K a j h u - - 1 - - -

11.Blang Krueng - - 1 - - -

12.B a e t - - - -

13.C a d e k - - - -

Jumlah - 1 3 - 4 -

*Pustu=Puskesmas Pembantu


(61)

4.6. Keadaan Iklim

Sebagaimana halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Kecamatan Baitussalam mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim penghujan. Musim penghujan terjadi bulan Oktober hingga Mei, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga September. Pada daerah ini mempunyai suhu rata-rata 270C.

Tabel 4.9. Rata-rata Curah Hujan dan Hari Hujan Kecamatan Baitussalam No. Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 119.6 107.3 175.6 145.5 250.6 417.0 280.0 380.0 206.0 218.0 204.7 143.0 6 5 6 6 8 10 6 9 8 7 5 6

Jumlah 2.577,3 82

Rata-rata 214,8 6,8

Sumber: Data Monografi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tahun 2005

Berdasarkan karakteristik curah hujan bulanan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson, yang mendasarkan perhitungan pada perbandingan bulan kering (<60 mm/bulan) dan bulan basah (>100 mm/bulan) dikalikan 100 %, maka tipe iklim di wilayah pesisir Kecamatan Baitussalam termasuk ke dalam Tipe C (agak basah) dengan nilai Q = 55 %. Curah hujan per hari yang terjadi di daerah Kecamatan Baitussalam sebesar 214,8 mm. Distribusi hari hujan disajikan pada Tabel 4.9.


(62)

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konservasi hutan mangrove. Menurut Hartono dalam Fitriadi (2004), bahwa iklim yang mempunyai pengaruh terhadap konservasi mangrove yaitu curah hujan tahunan, jumlah bulan kering, jumlah hari hujan per tahun, rerata temperatur tahunan dan fluktuasi temperatur tahunan. Hal ini mengindikasi bahwa daerah ini digolongkan sesuai dengan konservasi hutan mangrove.

Tabel 4.10. Rata-rata Kecepatan Angin di Wilayah Pesisir Kecamatan Baitussalam

Bulan

No Variabel

J a n u a ri F eb ru a ri M a re t A p ri l M ei J u n i J u li A g u st u s S ep te m b er O k to b er N o v em b er D es em b er

1 Kecepatan rata-rata (knot) 8.5 8 7 10.2 7.4 7.21 15 8.2 9 8.5 9 8.7 2 Arah 240 290 90 240 190 120 110 300 240 110 90 180 3 Kecepatan terbesar (knot) 20 23 12 18 20 16 25 25 20 19 20 25 4 Kecepatan rata-rata (knot) 6 8.1 8.5 6 6 - - 7 6 8.1 5 8.5 5 Arah 120 290 190 270 210 - - 220 90 170 240 300 6 Kecepatan terbesar (knot) 12 12 18 15 15 - - 15 8 18 16 25 7 Kecepatan rata-rata (knot) 7 6 8 4.5 5 5 4 6 5 6 5 7 8 Arah 290 110 240 70 240 170 160 150 140 186 120 80 9 Kecepatan terbesar (knot) 13 8 10 10 8 25 12 15 12 12 10 19 10 Kecepatan rata-rata (knot) 5 - 6 5 5 5 - 5 5 5.1 5 5 11 Arah 360 - 340 350 290 200 - 220 120 90 110 145 12 Kecepatan terbesar (knot) 12 - 18 12 15 10 - 15 10 10 12 18

Sumber: Data Monografi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tahun 2005

Angin dan badai dapat berpengaruh terhadap hutan mangrove. Pada daerah yang mudah terkena badai hebat, tajuk pohon hutan di sepanjang pantai biasanya patah dan struktur pepohonan di daerah tersebut lebih pendek. Mangrove memainkan peranan penting dalam mengurangi pengaruh badai pantai pada wilayah yang berada diantara darat dan laut. Keadaan angin di wilayah pesisir Kecamatan Baitussalam dan


(63)

sekitarnya, menunjukkan kecepatan angin rata-rata antara 5-10 knots, seperti terlihat pada Tabel 4.10.

4.7. Hidrologi

Konservasi hutan mangrove dipengaruhi kualitas air suatu daerah Hartono

dalam Fitriadi (2004). Perairan di sepanjang pesisir NAD, merupakan hutan

mangrove hal mana terjadi pertemuan muara asin dari Selat Malaka dan Lautan Hindia dengan air tawar dari beberapa sungai di sepanjang muara tersebut. Mangrove tersebut tumbuh di tempat air tenang muara sungai yang merupakan pertemuan arus laut dan sungai menyebabkan endapan lumpur di sekitar muara sungai yang mengakibatkan pendangkalan sungai serta kemungkinan terbentuknya gosongan-gosong baru. Perairan payau tersebut salinitas airnya dapat berubah-ubah tergantung pada banyaknya pencampuran antara air asin dan air tawar, temperatur dan penguapan. Pasang surut menggenangi hutan payau dengan radius 300 – 500 meter masuk ke arah daratan dan arah pantai, hal ini terjadi apabila air sedang pasang. Dengan demikian intrusi air laut yang menyebabkan salinitas air payau meningkat, tidak terpengaruh terhadap penebangan pohon-pohon di hutan mangrove dan pembentukan areal pertambakan.


(64)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hutan Mangrove

5.1.1. Kondisi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam

Hutan mangrove di Aceh telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak sejak merebaknya bisnis udang di Indonesia pada Tahun 1980-an. Tapi untuk lokasi tertentu, alih fungsi ini bahkan telah berlangsung jauh lebih awal misalnya di Desa Lam Ujong Kecamatan Baitussalam telah berlangsung sejak tahun 1960-an. Kondisi demikian telah menyebabkan lanskap kawasan pesisir di wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana dan hal ini diperlihatkan saat terjadinya tsunami pada bulan Desember 2004 yaitu banyak tanggul/pematang tambak rusak/hancur terancam gelombang tsunami dan kolam tambaknya terisi oleh endapan lumpur. Seandainya keberadaan hutan mangrove di kawasan tersebut dan di wilayah pesisir pantai di NAD masih memadai, diduga hantaman gelombang tsunami yang terjadi tidak meluas hantamannya kedaratan.

Dari hasil interpretasi terhadap foto-foto pesisir yang sempat terekam oleh relawan serta informasi yang ada, diperkirakan tingkat kerusakan mangrove akibat hantaman gelombang tsunami sebesar 100 %. Kerusakan yang terjadi di hutan mangrove tidak hanya berkaitan dengan hilangnya beberapa jenis tumbuhan mangrove saja, melainkan hancurnya habitat hutan mangrove itu sendiri. Hilangnya tegakan mangrove secara otomatis berarti hilangnya pohon induk penghasil benih.


(1)

DESA KAJHU

Bersama ketua kelompok mangrove pada lokasi penanaman di Desa Kajhu

Latar belakang Desa Kajhu yang dikelilingi oleh pohon mangrove


(2)

Mangrove di Desa Kajhu yang ditanam di lahan tambak berumur 2 tahun


(3)

DESA LAMBADA LHOK

Bibit mangrove yang akan ditanam di Desa Lambada Lhok dengan latar belakang lahan kosong

Lahan kosong yang akan ditanam mangrove di Desa Lambada Lhok


(4)

Sebagian lahan yang sudah ditanami di Desa Lambada Lhok


(5)

DESA COT PAYA

Lahan kritis yang akan ditanami di Desa Cot Paya


(6)

Lahan kritis yang perlu ditanami di Desa Cot Paya