Data dan Sumber Data Paparan Data

148 Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

2. Data dan Sumber Data

Data adalah fakta empirik yang dikumpulkan untuk memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan penelitian. Data penelitian dapat berasal dari berbagai sumber yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik selama kegiatan penelitian berlangsung. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah sikap dan tindakan-tindakan masyarakat, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah teks-teks dan wacana yang terdapat dalam naskah karya sastra. Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012. Sampul kulit depan novel bergambar Pincalang yang tengah berlabuh di tengah lautan didesain oleh Gobagsodor. Novel yang berukuran 13,5 x 20,5 cm terdiri atas 255 halaman dan 12 episode, dirangkai dalam peristiwa demi peristiwa. Data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan Idris Pasaribu sebagai pengarang novel dan informan yang berkaitan dengan penelitian ini. Moleong 2007: 186 menyebutkan, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara interviewer yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara interviewee yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Selanjutnya diungkapkan bahwa wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

3. Paparan Data

Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data utama yang dideskripsikan dan dianalisis sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian ini. Dari gambaran realitas sosial budaya masyarakat Pincalang terlihat upaya masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam menjaga kearifan lokal. Pola hidup masyarakat yang sebahagian besar berada di laut, berlayar dari pulau ke pulau, terlihat dari tokoh utama novel, yaitu Amat. Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Di atas perahu itu dia dilahirkan ibunya, dan sejak berusia lima tahun, di atas perahu pula dia belajar shalat dan mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Ia manusia Pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu. Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan buas dan ganas. Di atas Pincalang itu dilahirkan ibunya, begitu juga dua adiknya. Di atas Pincalang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari para uztadz yang datang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka bersandar di pelabuhan kecil atau di kampung-kampung di pantai. Amat belajar menaik turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar melihat bintang, belajar merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Pincalang: 21 Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan ibunya bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. Di samping Maryam gadis yang cantik, ia juga seorang gadis sholehah dan pandai memasak serta pintar berjualan. Ujian terberat setelah mereka menikah adalah mengarungi lautan hanya dengan berdua saja, karena mereka telah diberi Pincalang oleh Ayah Amat. Filosofi hidup berkeluarga, mengarungi 149 samudera luas dengan berbagai rintangan dan cobaan, seperti hujan angin, petir, badai, dan ombak harus mereka lalui. Masyarakat Pincalang tergolong orang yang taat melaksanakan ajaran agama, dan mayoritas pemeluk agama Islam. Hal ini terlihat dari ketaatan keluarga Amat dalam mendirikan shalat, baik shalat di atas Pincalang, di mesjid atau di manapun berada. Begitu pun setelah dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang laki-laki, diberi nama Buyung, dan dua orang anak perempuan, Amat dan istrinya selalu mengajarkan shalat dan mengaji Alquran kepada ketiga anak-anaknya itu. Amat yang berpikiran maju mengenai kehidupan, juga berharap anaknya jadi orang pintar, karena ia tidak ingin terus dibodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang- orang di darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang Tionghoa. Selesai mengikuti pendidikan dasar, Buyung disekolahkannya di sekolah Pelayaran, seperti yang dicita- citakannya. Dalam usaha niaga, Amat dibantu Rohim, Lokot, dan Sangkot membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, membuat ikan asin, dan arang dari kayu bakau untuk dijual. Ia juga akhirnya memilih untuk tinggal di darat bersama Istri dan anak-anaknya untuk lebih memajukan usaha dagangnya dengan menjadi tauke. Hal tersebut sempat mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya. Selama ini mereka mengganggap orang-orang darat tidak ada yang baik, namun berkat kerja keras Amat meyakinkan, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dia pun cukup sukses dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Pincalang. Dari hasil kerja kerasnya, Amat memiliki kapal dengan tenaga mesin, yang disebut Kapal Keppres karena merupakan proyek pemerintah zaman Orde Baru. Kapal Amat diberi nama K.M. Pincalang, dan Buyung pun didaulat menjadi Nahkodanya setelah ia lulus di SMPP Sekolah Menengah Pelayaran Pertama. Semua keluarga, teman-teman Buyung, dan orang-orang yang selama ini membantu dan mendukung Amat turut hadir dalam pelayaran perdana K.M. Pincalang, dengan rute Nias-Meulaboh. Pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya masyarakat Pincalang yang tradisional, diawali sejak masuknya kapal Keppres. Para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan akibatnya. Hutan bakau digunduli, biota laut di sapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang terbaik untuk manusia. Hegemoni pemerintah sangat berpengaruh terhadap kesewenangan tersebut. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut, seperti terlihat dari kutipan berikut ini. Amat sangat marah melihat pohon-pohon bakau ditebang sembarangan. Para penebang itu tidak sedikitpun menghiraukan Amat yang sedang menanami bibit- bibit bakau di sela hutan bakau yang menggundul. “Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak Kalau mau ambil bakau dari ujung sana atau di tempat lain” Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang rakus menebangi pohon bakau. “Lha.... Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang. “Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.” “Apa hutan ini bapakmu punya?” Amat sangat tersinggung ayahnya dibawa-bawa dalam masalah. Pincalang: 213 Rini Efri Leni 150 Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 Hidup manusia selalu mengalami perubahan, perubahan di satu bidang akan memengaruhi bidang-bidang lainnya. Meskipun tidak terjadi dalam kecepatan yang sama, perubahan terus terjadi dan melanda setiap masyarakat, termasuk masyarakat marjinal seperti masyarakat Pincalang. Perubahan sosial yang direpresentasikan pengarang dalam novel ini adalah bagaimana Amat berjuang meyekolahkan Buyung agar menjadi anak yang pintar serta ia dan Maryam juga bersemangat dalam mengikuti pemberantasan buta huruf serta perjuangan Amat dalam merubah pola pikir orang-orang Pincalang yang negatif terhadap orang-orang darek, di samping upaya pelestarian alam. Namun, perjuangan dan upaya yang dilakukan Amat terasa berat, karena banyak pihak yang tidak peduli untuk menjaga pelestarian alam. Hal ini menyalahi pesan tetua orang-orang Pincalang, yang secara turun temurun diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut, agar manusia mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah pengarang merepresentasikan bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya melestarikan kehidupan laut. Perlawanan Amat terhadap penguasa tidak bisa terelakkan, ia pun dicari hendak ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dianggap membahayakan penguasa. Amat yang tidak takut dengan ancaman itu pun melakukan perlawanan, sehingga banyak menewaskan petugas yang ingin menangkapnya, namun akhirnya Amat berhasil ditangkap, diadili, dan dipenjarakan. Pada saat kebebasannya setelah tiga tahun lebih berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, ia dinyatakan bebas bersyarat. Amat dijemput oleh istri dan anak- anaknya, serta orangtua dan mertuanya dengan perasaan haru, senang, bahagia yang bercampur aduk. Amat langsung sujud syukur begitu menghirup udara segar. Ia terkejut dan terharu saat digiring menuju ke mesjid, untuk menyaksikan anak sulungnya dinikahkan dengan anak Tuan haji, yaitu Salamah Binti Haji Ahmad Palindih yang banyak memberinya nasihat dan banyak membantunya selama ini. Air mata Amat langsung meleleh. Ditatapnya Buyung lekat-lekat. Dia sudah lama mengidamkan Buyung agar menikah. Dia sudah ingin menimang cucu. Saat dalam selnya di penjara, dia selalu membayangkan kematian. Amat tak dapat menahan tangisnya jika mengenang hidupnya harus mati sebelum menimang cucu. Pincalang: 243 Tiga hari setelah perhelatan pernikahan Buyung, Amat kembali merindukan laut dan pulau-pulau kecil yang berada di sana. Rindu pada aroma laut dan lumpur pantainya. Setelah mengantarkan kedua pasang orang tuanya, Amat kembali berlayar bersama adik angkatnya Sangkot dan Lokot. Mereka bercerita kepada Amat, bahwa hampir semua teman-teman mereka orang Pincalang bekerja pada kapal penagkap ikan,hanya sedikit yang setia hidup di atas Pincalang mereka masing-masing, termasuk kedua pasang orangtua Amat dan anak-anaknya. Semakin hari jumlah orang Pincalang semakin menyusut. Bersama Sangkot, Amat menaiki perahu bercadik mengelilingi pulau dan menuju pulau lainnya untuk menanam kembali biota-biota laut yang sudah banyak digunduli oleh mesin-mesin pemotong. Bagi Amat, alam adalah nafasnya yang dicintai sepenuh jiwa raganya. Apa yang diberikan alam kepadanya adalah berkah dari Allah SWT. Tidak ada kebahagiaan yang dicarinya lagi selain melihat pohon bakaunya kuat tertancap dan memberi naungan bagi biota laut dibawahnya. Ia tidak mengerti mengapa ada manusia yang tega membabati pohon bakau dan menghancurkan sebuah kehidupan demi segenggam uang. Amat bukanlah seorang pahlawan, dia hanya ingin melakukan apa yang diketahuinya dari pesan leluhurnya untuk selalu menjaga keseimbangan kehidupan alam di pulau kelahirannya sesuai kemampuannya. Pesan yang sarat dengan norma kehidupan 151 yang mereka miliki itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal. Amat adalah salah satu orang Pincalang yang selalu berusaha untuk menjagalingkungan dan kelestarian alam. Hal ini diungkap pengarang sebagi berikut. “Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan- pesan dari leluhurnya. Pesan-pesan yang sangat sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki. Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut dan segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia ”. Pincalang: 253-254.

4. Temuan Penelitian